You are on page 1of 14

Ampas Tebu

Syaiful Anwar (Alumni TIP – FTP – UB)

Tebu (Saccharum officinarum) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku
gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini
termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa
dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan
di pulau Jawa dan Sumatra (Anonim, 2007e).

Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses
ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar
35 – 40% dari berat tebu yang digiling (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Husin
(2007) menambahkan, berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu
giling. Pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula
Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik
gula di Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton (Anonim, 2007b), sehingga ampas
tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000 ton. Namun, sebanyak
60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar,
bahan baku untuk kertas, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-
lain. Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 45 % dari ampas tebu tersebut belum
dimanfaatkan
(Husin, 2007).

Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang seratnya antara


1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro, sehingga ampas tebu ini
dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase
mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat
bagase tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa,
pentosan dan lignin (Husin, 2007).

Menurut Husin (2007) hasil analisis serat bagas adalah seperti dalam Tabel 2.
berikut:

Tabel 2. Komposisi kimia ampas tebu

Kandungan  Kadar (%) 


Abu 3,82

Lignin 22,09

Selulosa 37,65

Sari 1,81

Pentosan 27,97

SiO2
3,01 

    

Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu sebagai


bahan bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut
mengalami pengeringan. Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak
digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas, particleboard, fibreboard, dan
lain-lain (Indriani dan Sumiarsih, 1992).

http://bioindustri.blogspot.com/2008/04/ampas-tebu.html

Kompos Bagase

Kompos bagase adalah kompos yang dibuat dari ampas tebu (bagase), yaitu
limbah padat sisa penggilingan batang tebu. Kompos ini terutama ditujukan untuk
perkebunan tebu. Pabrik gula rata-rata menghasilkan bagase sekitar 32% bobot
tebu yang digiling. Sebagian besar bagase dimanfaatkan sebagai bahan bakar
boiler, namun selalu ada sisa bagase yang tidak termanfaatkan yang disebabkan
oleh stok bagase yang melebihi kebutuhan pembakaran oleh boiler pabrik. Sisa
bagase ini di masa depan diperkirakan akan bertambah seiring meningkatnya
kemajuan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi pabrik pengolahan tebu,
termasuk boiler pabrik.

Limbah bagase memiliki kadar bahan organik sekitar 90%, kandungan N 0.3%,
P2O5 0.02%, K2O 0.14%, Ca 0.06%, dan Mg 0.04% (Toharisman, 1991).
Pemberian kompos campuran bagase, blotong, dan abu boiler pabrik pengolahan
tebu dapat meningkatkan ketersediaan hara N, P, dan K dalam tanah, kadar bahan
organik, pH tanah, serta kapasitas menahan air (Ismail, 1987). Hasil penelitian
Riyanto (1995) menunjukkan bahwa pemberian kompos bagase 4-6 ton/ha dapat
mengurangi penggunaan pupuk NPK hingga 50%.

Bahan pembuatan kompos bagase yaitu bagase dan kotoran sapi yang
dimanfaatkan sebagai bioaktivator, dengan perbandingan volume 3:1.
Penambahan kotoran sapi selain sebagai bioaktivator juga untuk menurunkan
rasio C/N. Bagase dan kotoran sapi ditumpuk berselingan dengan tebal bagase 30
cm dan tebal kotoran sapi 10 cm, lalu di tumpukan teratas diberikan jerami
sebagai penutup. Pengomposan dilakukan dengan sistem windrow menggunakan
saluran udara yang terbuat dari bambu yang dipasang secara vertikal dan
horizontal. Selama proses pengomposan, dilakukan penyiraman secara rutin
diikuti dengan pemeriksaan suhu dan kelembaban. Tumpukan bagase dibalik
setiap minggu atau ketika kelembaban melebihi 70%. Proses pengomposan
membutuhkan waktu 3 bulan hingga kompos menunjukkan warna coklat tua
hingga hitam.
Hasil analisis kompos bagase dengan starter kotoran sapiSifat kompos Kandungan
Kadar air (%) 64.23
pH 4.95
C (%) 20.47
N (%) 1.12
Rasio C/N 18.00
P2O5 (%) 0.08
K2O (ppm) 75.29
SO4 (%) 0.02
Ca (%) 0.08
Mg (ppm) 91.69

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Departemen Agronomi dan Hortikultura


