You are on page 1of 17

Makalah Pengaruh Penerapan Hukuman

Terhadap Kemandirian Siswa Dalam Belajar

A. Pengertian Hukuman, Disiplin dan Mandiri

Hukuman adalah vonis dari pengadilan terhadap seseorang yang terbukti bersalah
(Purwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia:1991). Pembentukan disiplin diri merupakan
suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin
pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara
umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan
pemberian hukuman.

Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orang tua ataupun guru dalam mendidik anak-
anak atau muridnya. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka
pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak
tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih
banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang
seharusnya dilakukan.

17

Dampak lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus
menanggung hukuman yang diberikan orang tuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan.
Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah identik
dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga seringkali
dialami oleh orang tua mereka. Akibatnya tidak sedikit orang tua membiarkan anak-anak
“bahagia” tanpa disiplin. Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-
masa perkembangan berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan
kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.

Disiplin adalah proses pelatihan pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau
nilai tertentu (Andrias Harefa, menjadi manusia pembelajar). Disiplin di sini dimaksudkan cara
kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan
utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku
mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai
dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang
berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan
hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik (Dr. Martin Leman, disiplin anak:2000).

Mandiri adalah suatu sikap dimana seseorang terbebas dari sifat ketergantungan dari pihak luar.
Berkenaan dengan sikap mandiri ini maka motivasi adalah salah satu cara bagaimana
membentuk seseorang bisa menjadai mandiri. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat
diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin
melakukan aktivitas belajar.

Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.

1) Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan
dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

2) Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu,
apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan
demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.

B. Hal-Hal Yang Melatar Belakangi Adanya Hukuman Dan Ganjaran (Penghargaan)

Untuk anak yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan
dan pengertian dalam disiplin. Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman
hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan terlebih
bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia
diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar
berperilaku yang baik.

Ada berbagai cara yang umum digunakan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak dan
remaja, antara lain :

1. Disiplin Otoriter

Disiplin Otoriter adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno
“menghemat cambukan berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau
pengasuh memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada
penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi, dan anak tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak
mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras, karena dianggap
merupakan cara terbaik agar anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali
anak dianggap sudah benar-benar mengerti aturannya, dan ia dianggap sengaja melanggarnya,
sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya lagi. Jika anak
melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga dianggap tidak perlu diberi hadiah lagi, karena sudah
merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah malahan dipandang dapat mendorong anak untuk
selalu mengharapkan adanya sogokan agar melakukan sesuatu yang diwajibkan masyarakat.

2. Disiplin yang lemah

Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang
dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model
disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, di didiknya dengan cara yang sangat
berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar bagaimana berperilaku dari setiap
akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia
tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik.
Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur penting disiplin.

3. Disiplin Demokratis

Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan
memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa
peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan
kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu,
dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang dilakukan,
disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan
perilaku sosial yang baik dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian
pengakuan sosial dan pujian.

Adapun penerapan tipe-tipe disiplin ini memberi dampak yang cukup nyata bedanya. Pengaruh
penerapan disiplin ini pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya :

1. Pengaruh pada perilaku

Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan
orang – orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang
orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang
lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih
mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.

2. Pengaruh pada sikap

Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah,
memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan
cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya
lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau
menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara,
tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode
pendidikan anak cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang
berkuasa.

3. Pengaruh pada kepribadian

Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan negativistik.
Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas
dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin
yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang
terbaik.
Persepsi yang sering keliru adalah pengertian istilah pemberian hadiah. Kadang orang tua
beranggapan bahwa memberikan hadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau
hadiah lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda, misalnya
berupa pengakuan atau pujian pada anak. Para orang tua yang menggunakan cara disiplin
demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka khawatir hal ini akan
memanjakan anak atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik
disiplin yang buruk.

Pelanggaran berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru
sangat sering terjadi pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja
sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti
konsep yang dikandung dari aturan itu, dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak
bisa mengerti bahwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek
juga termasuk mencuri.

Hal kedua yang sering juga menjadi penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa
sengaja tidak patuh dalam hal yang kecil-kecil umumnya akan mendapatkan perhatian yang lebih
besar daripada perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik
perhatian orang tuanya sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian lebih.
Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan
untuk mengisi waktu luang, maka kadangkala anak ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa
juga ia hendak menguji kekuasaan orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat
melakukan sesuatu tanpa dihukum.

