Professional Documents
Culture Documents
ALA GONTOR
Muhammad Farkhan1
Abstract: This qualitative research tries to explore the integrative
English teaching developed by Pondok Modern Gontor (PMG). As a boarding school, PMG
has already developed a unique model of English teaching. It provides both formal and
informal language environment. Formally, PMG adops and synthesizes very up to date
language theories and language learning theories as bases for conducting teaching and
learning activities. Informally, PMG creates a condusive environment where the learners are
enforced to use English as their everyday communication. Wherever and whenever they go to
or stay in the campus, they have to use their English.
Pengajaran bahasa Inggris tidak dapat dilakukan secra baik kecuali dengan
memperhatikan beberapa faktor pendukung, seperti metode dan lingkungan kebahasaan yang
kondusif. Metode meliputi tiga komponen pengajaran yang saling terkait, yakni pendekatan,
desain, dan prosedur. Pendekatan merupakan seperangkat teori bahasa dan belajar bahasa
yang mendasari suatu program pengajaran bahasa (Richards dan Rogers, 1986:15).
Bagaimana model pengajaran yang akan dikembangkan guru banyak dipengaruhi oleh
pendekatan yang dipedomani. Berbeda dengan pendekatan yang berhubungan dengan aspek
teoretis dan filosofis, desain pengajaran lebih banyak berkaitan dengan aspek perencaan
pengajaran bahasa. Desain dapat didefinisikan sebagai seluruh perencanaan pengajaran yang
meliputi perumusan tujuan, pengembangan silabus, penyusunan bahan pelajaran, peran siswa,
peran guru, dan peran bahan pelajaran (Huda, 1989: 296). Desain inilah yang membantu guru
menentukan langkah-langkah konkret dalam pengajaran bahasa yang biasanya disebut
dengan prosedur. Dengan kata lain prosedur merupakan tahapan implementatif yang
berhubungan dengan apa yang dilakukan guru dan siswa, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas, untuk mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.
Selain metode, aspek lain yang memiliki andil dan peran besar dalam keberhasilan
pengajaran bahasa adalah lingkungan kebahasaan. Lingkungan kebahasaan berkaitan erat
dengan latar dan peran suatu bahasa berkenaan dengan peran dan status bahasa-bahasa lain
dalam suatu kelompok masyarakat. Secara sederhana, lingkungan kebahasaan dapat diartikan
sebagai status yang diperoleh oleh suatu bahasa sebagai bahasa pertama, kedua, atau asing
(Dubin dan Olhstain, 1985: 7). Adapun pada tataran yang lebih sempit, lingkungan kebahasaan
merupakan situasi atau tempat yang memungkinkan siswa dapat memperoleh kesempatan
untuk menggunakan bahasa sasaran sebagai alat komunikasi. Lingkungan tersebut tidak saja
mencakup lingkungan kebahasaan formal yang banyak terjadi di dalam kelas, tetapi juga
meliputi lingkungan kebahasaan informal yang banyak
1Muhammad Farkhanadalah dosen bahasa Inggris pada fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta
2
berlangsung di luar kelas (Ellis, 1999: 214). Kedua lingkungan kebahasaan tersebut tidak
tersedia atau tercipta dengan sendirinya, tetapi harus secara sengaja diciptakan sedemikian rupa
sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman berbahasa Inggris sebagaimana mestinya, bukan
pengalaman berbahasa Inggris yang bersifat artifisial.
