You are on page 1of 20

Sekretariat Negara Republik Indonesia

Kebijakan Pangan, Peran Perum Bulog, dan Kesejahteraan Petani


Selasa, 25 Maret 2008

Mustafa Abubakar

Direktur Utama Perusahaan Umum


Bulog.

Posisi
dan peran Bulog sebagai salah satu operator dalam upaya mewujudkan ketahanan
pangan yang tangguh dan meningkatkan kesejahteraan petani, menghadapi berbagai
kendala. Dalam membahas ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani,
banyak pertanyaan yang muncul, antara lain (1) mengapa perlu memperkuat
ketahanan pangan dan bagaimana cara memperkuatnya, baik pada tingkat rumah
tangga maupun tingkat nasional? (2) apa kaitan antara produksi pangan dalam
negeri dengan kesejahteraan petani? (3) bagaimana perubahan lingkungan strategis
akan mempengaruhi ketahanan pangan? (4) apa peran Perum Bulog dalam memperkuat
ketahanan pangan? (4) mengapa Bulog perlu berubah serta kemana arah perubahan
tersebut?

Beras dan Ketahanan Pangan

Pangan merupakan
kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk
memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut
dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan
tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan
dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting
bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial
dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis
ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan
Pemerintah yang sedang berkuasa.

Bagi Indonesia, pangan diidentikkan


dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman
telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti
meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang
berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang
membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Nilai strategis beras
juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting. Beras memiliki
pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan
dan dinamika ekonomi pedesaan), lingkungan (menjaga tata guna air dan udara
bersih) dan sosial politik (perekat bangsa, ketertiban dan keamanan). Beras juga
merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak, dan
vitamin.

Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah


selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangannya dari produksi dalam
negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena
jumlah penduduknya semakin membesar dengan sebaran populasi yang luas dan
cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan ketersediaan
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria kecukupan
konsumsi maupun persyaratan operasional logistik. Kegiatan pengelolaan pangan
oleh Pemerintah seringkali mendapat kritik karena adanya ketidak-sempurnaan
kegiatan-kegiatan intervensi itu sendiri baik yang disebabkan oleh kelemahan
dalam proses penyusunan kebijakannya maupun karena akibatnya yang akan
menimbulkan distorsi pasar. Intervensi akan dianggap reasonable kalau dilakukan
dalam keadaan defisit pangan atau jika terjadi surplus produksi yang berlebihan,
dan jika infrastruktur pemasaran dan kelembagaan tidak cukup berkembang dan
kompetitif untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Kemudahan
mewujudkan ketersediaan pangan, stok pangan dunia yang tersedia dalam jumlah
besar serta kemungkinan alternatif baru bentuk program stabilisasi harga,
mendorong berbagai pihak untuk selalu mengevaluasi kembali kebijakan pangan
Pemerintah.

Indonesia, seperti negara berkembang yang lain, sejak lama


telah menetapkan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan
nasional. Sampai sekarang pun, tujuan itu masih dilanjutkan seperti yang
tertuang dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005) dan
RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional: 2004-09).

Produksi Beras dan Kesejahteraan Petani

Karakteristik
produksi pangan (beras) mempunyai ketimpangan antartempat dan waktu serta
diproduksi oleh jutaan produsen yang sebagian besar adalah petani kecil, petani
tanpa tanah atau buruh tani. Produksi padi dihasilkan oleh jutaan petani dengan
luas lahan sempit yang dikelola secara tradisional dan subsistem secara turun
menurun. Dari aspek tempat, sebagian besar produksi padi dihasilkan di pulau
Jawa. Sedangkan dari aspek antarwaktu, 60% produksi beras dihasilkan pada
periode Januari-Mei, 30% pada periode Juni-Agustus dan 10% pada periode
September-Desember.

Selama sepuluh tahun terakhir, produksi Gabah Kering


Giling (GKG) mengalami peningkatan dengan laju peningkatan sebesar 1,12% per
tahun. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh kenaikan produktivitas, yaitu dari
44,32 kuintal per hektar pada tahun 1997 menjadi 46,89 kuintal per hektar pada
2007. Di Jawa laju kenaikan produksi tidak sebesar laju kenaikan produksi
nasional, yaitu 0,67% per tahun dengan kenaikan produktivitas dari 51,81 kuintal
per hektar pada tahun 1997 menjadi 53,72 kuintal per hektar pada 2007. Namun
peningkatan produktivitas tersebut tidak seimbang dengan peningkatan konsumsi
akibat peningkatan jumlah penduduk.Â

Upaya peningkatan produksi padi


memperoleh kendala serius. Laju konversi lahan sawah ke non-pertanian cukup
besar, yaitu sekitar 110 ribu ha/tahun. Selama 10 tahun terakhir tidak terjadi
peningkatan luas panen yang signifikan karena pencetakan sawah baru hanya
sekitar 30-52 ribu ha/tahun. Mengembangkan areal sawah di luar Jawa juga tidak
gampang. Sementara sebagian besar lahan sawah yang sudah ada mengalami
kejenuhan dan keletihan (soil fatique).Â

Permintaan pangan
(beras) bersifat in-elastis, yang mengimplikasikan bahwa fluktuasi harga tidak
akan mengakibatkan perubahan yang besar pada permintaan. Permintaan cenderung
konstan antarwaktu. Dalam jangka panjang, permintaan meningkat, terutama karena
pertumbuhan populasi. Sementara itu, ketersediaan pangan penuh dengan
ketidakpastian. Hal ini mendorong Pemerintah melakukan intervensi dengan
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.

Penelitian usaha tani yang


dilakukan menunjukkan bahwa potensi kenaikan keuntungan usaha tani terutama
berasal dari pengadopsian teknologi baru (misalnya, benih unggul), perbaikan dan
pengembangan sistem irigasi, dan tersedianya pupuk dengan harga terjangkau.
Kenaikan produktifitas merupakan kunci utama untuk meningkatkan produksi. Dengan
harga gabah dan beras yang menarik dan stabil, petani padi harus mampu
mengurangi biaya produksi per kuintal gabah sehingga pendapatannya meningkat.
Peningkatan efisiensi dengan penggunaan input produksi yang lebih rasional dan
pengurangan susut pasca panen merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Selanjutnya, pengembangan lembaga ekonomi petani yang tangguh akan sangat
berarti dalam memperbaiki posisi tawar petani padi yang secara individual
biasanya sangat lemah.

Di samping upaya peningkatan produksi padi, dalam


upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani padi, petani perlu
didorong untuk mengembangkan berbagai kemungkinan komoditi pertanian lain (atau
diversifikasi usaha tani) yang secara ekonomis menguntungkan jika lahan
pertaniannya memungkinkan. Pengembangan pendapatan di luar usaha tani (off
farm income) juga akan sangat membantu peningkatan kesejahteraan petani
karena terbatasnya potensi pengembangan usaha tani. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan sektor pertanian akan mampu menurunkan
angka kemiskinan, namun tambahan pendapatan petani dari luar sektor pertanian
akan memberikan kemudahan bagi petani untuk keluar dari kondisi
miskinnya.

Untuk meningkatkan pendapatan petani, perlu terus dilanjutkan


kebijakan yang tidak terlalu bias untuk komoditi-komoditi. Dengan pertimbangan
kecilnya penguasaan lahan petani, kebijakan bias akan mengurangi kesempatan
petani untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kesejahteraan. Tantangan
kita ke depan adalah perlu terwujud pertumbuhan ekonomi yang lebih besar lagi
berpihak kepada upaya penanggulangan kemiskinan (pro-poor growth).
Mengingat sebagian besar rumah tangga miskin tergantung pada sektor pertanian
dan tinggal di pedesaan maka investasi pada berbagai infrastruktur pertanian,
seperti perbaikan kualitas lahan, perbaikan proses dan fasilitas pasca panen,
penguatan kelembagaan ekonomi petani dan sebagainya berdampak sangat nyata pada
pertumbuhan ekonomi dengan dampak pemerataan lebih besar.