4. Anak yang lebih besar

Bagi anak yang lebih besar, yang sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan penting dalam
perkembangan moral. Disiplin bagi anak yang lebih besar ini menjadi hal yang lebih serius lagi.
Teknik disiplin yang pada usia pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa dijalankan tetap dengan
cara yang sama terus menerus. Bagi anak yang sudah diusia sekolah ini, disiplin yang diterapkan
juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan
antara lain adalah :

Anak yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa
hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin
mampu memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas.
Sebagai akibatnya, tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.

Pemberian ganjaran seperti pujian atau perlakuan khusus bila anak melakukan sesuatu yang baik,
mempunyai nilai yang positif dalam mendorong anak berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali.
Akan tetapi pemberian pujian dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja.

Pemberian hukuman juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hukuman
juga harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan.
Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat
mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah.

Konsistensi dalam memberikan hukuman atau ganjaran pun penting. Untuk kesalahan yang sama
berikan hukuman yang sama, dan sebaliknya juga untuk hal yang baik. Apa yang benar dan baik
hari ini, akan tetap benar esok hari. Jangan apa yang hari ini benar dan baik, besoknya menjadi
hal yang dianggap salah dan patut dihukum. ( Majalah ‘Anakku’ ed.4, thn 2000)

Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka
pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Berkelanjutan

Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah
anak masuk sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru
dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa,
membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik disiplin dengan
menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang baik dan mana yang jelek.
Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang air, maka orang tua harus secara
berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di
kenalkan pada situasi yang menyenangkan dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya
sejak dini. Dengan perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa
berikutnya karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.

Selain itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku yang
tidak diinginkan atau pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang
diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan, persetujuan
atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk berdisiplin maka pada masa remaja ia
akan memiliki disiplin diri yang cukup sehigga akan mampu menahan segala godaan yang
datang dari teman maupun lingkungan sekitarnya.

b. Autoritatif

Pendidikan disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak
terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin bagi
remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam
menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan sebagai mendidik tanpa disiplin)
cenderung menghasilkan anak remaja yang manja, semena-mena, anti sosial dan cenderung
agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman
fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja.

Hal ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan
membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula
yang pada akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat
berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang
menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi
hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang
mendasar. Contoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak
melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.

c. Beri Batas-Batas Yang Jelas

Batas-batas tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain,
dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak mengganggu orang lain dan menghindarkan anak
dari kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orang tua harus sudah memberikan batasan-batasan
tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna dikertas-kertas, dipapan
yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan
tidak boleh menggambar di tembok.

Penting bagi orang tua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang
tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh
ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap
diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya fasilitas tersebut.
Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan.
Kebaikan hati adalah keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal
mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan
kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan kematangan
anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan fasilitas.
Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan yang telah
dicapai oleh remaja tersebut.

d. Konsisten dan Fleksibel

Setelah batas-batas ditentukan, maka orang tua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya
untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan
ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja maka
penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara tersebut diharapkan
dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.

Meski batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa
dilanggar. Dalam kondisi ini orang tua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja
bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orang tua namun bukan berarti bahwa
batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orang tua semacam ini
akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.

e. Menjelaskan Secara Lengkap

Terkadang seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua dengan
alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orang tua sangat perlu untuk
mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh dilakukan atau
tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa dampaknya jika dilakukan/tidak
dilakukan, dan sebagainya. Janganlah menganggap bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan
sematang orang tua (meski harus diakui ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir
dari orang tuanya). Kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua adalah terlalu menganggap
anaknya sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja,
sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orang tua yang lupa bahwa anak remajanya
masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orang tua, meski mereka terlihat enggan
untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orang tua lah yang seharusnya segera sadar dan
mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-
hal tersebut kepada remaja tersebut. Bukankah orang tua yang seharusnya lebih memahami anak-
anaknya secara rinci.

f. Berlatih

Orang tua hendaknya mengarahkan anak untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik.
Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya
anak dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar dan
bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dan sebagainya. Hal ini perlu, sebab setiap
kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak akan banyak mempengaruhi
kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.

g. Hukuman

Hukuman yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini
remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak
disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas
perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu
menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si
penghukum (orang tua). Jika harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat
pemahaman anak tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan
anak mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan
dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak
properti orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa
anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi, dan jangan
melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar, dan sebagainya terhadap anak-anak.

h. Komunikasi

Dalam kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya
dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif antara anak dan
orang tua. Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam
pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang
lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak dan
remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenanya. Jika cara-cara tersebut
yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam
hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak
maupun orang lain.
C. Peranan Guru dalam Membentuk Kedisiplinan

1. Pengertian Guru

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai
semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan
suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa istilah yang juga
menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan Tutor.

Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Menurut Zakiah Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru,
tetapi orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu :
bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.

2. Peranan Guru dalam Pendidikan

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2)
model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat
setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-
tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi
patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-
tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas
dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggung jawab kemasyarakatan,
pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga,
pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru
dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan
anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak menyimpang
dengan norma-norma yang ada.

Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat
menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua
atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat,
bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka
tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus
memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti
persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi
dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga
anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan
negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan
pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.

Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan
dan keterampilan supaya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan
jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang
berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun
tugas kemanusiaan.

Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat
membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya.
Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan
insidental.

Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat
berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat
mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.

Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga
sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru
dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar
mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti
membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang
berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin
Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang
guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;

2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;

3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;

4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam


pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;

5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan,


baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral
(kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip
pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta
didik, yang mencakup :
1) Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di
dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;

2) Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin,
merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana,
di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang
bijaksana dalam arti demokratik dan humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during
teaching problems).

3) Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan
akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses
pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya
maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin


menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut
untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar,
melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu
pemecahannya (remedial teaching).

Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan
masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran,
penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik.
Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator).
Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer),
penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).

Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas
pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang
psikologis.

Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan
sebagai :

1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;

2) Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan
masyarakat dalam pendidikan;

3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;

4) Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;

5) Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat
berlangsung dengan baik;
6) Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan
peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan

7) Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai


kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.

Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :

1) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada
masyarakat;

2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk
mengembangkan penguasaan keilmuannya;

3) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di
sekolah;

4) model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta
didik; dan

5) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman
berada dalam didikan gurunya.

Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :

1) Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi
pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

2) Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang
yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan
para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;

3) Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan
aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;

4) Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang mampu menciptakan suatu
pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan

5) Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi
terciptanya kesehatan mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran
utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan
memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup
hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak
tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi
peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan
sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa
mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan
berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa
mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai
informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di
jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah
peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia
akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari
peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas
tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan
pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru
masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek
pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan
kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun,
disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang
berlangsung.

3. Fungsi Guru dalam Membentuk Kedisiplinan Siswa

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan
pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas
kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya
diketahui oleh anak.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas
utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi
diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.

Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia
hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan
di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh
dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk
mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut
serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan
hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.

Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut
mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat
UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis
dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus
mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia
bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus
memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan
datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan
kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-
nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan
sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri.
Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa
tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui
warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-
simbul dan tanda-tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan
tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan
sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun
pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa,
namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada
umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan
sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga
kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam
hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas professional.

D. Beberapa Bentuk Pola Sikap Siswa dalam Belajar

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam
pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan
bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas,
apa sesungguhnya belajar itu ?

Sebelum membahas tentang pola sikap siswa dalam belajar alangkah lebih baik kita mengenal
dulu apa itu belajar. Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :

1) Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh
individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
2) Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang
dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan dan kecakapan”.

3) Crow & Crow dan (195 : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan
dan sikap baru”.

4) Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau
berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”

5) Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap
sebagai hasil dari pengalaman”.

6) Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena
pengalaman”

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan
perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku,
yaitu :

1) Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.
Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari
bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah
belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan
dengan Psikologi Pendidikan.

2) Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan


kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga,
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi
pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa
telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan
“Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat
Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar
Mengajar”.

3) Perubahan yang fungsional.


Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu
yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh :
seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan
keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan
mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku
para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.

4) Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya,
seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam
dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual
atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti
pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip
– prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak
menjadi guru.

5) Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi
pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-
buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.

6) Perubahan yang bersifat permanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian
yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka
penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam
diri mahasiswa tersebut.

7) Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka
pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar
psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang
diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka
panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai
tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.

Perubahan perilaku secara keseluruhan.


Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa
belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan
tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru
menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan
“Teori-Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :

1) Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis
maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

2) Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan


lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan
(discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini
sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.

3) Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan


keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu
kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif.
Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif
lebih menekankan pada pada proses pemikiran.

4) Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang
akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa,
didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk
bertindak.

5) Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh
otot dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :

1) Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan


penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan
bahasa secara baik dan benar.

2) Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik,
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang
tinggi.
3) Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk
melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang
benar.

4) Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan
menggunakan daya ingat.

5) Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian
dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

6) Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk
terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

7) Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).

Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.

9) Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih,
gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi
perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-
aspeknya. (lihat tautan ini : Taksonomi Perilaku Menurut Bloom)

You might also like