mampu mengembangkan
metode pengajaran bahasa yang baik, tetapi, tidak semua lembaga pendidikan mampu
menyediakan lingkungan kebahasaan, khususnya lingkungan kebahasaan informal. Ketidak-
mampuan itu disebabkan oleh beberapa keterbatasan dan kendala yang memang sulit untuk
dihindari, seperti kehidupan sosial yang tidak menunjang penggunaan bahasa Inggris sebagai
alat komunikasi utama, pengawasan yang lemah terhadap penggunaan bahasa Inggris; fasilitas
dan sarana lain yang kurang memadai; dan tidak adanya penegakan disiplin penggunaan bahasa
Inggris dalam interaksi komunikatif harian. Salah satu lembaga pendidikan yang berhasil
mengembangkan metode pengajaran bahasa Inggris yang efektif dan menyediakan lingkukngan
kebahasaan yang kondusif adalah Pondok Modern Gontor. Keberhasilan lembaga tersebut
dapat dilihat dari para lulusannya yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris relatif lebih
baik daripada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan lainnya. Keberhasilan tersebut
dapat dilihat dari kemampuan mereka berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Mereka dapat
menggunakan bahasa Inggris, baik secara pasif maupun aktif, dalam berbagai kegiatan
komunikasi yang dilakukan.
Pandangan dan keyakinan lembaga tersebut mengenai bahasa Inggris dan bagaimana
seharusnya pengajaran bahasa itu dilakukan, telah cukup lama diyakini dan diimplementasikan
dalam berbagai macam kegiatan belajar dan penyediaan lingkungan kebahasaan yang kondusif.
Akhirnya, keyakinan dan usaha-usaha yang terus-menerus dilakukan lembaga tersebut untuk
membantu siswa menguasai bahasa Inggris membentuk suatu model pengajaran bahasa Inggris
yang berciri khas Gontor. Bagaimana lembaga tersebut mengembangkan pengajaran bahasa
Inggris yang terpadu menarik minat peneliti untuk mengadakan kajian yang lebih mendalam,
sehingga diperoleh gambaran yang sebenarnya mengenai pendekatan, desain, prosedur, dan
lingkungan kebahasaan yang dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas, pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini difokuskan
pada “Bagaimanakah Pondok Modern Gontor (PMG) mengembangan pengajaran bahasa
Inggris terpadu?”. Secara spesifik pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: (1) Pendekatan
manakah yang mendasari pengembnagan pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG?; (2)
Bagaimanakah PMG mengembangkan desain pengajaran bahasa Inggris terpadu?; (3)
Bagaimanakah PMG mengembangkan prosedur pengajaran bahasa Inggris terpadu?; dan (4)
lingkungan kebahasaan kondusif yang disediakan.
Metode Penbelitian
3
Sesuai dengan pokok masalah yang dibahas, penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi, di mana data yang dibutuhkan digali dengan
memanfaatkan diri sendiri sebagai alat pengumpul data melalui kegiatan pengamatan
berperanserta dan wawancara (Marshall dan Rossman, 1989: 79) dengan beberapa informan
yang ditentukan dengan teknik bola salju. Selain itu, untuk melengkapi data yang diperoleh,
peneliti juga memanfaatkan beberapa sumber data tertulis seperti karangan siswa, autobiografi,
kurikulum, buletin, daftar kosakata, majalah tahunan, dan buku teks; dan sumber data
taktertulis yang berbentuk lukisan siswa, gambar-gambar, dan foto kegiatan siswa.
Karena satuan kajiannya berupa lembaga pendidikan yang berbentuk asrama, peneliti
dapat berinteraksi langsung dengan para reponden/informan sehingga data yang diperoleh
benar-benar akurat. Data tersebut diolah secara langsung di lapangan melalui empat tahapan
analisis yang diselingi dengan pengumpulan data, yaitu: analisis ranah; taksonomi; komponen;
dan tema. Adapun untuk menguji keabsahan data, penelitian ini menggunakan beberapa cara,
yakni perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, uraian rinci, dan
auditing
Pembahasan hasil penelitian ini mengikuti unsur-unsur yang membangun metode yakni,
pendekatan, desain, prosedur, dan lingkungan kebahasaan dengan berbagai hal yang
terkandung di dalamnya.