Institut Pertanian Bogor menyebutkan bahwa kompos bagase (kompos yang
dibuat dari ampas tebu) yang diaplikasikan pada tanaman tebu (Saccharum
officinarum L) meningkatkan penyerapan nitrogen secara signifikan setelah tiga
bulan pengaplikasian dibandingkan degan yang tanpa kompos, namun tidak ada
peningkatan yang berarti terhadap penyerapan fosfor, kalium, dan sulfur.
Penggunaan kompos bagase dengan pupuk anorganik secara bersamaan tidak
meningkatkan laju pertumbuhan, tinggi, dan diameter dari batang, namun
diperkirakan dapat meningkatkan rendemen gula dalam tebu.
http://www.duniakompos.co.cc/2010/08/kompos-bagase.html

Pabrik Gula dan Lingkungan Sekitarnya

at Ehsa Blog

« Issue Industri Pestisida


Limbah Industri Lapis Listrik »

Pabrik Gula dan Lingkungan Sekitarnya

A. Latar Belakang

Potensi industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia


melalui barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan
industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Buangan
limbah pabrik gula mengakibatkan timbulnya pencemaran air sungai yang dapat
merugikan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti
berkurangnya hasil produksi pertanian, menurunnya hasil tambak, maupun
berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk. Buangan berupa asap
menyebabkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernafasan pada masyarakat
sekitar kawasan industri.

Sikap sejumlah perusahaan yang hanya berorientasi “Profit motive” tanpa


memikirkan dampak lingkungan dan lemahnya penegakan peraturan terhadap
pelanggaran pencemaran berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh
industri dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industri hingga perusahaan harus
mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak.

Salah satu industry yang banyak disoroti tentang masalah lingkungan yaitu pabrik
gula. Sejumlah kasus pengaduan masyarakat disekitar pabrik gula yang berkaitan
dengan limbah diantaranya seperti debu yang sering mengotori rumah mereka,
asap yang menggangu kesehatan, limbah cair yang dibuang ke sungai, bau tak
sedap dan lain-lain. Jika kasus seperti ini tetap dibiarkan, suatu saat nanti bisa
menjadi boomerang bagi keberlanjutan usaha pabrik tersebut. Sebenarnya limbah
pabrik gula dapat itu sendiri dapat dikelola dengan menjadikanya sebagai barang
lain yang manfaat. Disini dibutuhkan suatu usaha dan komitmen dari perusahaan
untuk mengelola limbahnya agar tidak merusak lingkungan, bahkan akan lebih
baik memberikan nilai tambah bagi masyarakat disekitar, seperti dimanfaatkan
sebagai pupuk pertanian.

Pabrik gula di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 59 pabrik. Produksi tebu
tahun 2008 untuk daerah Jawa Timur saja mencapai 17 juta ton. Selain
menghasilkan gula, pengolahan tebu juga menghasilkan pucuk tebu, ampas,
blotong dan tetes sebagai produk sampingnya. Khusus untuk ampas pada
umumnya digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler). Salah satu cara untuk
melakukan diversifikasi produk pabrik gula adalah pengolahan hasil samping
(limbah) tersebut menjadi produk yang lebih tinggi nilainya.

PEMBAHASAN

A. Proses produksi di dalam pabrik gula

1) Pemilihan bahan baku


Sebelum melakukan proses produksi, hal pertama yang dilakukan adalah proses
pemilihan bahan baku. Bahan baku salah satunya diperoleh melalui perkebunan
sendiri yang dikelola oleh perusahaan dengan bekerjasama dengan masyarakat.
Perkebunan tersebut diawasi mulai dari proses penanaman, pemanenan, serta
pengolahannya sebelum diolah menjadi gula.

Adapun cara pemilihan bahan baku yang baik adalah tebu yang layak dijadikan
bahan produksi , persyaratannya antara lain:

• Tebu yang tua

• Rasanya Manis

• Mempunyai kadar gula yang tinggi, yaitu maksimal 9% dan minimal 7%

2) Proses produksi gula

Ada beberapa tahapan dalam proses produksi gula, yaitu :

a. Ekstraksi

Tahap pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Pada proses ini,
tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang berukuran besar.
Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya
digunakan di mesin pemanas (boiler).

b. Pengendapan (liming) kotoran dengan kapur

Liming adalah proses pembersihan jus hasil ekstraksi dengan menggunakan


semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin
kotoran untuk kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan.

c. Penguapan/ evaporasi

Setelah mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara
menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan
evaporasi.

d. Pendidihan/ kristalisasi

e. Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat
besar untuk dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga
kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai.

f. Penyimpanan

Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama
penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering
dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat
digunakan, tetapi karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang
berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula ini
dimurnikan lebih lanjut.