Lingkungan Strategis

Permasalahan Kemiskinan dan


Ketenagakerjaan

Seseorang mengalami kekurangan pangan atau kelaparan


karena tidak adanya kemampuan untuk mempunyai cukup pangan. Di Indonesia,
kelaparan merupakan aspek yang paling menggambarkan kemiskinan. Miskin biasanya
merupakan predikat yang diberikan kepada mereka yang berpendapatan rendah.
Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan pangan
atau papan yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Beberapa definisi
kemiskinan disebutkan oleh beberapa pihak, antara lain oleh World Bank yang
menyebutkan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
standar hidup minimal dan merupakan kesenjangan dari hidup sederhana. Sementara
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah ketiadaan
kemampuan yang mendasar untuk hidup layak. Sedangkan dalam Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan, definisi kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat, termasuk hak
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

untuk memperoleh akses terhadap barang dan jasa.

Salah satu kunci


mengakhiri kemiskinan—yang juga disebut kemelaratan—adalah dengan melibatkan dan
memberi peran kepada keluarga miskin dalam pembangunan. Namun biasanya orang
miskin memiliki keterbatasan dalam hal kepemilikan dan akses sumber daya, modal,
infrastruktur, pengetahuan, dan kelembagaan. Mereka hanya memiliki aset yang
sifatnya marjinal dan biasanya hidup di daerah terpencil atau di wilayah dengan
fasilitas umum terbatas. Dengan keterbatasan tersebut, keluarga miskin
memerlukan bantuan pihak lain untuk mampu meraih akses berbagai sumber daya
untuk tumbuh sebagai keluarga mandiri. Kemiskinan terjadi karena adanya
kesenjangan pendapatan dengan pendapatan minimum untuk hidup secara layak, yang
disebut sebagai poverty gap atau kesenjangan kemiskinan. Dalam program
penanggulangan kemiskinan, kesenjangan inilah yang harus dikurangi atau
dihilangkan. Hilangnya kesenjangan tersebut menggambarkan terangkatnya tingkat
kesejahteraan keluarga lepas dari status miskin.

Beras merupakan salah


satu komponen penting dalam pengukuran kemiskinan. Dasar perhitungan garis
kemiskinan adalah kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal. Dengan pertimbangan
24% dari 2.100 kkal tersebut berasal dari beras maka jika harga beras naik,
kebutuhan rupiah untuk membeli beras juga akan bertambah sehingga Garis
Kemiskinan akan bergeser ke atas. Mengingat rumah tangga miskin merupakan rumah
tangga dengan pendapatan tetap (fixed income earners) maka jumlah RTM
yang berada di bawah Garis Kemiskinan akan bertambah banyak.

Badan Pusat
Statistik (Mei, 2007) menyebutkan dari komponen garis kemiskinan yang terdiri
dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan, terlihat bahwa
peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan.
Komoditi yang penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret 2007,
sumbangan pengeluaran beras terhadap garis kemiskinan adalah sebesar 28,64% di
pedesaan dan 18,56% di perkotaan. Besarnya sumbangan harga beras dalam garis
kemiskinan akan mengakibatkan jumlah individu yang sebelumnya di atas garis
kemiskinan menjadi berada di bawah garis kemiskinan apabila terjadi kenaikan
harga beras yang cukup tinggi.Â

Hingga saat ini kemiskinan tetap


bertahan tinggi karena Indonesia belum mampu menciptakan lapangan kerja yang
cukup. Tekanan pada pasar tenaga kerja telah meningkat sebagai dampak krisis
ekonomi yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Kondisi pada tahun
2001 menunjukkan bahwa mereka masih mencari pekerjaan di sektor pertanian yang
masih menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar yaitu 44% dari
keseluruhan angkatan kerja, dibandingkan dengan 19% untuk sektor industri dan
30% untuk bidang jasa. Yang menjadi kendala adalah bahwa upah riil dalam sektor
pertanian bertahan pada level rendah, sementara di sisi lain, mencari pekerjaan
yang berupah baik menjadi semakin sulit.

Masalah ketenagakerjaan di
Indonesia, sangat besar dan kompleks. Besar, karena menyangkut jutaan
jiwa; dan kompleks, karena masalahnya mempengaruhi sekaligus
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi. Faktor demografis
mempengaruhi jumlah dan komposisi angkatan kerja. Indonesia cukup berhasil dalam
menurunkan angka kelahiran dan kematian secara berkesinambungan. Hal ini justru
berdampak pada pertumbuhan penduduk usia kerja yang jauh lebih cepat dari pada
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Fakta ini menunjukkan tekanan kuat


dalam sisi penyediaan tenaga kerja.

Beberapa faktor yang mempengaruhi


masalah ketenagakerjaan di Indonesia, diantaranya yang penting adalah
terbatasnya modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam
menerima ekspor negara-negara berkembang, iklim investasi, pasar global,
berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif bagi pengembangan
usaha, serta tekanan kenaikan upah di tengah dunia usaha yang masih lesu.
Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan otonomi daerah yang
dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau
“tidak ramah��? terhadap tenaga kerja. Masalah ketenagakerjaan secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah-masalah lainnya, termasuk
kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan
stabilitas politik.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak,


walaupun secara relatif semakin mengecil, kecuali tahun krisis moneter 1998 dan
1999. Pada tahun 2004 misalnya, sekitar 36 juta orang atau hampir 17% dari total
penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar atau 25 juta
diantaranya berada di wilayah pedesaan. Jumlah orang miskin Indonesia masih
lebih banyak dari total penduduk 3 negara di ASEAN, seperti Malaysia, Brunei,
dan Laos.

Pada dasarnya, orang miskin ini dapat dikelompokkan menjadi


dua. Pertama, kelompok miskin kronis yaitu kemiskinan yang sulit
disembuhkan dan selalu kambuh atau chronic poverty. Yang masuk dalam
kelompok ini adalah individu/rumah tangga yang tidak mempunyai kapasitas atau
kemampuan untuk bekerja dan memperoleh pendapatan seperti orang cacat, orang
sakit dalam waktu lama, dan orang tua. Kelompok lainnya yang masuk dalam
kategori ini adalah rumah tangga yang memperoleh pendapatan dari sumber daya
yang marginal—rendah produktivitas serta tidak stabil produksinya karena
sumberdayanya rapuh—seperti petani lahan kering yang didominasi oleh tanaman
palawija dan ternak, petani rawa atau pasang surut serta tanaman pangan dan
nelayan kecil/perikanan laut yang berada di wilayah pantai. Demikian juga, para
buruh di kota yang memperoleh pendapatan dari pekerjaan tidak tetap dan tidak
menentu seperti buruh informal. Umumnya mereka bertempat tinggal di wilayah
kumuh, bantaran sungai/di tepi rel KA, berumah kardus/plastik.

Kedua, kelompok miskin transisi (transient poverty)


yaitu kemiskinan yang terjadi hanya sementara waktu atau orang miskin
baru. Salah satu sebabnya adalah karena krisis ekonomi seperti PHK,
inflasi tinggi dan harga pangan melonjak naik. Fenomena ini pada umumnya banyak
dijumpai di perkotaan. Selain itu, kemiskinan transisi juga disebabkan oleh
pengaruh musim misalnya kekeringan yang panjang El Nino atau banjir La Nina,
sehingga produksi pertanian merosot atau gagal. Mereka yang terkena adalah
penduduk yang berada di wilayah perdesaan. Kemiskinan sementara juga terjadi di
wilayah yang terkena bencana alam dan konflik sosial, yang kemudian diikuti oleh
pengungsian massal.

Penderitaan Keluarga Miskin

Menjadi orang miskin amat tidak


menyenangkan. Tidak ada manusia yang bercita-cita untuk itu. Orang miskin
mengalami banyak kesulitan dan ketidaknyamanan dalam menjalankan kehidupan
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

sebagai manusia. Tempat tinggal sempit dan kumuh, satu kamar untuk sekeluarga,
pakaian jarang diganti, makanan kurang teratur serta kurang enak, sulit
memperoleh air bersih dan buang kotoran tidak pada tempat yang nyaman, sanitasi
buruk, kalau sakit terpaksa ditahan, bahkan hubungan seks pun tidak nyaman
karena kondisi rumah yang serba kotor dan pengap. Itu sekedar contoh dari banyak
ketidaknyamanan hidup mereka sebagai manusia.

Kemiskinan pendapatan
(income poverty) dianggap sebagai sumber utama terjadinya kerawanan
pangan (food insecurity). Penduduk miskin tidak mampu mengakses pangan,
walau pangan tersedia di warung, toko atau pasar yang berada di sekitar mereka.
Karena rendahnya pendapatan, mereka juga tidak mampu mengakses fasilitas
kesehatan dan pendidikan. Pangan, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan
paling mendasar buat pembangunan manusia.

