You are on page 1of 6

REALITAS DAN PENGENDALIAN KONFLIK

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS


Oleh: Abdul Syani1.

1. Konflik dalam Tinjauan Teoritis

Menurut Definisi kerja Coser konflik adalah "perjuangan mengenai nilai serta tuntutan
atas status, kekuasaan dan sumber daya yang yang bersifat langka dengan maksud
menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan. Kajian Coser terbatas pada fungsi
positif dan konflik, yaitu dampak yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi,
hubungan sosial atau kelompok tertentu (Kamanto Sunarto: 243). Pandangan
pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut ini :

1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah
berahir, atau dengan pe-nataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang
melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan
perkataan lain konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah
orang atas sejumlah orang yang lain (Nasikun: 16-17).

Teori konflik melihat masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang
ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik
melihat bahwa setiap elemen institusi memberikan sumbangan terhadap disintegrasi
sosial.Teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan
karena adanya tekanan atau paksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama menganalisa konflik
adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam situasi
konflik seseorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan
oleh golongannya (George Ritzer: 29-30).

Aspek terakhir konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan
sosial. Konflik menurutnya memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Dalam
situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan
perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan
yang akan terjadi perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula dengan
konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif
(George Ritzer: 33).
Teori konflik menurut Karl Marx terletak pada teorinya mengenai kelas, Marx
berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas,
dengan munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki
alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme
memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi
konflik diantara dua kelas. (Kamanto Sunarto: 241).

Menurut Ralf Dahrendorf, dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam
masyarakat industri. Menurutnya perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi
juga diluar masyarakat; bahwa perubahan dari dalam tidak selalu disebabkan konflik
sosial dan bahwa disamping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk
lain, ia pun mengamati bahwa konflik tidak selalu menghasilkan evolusi, selanjutnya
Dahrendorf mencatat bahwa kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan dibidang
industri.

Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi


yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak oleh pihak yang lain atas dasar
paksaan) yang dinamakannya "Imperatively Coordinate Associations" (asosiasi yang
dikoordinasikan secara paksa). Karena kepentingan kedua pihak dalam asosiasi-
asosiasi tersebut berbeda pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan
kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh
kekuasaan, maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok.
Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebutkekuasaan dalam asosiasi akan
menghasilkan perubahan sosial.

Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan dan
wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak
langka sehingga tidak dapat di bagi sama rata diantara rakyat. Maka dengan telah
muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan
dan meng-inginkan porsi lebih besar dari dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi
atau mencegah pihak lain dari memperoleh dan menguasai barang itu (J. Veeger: 92).

2. Konflik dalam Perspektif Realitas

Konflik horizontal menyebar di Indonesia seperti wabah penyakit menular. Sistem politik
Indonesia sejak reformasi 1998 yang diharapkan dapat merubah wacana demokrasi
Indonesia baru, ternyata harus dibayar mahal. Kepentingan politik masih dominan
mengancam, sehingga batas demokrasi, kebebasan Pers dan supermasi sipil dan
hukum menjadi kebablasan dan formalistik. Kebijakan ekonomi kerakyatan, ternyata tak
mendapat simpati masyarakat, karena pada prakteknya semua tak menyentuh prioritas
kepentingan publik. Nilai rupiah dan fluktuasi harga tidak menentu, kesulitan mencari
nafkah, pekerjaan sehingga jurang antara kaya dan miskin mengaga sangat lebar.
Pengungsian dan kelaparan mencapai 1 juta jiwa akibat konflik yang terjadi di berbagai
daerah dalam negeri, seperti Aceh, Sambas, NTT, Ambon, Sulawesi Tengah, dan Poso.
Di sana sini banyak terjadi pergolakan politik yang menimbulkan konflik sosial.
Masyarakat kehilangan pijakan dan kepercayaan diri, emosi sosial meningkat tak tahu
akan menyalahkan siapa. Akibnatnya antar warga masyarakat saling curiga,
solidaritas sosial menurun, sehingga timbul tragedi kemanusiaan yang panjang dan pada
akhirnya mengancam integritas bangsa secara global.