Pendekatan
Pendekatan dalam pengajaran bahasa Inggris berhubungan erat dengan teori bahasa dan
teori belajar bahasa. Kedua teori tersebut memiliki peran yang sangat strategis di dalam
penentuan aspek-aspek pengajaran bahasa Inggris, seperti desain, prosedur, dan penyediaan
lingkungan kebahasaan yang mendukung. Berkaitan dengan teori bahasa, PMG meyakini
bahwa bahasa Inggris merupakan alat komunikasi internasional yang dipakai oleh masyarakat
secara luas dalam berbagai kegiatan komunikasi lisan dan tulis. Bahasa Inggris, dalam hal ini,
dilihat dari sisi fungsi-fungsi komunikatif bahasa itu yang digunakan untuk menyampaikan
gagasan, maksud, dan perasaan seseorang kepada orang lain. Pandangan tersebut sejalan
dengan teori bahasa fungsional yang memandang bahasa sebagai alat yang digunakan untuk
mengungkapkan fungsi-fungsi komunikatif bahasa yang lebih banyak dipengaruhi oleh situasi
atau konteks tempat terjadinya peristiwa komunikasi (Halliday, 1978: 18). Menegaskan
substansi teori bahasa fungsional, Purwo (1988; 232) mengatakan bahwa bahasa lebih tepat
dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan atau ditindakkan
dengan bahasa (fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat diungkapkan melalui
bahasa (nosi), tetapi bukannya berkenaan dengan butir-butir bahasa.
4
lingkungan dan bahasanya sendiri; sedangkan fungsi imajinatif berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk membuat atau menghasilkan karya-karya sastra yang indah.
Sesuai dengan pandangan tersebut pengajaran bahasa Inggris di PMG diarahkan pada
pengembangan kemampuan menggunakan bahasa Inggris untuk maksud-maksud tertentu, atau
apa yang dapat dilakukan seorang siswa dengan bentuk-bentuk bahasa Inggris yang digunakan
dalam komunikasi. Oleh karena itu, dalam pengajaran gramatika dan keterampilan berbahasa
siswa tidak diarahkan untuk menguasai komponen bahasa dan keterampilan tersebut, tetapi
diarahkan untuk memiliki kemampuan bagaimana menggunakan komponen dan keterampilan
berbahasa Inggris untuk menyampaikan maksud-maksud atau pesan-pesan kepada orang lain
dalam kegiatan komunikasi. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa di PMG komponen
bahasa dan keterampilan berbahasa Inggris masih diberikan kepada siswa melalui kegiatan
formal di kelas-kelas, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga siswa dapat menggunakannya
dalam kegiatan komunikasi harian dengan siswa lain. Apa yang siswa peroleh di dalam kelas
dapat digunakan dalam kegiatan komunikasi harian karena lingkungan pondok memungkinkan
siswa untuk memperoleh pengalaman berbahasa Inggris sesuai dengan konteksnya. Mengenai
hal ini, Stern (1992: 178). menjelaskan bahwa kemampuan menggunakan aspek-aspek
gramatikal bahasa untuk mengungkapkan makna atau fungsi-fungsi komunikatif bahasa secara
tepat diperoleh melalui pemahaman seseorang mengenai situasi tempat terjadinya peristiwa
komunikasi Selain itu apa yang dilakukan PMG untuk menyelaraskan pengajaran unsur-unsur
bahasa, seperti gramatika dan kosakata bahasa Inggris dengan konteks penggunaannya di luar
kelas tidak berbeda dengan pandangan Wilkins (1979: 83) yang menyarankan agar bahan
pelajaran yang berbentuk unsur-unsur bahasa harus selalu dikaitkan dan lekat dengan konteks
penggunaannya supaya siswa dapat memperoleh pengalaman menggunakan bahasa sasaran
secara benar. Jika diperhatikan secara seksama, pandangan yang berbunyi
Aplikasi teori belajar tersebut dapat dilihat melalui cara bagaimana guru-guru