Kelompok miskin kerap menderita


kekurangan gizi makro seperti energi dan protein, serta kekurangan gizi mikro
terutama zat besi, yodium dan vitamin A. Kekurangan gizi mikro sering dijuluki
sebagai kelaparan yang tersembunyi (hidden hunger), sedangkan
kekurangan gizi makro umumnya mudah dikenali, terutama untuk penderita kurang
energi dan protein (KEP) berat.

Para ahli gizi dan ahli kesehatan


mengungkapkan 4 masalah utama tentang gizi. Masing-masing memiliki dampaknya di
Indonesia terhadap kemiskinan. Pertama, kekurangan zat besi atau anemia gizi
besi (AGB), dikenal dengan penyakit kurang darah atau anemia. Kekurangan gizi
jenis ini diperkirakan mencapai 40-60% wanita dan anak balita. Pada tahun 2001,
prevalensi anemia meningkat menjadi 48% dibandingkan dengan tahun 1995 hanya
40%. Prevalensi anemia anak di bawah usia 2 tahun adalah paling tinggi yaitu
mencapai 60%. Tampaknya, penanganan anemia secara nasional belum terfokus pada
balita, masih diprioritaskan pada ibu hamil.

Kekurangan zat besi


berdampak pada kerusakan otak permanen, meningkatnya angka penyakit dan kematian
balita. Balita akan mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan penyakit
saluran pernapasan, yang akhirnya angka kematian balita meningkat. Ibu hamil
yang kekurangan zat besi akan berisiko tinggi kematian pada waktu melahirkan,
keguguran dan kematian bayi.

Kedua, diperkirakan sekitar 42


juta penduduk Indonesia kekurangan zat yodium. Prevalensi Gangguan Akibat Kurang
Yodium (GAKY) pada anak sedikit meningkat yaitu menjadi 11% pada 2003, hanya
9,8% pada 1996/98. Penelitian 2003, mengungkapkan telah terjadi peningkatan
jumlah kabupaten endemik GAKY, beralih dari endemik ringan ke endemik sedang dan
berat. Apabila manusia kekurangan yodium, maka itu berpengaruh terhadap
penurunan tingkat kecerdasan, menimbulkan penyakit kelenjar gondok. Penyakit
gondok tersebut menjadi penyebab anak-anak dan orang dewasa menjadi kerdil
(kretin) serta cacat mental.

Ketiga, kekurangan vitamin


A (KVA) yang dapat menimbulkan kerusakan mata. Sekitar 70% balita di Indonesia
meninggal pada umur di bawah satu tahun, karena kekurangan vitamin A. Tingginya
proporsi balita yang kekurangan vitamin A menjadi penyebab penurunan tingkat
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

kekebalan tubuh, serta mudah terserang penyakit.

Keempat,
kekurangan energi dan protein (KEP) dan kekurangan energi kronis (KEK) yang
dijumpai pada wanita usia subur 15-49 tahun. Proporsi wanita usia subur yang
berisiko KEK tinggi pada usia muda 15-19 tahun. Wanita menderita KEK cenderung
akan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR), yang nantinya akan
menghambat pertumbuhan anak balita.

Menurut UNICEF (1997), KEP atau KEK


dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kesehatan. Dampak dari kekurangan
energi dan protein adalah merosotnya tingkat kecerdasan atau kehilangan 5-10
IQ. Sedangkan kekurangan gizi jenis ini pada orang dewasa, akan menurunkan
produktivitas kerja dan mudah terserang berbagai penyakit infeksi. Memecahkan
masalah gizi mikro dan makro dengan berbagai program seperti transfer pangan
untuk pekerja (food for work), bantuan gizi tambahan untuk balita, ibu
hamil dan ibu menyusui, dan pangan tambahan untuk anak sekolah adalah penting
dalam usaha untuk mengatasi berbagai dampak buruk terhadap kesehatan dan
pembangunan manusia di kemudian hari1. Adalah lebih baik untuk
mengeluarkan dana yang layak untuk mengatasi kekurangan gizi, daripada harus
menanggung beban dan ongkos yang harus dipikul akibat dari buruknya kesehatan,
rendahnya mutu manusia, serta kemerosotan produktivitas tenaga kerja.

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin sering media massa meliput


anak-anak, terutama balita yang kekurangan gizi dan busung lapar. Sebagian
diantaranya berada di wilayah surplus pangan. Kekurangan pangan tentu tidak
hanya pada urusan gizi makro, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah gizi
mikro. Dilaporkan jumlah orang busung lapar yang terus meningkat, berat badan
balita menurun, bertambahnya jumlah anak yang pertumbuhannya di bawah normal
(pertumbuhan lambat). Demikian juga meningkatnya ibu hamil yang kekurangan
vitamin A dan zat besi, kekurangan energi kronis, akan melahirkan bayi di bawah
berat normal dan tidak akan tumbuh secara wajar.

Masalah kerawanan
pangan dan gizi umumnya karena suatu kelompok masyarakat tidak mampu mengakses
pangan, bukan kerena ketidaktersediaan pangan. Karena pendapatannya yang kurang,
penduduk miskin tidak mampu membeli pangan yang bergizi dan mencukupi agar dapat
hidup sehat dan produktif. Padahal, pangan banyak tersedia di sekitar mereka,
seperti di toko, di kios, di warung, maupun di pasar, namun mereka tidak mampu
mengaksesnya.

Kerawanan pangan sekarang ini, berbeda dengan kerawanan


pangan yang dialami Indonesia pada 1950-an dan 1960-an. Pada waktu itu, dua hal
berlangsung bersamaan yaitu kekurangan akses dan kurangnya ketersediaan pangan
di dalam negeri. Dalam periode susah itu, hampir seluruh masyarakat Indonesia
miskin. Ketersediaan pangan dalam negeri, terutama beras tidak mencukupi.
Sedangkan impor pangan terkendala oleh keterbatasan devisa dan tingginya harga
beras serta tidak stabil harga di pasar internasional.

Konig (1995) dari


hasil penelitiannya pada 1991 melaporkan bahwa potensi produktivitas Indonesia
dapat mencapai US$ 11.135. Indonesia mengalami kerugian akibat kekurangan gizi
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

yang ditaksir mencapai US$ 7.156 juta/tahun, dengan kehilangan PDB mencapai 6%,
dan harus mengeluarkan biaya kesehatan ditaksir sebesar US$ 2.148 juta/tahun.
Brazil salah satu negara maju di Amerika Latin, dengan pendapatan per kapita
mencapai hampir US$3.000, juga mengalami kerugian karena kekurangan gizi
masyarakatnya yang ditaksir mencapai US$ 28.187 juta/tahun. Kehilangan PDB
ditaksir sebesar 6%, dan perlu mengeluarkan biaya untuk kesehatan mencapai US$
19.871 juta/tahun. Persentase kehilangan PDB yang dikaitkan dengan kekurangan
gizi juga ditemui di negara berkembang yang lain, seperti Filipina (kehilangan
10%), Thailand (10%), Kenya (16%), dan Tanzania (17%).

Tekanan Pihak Internasional

Terjadi tekanan pihak


internasional pada saat krisis moneter, salah satunya adalah untuk membuka pasar
Indonesia, termasuk pasar beras, dan menyerahkan kepada swasta. Terbukanya pasar
perberasan Indonesia ditandai dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade). Dalam jangka panjang, GATT
diharapkan akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dengan mempertinggi daya
saing produk baik pertanian maupun non-pertanian. Peningkatan daya saing ini
akan dapat menggeser beras dari posisi swasembada (self–sufficiency)
menjadi kemandirian pangan (self-reliance) yang dilengkapi dengan impor
apabila lebih menguntungkan.

Peningkatan pendapatan akan mengakibatkan


diversifikasi pangan dengan meningkatnya permintaan pangan lain termasuk
sayuran, daging, susu dan produk turunannya serta produk non-pertanian. Dengan
demikian, akan terjadi kompetisi permintaan antara beras dengan produk pertanian
dan non-pertanian. Bagi negara yang saat ini telah berswasembada beras, dengan
adanya GATT kemungkinan akan lebih menguntungkan jika mengimpor beras sesuai
dengan kebutuhan pada tingkat nilai tukarnya dan sekaligus memperkuat produksi
komoditas lain yang memiliki daya saing lebih menguntungkan.