Sesuai dengan perkembangan kondisi sosial dan perubahan kepentingan masyarakat,


maka lumrah kalau adat istiadat itu selalu berubah sesuai dengan tuntutan hidup. Akan
tetapi bukan berarti hukum adat masyarakat itu tak berlaku atau mati, melainkan ia tetap
hidup dalam jiwa mereka. Jadi perubahan adat tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak
memperhatikan eksistensi adat masyarakat setempat, apalagi menyangkut kepentingan
berbagai pihak untuk mengubah penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ada di
wilayah mereka. Sebagai kenyataan pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan adanya
konflik-konflik soal tanah yang terjadi di sekitar kegiatan pembangunan. Oleh karena itu
perlu penataan posisi hukum adat terasa semakin mendesak dan segera dilakukan. Hal
ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan semakin meningkatnya konflik
sehubungan dengan terus bergeraknya kegiatan-kegiatan pembangunan dari berbagai
sektor yang cenderung menyentuh kepentingan masyarakat adat.

Hukum adat yang sebetulnya majemuk itu bersifat "terbuka", mengedepankan upaya
musyawarah antar orang-orang yang berkepentingan, dan partisipatif. Sebenarnya
hukum adat cukup adaptif dan lentur terhadap perubahan, sepanjang perubahan-
perubahan itu melalui hasil konsensus bersama, melalui cara-cara yang terbuka dalam
musyawarah. Prinsip Hukum adat selalu mengutamakan keadilan bagi sesama warga
yang mendukungnya. Oleh karena itu hukum adat mesti diakui, dipelihara dan dibangun
melalui proses pemahaman yang berlandaskan pada tujuan untuk maju dan sejahtera
bersama secara merata.

Mengenai titik persoalan konflik pertanahan pada akhir-akhir ini tidak lepas dari benturan
pemahaman pihak-pihak terhadap status Tanah hak ulayat yang secara realistik keluar
dari fungsinya sebagai lahan jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan
taktis, dan sebagai sumber dana dalam setiap upaya pemenuhan tuntutan hajat hidup.
Sementara itu hak ulayat menurut hukum adat adalah hak atas tanah oleh suatu
klen/kerabat masyarakat adat. Termasuk juga penguasaan hukum adat terhadap kali
(sungai), danau, pantai serta tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang.

Pada dasarnya masyarakat berhak mempergunakan tanah-tanah dan kekayaan alam


yang ada di wilayah hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa pihak luar bisa
memanfaatkan tanah ulayat dengan seizin pimpinan adat (penyimbang) melalui
musyawarah perwatin adat. Tanah ulayat menurut hukum adat tidak dapat dilepaskan,
dipindah-tangankan dengan hak milik pribadi, termasuh tanah yang sedang digarap. Hal
ini menunjukkan bahwa hubungan hak ulayat dengan hak perorangan mempunyai
hubungan timbal balik. Semakin kuat hubungan antara masyarakat dengan tanah
semakin kuat hak ulayat yang berlaku.
Khususnya di daerah Lampung dalam memanfaatkan tanah ulayat harus seizin kepala
adat/kepala marga. Bagi warganya yang meninggalkan rumah/umbul dan tanam
tumbuhnya yang tidak dipelihara selama tiga tahun, maka penguasaannya kembali
kepada kepala adat, dan harus izin ulang jika ingin memanfaatkan kembali.

