You are on page 1of 4

Selasa, 25 Januari 2011

MALPRAKTEK

MALPRAKTEK.
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin
meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan
kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para
dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh
tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai
dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan
medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
Di Negara-negara maju tiga besar dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan
ketidaklayakan dalam praktek, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis
anestesi dan spesialis kebidanan & penyakit kandungan.

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah
sikap kekurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-
hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini
berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hukum tidak mencampuri
hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian
berat (culpa lata), serius dan kriminil.

Tolak ukur culpa lata adalah:

1. Bertentangan dengan hukum

2. Akibatnya dapat dibayangkan

3. Akibatnya dapat dihindarkan

4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah
standar.

Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya
melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja
melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan
sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk
keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan
konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.

Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:

- Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit atau
setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
- Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
- Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:


- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran
- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya
telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian,
maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:

- Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien


- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
- Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam
hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “Res Ipsa Loquitur”, yang berarti faktanya telah
berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokter lah yang harus membuktikan
tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian
menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat
sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa
menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan
kriminal oleh Negara.

Contoh Kasus
1. Seorang dokter memberi cuti sakit berulang-ulang kepada seorang tahanan, padahal orang
tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena
pelanggaran Kode Etik Kedokteran (KODEKI) Bab-I pasal 7 dan KUHP pasal 267.
KODEKI Bab I pasal 7
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
KUHP pasal 267Dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang adanya
atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukuman penjara selama 4
tahun.

2. seorang penderita gawat darurat dirawat di suatu rumah sakit dan ternyata memerlukan
pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda-tunda, sehingga penderita meninggal dunia.
Pelanggaran etik dan hukum kasus ini ada 2 kemungkinan:

a. jika tertundanya penbedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter, maka sikap dokter tersebut
bertentangan dengan lafal sumpah dokter, KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan
306
Lafal sumpah dokter:

Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.


KODEKI Bab II pasal 10

Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan.KUHP
pasal 304
Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam
kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan berdasarkan
hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-KUHP pasal 306(2)
jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian, maka bersalah dihukum dengan hukuman
perjara selama-lamanya 9 tahun.

b. jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan keluarga penderita belum membayar uang
panjar untuk rumah sakit, maka rumah sakitlah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306,
sedang dokter terkena pelanggaran KODEKI.

Jadi walaupun kesadaran hukum meningkat akhir-akhir ini, namun untuk menegakkan hukum itu
di tengah-tengah masyarakat, masih menghadapi hambatan-hambatan. Hambatan lain tentunnya,
bahwa unsur-unsur penegak hukum kadang kala belum siap menangani kasus-kasus yang
diajukan, karena terbatasnya pengetahuan dalam bidang medik dan belum adanya perundang-
undangan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kasus-kasus yang diajukan.

Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang selayaknya tidak dilakukan
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya, akan tetapi sanksi bila terjadi pelanggaran
etik tidak dapat diterapkan dengan seksama.

Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh atau tidak, oleh karena itu
kadang kala sulit memberikan sanksi-sanksinya.

Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical Council) yang bertugas melakukan
pembinaan etika profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap
etik kedokteran.
Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik di
tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi
dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun masyarakat.

Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh MKEK. Oleh
karena fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada tahun 1982 Departeman Kesehatan
membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di
pusat dan di tingkat propinsi.

Tugas P3EK ialah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh
MKEK, dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang.Jadi instansi
pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah MKEK cabang atau wilayah.
Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK
Propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat.

Begitu juga kasus-kasus malpraktek etik yang dilaporkan kepada propinsi, diharapkan dapat
diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau Wilayah. Dengan demikian diharapkan bahwa
semua kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara tuntas.

Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau perdata, maka
kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah bahwa oleh karena
kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan teknologi kedokteran
menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap tidak adil.
Diposkan oleh iztho di 22.43 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google
Buzz

You might also like