Tekanan
eksternal tersebut juga dirasakan Bulog. Sebagai salah satu lembaga pangan yang
diberikan mandat untuk melaksanakan stabilisasi harga bahan pangan pokok
khususnya beras, Bulog telah menjalankan fungsinya selama lebih dari 30 tahun.
Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003, Bulog berubah menjadi Perusahaan
Umum. Namun apapun bentuk dan struktur lembaganya, fungsi utama yang tidak
berubah dan tetap melekat pada institusi ini adalah sebagai penjaga ketahanan
pangan, khususnya dalam stabilisasi harga dan pemupukan stok beras hingga
tersedia dalam jumlah yang cukup dan aman di semua wilayah.Â

Keterbukaan
pasar tersebut, masih perlu dikhawatirkan, mengingat karakteristik petani
Indonesia dan nilai strategis beras dalam perekonomian Indonesia yang masih
memerlukan perlindungan. Hal inilah yang menjadi dilema dalam upaya memperkuat
ketahanan pangan.Â

Ketahanan Pangan dan Tantangan Yang Dihadapi

Para ahli
semakin menyadari bahwa pembangunan manusia adalah hal yang terpenting dan
paling mendasar. Pembangunan haruslah berpusat pada manusia, dan menempatkan
manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan sebagai alat pembangunan.
Pembangunan manusia merupakan suatu proses untuk memperbanyak pilihan. Di antara
pilihan tersebut, yang terpenting adalah sehat dan berumur panjang, berilmu
pengetahuan dan mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan. Dengan
karakteristik tersebut, yang bersangkutan dapat hidup secara layak, produktif,
dapat turut serta dalam berbagai kegiatan budaya, sosial, dan politik.
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Armatya Sen, seorang pemenang


hadiah Nobel Pembangunan Ekonomi, yang berpendapat bahwa pembangunan memerlukan
penghapusan sumber-sumber utama ketidakbebasan (unfreedom), seperti
kemiskinan dan tirani, peluang ekonomi yang sempit serta perampasan hak-hak
sosial, pengabaian fasilitas publik maupun ketidaktoleransian, serta negara yang
bersifat represif.

Kurangnya pembebasan yang substantif berhubungan


langsung dengan kemiskinan ekonomi (economic poverty), yang merampas
kebebasan manusia untuk keluar dari kelaparan, memenuhi nutrisi yang cukup atau
memperoleh pengobatan bagi suatu penyakit, atau menikmati fasilitas air bersih
dan sanitasi. Oleh karena itu, pengertian pembangunan manusia tidak dapat
dipersempit menjadi bentuk pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), atau manusia
diperlakukan sebagai salah satu unsur dalam proses produksi, atau
“kesejahteraan��? yang hanya dinilai dari segi penerima dan tidak dipandang
sebagai agen dari perubahan dalam pembangunan.

Kemiskinan adalah musuh


utama dalam pembangunan manusia. Kemiskinan manusia tentu berbeda dengan
kemiskinan pendapatan. Kemiskinan manusia tidak hanya dilihat dari tingkat
pendapatan yang rendah, juga harus dikaitkan dengan tingkat pendidikan,
kesehatan, atau hidup dalam lingkungan yang tidak aman sehingga berkurangnya
kesempatan untuk memperluas kemampuan dan potensinya. Oleh karena itu,
pengukuran tentang kemiskinan dapat berbeda tergantung dari faktor apa saja yang
dipertimbangkan. Program pemberdayaan tidak dapat dipisahkan dari usaha
pengentasan kemiskinan yang abadi, sebagai bagian dari pembangunan manusia itu
sendiri. Dalam jangka pendek atau menengah diperlukan juga upaya untuk mengatasi
kerawanan pangan.

Tanpa hal tersebut, maka program pengentasan


kemiskinan tidak akan berhasil, karena banyak penduduk miskin yang tidak dapat
berpartisipasi dalam program tersebut. Program pemberdayaan kelompok miskin
melalui kredit mikro misalnya, tidak akan berlangsung dengan baik karena dana
tersebut akan digunakan untuk menutupi konsumsi pangan yang tidak dapat ditunda,
sehingga tidak digunakan sebagai modal untuk menggerakkan ekonomi rumah tangga
miskin. Oleh karena itu, program transfer pangan dapat digunakan sebagai salah
satu solusi jangka pendek atau menengah untuk mengefektifkan program-program
pemberdayaan.

Program transfer pangan menjadi program komplementer


penting program pemberdayaan masyarakat miskin. Program ini sekaligus berperan
ganda dalam penyelamatan dan peningkatan produktivitas program-progarm
pemberdayaan. Adalah keliru jika program transfer pangan dianggap sebagai
program substitusi terhadap program-program pemberdayaan untuk kelompok miskin.Â
Masalah kemiskinan terkait erat dengan masalah gizi dan kelaparan. Transfer
beras tidak dirancang untuk memecahkan semua masalah yang terkait dengan gizi
dan kelaparan. Yang ingin dipecahkan adalah sebagian dari masalah gizi
masyarakat, yaitu memecahkan masalah pemenuhan gizi makro.

Transfer Pangan

Pola pengeluaran keluarga untuk pangan dan


http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

non-pangan dapat dipakai untuk memahami ciri kelompok miskin. Semakin rendah
pendapatan seseorang atau rumah tangga, semakin besar proporsi pendapatannya
yang dipergunakan untuk pangan. Hanya sebagian kecil bagian pendapatan mereka
yang dipakai untuk konsumsi barang-barang bukan pangan seperti barang tahan
lama, rekreasi, konsumsi BBM/listrik. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk
pangan secara rata-rata nasional, ternyata tidak banyak berubah selama hampir 15
tahun terakhir, malah meningkat dalam periode krisis 1998-2000.

Dalam
periode 2002-2004 misalnya, rataan pengeluaran untuk pangan mencapai 57%.
Proporsi pengeluaran untuk pangan ternyata lebih tinggi pada rumah tangga
pedesaan (65%) dibandingkan dengan perkotaan (51%). Ini juga menunjukan bahwa
masyarakat pedesaan masih banyak yang berpendapatan rendah atau miskin.Â
Pengeluaran untuk padi-padian—yang didominasi oleh beras tentunya—mencapai
hampir 11% dari total pengeluaran rumah tangga, hampir 16% untuk rumah tangga
pedesaan dan kurang separuhnya untuk rumah tangga perkotaan.

Kelompok
miskin yang berada di desa maupun di kota mengalokasikan sebagian besar
pendapatannya untuk pangan. Kelompok pendapatan terendah pada 2004 misalnya, 74%
pendapatan mereka dibelanjakan untuk pangan, bandingkan dengan kelompok
pendapatan tertinggi hanya 36%. Apabila dirinci lagi di dalam kelompok pangan
itu sendiri, maka hampir 40% digunakan untuk padi-padian, bandingkan dengan
kelompok terkaya hanya 8%, dengan rataan untuk semua kelompok sebesar 17%.
Apabila akses pangan menurun, untuk menutupinya, mereka akan mengurangi
pengeluaran untuk non-pangan seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini dapat
berdampak serius tidak hanya pada gizi, tetapi juga kesehatan dan pendidikan
anak-anak. Sehingga transfer pangan dapat mengurangi dampak buruk terhadap gizi,
juga dapat menghambat keterpurukan dalam pendidikan serta
kesehatan.

Alasannya, karena transfer pangan dapat dipakai untuk menutupi


sebagian dari celah kemiskinan (poverty gap), sedangkan lainnya seperti
kesehatan dan pendidikan juga perlu ditutupi dari pengeluaran publik. Menutupi
sebagian gap tersebut melalui transfer pangan yang juga dianggap sebagai program
penyelamatan. Yang diselamatkan adalah kehidupan manusia dengan cara memenuhi
kecukupan konsumsi gizi.Â

Transfer pangan menjadi amat cocok dalam


situasi emergensi seperti bencana alam dan bencana yang dibuat manusia, seperti
konflik sosial, perang antar suku, dll, yang mendorong terjadinya pengungsian.
Dalam situasi itu, stok pangan masyarakat terganggu, pasar pangan tidak/kurang
berfungsi, distribusi barang terhambat, dan transportasi amat sulit serta
ongkosnya mahal dan berisiko. Pada waktu OPK diperkenalkan sebagai program
emergensi 1998, harga pangan terutama beras bergejolak tinggi karena inflasi,
merosotnya nilai tukar Rp terhadap dollar, serta terjadi kerusuhan dan
penjarahan, yang kemudian merambat ke penjarahan pangan sehingga transfer beras
menjadi amat bermanfaat dan unggul dalam meredam keresahan sosial dibandingkan
dengan transfer bentuk lainnya.