memainkan peran-peran mereka, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru-guru di PMG
selalu bertindak sebagai model yang memberikan contoh kepada siswa bagaimana
menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Dengan contoh yang diberikan guru
tersebut siswa merasa terdorong dan termotivasi untuk mengikuti atau mencontoh bagaimana
menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Memperkuat contoh yang diberikan,
guru-guru bahasa Inggris secara terus-menerus memberikan nasehat- nasehat yang dapat
menyemangati siswa untuk belajar bahasa Inggris, dan hal itu sangat berpengaruh pada
penumbuhan sikap positif siswa terhadap bahasa Inggris dan motivasi belajar mereka. Selain
itu, untuk menjaga sikap, minat, dan motivasi belajar siswa tetap tinggi, guru-guru seringkali
menghindari pemberian perlakuan yang merendahkan martabat siswa. Oleh karena itu, di
dalam mengoreksi kesalahan berbahasa siswa, guru-guru selalu berusaha untuk
memperlihatkan dimana letak kesalahan yang dibuat, dan menghindari perlakuan yang
cenderung menyalahkan siswa. Apa yang dilakukan di atas menunjukkan betapa penting aspek
afektif dalam belajar bahasa. Menurut Nunan (1991: 234) jika faktor-faktor afektif, seperti
sikap, motivasi dan minat diperhatikan dengan baik sesuai
6
dengan lingkungan belajar yang tersedia, pengajaran bahasa Inggris yang berhasil dapat
diwujudkan.
Selain teori belajar kognitivisme dan humanisme, dalam pandangan guru-guru PMG,
pengajaran bahasa Inggris yang baik akan terwujud bila didukung oleh penyediaan lingkungan
bahasa; penegakan disiplin berbahasa; dan pemberian kesempatan yang luas kepada siswa
untuk menggunakan bahasa sasaran. Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan
pentingnya aspek lingkungan dan kebiasaan dalam pengajaran bahasa Inggris, yang tentunya
tidak bertentangan dengan teori belajar bahasa Behaviorisme. Adapun bentuk kegiatan belajar
bahasa Inggris di PMG yang menerapkan teori belajar itu adalah pembentukan
kebiasaan(conditioning), latihan(drilling), dan belajar menemukan sendiri(discovery learning)
atau coba-coba salah(trial and error). Latihan dapat dijumpai pada kegiatan pengenalan
kosakata dan ujaran bahasa Inggris yang dilakukan oleh penggerak bahasa asrama setiap selesai
sholat shubuh. Pada kegiatan itu penggerak bahasa memperkenalkan kosakata dan ujaran baru
secara berulang-ulang dan diikuti secara serentak oleh seluruh siswa. Pengulangan dianggap
cukup bila siswa telah dapat mengucapkan kosakata adan ujaran baru tersebut sesuai dengan
kaidah yang benar. Setelah itu, penggerak bahasa juga menerangkan makna dan cara
penggunaannya melalui contoh- contoh kalimat yang diberikan siswa atau yang telah
dipersiapkan, dan meminta siswa untuk mengembangkan atau memberikan contoh-contoh
kalimat yang menggunakan kosakata dan ujaran-ujaran yang telah diperkenalkan. Mengenai hal
itu, Larsen-Freeman (1986: 43) menjelaskan bahwa latihan, seperti substitusi, dan transformasi
dilakukan melalui pola-pola kalimat yang muncul dalam dialog, dan respons siswa yang benar
diberi penguatan sehingga terjadi pembentukan kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan yang memiliki peran strategis dalam pengajaran bahasa Inggris
di PMG adalah penerapan disiplin berbahasa dan penciptaan lingkungan kebahasaan yang
kondusif. Penerapan disiplin berbahasa Inggris menuntut seluruh siswa untuk menggunakan
bahasa Inggris sebagai alat komunikasi keseharian yang didukung oleh lingkungan yang
sengaja diciptakan untuk memberi-kan kesempatan kepada siswa menggunakan bahasa Inggris.