Meskipun pada tahun 1973 Gubernur Lampung melalui Putusannya


No.G/234/D.1/HK/1973, telah menghapus pemerintahan negeri, akan tetapi tidak berarti
hapusnya tanah ulayat, melainkan kembali pada marga masing-masing. Di lain pihak
Gubernur Lampung telah mengeluarkan Keputusan No.G/127/DA/HK/1974 tentang
Pembebasan Tanah Untuk Keperluan Perusahaan. Dengan demikian berarti penggunaan
tanah ulayat/marga di bawah kekuasaan kepala adat/marga untuk kepentingan tersebut
harus menempuh jalur musyawarah perwatin adat. Tujuannya adalah agar tidak terjadi
persengketaan terhadap tanah tersebut antara pihak pengusaha dengan masing-
masing kepala adat/marga dan warga masyarakat pada umumnya.

Oleh karena diketahui bahwa masyarakat hukum adat sangat terbuka terhadap jalur
musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah, termasuk masalah pertanahan, maka
apabila terjadi sengketa tanah ulayat/marga, maka dapat diselesaikan melalui
mekanisme tersebut.

Adapun pertimbangannya adalah bahwa masyarakat adat Lampung pada umumnya


masih tetap mendukung adat budayanya. Dalam penyelesaian masalah tanah harus
dilakukan dengan musyawarah bersama antara masyarakat tiyuh semarga, antara
masyarakat adat dengan pihak-pihak yang berkepentingan, dan Pemerintah Daerah
sebagai mediator.

Kepala Adat dan warga masyarakat adat Lampung pada umumnya menyadari bahwa
tanah ulayat itu bukan milik perorangan, melainkan hanya dikuasai oleh Kepala Adat
dalam pengertian pengelolaan dan pemanfaatannya atas kewenangan dan seizin Kepala
Adat setempat. Mengenai hasil produksi tanah atau hasil tanam tumbuhnya diatur oleh
Kepala Adat melalui musyawarah perwatin adat, yaitu sebagian besar hasilnya milik
penggarap dan sebagian kecil untuk diserahkan kepada lembaga adat melalui Kepala
Adat. Peruntukan hasil yang diserahkan kepada Kepala Adat adalah sebagai sumber
dana pelestarian adat dalam bentuk gawi adat, musyawarah adat dan kepentingan
adat lainnya.

Apabila ada pihak lain, baik pemerintah, badan, lembaga atau perusahaan yang
secara formal ingin menggunakan tanah ulayat tersebut dengan tujuan pembangunan,
maka pada dasarnya masyarakat tidak keberatan sepanjang pihak-pihak yang
berkepentingan tadi dapat bekerjasama, baik dalam proses perencanaan, pengelolaan,
pemeliharaan, maupun dalam pembagian hasil usaha atas tanah tersebut. Hal ini
berarti pihak-pihak yang berkepentingan harus mengikutsertakan masyarakat dengan
sentuhan sosial budaya dan dapat mengangkat kepentingan serta harkat martabat
hukum adat yang berlaku. Dalam hal ini tentu saja dalam segala tindak dan kebijakan
harus disesuaikan dengan prosesur hukum adat yang berlaku, yaitu melalui
musyawarah perwatin adat untuk mencapai mufakat.

Mengenai keterlibatan swasta dalam perencanaan dan pelaksanaan program


pembangunan, perlu mendapat pengawasan pihak-pihak yang berwenang agar tidak
terjadi penyimpangan tujuan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Program
harus sesuai dengan potensi sosial budaya, alam, pekerjaan pokok dan aspirasi
ekonomi masyarakat. Apabila tidak, maka proses pelaksanaan program tersebut akan
tertatih, bahkan mungkin tak berhasil atau sedikitnya tak memiliki nilai tambah. Sebagai
contoh program cetak sawah tadah hujan terhadap masyarakat etnis Lampung, tentu
mereka akan kalah bersaing dengan saudara-saudara kita pendatang yang sudah biasa
bekerja di sawah. Jika kenyataan ini ditanggapi dengan perbedaan sikap dan perlakuan
serta propokasi sepihak, maka dapat mengakibatkan timbulnya kecemburuan yang
pada akirnya dapat melahirkan konflik etnis.

