You are on page 1of 8

ALKITAB DAN FIRMAN ALLAH

Alkitab dan Firman Allah adalah 2 pengertian yang berbeda. Kita mempercayai bahwa
Alkitab adalah Firman Allah, tetapi kita tidak mempercayai bahwa Firman Allah identik
dengan Alkitab (bnd.: Si Budi adalah manusia - pernyataan yang benar, tetapi pernyataan
"manusia adalah si Budi" adalah salah).
Lagipula Firman Allah telah ada jauh sebelum Alkitab ada; bahkan sudah ada sejak awal
mulanya (lih. Yoh. 1:1). Menurut Injil Yohanes, "Firman itu adalah Allah". Di sini, yang
dimaksud "firman" jelas bukan Alkitab. Sebab pada mulanya tidak ada Alkitab. Alkitab
baru ada jauh di kemudian hari. Sebelum Alkitab ada, Allah sudah ada dan sudah
berfirman; bahkan sampai dengan sekarang Allah masih berfirman sekalipun sudah ada
Alkitab, mis: melalui khotbah, alam ciptaan, bimbingan kuasa Roh Kudus, dsb.. Kita
menyembah Allah yang hidup, bukan Alkitab, yang adalah buku (Yunani: biblion/biblos
= kumpulan buku-buku, Arab = qitab). Ada bahaya mempersamakan Alkitab dengan
Allah (disebut bibliolatri = memberhalakan sebuah buku).
Bukan berarti Alkitab itu adalah buku biasa, sebab di atas telah dinyatakan dengan tegas
bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Hanya saja, pemahaman dan perlakuan yang salah
terhadap Alkitab bisa menggiring kita pada pemberhalaan Alkitab.

Selama berabad-abad, umat Allah hidup tanpa Alkitab. Menurut kesaksian Perjanjian
Lama (PL), bentuk tertulis dari Firman Allah yang mula-mula adalah ketika YHWH
memerintahkan Musa untuk menuliskan kisah peperangan melawan bangsa Amalek (Kel.
17:14) dan kemudian menuliskan hukum-hukum Allah (Kel.24:3,4,7; 34:27), tetapi itu
masih jauh sekali dari Alkitab, PL sekalipun. Namun, tidak berarti selama itu Allah tidak
berfirman. Dari sisi Allah, Allah terus berfirman, ada atau tidak ada Alkitab. Sedangkan
dari sisi umat, iman mereka juga tidak tergantung pada ada atau tidak adanya Alkitab,
karena Firman Allah dan pengalaman mereka tentang Allah mereka teruskan kepada
anak-cucu dan orang lain secara lisan dan lewat ingatan (UI. 6:4-9). Baru kemudian
dirasakan kebutuhan untuk dibuat secara tertulis.

ISI ALKITAB
Dari pengertian dasar di atas, kita dapat menyatakan bahwa Alkitab berisi kesaksian
tentang Allah yang menyatakan diri (mis: kepada Abraham, Yakub dsb.), firman (mis:
kepada Musa di Gunung Sinai), kehendak dan karya keselamatan-Nya kepada manusia.
Dalam iman Kristen, isi Alkitab berpusat pada pemberitaan tentang Yesus Kristus, baik
nubuatannya (dalam PL) maupun penggenapannya (dalam PS).
Selain itu, Alkitab juga berisi kesaksian tentang manusia yang menyambut/ menanggapi
penyataan dan karya Allah. Jawaban manusia ini ada yang bersifat positif, artinya
menyambut dengan iman, misal: Abraham; tetapi ada juga yang mulanya menolak, misal:
Musa (Kel. 3:11, 13), Yunus (Yun. 1:1-3).
Jadi ada proses dialogis di dalam Alkitab. Allah berfirman, menyatakan diri, dan
berkarya dalam kehidupan manusia, serta manusia menyambut-Nya dengan iman dalam
kehidupan sehari-hari.