Penegakan disiplin berbahasa Inggris di PMG dilakukan melalui peraturan yang mengikat
seluruh warga pondok untuk menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai alat
komunikasi secara bergantian setiap dua minggu sekali. Pada masa dua minggu pertama
seluruh siswa harus menggunakan bahasa Inggris. Dimana saja siswa berada, kapan saja siswa
berkomunikasi, dan dengan siapa saja siswa berkomunikasi, penggunaan bahasa Inggris
merupakan suatu keharusan. Jika tidak menggunakan bahasa Inggris, siswa akan mendapatkan
hukuman dalam bentuk tugas-tugas kebahasaan atau tugas penegakan disiplin berbahasa.
Penegakan disiplin berbahasa di PMG relatif berhasil karena lingkungan yang disediakan
pondok sangat mendukung pemberlakuan disiplin tersebut. Dengan penciptaan kondisi seperti
itu, siswa secara terus- menerus berusaha untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai alat
komunikasinya sehingga terbentuk suatu kebiasaan berbahasa Inggris. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi keseharian bagi seluruh
siswa merupakan kebiasaan yang dihasilkan oleh penerapan disiplin berbahasa Inggris dan
penyediaan
Desain
7
Apa yang telah ditetapkan dalam pendekatan, baik yang berhubungan dengan teori
bahasa maupun teori belajar bahasa, memberikan PMG sumber inspirasi dalam penentuan
tujuan pengajaran yang ingin dicapai, silabus dan pengembangan bahan pelajaran, peran guru,
peran siswa, peran bahan pelajaran, serta prosedur pengajaran bahasa di dalam kelas, dan
tahapan seperti itu biasanya disebut dengan desain. Desain diperlukan agar supaya asumsi-
asumsi teoretis yang berkaitan dengan bahasa dan belajar bahasa dapat diwujudkan dalam
bentuk kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas.
Setiap matapelajaran memiliki tujuan dan harapan yang harus dicapai oleh siswa setelah
selesai mengikuti pelajaran tersebut, begitu juga dengan pelajaran bahasa Inggris di PMG.
Tujuan pelajaran bahasa Inggris di PMG meliputi pengembangan kemampuan agar siswa
mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara baik dan benar; membaca naskah-naskah
yang berbahasa Inggris; mengembangkan wawasan; memiliki bekal yang cukup untuk terjun ke
dalam masyarakat; dan melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi. Di antara tujuan-
tujuan tersebut, agar mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara baik dan benar dapat
dianggap sebagai tujuan utama dari pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG. Tujuan itu
sejalan dengan tujuan pengajaran bahasa Inggris komunikatif, yakni pengembangan
kemampuan komunikatif. Mengenai hal ini,
Huda
(1999: 93) mengatakan “Proponents of CLT claim that the teaching objective is the
development of communicative competence, that is the ability to use English for
communication in real life situations as opposed to classroom situations .Siswa, dalam
hal ini, tidak hanya dituntut untuk menghasilkan bentuk-bentuk bahasa yang benar secara
gramatikal saja; tetapi justru diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk menggunakan
bentuk-bentuk bahasa tersebut sesuai dengan tujuan komunikasi. Dengan kata lain kemampuan
komunikatif ini merupakan kemampuan untuk menyelaraskan bentuk-bentuk bahasa dengan
berbagai masukan, baik yang bersifat linguistik maupun nonlinguistik (Hadley, 1993: 4). Untuk
menguasai kemampuan tersebut, seorang siswa harus memiliki empat kemampuan. Pertama,
kemampuan untuk menghasilkan dan membedakan bentuk- bentuk bahasa yang gramatikal,
misalnyaI teach English everyday dan *She is having a
big car. Kedua, kemampuan untuk menghasilkan bentuk-bentuk bahasa yang layak. Suatu
kalimat yang terdiri dari beberapa kata dapat dianggap gramatikal, tetapi bila dikaji dari sisi proses
bagai-mana kalimat itu dibuat atau dihasilkan, kalimat tersebut dianggap tidak layak, misalnya
*The mouse the cat the dog the man the woman married beat chased ate
had a white tail. Jadi, kelayakan berkaitan dengan proses bagaimana kalimat itu dihasilkan
oleh akal pikiran seseorang. Ketiga, kemampuan untuk mengahasilkan bentuk-bentuk bahasa
yang tepat dan sesuai dengan konteksnya, misalnya *my baby is funny. Suatu kalimat bisa
saja dianggap layak dan gramatikal, tetapi kalimat tersebut kurang atau bahkan tidak tepat.
