You are on page 1of 26

KONSEP BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Belajar dan Pembelajaran”

Oleh Kelompok II:


Kartika : 21010201
Asriani. S : 21010205
Muh. Harun Muhammadong : 21010212
Nurlinah : 21010221

Dosen Pembimbing:

Dra. Rafi’ah Nur, M.Hum

PROGRAM KULIAH AKTA IV


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PARE-PARE
2011
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
lantunan syukur kami haturkan kepada-Nya sehingga kita masih dalam lingkaran
shirot al-mustaqim.

Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan seluruh umat,
sang penegak kebenaran, Nabi Muhammad SAW karena ajaran beliaulah kita
selamat dari kedzaliman dunia dan akhirat.

Begitu sulitnya menyempurnakan makalah ini sehingga terlalu jauhdari kata layak
dan pantas untuk dikonsumsi oleh para pembaca dan kami menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan semua pihak,
untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
demi terselesaikannya penyusunan makalah ini, yang terlalu banyak untuk
disebutkan satu persatu.

Dengan selesainya makalah ini, kami berharap membawa manfaat bagi pembaca
dan kami sendiri khususnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan
kami terima dengan senang hati.

Pare-Pare, 19 Januari 2011

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Teori belajar adalah teori yang prakmatik dan eklektik. Teori dengan sifat
demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim. Tidak ada
teori belajar yang secara ekstrim memperhatikan aspek siswa saja, aspek guru
saja, aspek kurikulum saja dan sebagainya.

Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang lebih
mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem informasi
yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain du luar
titik fokus itu juga selalu diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar
yang dibahas.

Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya


manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia
bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia
akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam
berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi
interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu disertai dengan
proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi
dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak
disengaja.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan


keinginan manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian
proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang
tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai
suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh.
Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta
mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta
kesadaran diri sebagai pribadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep belajar behaviorisme?
2. Apa yang dimaksud dengan konsep belajar kognitivisme?
3. Bagaimana konsep teori belajar behavioristik dan kognitifistik?
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar untuk materi
pembelajaran tertentu di sekolah?
5. Bagaimana implikasi dari konsep-konsep belajar tersebut?

c. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi konsep belajar behaviorisme
2. Untuk mengetahui definisi konsep belajar kognitivisme
3. Untuk mengetahui konsep belajar behavioristik dan kognitifistik
4. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan konsep belajar
behaviorisme dan kognitivisme.
5. Untuk mengetahui implikasi dari konsep belajar tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Behaviorisme

Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.

Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku


individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah,
dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak
mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu
belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih
dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan.
Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional
atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.

Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari
teori ini adalah
a. Mementingkan faktor lingkungan
b. Menekankan pada faktor bagian
c. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
d. Bersifat mekanis
e. Mementingkan masa lalu
f. Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
g. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
h. Menekankan pentingnya latihan
i. Mementingkan mekanisme hasil belajar
j. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau
reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa
merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

1. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme


a. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia


mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini


anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing.
Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk
penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap
bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank.
Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat
untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu
tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah
suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang
menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah
adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah
terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

b. Thorndike (1874-1949)

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi


antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan
proses belajar sebagai proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang
proses belajar, pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan
eksperimen dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan
kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat
dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu :
adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai
terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)


Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh
stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.
2) Hukum Latihan
Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan
S-R. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi
tersebut semakin kuat. Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan
repetioest mater studiorum atau practice makes perfect.
3) Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Rumusan tingkat hukum akibat adalah, bahwa suatu tindakan yang disertai
hasil menyenangkan cenderung untuk dipertahankan dan pada waktu lain
akan diulangi. Jadi hokum akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil
suatu tindakan bagi perbuatan serupa.

c. Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam


belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol
tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi
sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant
conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku
operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau
menghilang sesuai keinginan.

Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan


stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah
lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam
proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.

Prinsip belajar Skinners adalah :

1) Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan
jika benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran
digunakan sebagai sistem modul.
3) Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak
digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk
menghindari hukuman.
4) Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5) dalam pembelajaran digunakan shapping.
2. Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek.

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan


situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat


emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju
atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak


menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.


Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata
lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang
kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus)
harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang
pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar
memperkuat respons.

3. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah


pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari


beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan
rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif
yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang


memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya
pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada
diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi


dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-
aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu
dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan


pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan


biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan
tugas belajarnya.

Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan


pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

B. Teori Belajar Kognitivisme

Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan para ahli
sebelumnya mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan stimulus-response-
reinforcement. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya
dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang
senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat
langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah.
Jadi kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih
bergantung kepada pemahaman terhadap hubungan – hubunganyang ada didalam
suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan atas stimuli di
dalam lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi pengematran tersebut.
1. Teori kognitif Gestalt

Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak
dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-
1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hokum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada
simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang
terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan
belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama
hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat
kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih
meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan
ganjaran.