PENULISAN ALKITAB
Dari catatan singkat di atas (tentang Alkitab dan Firman Allah), kita dapat melihat bahwa
Alkitab bukanlah "benda sorgawi" yang datang dari langit (bnd. Luk. 1:1-4), sehingga
dianggap begitu suci, keramat, dan tidak boleh diterjemahkan. Akibatnya adalah muncul
bibliolatri. Memang, Allah mampu menurunkan Alkitab langsung kepada manusia.
Tetapi cara itu tidak dipilih Allah, karena Allah sejak semula telah melibatkan manusia
dalam penataan dunia (bnd. kisah penciptaan di mana Adam-Hawa dipercaya untuk
menatalayani bumi - Kej. 1:28).
Oleh karena itu, Alkitab terbentuk melalui suatu proses penyusunan dan penulisan yang
panjang (Alkitab -> biblos= kumpulan buku-buku). Ada 2 teori tentang penulisan Kitab
Suci, yaitu:
a. Ditulis secara mekanis. Artinya, manusia hanya menjadi alat yang meneruskan setiap
kata yang disampaikan Allah. Seperti guru sedang mendiktekan pelajaran kepada para
siswa. Teori ini dianut oleh agama Islam, yaitu bahwa Alquran terbentuk melalui proses
mekanis. Nabi Muhammad mendengar/mendapat firman, ia menyampaikan kepada juru
tulisnya, lalu ditulis dengan utuh dan lengkap.
b. Ditulis secara organis. Artinya, manusia dalam "kebebasannya", menuliskan Firman
yang ia dengar dan terima dengan mempergunakan bahasa dan unsur-unsur kemanusiaan
lainnya yang berpengaruh seperti kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya pada masanya
(bnd. Yer. 36:1-4). Karena itu, Alkitab merupakan kesaksian pergumulan kehidupan umat
beriman. Alkitab tidak bisa dilepaskan dari pergumulan dan permasalahan yang dihadapi
oleh umat pada masa dan kondisi tertentu. Sekalipun demikian, para penulis Alkitab tidak
menulis menurut kehendak pribadinya, tetapi menurut ilham yang diberikan Allah atau
bimbingan kuasa Roh Kudus (2 Tim. 3:1b; 2 Ptr. 1:21).
Penulisan yang demikian membuat Firman Allah itu dapat dimengerti oleh manusia,
karena mempergunakan bahasa manusia. Yoh. 1:14 mengatakan bahwa "Firman itu telah
menjadi manusia". Artinya, adalah penting bagi Allah agar Firman yang disampaikan-
Nya dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu, agama Kristen
tidak menaruh keberatan pada proses penerjemahan Alkitab. Berbeda dengan Alquran,
yang ditulis dalam bahasa Arab yang dipandang bahasa suci.
Sebelum ditemukan kertas, kitab-kitab dalam Alkitab ditulis dalam lempengan batu (bnd.
Kel. 34:1), kulit kayu, lembaran daun papyrus (= "anyaman" tanaman pandan air), dan di
atas perkamen atau vellum (= gulungan kulit binatang yang halus). Semua itu ditulis
dengan tangan.
Dengan pemahaman demikian, maka kita melihat bahwa Alkitab, sebagai sebuah buku
kesaksian iman, tentu memiliki keterbatasan. Dan hal ini bukan karena Firman Allah
yang terbatas, tetapi karena bahasa manusia terbatas. Namun justru karena itulah Alkitab
bisa dimengerti oleh manusia. Karena andaikata Alkitab disampaikan dengan "bahasa
surgawi", tentu kita tidak akan dapat memahaminya. Pada suatu masa, gereja pernah
menjauhkan umat dari Alkitab, yaitu ketika Alkitab ditulis daiam bahasa Latin dan hanya
dimengerti oleh para imam (Katolik). Saat ini, Gereja Katolik mulai menyadari
pentingnya umat membaca Alkitabnya sendiri.
Justru yang luar biasa adalah Allah secara sengaja mau bekerja lewat manusia yang
terbatas untuk menyampaikan firmanNya yang tak terbatas kepada manusia yang
terbatas. Allah mau memakai manusia yang hidup untuk menyampaikan firman-Nya,
bukan manusia yang seperti benda-benda mati (pensil, kertas) yang hanya bekerja sesuai
perintah. Dan karena itulah kita juga menjumpai keunikan dari berbagai gaya penulisan
dan model kitab dalam Alkitab (ada yang berbentuk prosa, puisi, surat dsb.). Selain itu,
kita juga dapat melihat adanya keterangan yang berbeda dalam Alkitab (mis; bnd. Kej. 1-
Adam & Hawa diciptakan bersamaan; Kej. 2 -Adam diciptakan duluan dsb.). Bukan
berarti Alkitab kita salah, tetapi itu justru mempertegas bahwa Alkitab kita ditulis, yaitu
ditulis dengan sudut pandang yang berbeda. Fakta itu harus kita pahami bahwa berbagai
keterangan yang berbeda itu justru dapat memperkaya pemahaman kita. Dan bukankah
dengan demikian kita justru melihat betapa besarnya peranan Roh Kudus dalam
penulisan Alkitab?
Dari proses penulisan yang demikian, kita dapat melihat bahwa Alkitab bersifat ilahi,
tetapi juga insani, yaitu dengan dipergunakannya bentuk-bentuk dan unsur-unsur
kemanusiaan dan kebudayaan pada lingkup sejarah tertentu, sehingga menampakkan
keterbatasan-keterbatasan tertentu (terutama ilmu pengetahuan). Misalnya orang Yahudi
memahami bahwa bumi berbentuk datar (=tempat kehidupan, langit sebagai sorga, dan
bawah bumi sebagai dunia orang mati) dan juga sebagai pusat tata surya (bnd. Mzm.
104:1-5). Jelas, ini adalah pengaruh kosmologi zaman dahulu, yang masih sangat terbatas
dalam memandang dunia.