Keempat, kemampuan yang berhubungan dengan pengetahuan apakah makna yang terkandung
dalam suatu kalimat itu benar-benar terjadi atau tidak. Suatu kalimat dapat saja layak, tepat, dan
gramatikal, tetapi tidak terjadi, misalnya *The king of
Pencapain tujuan pengajaran bahasa Inggris tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi
melalui suatu proses yang melibatkan beberapa kegiatan, antara lain pemilihan dan pengurutan
bahan pelajaran yang biasanya dinamakan dengan silabus. Di PMG, silabus dipandang sebagai
pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar selama periode tertentu.
Pandangan tersebut menunjukkan bahwa silabus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kurikulum sebagai keseluruhan program sekolah, termasuk di dalamnya bahan pelajaran yang
harus disampaikan kepada siswa pada level tertentu. Oleh karena itu, silabus harus berisikan
penjelasan yang rinci dan operasional mengenai berbagai unsur pengajaran sebagai pedoman
bagi guru untuk untuk mewujudkan
apa yang terkandung dalam kurikulum ke dalam bentuk seperangkat langkah-langkah untuk
mencapai tujuan pengajaran khusus sesuai dengan tingkatan siswa. Pengertian silabus seperti itu
juga ditekankan oleh Dubin dan Olshtain (1985: 35) yang mengatakan “A syllabus is a more
detailed and operational statement of teaching and learning
elements which translates the philosophy of the curriculum into a series of planned steps
leading towards more narrowly defined objectives at each level. Penjelasan rinci dan
operasional, menurut Rogers (1989: 26), dapat berbentuk materi pelajaran yang harus diberikan
kepada siswa pada suatu progam pengajaran. Apa isi materi pelajaran dan bagaimana
menyampaikannnya kepada siswa merupakan silabus.
yang berusaha
untuk menjembatani antara pengajaran bahasa yang menekankan aspek gramatika bahasa
dengan pengajaran bahasa yang menitikberatkan pada aspek penggunaan bahasa sebagai alat
komunkasi. Model silabus itu tetap mempertahan pemisahan antara bahan pelajaran yang
berupa komponen kebahasaan, seperti gramatika dan kosakata dengan bahan pelajaran yang
berbentuk fungsi-fungsi komunikatif bahasa (Yalden, 1983: 110). Model silabus itu dianggap
relatif lebih mudah diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas karena
penyampaian materi komponen kebahasaan dilakukan secara terpisah sebelum fungsi-fungsi
komunikatif diberikan. secara terpisah sebelum fungsi-fungsi komunikatif diberikan.