Idealnya, transfer pangan dirancang


langsung tertuju ke kelompok miskin (self targeting to the poor),
sehingga kebocorannya menjadi amat rendah. Misalnya, karena kupon yang diberikan
terkait dengan pangan tertentu dan penukarannya di tempat yang telah ditentukan
dan penggunaannya pun dibatasi, sehingga kurang diminati oleh orang mampu. Di
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

Bangladesh disalurkan tepung sorgum bukan tepung terigu dan beras, karena kedua
jenis pangan terakhir umum dikonsumsi oleh kelompok menengah ke atas.Â
Pemerintah Mesir dan Maroko, mentransfer pangan dalam bentuk tepung gandum kasar
dan berwarna gelap untuk kelompok miskin, sehingga tidak diminati oleh kelompok
mampu yang umum mengkonsumsi tepung gandum halus dan warna putih. Apapun
alasannya, pangan yang dibantu haruslah terkait dengan pangan produksi dalam
negeri, karena akan memecahkan secara serentak masalah lapangan kerja,
pengentasan kemiskinan, pembangunan desa, dan keterjangkauan pangan.

Sejumlah peneliti dan lembaga penelitian, misalnya World Bank (2003)


menyarankan agar Indonesia mentransfer beras berkualitas rendah untuk keluarga
miskin, untuk memperkecil kebocoran Raskin. Saran ini harus dikaji dengan baik
karena Pemerintah terus mendorong perbaikan kualitas beras, sesuai dengan
tuntutan pasar. Bulog adalah salah satu lembaga penting untuk mempercepat
terujudnya tujuan tersebut, sehingga pengadaannya haruslah memenuhi standar
kualitas.

Kalau sebagian besar pengadaan Bulog2 berupa


gabah/beras rendah kualitasnya dengan alasan penyaluran Raskin, maka peningkatan
HPP tidak mendorong petani atau penggilingan padi untuk memperbaiki kualitas,
sulit mendorong berkembangnya industri pascapanen, terutama dryers.
Juga tidak layak tampaknya, mengalokasikan beras bermutu rendah untuk keluarga
miskin, manakala pemerintah membayarnya pada harga yang tinggi atau dikenal
dengan Harga Pokok Beras Bulog (HPB).

Transfer pangan menjadi lebih


unggul untuk negara yang masih sarat dengan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme).Â
Kelemahan dan kebocoran program OPK/RASKIN beras misalnya, mudah sekali
dimonitor dan dinilai oleh masyarakat luas, sehingga berbagai kekurangan segera
dapat diperbaiki atau dicegah. Manakala harga RASKIN melebihi Rp 1.000/kg
misalnya, atau kualitas beras yang tidak sesuai dengan tingkat harga yang
disubsidi Pemerintah, atau volumenya tidak mencukupi dengan 20 kg/bulan, serta
jadwal penyampaiannya yang tertunda-tunda, maka hal itu telah menjadi berita di
berbagai media massa3, tidak hanya di Jawa tetapi juga di luar Jawa
(Tabor dan Sawit 2001, Tabor 2000).

Di samping itu, transfer beras


umumnya disampaikan kepada para ibu rumah tangga, sehingga kebocoran penggunaan
keluar keluarga relatif lebih kecil. Apabila dalam bentuk uang kas dan
disampaikan melalui suami, maka keluarga menerimanya cenderung tidak utuh,
karena terbuka peluang untuk dimanfaatkan buat membeli rokok, minuman keras, dan
sebagainya.Â

Perubahan Peran Perum Bulog dan


Tantangannya

Dinamika Perubahan

Bulog telah lama


dilibatkan dalam logistik pangan, khususnya beras. Tugas lembaga ini berkisar
pada penyediaan pangan dengan harga terjangkau di seluruh wilayah Indonesia,
serta mengendalikan harga pangan di tingkat konsumen maupun produsen. Manajemen
logistik yang awalnya merupakan pendekatan militer, berangsur-angsur berubah
menjadi logistik pangan yang mempertimbangkan efisiensi dan biaya. Mula-mula
sebagai lembaga logistik LPND yang rancu sehingga bentuk lembaga perlu
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

dikoreksi. Kerancuan itu meliputi Bulog sebagai LPND tidak seharusnya mendapat
fasilitas kredit bank (KLBI), dan berbeda dalam pertanggungjawaban keuangan,
serta struktur organisasi. Sampai 1995, pegawai Bulog diperlakukan sebagai
pegawai swasta, karena tidak dibiayai oleh APBN.

Perkembangan dan
perjalanan Bulog mengalami banyak perubahan. Awalnya, lembaga ini yang dibentuk
pada 1967 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet, dengan tugas pokok untuk
menyediakan pangan untuk memperkuat Pemerintah Orde Baru. Kemudian dirubah pada
1978, untuk mendukung pembangunan pangan multikomoditas. Pada 1993, waktu Kepala
Bulog dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan, tanggung jawab Bulog
diperluas yaitu sebagai koordinator pembangunan pangan dan peningkatan mutu
gizi. Sejak Krismon 1997, peran dan tugas Bulog berubah secara drastis, seiring
dengan komitmen Pemerintah dengan IMF yang tertuang dalam berbagai LOI. Di era
reformasi yang dimulai sejak 1998, terjadi begitu banyak perubahan lingkungan
strategis baik yang datangnya dari dalam negeri, maupun dari luar negeri serta
tuntutan publik sehingga mendorong Bulog harus berubah secara menyeluruh.

Perubahan ini didorong oleh banyak hal tetapi yang terpenting adalah:
Pertama; perubahan kebijakan pangan Pemerintah dan perubahan mandat
Bulog sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan
monopoli impor atau hak-hak khusus impor sebagai STE (state trading
enterprise) seperti yang tertuang dalam berbagai Keppres dan SK Menperindag
sejak 1998. Isi Keppres yang terkait dengan tugas Bulog berubah secara cepat
seiring dengan seringnya penggantian pemerintahan, sehingga risikonya menjadi
amat tinggi. Itu tidak saja terhadap keberadaan lembaga tetapi juga terhadap
pegawai sehingga telah berpengaruh negatif terhadap kegairahan kerja.

Kedua; berlakunya berbagai UU baru, khususnya UU No.5/1999


tentang Larangan Praktek Monopoli, dan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah.
Sejumlah ahli berpendapat bahwa stok pangan nasional harus dilaksanakan secara
terpusat, dan pangan harus dipakai sebagai sarana perekat nasional bukan
sebaliknya. Hampir tidak mungkin di daerah Maluku atau NAD yang terlibat konflik
misalnya, dapat mengatasi persoalan pangan apabila tidak adanya lembaga pusat di
daerah seperti sekarang ini. Konflik ini tidak meluas ke kelaparan, karena
adanya dukungan pangan khususnya beras dari pemerintah
pusat.

Ketiga; masyarakat luas menghendaki agar Bulog terbebas


dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tuntutan reformasi, bebas dari
pengaruh partai politik. Semakin terbukanya kebebasan pers dan meningkatnyaÂ
demokrasi, sehingga kontrol masyarakat atas Bulog menjadi lebih besar. Pada
umumnya, masyarakat menghendaki agar Bulog menjadi lembaga yang efisien,
transparan dan mampu melayani kepentingan publik secara
memuaskan.

Keempat; perubahan ekonomi global khususnya adanya


WTO, serta pengaruh lembaga internasional khususnya IMF sebagai prasyarat
tentang Bulog dalam LOI (letter of inted) yang dibuat sejak 1997 sampai
dengan 2000. WTO mengharuskan penghapusan berbagai hambatan perdagangan. Semua
bentuk NTB (Non-Tariff Barrier) seperti monopoli, larangan perdagangan,
dirubah menjadi TB (Tariff Barrier), serta perlunya membuka pasar dalam
negeri.
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

Jauh sebelum era reformasi ini, Bulog telah melakukan berbagai


kajian tentang perlunya perubahan lembaga yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman dan tuntutan global. Pada periode 1991-1992 tim Bulog telah mengkaji dan
menyarankan manajemen baru guna menghadapi perubahan lingkungan strategis. Hal
ini kemudian dilanjutkan dengan sebuah gagasan agar Bulog menjadi Holding
Company pada acara ulang tahun Bulog ke-26 pada 1993. Dengan bentuk lembaga
demikian, akan mampu menampung aktivitas publik dan bisnis, serta desentralisasi
keputusan, sehingga efisiensi dan transparansi akan lebih mudah
diwujudkan.