Namun sayang, ada gereja yang mengembangkan paham inerrancy (to err = berbuat
salah), yaitu paham yang mengajarkan bahwa Alkitab tidak dapat salah, sehingga segala
macam pernyataan ilmiah maupun non-ilmiah yang bertentangan dengan Alkitab tidak
dapat diterima.
GKI menolak paham inerrancy karena mempertentangkan secara langsung antara Alkitab
dengan ilmu yang senantiasa berkembang. Sejarah membuktikan bahwa ketika gereja
memiliki sikap yang keliru terhadap Alkitab, yaitu menentang segala pernyataan yang
bertentangan dengan Alkitab, maka tindak kekerasanlah yang muncul. Misal: Galileo
Galilei mengemukakan teori bahwa bumi itu bulat, tidak datar seperti yang dipahami
Gereja pada waktu itu; Nicolaus Copernicus mengemukakan teori heliosentris
(matahari/helios sebagai pusat tata surya), berbeda dengan yang dipahami Gereja pada
waktu itu, yakni geosentris (bumi/geos sebagai pusat tata surya). Kedua ilmuwan itu
lantas diekskomunikasi (dikeluarkan dari Gereja) bahkan dijatuhi hukuman mati, hanya
gara-gara menyatakan pandangan yang berbeda dengan Alkitab.
Memang Alkitab mengandung pengetahuan, namun ia terbatas oleh situasi ketika ditulis.
Lagipula Alkitab bukanlah buku ilmu pengetahuan, tetapi buku kesaksian iman.

Ilmu pengetahuan-> bagaimana sesuatu terjadi


Alkitab-> mengapa sesuatu terjadi

Ilmu pengetahuan yang ada, seperti arkheologi, sosiologi, sejarah, bahasa dsb. justru
dapat menolong kita dalam upaya memahami Alkitab. dengan demikian pesan Alkitab
dapat kita terima dengan jelas dan utuh, misalnya: lobang jarum (Mat. 19:24). Apa
artinya lobang jarum itu? Jika dipahami secara harfiah, ucapan Yesus dalam Injil tsb.,
tentu sangat mustahil. Bagaimana mungkin seekor unta dapat masuk lobang jarum?
Syukurlah, lewat arkheologi kita dapat mengetahui bahwa lobang jarum itu menunjuk
pada pintu kecil yang ada di sebuah gerbang besar kota (bnd. pintu kecil untuk pejalan
kaki di pintu gerbang perumahan dengan sistem kluster).

Dari pemahaman di atas, hal yang perlu kita camkan adalah:


* Sekalipun ada keterbatasan dalam Alkitab (dikarenakan konteks yang terentang kl. 14
abad), kebenaran dan kesaksian Alkitab melampaui ruang dan waktu.*