Sebagai upaya pembumian silabus di dalam kelas, guru-guru bahasa Inggris di PMG
mengembangkan berbagai macam kegiatan belajar yang lebih banyak berorientasi pada siswa
daripada guru. Siswa memiliki peran yang lebih dominan daripada guru. Kegiatan belajar
bahasa Inggris yang sering dikembangkan di dalam kelas adalah wawancara atau dialog
antarsiswa; bertanya-jawab; mendengarkan keterangan guru; menerjemahkan dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia; membuat ringkasan dari majalah atau artikel beerbahasa
Inggris; memanggil orang asing; mengerjakan tugas/latihan; membuat karangan atau tulisan
dalam bahasa Inggris; bermain peran; dan kerja kelompok. Selain itu, untuk menunjang
kegiatan belajar di dalam kelas, PMG memfasilitasi siswanya dengan berbagai kegiatan belajar
yang dapat dilakukan di luar kelas. Adapun kegiatan belajar yang sering dilakukan adalah
mengikuti English club atau kursus; berdiskusi dengan teman tentang materi pelajaran;
membaca koran dan majalah berbahasa Inggris; melihat atau membuka internet; mencatat dan
mengkaji kosakata yang diberikan di asrama; mencatat dan mengkaji kosakata yang terdapat di
zona-zona tertentu; mendengarkan berita berbahasa Inggris di radio; mendengarkan dan
memahami lagu-lagu berbahasa Inggris; membuat karangan untuk majalah dinding dalam
lomba kebahasaan antarasrama; bermain drama; mengikuti latihan pidato berbahasa Inggris;
mengikuti diskusi bahasa Inggris; mengikuti latihan muhadatsah atau conversation; belajar
bersama bahasa Inggris; dan masuk laboratorium bahasa.
10
Secara umum kegiatan belajar bahasa Inggris yang dikembangkan guru-guru PMG telah
memenuhi beberapa ciri belajar bahasa Inggris komunikatif (Richards dan Rogers, 1986: 72)
seperti berikut.
Kegiatan belajar bahasa Inggris, sebagaimana yang telah dikembangkan PMG, lebih
mangarah pada upaya pengembangan kemampuan komunikatif daripada hanya sekedar
menguasai bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta kaitannya
dengan konteks tempat bentuk dan makna itu dipakai. Tentu saja, orientasi itu berdampak pada
keragaman peran siswa, guru, dan bahan pelajaran. Di PMG, siswa memiliki beberapa peran
yang mempermudah kegiatan belajar yang dikembangkan guru, seperti sebagai motivator bagi
siswa-siswa lain; sebagai partner bagi siswa-siswa lain; membantu siswa yang mendapatkan
kesulitan dalam belajar (fasilitator); dan memonitor bahasa Inggris yang digunakan siswa-siswa
lain (monitor). Peran-peran tersebut muncul sebagai akibat dari kegiatan belajar yang
dikembangkan PMG yang cenderung mengarah pada pengajaran yang terpusat pada siswa.
Kegiatan belajar tersebut membuka peluang yang lebar bagi siswa untuk memainkan perannya
secara lebih bebas guna memperoleh pengalaman berbahasa Inggris sesuai dengan konteks
yang sebenarnya. Tidak berbeda dengan siswa, dalam kegiatan belajar guru juga memiliki
peran tertentu yang tidak jauh berbeda dengan peran-peran yang dimainkan siswa. Di PMG,
peran-peran yang dapat dimainkan guru dalam kegiatan belajar bahasa Inggris adalah
memberikan contoh bagaimana berbahasa Inggris yang baik(model); memberikan motivasi
supaya siswa senang belajar bahasa Inggris(motivator); memfasilitasi siswa dalam belajar
bahasa Inggris(fasilitor); menjadi partner dalam kegiatan belajar; mengevaluasi bahasa Inggris
siswa(evaluator); dan memantau penggunaan bahasa Inggris siswa(monitor). Peran-peran
tersebut lahir sebagai akibat yang takterelakkan dari penyelenggaraan kelas bahasa komunikatif
yang terpusat pada siswa (Bolithio, 1990: 27).
11
Bahan pelajaran merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam kegiatan
pengajaran bahasa. Oleh karena itu, bahan pelajaran harus dipersiapkan sedemikian rupa
sehingga mampu dengan baik memainkan peran utamanya sebagai pemermudah kegiatan
belajar. Untuk memainkan peran tersebut, bahan pelajaran yang digunakan dalam kegiatan
belajar tidak hanya berbentuk buku pegangan atau buku teks, tetapi mencakup segala sesuatu
yang dapat dimanfaatkan guru dan siswa untuk memfasilitasi kegiatan belajar, atau paling tidak
dapat dimanfaatkan guru untuk memberikan pengalaman kepada siswa bagaimana
menggunakan bahasa sasaran sebagaimana mestinya. Guru-guru bahasa Inggris di PMG
biasanya menggunakan koran, majalah, video, dan bahkan mengahadirkan penutur asli di
dalam kelas untuk menjadi mitra dalam diskusi kelompok atau kegiatan belajar lainnya.