2. Teori belajar Cognitive-field dari Lewin

Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitiv-field


dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin
memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang
bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space
mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang –
orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang
ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan
dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua
macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari
kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting
pada motivasi dari reward.

3. Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget

Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas


gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap
tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada
intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa
harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia
tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.

4. Jerome Bruner dengan Discovery Learningnya

Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana
murid mengorganisasi bahan pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir
yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan
hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan
murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka
mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti.

Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan


manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling
penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam
dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan
proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu
konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan
ketrampilan.

Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan
pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar
adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan
dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991:
121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh
Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.

Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung


termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat
dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa
teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:

5. Teori Belajar Piaget

Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat
terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses
berpikir pada anak.

Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut


tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema
atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung
pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur dua
tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap,
mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang
penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku
yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya
dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser
darinya.

b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur dua tahun hingga tujuh


tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan
adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat
banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya
yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda
dengannya.

c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih tujuh sampai sebelas tahun)


Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam
upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu
menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-
anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai
sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh
pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus
mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti
logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.

d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur sebelas tahun sampai


limabelas tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya
tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka
dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang
bersifat abstrak.

Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan


kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.

Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap


perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya
peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah
satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan
asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia
yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika
seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali
bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara
rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara
konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang
dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap
sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya
perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang
individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata
penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis
(1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang
dikenal dengan neo-Piagetian theories.

Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan
struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning
Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized
cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau
respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima
kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal
tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah
“hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis.
Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari
pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat
penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan
seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas
lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya
asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:

Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada
pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa
berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada
level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif
yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan
pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.

Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif


yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)
menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”.
Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan
Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan
menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang
bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga
dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat
ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan
level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan
maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.

Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:

1). Mode Sensorimotor

Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur
interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan
pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya
tacit knowledge.

2). Mode Iconic

Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk


merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode
sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari
komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain
sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan
senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan
iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang
secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada
mode concrete symbolic.
3). Mode Concrete Symbolic

Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka
mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk
tulisan, yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam
kehidupannya di dunia. Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan
logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem
simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di
sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic
adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam
matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang
berada di sekitarnya.

4). Mode Formal

Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan
berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat
penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada
mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.

5). Mode Post Formal

Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara


deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris.
Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya
tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.

Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di
berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO:
1). Tahap Pre-Structural.

Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang
bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah
kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.

2). Tahap Uni-Structural

Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu
konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum
dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap
ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur
sederhana.

3). Tahap Multi-Structural

Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini
masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk
pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah
terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada
tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan
siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan,
mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.

4). Tahap Relational.

Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta
tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman
beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-
bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep
pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan
kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,
menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis,
mengaplikasikan, menghubungkan.

5). Tahap Extended Abstract

Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-
konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar
itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah
perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta
membangun suatu konsep.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep belajar behaviorisme merupakan


proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus
dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru.
2. Teori kognitivisme didasarkan pada
kognisi,yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah mengenal
atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
3. Teori belajar behaviorisme dan kognitivisme
memiliki ciri khas masing-masing. Teori-teori belajar behavioristik
merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi
antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai
pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru
memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam
situasi pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat optimal.
4. Kedua konsep pembelajaran tersebut
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung kita sebagai
tenaga pengajar mengambil nilai-nilai positif yang tercantum didalamnya
untuk kemudian digunakan sebagai konsep belajar dan pembelajaran yang
diterapkan sehingga hasil yang diperolehpun lebih maksimal.
5. Implikasi perkembangan teori pembelajaran
sekarang sangatlah beragam. Guru dapat menerapkan menurut aliran-aliran
teori tertentu. Seperti teori behavioristik dalam pembelajaran guru
memperhatikan tujuan belajar, karakteristik siswa, dan sebagainya.

B.Saran

Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya dipahami


oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar,
sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai. Dengan memahami
berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran dan pengajaran, pendidikan
yang berkembang di bangsa kita niscaya akan menghasilkan out put-out put yang
berkualitas yang mampu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
DAFTRAR PUSTAKA

Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran.


Jogajakarta: Ar-Ruz Media Group.

Budiningsih A, 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Frida, dkk. Teori Belajar Behavioristik. http://docs.docstoc.com/orig 2220649/


44939785-d09c-4d54-b98f-ae5b1b9ed912.ppt. Diakses 17 Januari 2011.

Novianty, 2008. Teori-Teori Belajar Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Kbk


http://sweetyhome.wordpress.com/2008/12/15/teori-belajar/. Diakses 17
Januari 2011.

Rida, dkk, 2009. Teori Belajar Aliran Psikologi Behavioristik, Kognitifistik Dan
Humanistik. http://docs.docstoc.com/orig/1594716/9222ca26-61c6-4564-
a5db-c0751a600084. Diakses 17 Januari 2011.

You might also like