KANONISASI
Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa Alkitab muncul setelah melalui proses
penulisan. Penulisan itu sendiri tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu yang sangat
lama. Perjanjian Lama sendiri membutuhkan waktu k.l. 1000 tahun dalam penulisannya.
Itu dikarenakan setiap kitab muncul pada zaman dan tempat yang berbeda-beda. Setiap
kitab biasanya memuat keprihatinan atau menjawab kebutuhan umat. Intinya adalah
kesaksian iman Israel. Bukan iman yang mengambang, tetapi yang nyata dalam
keseharian hidup mereka. Iman mereka diuji ketika mengalami berbagai persoalan hidup.
Dan pada akhirnya mereka mengakui bahwa campur tangan Allah bisa dialami lewat
peristiwaperistiwa alam dan keseharian mereka.
Dari iman yang mereka hayati ini, mereka menceritakan secara lisan kepada anak-cucu
mereka (bnd. Ul. 6:4-9). Dari tradisi lisan/cerita ini, beberapa orang mulai membuat
catatan dan menuliskannya. Di sinilah proses perumusan dan penulisan kitabkitab mulai
berlangsung. Dengan adanya catatan tertulis proses pewarisan iman dari satu generasi ke
generasi berikutnya terjamin, karena pewarisan tidak hanya dari mulut ke mulut (tradisi
lisan/cerita). Di sinilah muncul pola penulisan kitab-kitab suci: dari penghayatan iman ke
pengungkapan iman, yaitu perumusan dan penulisan.
Dalam penulisannya, selain memanfaatkan tradisi lisan, ada juga sumber-sumber lain
yang dijadikan rujukan oleh para penulis kitab2 PL (pola yang sama digunakan juga
dalam penulisan kitabkitab PB), misalnya: "Buku Peperangan Tuhan" (Bil. 21:14); "Kitab
Orang Jujur" (Yos. 10:13, 2 Sam. 1:18); "Kitab Riwayat Salomo" (1 Raj. 11:41), "Kitab
Sejarah Raja-raja Yehuda" (1 Raj. 14:29, 2 Taw. 16:11), dsb.
Kitab-kitab yang ditulis itu kemudian disusun menjasi satu. Proses penyusunan kitab-
kitab menjadi satu disebut kanonisasi (Yun: canon= batang pengukur, patokan). Jadi,
kanon adalah sesuatu yang sudah diukur, dipatok. Jumlahnya dianggap sudah cukup,
tidak perlu ditambah / dikurangi.
Kata "perjanjian" dalam Alkitab PL, mencerminkan isi dari "PL" itu sendiri, yaitu
perjanjian Allah dengan Israel, di mana Allah adalah Allah Israel dan Israel menjadi umat
Allah (Kel. 6:3-6). Nama "perjanjian" baru muncul pada zaman Gereja Perdana.

Perjanjian Lama terdiri dari 3 kelompok, yaitu:


a. Torah / Taurat : Kejadian - Ulangan
b. Neviim / Nabi-nabi
- Nabi-nabi besar (disebut demikian bukan karena sang nabinya yang berukuran besar,
tetapi karena kitab-kitabnya memiliki isi yang tebal), yakni: Yesaya, Yeremia + Ratapan,
Yehezkiel
- Nabi-nabi kecil : Daniel s/d Maleakhi
c. Ketuvim / Kitab-kitab
- Sejarah : Yosua s/d 2 Tawarikh
- Sastra Hikmat : Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung
Orang Yahudi menyebut PL sebagai Tenakh.
Catatan: ada perbedaan dalam kanon Yahudi dan Yunani; ada beberapa kitab yang dalam
kanon Yahudi menjadi bagian Ketuvim, di kanon Yunani menjadi bagian Newiim.

Sejarah terjadinya kitab-kitab PB lebih sederhana dan singkat dibandingkan dengan PL.
Pada awal zaman Tuhan Yesus dan sesudahnya, memang tidak ada yang namanya
"Perjanjian Baru" atau "Perjanjian Lama". Yang ada ialah kitab-kitab suci yang masih
berupa gulungan (bnd. Luk. 4:17). Jadi, apabila kita membaca dalam Alkitab bahwa
Yesus membuka dan membaca "Alkitab", tentu yang dimaksud bukanlah Alkitab seperti
yang sekarang ada pada kita, tetapi bagian-bagian/tulisan-tulisan tertentu yang diyakini
sebagai kitab suci oleh orang-orang Yahudi pada masa itu.
Meskipun dalam Alkitab, kitab yang terdepan adalah Injil Matius, tetapi tulisan tertua
dalam Perjanjian Baru, yang ditulis sekitar tahun 51 M adalah surat Rasul Paulus kepada
jemaat Tesalonika yang pertama dan kedua (1 & 2 Tesalonika). Sedangkan yang terakhir
(termuda) adalah Surat 2 Petrus, sekitar tahun 120 M. Jadi jangka waktu penulisan kitab-
kitab PB adalah sekitar 70 tahun. Dari keempat Injil, yang tertua adalah Injil Markus
(ditulis sebelum tahun 70 M), kemudian Matius (k.l. 80 M), Lukas (k.l. 85 M) dan
Yohanes (k.l. 100 M).