Mengenai hal ini, Tomlinson (1998: 2) mengatakan “Materials could obviously be
cassets, vidioes, CD-roms, dictionaries, grammar book, readers, work book, or photocopied
exercises. They could also be newspapers, food packages, photographs, live talks by invited
native speakers, instruction given by a teacher, tasks written on cards or discussion between
leaners.
Prosedur
kegiatan memiliki tujuan dan aktivitas yang berbeda-beda. (Hadley, 1993: 374). Kegiatan
pendahuluan merupakan kegiatan belajar yang dirancang untuk melihat kesiapan siswa dalam
menghadapi materi pelajaran baru. Di PMG, kegiatan pendahuluan biasanya mencakup
beberapa kegiatan, seperti mereview kembali pelajaran yang telah diberikan sebelumnya
dengan menanyakan kembali pelajaran yang lalu; menjelaskan tema/topik yang akan dipelajari;
dan melontarkan beberapa pertanyaan berkaitan dengan topik yang akan dibahas.
Kegiatan akhir merupakan seluruh kegiatan yang dikembangkan guru untuk mengetahui
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Di PMG, kegiatan inti yang
dikembangkan guru-guru bahasa Inggris adalah mengecek kembali pemahaman siswa
mengenai pelajaran yang baru diberikan; memberikan tugas/PR untuk dikerjakan di kamar; dan
menjelaskan kembali pelajaran yang telah diberikan. Untuk mengetahui seberapa jauh
pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah dipelajari, guru-guru di PMG memberikan
beberapa pertanyaan lisan. Bila mendapatkan kesulitan yang dihadapi siswa, guru menerangkan
kembali secara ringkas sesuai dengan
12
permasalahan yang ada; dan untuk memantabkan pemahaman siswa, guru memberikan
pekerjaan tambahan yang harus dikerjakan siswa di asrama masing-masing.
Lingkungan Kebahasaan
Lingkungan kebahasaan(language environment) merupakan salah satu faktor yang turut
menentukan keberhasilan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing.
Lingkungan kebahasaan ini sangat terkait dengan kebijaksanaan suatu lembaga pendidikan atau
bahkan pemerintah terhadap bahasa itu sendiri, apakah bahasa tersebut dinyatakan sebagai
bahasa pertama, bahasa kedua, atau bahasa asing. Kebijakan itu menjadi sesuatu yang sangat
penting dan strategis yang dapat menentukan sejauhmana bahasa itu digunakan sebagai alat
komunikasi, dan bagaimana bahasa itu dipelajari di sekolah- sekolah.
1. Pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG dilandasi oleh teori bahasa fungsional dan
interaksional yang dipadukan dengan teori belajar bahasa kognitivisme, behaviorisme, dan
humanisme.
2. Tujuan utama pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG adalah pengembangan kemampuan
komunikatif bahasa Inggris yang dicapai melalui pengembangan silabus penekanan beragam
Untuk merealisasikan hal tersebut, dikembangkan berbagai macam kegiatan belajar dengan
bahan pelajaran autentik dan nonautentik, sehingga siswa yang memiliki peran yang lebih
dominan daripada guru dapat memperoleh pengalaman berbahasa Inggris yang sebenarnya.
3. Secara umum proses pengajaran bahasa Inggris di dalam kelas dapat dibedakan menjadi tiga
tahap. Kegitan pendahuluan dimaksudkan untuk melihat kesiapan siswa dalam belajar; kegiatan
inti digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran; dan kegiatan akhir digunakan untuk
melihat sejauhmana siswa menguasai materi yang telah dipelajari.