Landasan Perubahan

Sebagai LPND yang menjalankan tugas


logistiknya terutama dalam bidang pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran beras
sebagai salah satu komoditas pangan yang bersifat pokok, sesuai dengan amanat UU
No. 7/1996 tentang Pangan, kesemua hal itu terkait amat erat dengan ketahanan
pangan (food security).

UU No.7/1996 tentang Pangan


mengamanatkan bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk
mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini dapat diartikan bahwa ketahanan pangan
tidaklah sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar seperti yang dilakukan oleh
sebagian negara maju dan liberal. Apabila hal ini ditempuh maka akan berakibat
buruk pada kelompok miskin yang jumlahnya masih dominan serta keberadaan mereka
terpencar dengan infrastruktur yang masih buruk. Sejumlah negara di Asia yang
maju seperti Jepang, Korsel, Malaysia, Pemerintah tetap memberi perhatian khusus
pada ketahanan pangan, terutama beras dengan berbagai macam intervensi
Pemerintah.

Pengertian hak untuk pangan sekarang ini telah diperkuat


oleh Deklarasi Roma tentang World Food Security and World Food Summit
(1996). Ada tiga prasyarat awal yang diperlukan sehingga hak untuk pangan dapat
diimplementasikan. Pertama, political will. Tanpa kemauan politik, hampir tidak
mungkin agenda tersebut dapat dilaksanakan dan akan berhasil. Kedua, negara
harus punya organisasi dan kapasitas manajerial di tiap tingkatan pemerintahan,
untuk melaksanakan kemauan politik tersebut. Terakhir, perlunya mengalokasikan
dan menggunakan sumber daya untuk memenuhi agenda hak untuk pangan. Seperti HAM
bidang lainnya, Pemerintah atau negara berkewajiban (obligation) dalam
tiga aspek, yaitu menghargai (respect), melindungi (protect)
dan memenuhi (fulfill). Program pangan terarah, seperti Raskin, menjadi
salah satu usaha untuk melindungi dan memenuhi hak atas pangan untuk masyarakat
yang rawan pangan.

Perusahaan Umum Sebagai Lembaga Baru

Berdasarkan berbagai
hasil kajian tersebut serta dukungan politik DPR RI, maka diputuskan perubahan
Bulog menjadi Perum Bulog, bukan Perjan atau BHMN (Badan Hukum Milik Negara)
atau PT (Persero). Hanya dengan bentuk lembaga Perum, maka lembaga tersebut akan
mampu melaksanakan tugas dan fungsi seperti yang dilakukan sekarang ini. Di
samping itu lembaga tersebut dapat melaksanakan fungsi lainnya yang tidak
bertentangan dengan hukum serta sejalan dengan misi baru lembaga. Keberhasilan
sejumlah Perum seperti Perum Pegadaian, Perum Perumnas, telah memberi rasa
optimis akan keberhasilan Perum Bulog di masa mendatang.

http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32


Sekretariat Negara Republik Indonesia

Kekuatan Bulog
beralih sebagai lembaga Perum terutama adalah: Pertama; tetap dapat
melaksanakan tugas publik yang dibebankan. Kedua; dapat juga
melaksanakan fungsi bisnis yang tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah
transparansi. Ruang gerak lembaga akan lebih fleksibel, misalnya, dengan
merancang berbagai kerjasama operasional (joint venture)/penyertaan
modal dalam badan usaha lain.

Ketiga; hasil dari aktivitas


bisnis sebagiannya dapat mendukung tugas publik. Hal ini tentu akan berdampak
positif terhadap dana Pemerintah, mengingat semakin terbatasnya dana Pemerintah
di masa mendatang, sehingga lembaga baru ini dapat berperan untuk membantu dan
meringankan beban Pemerintah. Keempat; di samping itu, Bulog dapat
memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat sebagai salah satu pelaku
ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang tidak bertentangan dengan hukum
dan kaedah transparansi. Dengan kondisi ini gerak lembaga Bulog akan lebih
fleksibel dan hasil dari aktivitas usaha sebagian dapat digunakan untuk
mendukung tugas publik.

Kelima; reward and punishment


(penghargaan dan hukuman) akan lebih mudah diterapkan, sehingga akan
menumbuhkembangkan insentif buat pegawai untuk bekerja secara professional.
Keenam; optimalisasi pemanfaatan semua aset yang kini dikuasai termasuk
di dalamnya SDM. Sejak 1998 pemanfaatan aset dan SDM menjadi kurang optimal
(idle capacity), karena terkendala oleh berbagai peraturan operasional
dan pendanaan yang melekat di LPND.

Wujud dan Tugas Publik Perum

Setidak-tidaknya ada 4 tugas


publik yang tetap akan diemban oleh Bulog, yaitu: (i) Jaminan Harga Dasar
Pembelian Pemerintah untuk Gabah (HDPP), (ii) Stabilisasi Harga, (iii) Raskin,
dan (iv) Cadangan/Stok Pangan Nasional. Keempat pilar itu, saling terkait dan
memperkuat satu dengan yang lain. HPP terkait dengan pengadaan DN, yang kemudian
dipakai untuk memperkuat CBP dalam rangka atasi instabilitas harga maupun
intervensi pada situasi emerjensi--bencana alam maupun bencana ciptaan
manusia-dimana pasar lumpuh dan tidak berfungsi. CBP juga terkait dengan
pengadaan LN, manakala suplai pangan dari produksi dalam negeri tidak mencukupi,
akibat dari gangguan hama/penyakit, kekeringan/kebanjiran sehingga dapat
mengganggu instabilitas harga pangan antartahun.

Pada saat panen raya


yang serempak, maka permintaan gabah amat inelastis, keterbatasan gudang swasta
dan iklim yang kurang bersahabat, serta masih lemahnya industri penggilingan
padi, maka jaminan HPP dapat memperkecil risiko dalam berusaha tani padi,
sehingga suplai beras yang berasal dari produksi dalam negeri akan lebih
terjamin, dan kemandirian pangan akan lebih besar. Hal ini tentunya terkait erat
dengan ketersediaan pangan dari produksi DN, serta pendapatan jutaan petani
kecil yang tersebar di berbagai tempat di tanah air.

Pada saat
pengeluaran rumah tangga masih dominan terhadap pangan, maka ketidakstabilan
harga pangan akan berpengaruh terhadap pendapatan riil masyarakat, dan
mengurangi daya jangkau terhadap pangan. Oleh karena itu, Pemerintah akan
melakukan intervensi manakala harga pangan khususnya beras telah meningkat
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

melebihi tingkat yang wajar.

Raskin adalah program


perlindungan sosial (social protection program) yang ditujukan buat
rumah tangga miskin (targeted food subsidy), umumnya mereka beresiko
tinggi terhadap food insecurity. Raskin membuka akses secara ekonomi
terhadap pangan, sehingga dapat melindungi rumah tangga rawan pangan dari
malnutrition terutama energi dan protein. Hal ini menjadi penting buat
negara berkembang seperti Indonesia yang menghadapi persoalan masih dominannya
masyarakat yang kekurangan energi dan protein, sehingga telah berakibat buruk
terhadap kecerdasan anak-anak, serta rendahnya produktivitas SDM dan kematian
akibat penyakit infeksi karena lemahnya daya tahan tubuh.

Terakhir yang
tidak kalah pentingnya adalah Pemerintah menguasai stok beras yang dikelola oleh
Perum Bulog, sebagai usaha untuk mengatasi bila terjadinya keadaan darurat
seperti bencana alam, bencana yang dibuat manusia seperti pengungsian, dll.
Perum Bulog tetap menguasai beras secara optimal (dirancang 1 juta ton beras)
sebagai pipe line stock guna mengatasi hal-hal yang disebutkan di atas.
Dengan manajemen stok yang tersentralisir dan dibiayai oleh Pemerintah pusat,
maka akan memudahkan mengelola penyimpangan serta penyalurannya. Stok pangan
daerah apabila ada maka merupakan komplemen dari stok pangan nasional bukan
sebagai penggantinya. Oleh karena itu, stok pangan yang dikelola secara
terpusat, maka mampu membuat menjadi perekat bangsa, bukan sebaliknya.Â

Tantangan yang Dihadapi Perum Bulog

Setidak-tidaknya ada 3
tantangan besar yang dihadapi Bulog di masa menengah ini. Itu terkait dengan
manajemen di dalam lembaga Bulog, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap
lembaga, serta merancang aktivitas komersial yang mampu memperkuat ketahanan
pangan di daerah, serta bersinerji pula dengan tugas PSO. Bagaimana melakukan
transformasi SDM yang masih berpola PNS ke SDM profesional untuk mendukung kerja
PSO yang efisien. Selanjutnya adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik
terhadap Bulog?