Mengapa kitab yang tertua adalah surat bukan Injil? Setelah Yesus tidak ada lagi di
dunia, karya-Nya dilanjutkan oleh para murid yang mewartakan secara lisan tentang
Yesus dan karya-Nya ke berbagai tempat. Tradisi lisan atau cerita dari mulut ke mulut ini
berkembang terus. Dan akhirnya terbentuklah sejumlah kelompok jemaat yang telah
menerima pewartaan para rasul tersebut. Untuk membina hubungan antar kelompok tsb.,
para rasul dan umat sering saling berkiriman surat. Dalam surat-surat tersebut
dirumuskan dan diungkapkanlah iman kepada Yesus dari Nazaret. Karena itulah,
sebenarnya setiap surat hendak menjawab sebuah pergumulan spesifik suatu jemaat di
tempat dan masa tertentu (sekalipun ada juga yang bersifat umum). Sekalipun demikian,
ia tetap bermakna sampai saat ini.

Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, para murid juga mengumpulkan


sejumlah catatan-catatan mengenai Yesus, baik kehidupan, ajaran, pokok-pokok iman,
yang sebelumnya diberitakan secara lisan. Karena itu berkembanglah sejumlah kumpulan
cerita, lisan atau tulisan mengenai Yesus yang kelak menjadi sumber penulisan Injil,
seperti kumpulan cerita mujizat Yesus, kumpulan kata-kata Yesus, kumpulan kisah
kehidupan Yesus. Di kemudian hari, baru para penulis Injil memanfaatkan sumber-
sumber tersebut untuk menuliskan semacam "riwayat hidup Yesus", tentu dengan
penekanan dan kekhasannya masing-masing. Maka terbentuklah Kitab-kitab Injil.
Dalam PB, intinya adalah iman gereja perdana, yaitu iman kepada Allah dalam Yesus
Kristus yang hadir bagi manusia secara universal, tidak terbatas hanya kepada satu
bangsa (Israel) saja. Karena itu iman gereja perdana sebenarnya tidak bisa dilepaskan
begitu saja dari iman Israel. Lagipula, para pengikut Kristus dan Gereja Perdana
sebenarnya semula juga tidak berniat untuk menulis suatu kitab suci baru, karena mereka
percaya bahwa Yesus adalah penggenapan apa yang tertulis dalam Perjanjian Lama,
Alkitab pada masa itu. Oleh karena itu, bagi kita saat ini, sekalipun PB terasa lebih akrab
dan mudah dibaca, tetapi sangat penting juga untuk membaca dan belajar memahami PL.
Perjanjian Baru terdiri dari 4 kelompok, yaitu:

a. Injil (Yun= euangelion, Lat = evangelium), berisi cerita tentang kehidupan, karya dan
ajaran Yesus. Dapat dikatakan sebagai dasar dari seluruh PB. Ketiga Kitab Injil pertama
disebut Injil Sinoptik (Yun: sun = bersama-sama, opto= melihat; sinoptik = melihat dari
pandangan yang sama). Dalam penulisannya, Injil Sinoptik memanfaatkan sumber-
sumber cerita yang sama, misalnya berita tentang kelahiran Yesus. Dalam Injil Sinoptik,
ada berita tentang kelahiran Yesus (biasa disebut dengan Kristologi dari bawah).
Sementara Kitab Injil ke-4 (Yohanes) agak berbeda dalam pemanfaatan sumber cerita.
Dalam Injil ini, tidak ada berita tentang kelahiran Yesus, tetapi yang ada adalah berita
tentang siapa Yesus, yakni Ia adalah Firman yang sudah ada pada mulanya dan Firman
itu adalah Allah yang kemudian menjadi manusia (Yoh. 1:1-14). Sudut pandang
penulisan yang demikian ini biasa disebut Kristologi dari atas.
b. Kisah Para Rasul: berisi keadaan Gereja Perdana, bagaimana para rasul dan pekabar
Injil (khususnya Petrus dan Paulus) menyebarkan iman Kristiani di dunia sekitar mereka.
Penulis Kisah Para Rasul sama dengan penulis Injil Lukas.
c. Surat-surat : berisi surat-surat kepada jemaat-jemaat perdana di berbagai tempat,
biasanya berisi nasehat, jawaban atas pertanyaan jemaat, penguatan atas kondisi jemaat
yang teraniaya.
- Surat-surat Paulus
- Surat-surat lainnya; Surat Pastoral, Surat Umum.
d. Wahyu : berisi apa yang dilihat Yohanes sebagai pergumulan antara Gereja Kristus
dengan Iblis (yang mewujud dalam kuasa pemerintah Roma), dengan kemenangan Allah
atas kekuatan jahat sebagai puncaknya. Kitab ini sering dianggap sebagai ramalan masa
depan belaka, padahal tujuan utama sebenarnya adalah menguatkan Gereja Perdana yang
mengalami penganiayaan, dari pemerintah Roma di bawah pemerintahan Kaisar
Domitianus, karena iman mereka kepada Yesus Kristus.
Karena itu agak berbahaya apabila kita membaca dan menafsirkannya tanpa
memperhatikan konteks dan situasi jemaat yang dituju oleh kitab ini.
Selain kitab-kitab yang ada dalam Alkitab, sebenarnya masih banyak tulisan-tulisan lain
yang pada masanya tergolong tulisan suci/mengandung makna rohani dan beredar di
tengah jemaat. Fakta itu membuat umat kadang mengalami kebingungan mengenai
kitab/tulisan manakah yang harus dipegang sebagai kitab suci mereka. Karena itulah
kemudian berkembang suatu proses kanonisasi.
Kanon Yahudi ditetapkan pada tahun 90 M di Jamnia, dalam suatu sidang para rabi yang
dipimpin oleh Rabi Johannan bin Zakkai.
Sementara yang membuat kanon Kristen pertama kali adalah Marcion, yang di kemudian
hari digolongkan sebagai bidah (sesat) oleh gereja. Marcion membuat daftar buku-buku
yang menurut ukurannya sendiri disebut "Kitab Suci" yaitu Injil Lukas dan sejumlah
Surat Paulus. la menolak seluruh PL, karena menurutnya Allah yang ada dalam PL
adalah Allah Yahudi yang berbeda dengan Allah sebagaimana disaksikan Yesus Kristus
dalam PB. Perbuatan Marcion (dan kemudian pula para pemimpin bidat lainnya) itu
menyadarkan para pemimpin gereja untuk menetapkan kanon kitab suci, terutama untuk
menghadapi para bidat dan memberikan pegangan yang tetap kepada umat, manakah
kitab-kitab yang tergolong sebagai kitab suci. Setelah melalui proses yang panjang,
akhirnya pada tahun 367 M, daftar yang disampaikan Athanasius, Uskup Aleksandria
ditetapkan menjadi daftar baku Kitab Suci.

Catatan: karena penggunaan sumber terjemahan yang berbeda, ada perbedaan kanon
yang dipakai Gereja Katolik Roma dengan Gereja2 Protestan. GKR menggunakan daftar
kanon yang mengikuti alur Septuaginta (terjemahan PL dalam bahasa Yunani) yang lebih
panjang karena memuat 9 kitab yang oleh GKR disebut Deuterokanonika (kanon kedua).
Deuterokanonika tidak diakui sebagai bagian Kitab Suci oleh Gereja2 Protestan, yang
mengikuti kanon Yahudi sebagai sumber terjemahannya.

PROSES TERJADINYA ALKITAB:


Allah berfirman kepada manusia - Firman Allah diteruskan secara lisan dan turun-
temurun (Ul. 6:4-9) -> mulai dituliskan dalam gulungan2 kertas -> disusun menjadi suatu
kanon Yahudi.
Muncul kembali kitab-kitab yang ditulis pada zaman Gereja Perdana -> disusun menjadi
suatu kanon Kristen.
Kedua kanon itu digabungkan -> Alkitab.

