You are on page 1of 8

Nama : Yosefa Marlinda

NIM : 10110161

Prodi : IKP Reg. 1B

Kasus Malpraktek dalam bidang Orthopedy

Gas Medik yang Tertukar

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana


layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh
dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas.
Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga
tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan
bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya,
sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi
(N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2.
Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberia CO2 pada pasien tentu mengakibatkan
tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien
jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun
berakibat fatal.

Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata,
di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di
mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana
caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi
keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang
berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.
Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
 Sangsi hukum

Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur
kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang
orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan
perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah
nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap
tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan
keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang
lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak
memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan


celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1)
‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling
lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang
lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan


malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter
yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami
kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.”

 Kepastian hukum

Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter
akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan
juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik.
Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam
kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.

Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan
sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions
of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)

Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi,
perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut
etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika
adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi
professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan
tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara
yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu


ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi
yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara,
notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter
yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan
memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga
peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik.
Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan
komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus
malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab
hokum profesinya.

Ditinjau dari Sudut Pandang Agama

Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian


atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Diantaranya dapat dilihat bagaimana secara garis besar
agama Islam dan Khatolik memandang malpraktek.

 Menurut pandangan Islam

Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif
Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam).
Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi
saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk
pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki
diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri. Dari sini dapat kita katakana
bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi
kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup
atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan.
Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.

 Menurut pandangan Katolik


Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek adalah
mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah sejak kapan satu
individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang sudah
memiliki hak untuk hidup?.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus
dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal yang perlu
diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul)atau tidak? Agama
katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada waktu dilahirkan janin
telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan kewajiban moral terhadapnya.

Dari uraian singkat diatas kita dapat katakana bahwa, sejak si janin sudah terbentuk, kita
sebenarnya sudah tidak punya hak untuk memusnahkannya dan harus membiarkan atau
memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana karena
suatu kalalaian menakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakana sebagai suatu
perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah tidak punya hak
untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu maka setiap kelalaiaan yang
mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa ditindaklanjuti baik secara agama
ataupun hukum.

Solusi

Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta
segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini keselahan
pemberian atau pemasangan gas setalah oparasi paembedahan tulang di atas maka pencegahan
terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan
dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah
tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan
dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis
tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari
dan juga perlu terus ada pelatihan dan pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang
harus dipakai dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan kesehatan
agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat dapat diminimalisir .
Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis
seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan
situasi ideal dalam pendidikan.

            Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter. Diyakini
bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena
diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk
mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.

            Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa
kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan
ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional
dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam
melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat
ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk
mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-
pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi
aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan
mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.

            Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek
kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional
bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang
kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang
berlaku.

Kesimpulan

Malprktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tinndakan kelalaian yang dilakukan oleh
dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam tindakan
pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang pada
awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus menghembuskan
nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas setelah operasi. Kelalaian
fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan
lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa
disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki
petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Karena tindakan
tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku dalam
suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka perlu ada jalan
keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam
menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala macam pengetahuan tentang
berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.

Saran
Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis serta
siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang kesehatan,
hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk mempelajari
semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam dindakan pelanggaran
ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.

You might also like