Fokus utama Perum Bulog adalah tetap pelayanan publik,


sedangkan peran komersial amat kecil dengan memanfaatkan idle capacity
dari aset maupun SDM Perum Bulog. Tugas publik tersebut tentu tidak terbatas
hanya pada komoditas padi/beras, tetapi juga pangan pokok lainnya, sesuai dengan
kebijakan Pemerintah.Â

Kegiatan komersial Perum Bulog, pada umumnya


terkonsentrasi pada usaha penguatan tugas publik. Misalnya, pengembangan UPGB
(unit pengolahan gabah/beras) yang akan diarahkan ke processing modern,
survey dan pemeliharaan kualitas, optimalisasi penggunaan aset serta pelaksanaan
tugas yang dibebankan Pemerintah. Kegiatan komersial diusahakan tidak jauh dari
itu dan diupayakan terkait erat dengan pengembangan pangan suatu daerah.Â

Khusus tentang kegiatan komersial, Bulog dapat memanfaatkan peluang


terhadap perubahan konsumsi pangan di masa mendatang. Bulog dapat ikut sertaÂ
membangun sektor industri pangan, serta memodernisasi pengolahan dan pascapanen.
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

Oleh karena itu, peran Bulog ke depan diarahkan untuk memperkokoh industri
pangan yang mampu mendorong pembangunan perdesaan.

Dengan berkembangnya
peranan Perum Bulog, diharapkan akan meningkatkan kinerja pelayanan publik,
efisiensi, transparan, dan profesionalisme, serta terbebas dari pengaruh partai
politik. Berbagai strategi dirancang untuk memperkuat dan memperkokoh industri
pangan seperti peningkatan efisiensi, membangun profesionalitas SDM serta
mengoptimumkan sumber daya serta infrastruktur yang ada.

Tantangan dalam
peningkatkan efisiensi meliputi antara lain:

Bagaimana memperbaiki manajemen dan menerapkan manajemen modern dengan


memberi perhatian lebih kepada peningkatan efisiensi pengelolaan melalui
pengendalian volume stok, optimalisasi penggadaan dalam negeri serta pemindahan
stok, sehingga akan menurunkan beban bunga bank, biaya perawatan, dan
pemeliharaan stok?

Bagaimana menerapkan perencanaan modern dalam perusahaan, dan monitoring


serta evaluasi secara reguler sebagai salah satu cara pengendalian
perusahaan/tugas publik?Â

Bagaimana kebijakan Pemerintah dalam penyediaan dana atas tugas-tugas PSO


yang dibebankan ke Bulog, sehingga lembaga Perum dapat berjalan secara sehat dan
efisien?

Bagaimana merancang pembangunan industri pangan dan modernisasi industri


pengolahan sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dapat dinikmati tidak
hanya oleh perusahaan tetapi juga masyarakat luas sekitarnya? Hal itu akan
memperkokoh ketahanan pangan serta pengentasan kemiskinan di wilayah
pedesaan.

Sedangkan tantangan di dalam organisasi Perum Bulog meningkatkan


profesionalisme antara lain:

Bagaimana menempatkan para pejabat berdasarkan pada pertimbangan keahlian


sesuai dengan rekomendasi dari lembaga penilai independen untuk menghindari
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

penilaian subyektif?

Bagaimana menerapkan reward and punishment secara ketat dan


terukur, tanpa pilih kasih?Â

Bagaimana mendorong dan merancang agar mampu mengembangkan SDM


profesionalisme dan mendorong pemanfaatan IPTEK dalam perusahaan?

Peningkatan kesejahteraan petani, khususnya petani padi, telah menjadi


kepedulian kita semua sejak lama. Data kependudukan menunjukkan bahwa tiga dari
lima orang Indonesia masih tinggal di pedesaan dengan usaha tani sebagai sumber
penghasilan. Kita menyadari bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan petani,
tantangan yang kita hadapi tidaklah sederhana dan mudah. Tantangannya berat
karena sebagian besar petani padi Indonesia adalah petani berskala kecil, petani
tanpa lahan dan buruh tani. Hampir seluruhnya usaha tani padi mereka lakukan
secara subsisten dan turun menurun.

Dengan keseluruhan areal panen padi


kurang dari 12 juta hektar, sumber daya yang tersedia untuk usaha tani padi
tidak lagi sebesar dua atau tiga dekade yang lalu. Tanah yang subur berkurang
karena konversi lahan ke penggunaan nonpertanian cukup besar. Padi adalah
tanaman yang membutuhkan air cukup besar namun ketersediaan air pada musim
kemarau semakin terbatas. Upah buruh usaha tani juga cenderung meningkat. Respon
terhadap penggunaan pupuk juga tidak sebesar dekade 1970-an pada saat terjadi
Revolusi Hijau.

Sementara itu, potensi produksi maksimal sudah tercapai


di sebagian besar wilayah. Penurunan tren produktifitas telah mengakibatkan
kelambatan pertumbuhan produksi sejak dekade 1990-an. Kita belum lagi mempunyai
terobosan teknologi yang mampu mempercepat laju peningkatan produksi di tingkat
petani. Pada pascapanennya, susut masih tetap tinggi, salah satu susut
pascapanen yang tertinggi di Asia. Di masa depan, karena dampak pemanasan global
dan lebih seringnya terjadi El Niño, kemungkinan besar produksi akan lebih
berfluktuasi. Demikianlah tantangan berat yang kita hadapi dalam rangka
mendorong produksi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Tidak sederhana dan
tidak mudah.

Dari aspek harga, jika harga gabah dan beras cukup menarik
dan stabil, maka akan membuat petani percaya diri untuk melakukan investasi yang
diperlukan dalam rangka meningkatkan produksi. Petani akan membeli benih yang
berkualitas dan pupuk berimbang. Mereka juga akan merawat tanaman sebaik-baiknya
dengan harapan akan dapat diperoleh hasil yang menguntungkan. Dalam hal ini
Perum Bulog memberikan kontribusi nyata bagi upaya peningkatan kesejahteraan
petani padi dengan memberikan jaminan harga yang layak bagi petani. Kebijakan
harga ini merupakan salah satu faktor yang menentukan peningkatan produksi.

http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32


Sekretariat Negara Republik Indonesia

Dengan program pengadaan dalam negeri yang mengacu pada ketentuan harga
pembelian Pemerintah, baik untuk beras maupun gabah, Perum Bulog melakukan
penyerapan surplus petani kurang lebih 2 juta ton selama periode pengadaan Maret
hingga Juni. Jumlah dana yang mengalir ke pedesaan selama periode pengadaan
tersebut sekitar Rp. 6-7 trilyun. Aliran uang ini akan mendorong roda
pembangunan pedesaan dengan melalui dampak gandanya dalam bentuk penciptaan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.

Harga yang ditetapkan


Pemerintah juga tidak boleh terlalu tinggi sehingga merugikan konsumen
berpendapatan rendah. Untuk konsumen berpendapatan rendah tersebut, beras
merupakan komoditi pangan paling penting. Dalam situasi tidak terjadi krisis
ekonomi, rumah tangga miskin mengeluarkan 20-25 persen dari pengeluaran rumah
tangga untuk membeli beras. Dengan demikian, harga beras sangat menentukan
tinggi rendahnya pendapatan riil mereka.