SIFAT ALKITAB
Dalam membaca Alkitab, ada dua sifat Alkitab (PL & PB) yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kanonik (kanon = patokan, ukuran). Artinya adalah bahwa Alkitab adalah patokan
yang cukup, yang sudah diukur bagi iman yang benar. Melalui Alkitab, kita sudah dapat
mengenal iman di dalam Yesus Kristus (2 Tim. 3:15). Oleh karena itu, Alkitab tidak
dapat ditambahi, sekalipun dalam perjalanan waktu ada penemuan2 baru tentang kitab2
yang berasal dari zaman gereja mula-mula. Misalnya: saat ini di dunia sedang heboh
perihal penemuan Injil Yudas (Iskariot). Injil Yudas yang berasal dari k.l. tahun 150 M
(abad ke-2 M) itu menggambarkan sosok Yesus dan Yudas dengan cara yang berbeda
dengan keempat Injil yang ada. Setelah diteliti, ternyata Injil Yudas sangat terpengaruh
oleh filsafat Yunani aliran Gnostik, yang berbeda dengan iman Kristiani kita tentang
sosok Yesus. Terlepas dari apakah kitab baru itu cocok atau tidak dengan iman Kristiani
kita, ia tetap tidak dapat masuk dalam kanon Alkitab kita. Alkitab juga tidak dapat
dikurangi, sekalipun dalam Alkitab ada kitab yang "dirasa" kurang cocok masuk kanon,
seperti Kitab Kidung Agung yang jika dilihat dari sudut tertentu terkesan berbau
pornografi dan Kitab Ester yang tidak sekalipun menyebut kata Tuhan/ Allah. Mengapa
Alkitab tidak dapat ditambah atau dikurangi? Karena Alkitab kita sudah cukup sebagai
patokan iman yang benar (2 Tim. 3:15).
2. Kesatuan. Artinya adalah bahwa Alkitab harus dipahami secara utuh (ada keterkaitan
antara ayat/perikop/pasal/kitab yang satu dengan ayat/perikop/pasal/kitab sesudah dan
sebelumnya), tidak boleh parsial (sebagian-sebagian). Misalnya: baptisan air dan baptisan
Roh. Saat ini, ada gereja2 yang begitu menekankan baptisan Roh selain baptisan air,
bahkan menganggap baptisan Roh lebih mumpuni. Hal itu disebabkan karena pembacaan
yang tidak utuh terhadap Alkitab. Dalam Alkitab kita melihat ada 2 hal tentang baptisan
air dan baptisan Roh: (a) Ada jemaat yang mula-mula menerima baptisan air lalu
menerima baptisan Roh (Kis.8:16-17); (b) Ada yang mula-mula menerima baptisan Roh
lalu menerima baptisan air (Kis.10:44-47).
Tindakan Gereja Purba ini menunjukkan belum adanya ketertiban dalam baptisan yang
satu dan utuh. Dalam perkembangan selanjutnya, kita melihat adanya ketetapan yang
utuh dan satu mengenai baptisan (Ef.4:5; 1 Kor.12:13) karena hal itu disesuaikan dengan
baptisan Yesus (Luk.3:21-22 dan paralelnya) serta baptisan Paulus (Kis.9:17-18).
Tindakan Gereja Purba yang lebih kemudian ini menunjukkan ditetapkannya satu
baptisan secara utuh sesuai dengan amanat Yesus (Mat.28:18-20). Demikian pula ketika
kita mau memahami tentang topik lainnya, spt: bahasa roh, poligami, perceraian, maka
sifat kesatuan itu tidak boleh diabaikan.
Sifat kesatuan dari Alkitab ini juga hendak mengingatkan kita agar menghindari cara
penafsiran yang keliru terhadap Alkitab. Secara umum, ada 2 cara penafsiran yang
berkembang sampai saat ini, yakni: (1) eisegesis (penafsiran dengan memasukkan ke
dalam teks Alkitab arti yang sesuai dengan kemauan (dan kepentingan) penafsir itu
sendiri dan (2) dan dan yang seharusnya dijalani adalah penafsiran eksegesis dengan
mengeluarkan dari dalam teks Alkitab arti atau pesan yang mau disampaikan penulis teks
tersebut.
Cara penafsiran kedualah yang bisa dan biasa dikembangkan oleh GKI. Selamat
memahami, membaca dan melakukan firman Tuhan dalam Alkitab!

Sumber : ARSIP GKI Kayu Putih Jakarta Timur.

You might also like