g. Afinasi

Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan
pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan Kristal.

h. Karbonatasi

Tahap ini bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang
menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini beberapa komponen warna juga
akan ikut hilang. Karbonatasi dapat diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime
[kalsium hidroksida, Ca(OH)2]

i. Penghilangan warna/ Decolorization

Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi granular activated


carbon, (GAC) yang mampu menghilangkan hampir seluruh zat warna.

j. Pendidihan

Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk
tumbuhnya kristal gula. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan
udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan.

k. Pengolahan sisa/ Recovery

Proses ini bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara dengan gula
kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Proses ini menghasilkan Produk yang
biasanya diolah lebih lanjutmenjadi pakan ternak atau dikirim ke pabrik
fermentasi seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol.

B. Limbah yang dihasilkan pabrik gula

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah
yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal +
232 ribu hektar, yang tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan
Makassar. Tanaman ini merupakan sumber bahan baku perusahaan gula. Dalam
suatu produksi barang, pastilah didapat hasil samping (limbah). Begitu pula
halnya dengan produksi pada pabrik gula.

Berikut adalah limbah yang dihasilkan dari produksi gula yang berasal dati
tanaman tebu:

• Pucuk Tebu
Pucuk tebu adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong
dari tebu giling ataupun bibit. Diperkirakan dari 100 ton tebu dapat diperoleh
sekitar 14 ton pucuk tebu segar. Pucuk tebu segar maupun dalam bentuk awetan,
sebagai silase atau jerami dapat menggantikan rumput gajah yang merupakan
pakan ternak yang sudah umum digunakan di Indonesia.

• Ampas Tebu

Tebu diekstrak di stasiun gilingan menghasilkan nira dan bahan bersabut yang
disebut ampas. Ampas terdiri dari air, sabut dan padatan terlarut. Komposisi
ampas rata-rata terdiri dari kadar air : 46 – 52 %; Sabut 43 – 52 %; padatan
terlarut 2 – 6 %. Umumnya ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar ketel
(boiler) untuk pemenuhan kebutuhan energi pabrik. Pabrik gula yang efisien dapat
mencukupi kebutuhan bahan bakar boilernya dari ampas, bahkan berlebih. Ampas
yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk pembuatan briket, partikel board, bahan
baku pulp dan bahan kimia seperti furfural, xylitol, methanol, metana, dll.

• Blotong

Pada proses pemurnian nira yang diendapkan di clarifier akan menghasilkan nira
kotor yang kemudian diolah di rotary vacuum filter. Di alat ini akan dihasilkan
nira tapis dan endapan yang biasanya disebut “blotong” (filter cake). Blotong dari
PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67 %, kadar pol 3 %, sedangkan dari PG.
Karbonatasi kadar airnya 53 % dan kadar pol 2 %. Blotong dapat dimanfaatkan
antara lain untuk pakan ternak, pupuk dan pabrik wax. Penggunaan yang paling
menguntungkan saat ini adalah sebagai pupuk di lahan tebu.

• Tetes

Tetes (molasses) adalah sisa sirup terakhir dari masakan (massecuite) yang telah
dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi
menghasilkan gula dengan kristalisasi konvensional. Penggunaan tetes antara lain
sebagai pupuk dan pakan ternak dan pupuk. Selain itu juga sebagai bahan baku
fermentasi yang dapat menghasilkan etanol, asam asetat, asam sitrat, MSG, asam
laktat dll.

• Asap

Telah disebutkan di atas hasil sampingan (limbah) pabrik gula cukup beragam.
Agar limbah ini tidak menjadi masalah bagi lingkungan sekitar, maka diperlukan
suatu pengelolaan terhadap limbah tersebut. Cara- cara yang bisa digunakan dalm
pengolahan limbah yaitu menetralkan limbah sehingga tidak berbahaya bagi
lingkungan , dan dengan merubah limbah menjadi barang lain yang lebih bernilai
tinggi.

C. Pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah pabrik gula


Secara umum pengelolaan limbah seperti limbah cair, yang dikeluarkan pabrik
gula merupakan limbah organik dan bukan Limbah B3 (bahan beracu dan
berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua tahapan, yaitu:

Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini dilakukan
dengan cara mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil trap) serta
pembuatan bak penangkap abu bagasse (ash trap).

Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi


Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8
ha, terdiri dari 13 kolam dengan kedalaman bervariasi dari 2 m (kolam aerasi)
sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya tampung lebih dari 240.000 m3,
sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari.