Pengaruh harga beras terhadap


kesejahteraan rumah tangga petani secara individual akan tergantung pada
statusnya, yaitu apakah rumah tangganya sebagai net consumer atau
net producer beras. Rumah tangga petani yang berstatus net
consumer adalah petani dengan jumlah produksi selama setahun lebih kecil
daripada jumlah konsumsi per tahun. Sedangkan petani net producer
adalah petani dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada konsumsinya.
Harga beras yang tinggi akan berdampak positif bagi petani padi yang net
producer. Sebaliknya, bagi petani dengan status net consumer,
harga beras yang terlalu tinggi akan memberikan dampak negatif saat petani
tersebut harus membeli beras dari pasar. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
diperkirakan kurang lebih 2/3 petani di Jawa adalah net consumer.
Dengan demikian, diperkirakan hanya 1/3 petani produsen skala besar yang
memperoleh manfaat jika terjadi kenaikan harga beras yang tinggi.

Bagi
2/3 petani yang net consumer, harga yang tinggi, khususnya selama
periode di luar panen, akan membuat pendapatan riil mereka berkurang dan membuka
kemungkinan mereka menjadi lebih miskin. Lebih jauh lagi, harga beras memainkan
peranan yang sangat penting dalam transformasi struktural, baik di dalam sektor
pertanian maupun terhadap ekonomi. Di dalam sektor pertanian, harga beras akan
mempengaruhi keputusan petani untuk menentukan jenis tanaman dan pola tanaman
yang paling menguntungkan. Dengan demikian, kebijakan harga harus ditetapkan
dengan hati-hati. Kebijakan harga dan penyerapan surplus produksi tersebut juga
tidak akan banyak berarti jika tanpa dilengkapi dengan kebijakan
nonharga.

Mengingat demikian rentannya rumah tangga miskin terhadap


gejolak harga beras, Pemerintah, melalui Perum Bulog melaksanakan program
pemberian beras bersubsidi untuk rumah tangga miskin (atau Program Raskin).
Program ini bersifat targeted dimana beras bersubsidi ini hanya
diberikan kepada rumah tangga miskin yang berhak. Sebagian besar beras Raskin
ini didistribusikan di wilayah pedesaan yang sebagian besar penduduknya petani
miskin. Program Raskin sebagai program pendistribusian beras untuk masyarakat
miskin secara langsung pada kelompok sasaran merupakan upaya yang terbaik untuk
mengatasi masalah rawan pangan. Sebagai rumah tangga miskin, mereka akan selalu
tergantung kepada kestabilan akses ekonomis dan fisik terhadap beras. Diharapkan
dengan adanya program ini, dampak gejolak kenaikan harga terhadap pendapatan
riil petani net consumer dapat dihindari sebesar mungkin.

http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32


Sekretariat Negara Republik Indonesia

Di samping
Program Raskin, dalam rangka melindungi konsumen dari dampak negatif lonjakan
harga selama periode paceklik, Perum Bulog juga melaksanakan Operasi Pasar.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengendalikan lonjakan harga sehingga harga di
pasar konsumen berada pada tingkat yang wajar dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat, terutama konsumen berpendapatan rendah. Berbeda dengan Raskin,
Operasi Pasar ini bersifat general subsidy. Diharapkan konsumen
berpendapatan rendah dapat terhindar dari dampak kenaikan harga yang akan
mempengaruhi pendapatan riil mereka.

Penutup

Dari uraian di atas dapat


disimpulkan bahwa kerawanan pangan dan gizi tidak bisa dipecahkan dari sisi
suplai semata, misalnya hanya dengan swasembada beras. Demikian juga, kerawanan
pangan dan gizi bukanlah terletak pada beras saja, tetapi lebih luas dari itu.
Kebijakan ketahanan pangan, jangan direduksi menjadi hanya kebijakan beras.
Dengan kata lain, kebijakan pangan, bukanlah diwakili oleh kebijakan beras.
Beras tetap sebagai komoditas penting dan strategis, tidak saja di Indonesia,
tapi juga negara-negara lain di Asia, seperti Malaysia, Filipina, India, Cina,
dsb. Memberikan perhatian berlebih pada satu komoditas pangan yaitu beras, dan
melupakan pangan lain adalah sama kelirunya dengan memberi perhatian pada pangan
nonberas, namun mengabaikan beras.

Indonesia perlu menyusun road


map tentang kebijakan pangan yang komprehensif. Selama ini baru terbatas
pada kebijakan perberasan. Dengan road map tersebut akan memudahkan
lembaga Pemerintah yang ada seperti DKP (Dewan Ketahanan Pangan), Bappenas, atau
Menko Perekonomian, untuk mensinergikan dan membuat prioritas terhadap berbagai
kebijakan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan dan gizi. Hal ini akan
mencegah kebijakan yang terpilah-pilah dan berjalan sendiri-sendiri. Kelemahan
lainnya adalah berbagai kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan jarang
dievaluasi dan dimonitor oleh lembaga independen, sehingga menyulitkan untuk
mengantisipasi hambatannya serta merancang solusinya. Evaluasi sering dirancang
secara ad hoc dan amat sektoral.

Kenaikan pendapatan di sektor


pertanian penting untuk mengurangi kemiskinan terutama di pedesaan, sementara
kenaikan pendapatan nonpertanian di pedesaan sangat penting untuk keluar dari
kondisi kemiskinan. Oleh karena itu, kita harus mengadopsi kebijakan yang
pro poor growth, well balanced dan cocok serta mampu meningkatan
ketahanan pangan.Â

Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa kalau petani


kecil hanya terfokus pada beras, hal ini tidak akan menjamin peningkatan
pendapatan maupun ketahanan pangan RT petani yang bersangkutan. Dan sebaliknya,
meninggalkan beras bukan pula solusi untuk peningkatan pendapatan dan ketahanan
pangan.

Dalam hal ini, pemerintah harus mengambil dua kebijakan yang


penting, yaitu (1) pada tingkat harga berapa yang tetap dapat melindungi
kepentingan konsumen namun tetap menjaga dan memberi insentif yang cukup bagi
petani untuk tetap berproduksi; (2) dan bagaimana bisa memperoleh kepastian
http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32
Sekretariat Negara Republik Indonesia

bahwa harga yang stabil akan mampu memenuhi tujuan harga pangan yang wajar untuk
RTM dan sekaligus mampu meningkatkan pendapatan petani.

Sebagai operator,
Bulog berharap kepada Pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatannya
sehingga program Bulog dapat meningkatkan ketahanan pangan dan peningkatan
kesejahteraan petani.

Kita tidak bisa menutup perdagangan beras seratus


persen. Kita akan butuh ongkos yang mahal dan tidak reasonable dalam
kondisi saat ini yang penuh dengan tekanan dari internasional maupun dalam
negeri. Kita perlu menciptakan kondisi yang dekat dengan self
sufficiency, dimana impor beras tidaklah tabu, tetapi tetap dalam
batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan jumlah dan waktunya. Kita perlu
meminimalkan biaya sosial dan politik kalau harga beras terlalu tinggi. Dan
sebaliknya, membuka perdagangan seratus persen sama kelirunya dengan menutup
seratus persen.

______________________________

Transkripsi Orasi Ilmiah Direktur Utama


Perum Bulog pada Sidang Terbuka Institut Pertanian Bogor dalam rangka Dies
Natalis ke-44, tanggal 1 September 2007.

1Â Â Berbagai program telah dan terus


disempurnakan seperti penajaman sasaran dan jenis pangan yang diberikan.
Misalnya, MP-ASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) berupa bubur bagi bayi
berusia 12-24 bulan, dan makanan tambahan seperti pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi untuk balita, pemberian kapsul yodium di daerah endemik berat dan
sedang, dan upaya mendorong konsumsi garam beryodium (Azwar, 2004).

2Â Â
Sebagai perusahaan terbesar dalam industri perberasan nasional, kebijakan Perum
Bulog akan diikuti oleh perusahaan lain.Â

3Â Â Â Â Program bantuan uang kas


untuk pendidikan misalnya, tidak mudah dalam mengontrol jumlah, ketepatan
sasaran, dan waktu penyampaian, karena uang tersebut dikirim langsung melalui
sekolah atau ke rumah tangga sasaran. Program ini paling sedikit diberitakan di
media massa, bukan karena semuanya berjalan baik tanpa penyimpangan, akan tetapi
lebih disebabkan oleh karena masyarakat tidak dapat melakukan pengawasannya
secara fisik. Demikian juga BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dirancang akhir
2005, pada awalnya begitu heboh diberitakan di media massa. Berbagai kelemahan
dan kekurangannya luput dari pengamatan karena masyarakat luas tidak bisa
mengamati proses pelaksanaannya secara fisik.Â

http://www.setneg.go.id Sekretariat Negara Republik Indonesia 9 June, 2009, 09:32

You might also like