3. Pengendalian Konflik

Tiga jenis pengendalian konflik yaitu:


1. Masing-masing kelompok yang terlihat di dalam konflik harus menyadari akan
adanya situasi konflik di antara mereka, oleh karena itu perlu pula menyadari
dilaksanakan prinsip-prinsip keadaan dan keadilan secara jujur bagi semua fihak.
2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai
kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir secara jelas. Sejauh
kekuatan sosial yang saling bertentangan berada di dalam keadaan tidak terorgani-
sir, maka pengendalian atas konflik-konflik yang terjadi di antara merekapun akan
merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Sebaliknya konflik yang terjadi diantara
kelompok-kelompok akan lebih mudah melembaga, dan oleh karena itu akan lebih
mudah dikendalikan pula.
3. Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan
permainan-permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan-
hubungan sosial di antara mereka menentukan suatu pola tertentu. Aturan-aturan
permainan tersebut, pada giliranya justru menjalin kelangsungan hidup kelompok itu
sendiri oleh karena dengan demikian ketidakadilan akan dapat dihindarkan,
memungkinkan tiap kelompok dalam meramalkan tindakan-tindakan yang akan
diambil oleh kelompok yang lain, serta menghindarkan munculnya pihak ketiga yang
akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri (Nasikun: 23-24).
4. Solidaritas sosial dibagi oleh dua solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Solidaritas mekanis yaitu diikat oleh sifat solidaritas kolektif sedangkan solidaritas
organis adalah sifat yang diikat oleh saling ketergantungan diantara bagian-bagian
dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk (Nasikun: 62).

Untuk mewujudkan upaya tersebut perlu peningkatan perhatian bersama dari pihak
pemerintah, pihak-pihak yang berwenang dan masyarakat untuk menghentikan
meluasnya konflik. Perhatian utama adalah menggali dan menggugah itikat baik,
moralitas, nilai-nilai kemanusiaan, dan kesadaran masing-masing pihak yang berseteru.
Hal ini perlu pemahaman dan aksi bersama melalui medium penyeberluasan informasi
korban lokalitas secara nyata dan langsung dari pihak-pihak tertentu, seperti akademisi,
mahasiswa, dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk
merekatkan kembali serpihan perpecahan akibat konflik antar kelompok komunal,
hilangnya kepercayaan kepercayaan sosial dari berbagai kelompok etnis, agama, antar
pendukung kelompok tertentu, antar satgas, antar aparat, bahkan antar masyarakat
kampung.

Dalam upaya tersebut, yang penting aksi kampanye penyadaran melalui corong
pemberitaan yang jelas, positif, dan obyektif secara terus menerus tentang peristiwa
konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Perlu pendataan secara serius tentang korban akibat konflik di sektor
daerah oleh pihak-pihak yang benar-benar independen dan tidak memihak. Perlu
pengkajian secara rinci tentang prioritas kebutuhan masyarakat yang relevan dan
komprehensif, seperti kebutuhan kesehatan, makanan, ekonomi, keadilan, dan lain-
lain. Hasil pengkajian ini kemudian ditindak-lanjuti dengan mendesain saran dan solusi
penyelesaian konflik "Indonesia dirundung malang", misalnya membentuk "Komnas
penanganan konflik". Agar memenuhi landasan komitmen nasional yang jelas, maka
pembentukannya perlu pengesahan secara hukum.

Dalam implementasinya harus dikembangkan mobilitas sosial secara horizontal dan


langsung antar etnis, kelompok, antar kegiatan, dan pergaulan antar keagamaan, agar
terbiasa dalam keragaman pergaulan. Pada gilirannya dapat diciptakan dialog, seolah-
olah mereka yang terlibat telah mewakili kelompoknya masing-masing. Dialog sosial ini
bisa dimulai dari perwakilan antar kelompok, terutama tokoh-tokoh kunci yang memiliki
wawasan marginalistik positif sebagai medium dalam tataran persamaan visi dan misi
persatuan atas keragaman.

* Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unila.

You might also like