Sedangkan pengelolaan limbah dengan cara pemanfaatan limbah dari pabrik tebu
dapat memberikan nilai lebih. Pemanfaatan limbah pabrik tebu bisa berupa
pembuatan bioetanol, pemanfaatan pucuk tebu sebagai bahan pakan ternak, ampas
tebu untuk pakan ternak dan pembuatan senyawa furfural besrta turunannya, serta
pembuatan pupuk kompos dari blotong. Sedangkan untuk limbah berupa asap
dapat dikelola dengan jalan menekan pengeluaranya diudara bebas.

Berikut adalah sejumlah hal tentang pemanfaatan dan pengelolaan hasil samping
pabrik gula yang dapat digunkan untuk menekan tingkat pencemaran:

1. Pembuatan Bioetanol

Pada dasarnya unit pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1. Unit gilingan

2. Unit preparasi bahan baku

3. Unit fermentasi

4. Unit destilasi.

Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu. Komponen
unit gilingan terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan. Sebelum masuk
gilingan, tebu dipotong-potong terlebih dulu dengan pisau pencacah. Cacahan
tebu selanjutnya masuk kedalam tandem gilingan 3 rol yang biasanya terdiri atas 4
atau 5 unit gilingan yang disusun secara seri. Pada unit gilingan pertama, tebu
diperah menghasilkan nira perahan pertama (npp). Ampas tebu yang dihasilkan
diberi imbibisi, kemudian digiling oleh unit gilingan kedua. Nira yang terperah
ditampung, ampasnya kembali ditambah air imbibisi dan digiling lebih lanjut oleh
unit gilingan ketiga, dan demikian seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap
unit gilingan dijadikan satu dan disebut nira mentah.
Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang
dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan
penyaringan atau secara kimiawi. Klarifikasi terutama bertujuan untuk
menghilangkan beberapa impurities yang bisa mengganggu proses fermentasi.
Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih. Selanjutnya tahap ini
dilanjutkan untuk memproduksi gula dan sisanya berupa molase bisa dilanjutkan
masuk ke tahapan pembuatan etanol.

Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah molase menjadi etanol, melalui


aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa
unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik.
Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang
terbentukdibawa ke dalam unit destilasi. Unit destilasi berfungsi untuk
memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari
beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian
sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan
tingkat kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol anhydrous), yang biasanya
digunakan sebagai campuran unleaded gasoline menjadi gasohol.

Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa
diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan
sakarifikasi. Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi
komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa
dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi,
selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol.

Pembuatan etanol selain dari molase juga dari ampas tebu. Ampas tebu sebagian
besar mengandung ligno-cellulose. Bahan lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi bioetanol. Berikut contoh skema ideal pemanfaatan bahan
lignoselulosa untuk memproduksi bioetanol :

Limbah dari pabrik gula yaitu tetes, dapat dipakai sebagai bahan baku pabrik
alcohol.

Limbah cair yang dikeluarkan pabrik merupakan limbah organik dan bukan
Limbah B3 (bahan beracu dan berbahaya). Limbah cair ini dikelola melalui dua
tahapan. Pertama, penanganan di dalam pabrik (in house keeping). Sistem ini
dilakukan dengan cara mengefisienkan pemakaian air dan penangkap minyak (oil
trap) serta pembuatan bak penangkap abu bagasse (ash trap).

Kedua, penanganan setelah limbah keluar dari pabrik, melalui Instalasi


Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL dibangun di atas tanah seluas lebih dari 8
ha, terdiri dari 13 kolam dengan kedalaman bervariasi dari 2 m (kolam aerasi)
sampai 7 m (kolam anaerob). Total daya tampung lebih dari 240.000 m3,
sehingga waktu inap (retention time) dapat mencapai 60 hari.

2. Pemanfaatan Ampas Tebu


Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) dapat dapat dijadikan bubur pulp dan
dipakai untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak; bahan baku pembuatan pupuk,
particle board, bioetanol, dan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) sehingga
mengurangi konsumsi bahan-bakar minyak oleh pabrik.

Selain itu semua, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat
dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung
proses produksi sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat
dalam ampas tebu adalah pentosan, dengan persentase sebesar 20-27%.
Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan ampas tebu
untuk diolah menjadi Furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas dalam
beberapa industri dan juga dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti :
Furfuril Alkohol, Furan, dan lain-lain. Kebutuhan (demand) Furfural dan
turunannya di dalam negeri meski tidak terlalu besar namun jumlahnya terus
meningkat . Hingga saat ini seluruh kebutuhan Furfural untuk dalam negeri
diperoleh melalui impor. Impor terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini
menguasai 72% pasar Furfural dunia.

