You are on page 1of 4

Kasus Mallpraktek Di indonesia

Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan


kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai
secara bergantian seolah-olah artinya sama, padahal istilah malpraktek tidak sama
dengan kelalaian medik.

Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam malpraktek


tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain malpraktek
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik. Perbedaan yang lebih
jelas dapat terlihat dari istilah malpraktek yang selain mencakup unsur kelalaian, juga
mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dilakukan dengan
sadar dan akibat yang terjadi merupakan tujuan dari tindakan tersebut walaupun ia
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya tersebut bertentangan
dengan hukum yang berlaku.

Misalnya dengan sengaja melakukan pengguguran kandungan tanpa alasan (indikasi)


medis yang jelas, melakukan operasi pada pasien yang sebenarnya tak perlu dioperasi,
memberikan surat keterangan dokter yang isinya tidak benar. Sebaliknya, istilah
kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan secara
tidak sengaja (culpa), kurang hati-hati, tak peduli/tak acuh, dan akibat yang
ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena adanya kelalian yang
terjadi di luar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien dan tidak mengobatinya
sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal.

MALPRAKTEK
Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan
profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter,
insiniur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain. Oleh karena itu,
istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja
tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi
kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik.

Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan,


kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan
untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya
perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan
etika.

Menurut pasal 51 Undang-undang (UU) no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :

-memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
-merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.
-merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
-melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
-menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau ilmu
kedokteran gigi.
Kesemuanya hal-hal yang diuraikan di atas merupakan kewajiban profesi yang
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi menurut UU, dan dikatakan malpraktek medik jika
:
-Adanya tindakan atau sikap perbuatan dokter yang bertentangan dengan etik dan
moral, bertentangan/melawan hukum (onrechtmatige daad), bertentangan dengan
standar profesi medik dan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan atau ilmu yang
dimilikinya sudah ketinggalan zaman di dalam pelayanan kesehatan.
-Menelantarkan, lalai, kurang hati-hati dan adanya kesalahan dalam melakukan
tindakan.

KELALAIAN MEDIK
Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak
acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Sepanjang
akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian kepada orang
lain dan orang lain menerimanya maka hal ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan
tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak
memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika
sampai merengut nyawa maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa
lata).

Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari beberapa
hal:
a.Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya untuk
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan pasien
berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU no. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik adalah pendidikan
profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter atau dokter gigi tentunya tidak
dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya tidak seperti yang diharapkan atau
merugikan pasien, sepanjang tindakan yang dilakukannya telah memenuhi standar
profesi medik yang ada.

b.Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan
atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi mempunyai pendapat yang
berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain mengenai penyakit pasien belumlah
berarti bahwa ia telah menyimpang, karena untuk menentukan apakah terdapat
penyimpangan atau tidak harus berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut
dengan bantuan pendapat ahli atau saksi ahli.

c.Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara penyebab
dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali pasien maupun
keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang dialami pasien adalah
akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya. Anggapan ini tidak selamanya benar
karena harus dibuktikan dahulu adanya kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat
antara akibat yang dialami pasien dengan unsur kelalaian dokter.

PERLU DIPERHATIKAN
Hukum menginginkan agar seluruh masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya
termasuk kewajiban profesinya harus dengan cara yang wajar dan menjaga agar orang
lain termasuk pasiennya tidak sampai menderita kerugian yang tidak perlu. Di dalam
menjalin adanya hubungan antara dokter dengan pasien di dalam pengobatannya
terdapat unsur yang sangat penting yaitu kepercayaan yang diberikan oleh pasien
terhadap dokter yang merawatnya bahwa dokter mempunyai ilmu ketrampilan untuk
menyembuhkan penyakit pasien, dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti serta
bertindak berdasarkan standar profesi medik yang ada. Kepercayaan tersebut
hendaknya jangan disia-siakan, dengan menghindari melakukan malpraktek medik
termasuk kelalaian medik (dr.Pirma Siburian SH, SpPD,KGer, Koordinator Bidang
Hukum dan Perlindungan Anggota, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia Cabang Sumatera Utara). 
Contoh kasus ini saya dapatkan dari blog dr. Yusuf Alam Romadhon, seorang dokter
umum di Solo, Jawa Tengah.
Kasa Tertinggal Berakibat Osteomyelitis
Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang
Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo
dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent
telah ditanda tangani oleh Parjo sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani.
Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr. Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi
elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken mengoperasi dua operasi cito.
Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah
menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Parjo
setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada
seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka
selalu diganti.
Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu
panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak
kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya
masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak
dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya.
Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang
letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.
Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh
dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah.
Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera
dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda
tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo
menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir
nanah.

Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang
yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa
mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa
tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.
Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi “bencana” demikian pada Parjo. Dengan
terpaksa dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang
tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah
dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk
melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter Ndang Sun
Tiken beserta direktur Rumah Sakit Remen Waras lewat kuasa hukum mereka Gawe Ribut SH.
Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil yang
dialami.
……………………………………………………..
Analisa hal yang terjadi
Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras. Sedangkan rumah sakit Arto Wedi
tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi “penemu” kesalahan yang
dilakukan oleh Rumah Sakit Remen Waras.
Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik
baik di Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.
Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum. Permasalahannya adalah operasi yang
dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang
antara otot dan tulang. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut. Ada wan
prestasi (D1 & D2 ; duty dan dereliction of duty) yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken
SpB; sudah ada kontrak hubungan terapetik dan ada bukti melalaikan kewajiban yaitu kasa
tertinggal.. Juga terdapat “damage” yaitu adanya osteomielitis dan akibat osteomielitis ini
berkaitan dengan tertinggalnya kasa yang berada di ruang antara otot dan tulang.
Skenario penyelesaian masalah etikolegalnya
Pembuktian
- Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan
kasa tertinggal
- Pembuktian laporan operasi dari dokter Ndang Sun Tiken SpB
Bukti yang meringankan
- Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten
Sarwo Saras karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS
juga menindak lanjutinya dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen
Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga kasus Parjo muncul ke permukaan belum
terpenuhi permintaan tersebut.

You might also like