Furfural

(C5H4O2) atau sering disebut dengan 2-furankarboksaldehid, furaldehid,


furanaldehid, 2-Furfuraldehid, merupakan senyawa organik turunan dari golongan
furan. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas terutama untuk mensintesis
senyawa-senyawa turunannya. Di dunia hanya 13% saja yang langsung
menggunakan Furfural sebagai aplikasi, selebihnya disintesis menjadi produk
turunannya. Furfural dihasilkan dari biomassa (ampas tebu) lewat 2 tahap reaksi,
yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Untuk itu digunakan bantuan katalis asam,
misalnya: asam sulfat, dan lain-lain.

Furan

Furan merupakan contoh lain senyawa yang dapat dihasilkan dengan bahan baku
Furfural. Furan yang biasa disebut juga Furfuran atau oxole, memiliki rumus
molekul C4H4O. Furan diproduksi dengan proses dekarbonilasi Furfural dengan
kehadiran katalis logam mulia. Furan dimanfaatkan sebagai bahan kimia
pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri farmasi,
herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan sebagai bahan baku dalam
pembuatan senyawa turunan dari furan. Salah satu senyawa yang diproduksi
dengan bahan baku Furan adalah Tetrahidrofuran (tetrametilen oksida atau
oxolane). Senyawa yang dihasilkan melalui hidrogenasi katalitik dari Furan ini
digunakan sebagai pelarut untuk polivinil klorida (PVC), polivinilidene klorida,
beberapa serat poliuretan yang diaplikasikan pada proses pelapisan dan perekat.

3. Pemanfaatan Blotong untuk pembuatan kompos

Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah


pabrik gula, antara lain ; serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan
bahan aktivator berupa mikroorganisme, yang terdiri dari ; campuran bakteri,
fungi, aktinomisetes, kotoran ayam dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini
dilakukan secara biologis karena memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen
pengurai limbah.

Contoh Prosedur pembuatan pupuk kompos adlah sebgai berikut: Bahan pupuk
terdiri dari tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong , dan 100 kg abu ketel.
Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak dengan
ukuran bawah 1,5 x 1,5 m; ukuran atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m. Sebelum
dicetak, daun tebu dipotong-potong sehingga panjangnya kurang dari 5 cm.
Semua bahan dicampur rata, kemudian ditambah 5 kg TSP dan 10 kg Urea. Untuk
menjaga kelembaban dilakukan penambahan air.

Pemberian aktivator pada setiap tumpukan masing-masing sebanyak 10 kg


campuran mikroorganisme selulolitik,yaitu 5 kg fungi; 2,5 kg bakteri dan 2,5 kg
aktinomisetes. Aktivator ditabur bersamaan dengan saat memasukkan bahan
kompos ke dalam cetakan. Setelah tercetak, kemudian di setiap tumpukan diberi
lubang aerasi pada masing-masing sisi dan bagian atas tumpukan dengan cara
menusukkan sebatang bambu.

Pembalikan tumpukan kompos dilakukan dua minggu sekali. Hal ini dimaksudkan
untuk membantu memperlancar sirkulasi udara ke bagian tengah kompos,
sehingga dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme selulolitik. Setiap dua
minggu dengan menganalisa nisbah C/N dan pH sampai diperoleh nisbah C/N
sekitar 12-20 dan pH mendekati netral.

Limbah pabrik gula berupa blotong juga dapat dijadikan pupuk organik dengan
cara mencampurkannya dengan limbah pabrik etanol berupa vinace dan ditambah
sejumlah mikroba. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan, kandungan unsur
karbon (C) dan Nitrogen (N) pupuk ini mencapai 12 persen. Sementara tanah
yang sehat punya kandungan unsur C dan N antara 10-15 persen. Mikroba yang
ada di pupuk ini antara lain Celulotic bacteria, Pseudomonas, Bacyllus, dan
Lactobacyllus. Dikatakan pula bahwa bakteri itu ada yang berfungsi melarutkan
fosfat. Seperti diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam keadaan
terlarut, dan yang melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu
memperbaiki tekstur dan mampu menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia
(anorganik).

Pupuk kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan


tebu. Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba
pada tanaman tebu di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum
kompos dapat meningkatkan produksi dan produktivitas gula. Pemberian kompos
blotong dan kompos ampas pada lahan tebu di pabrik gula Cintamanis Palembang,
masing-masing dengan takaran 30 ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu. Bobot
tebu yang diberikan pupuk kompos ini pada tanaman pertama, berturut-turut lebih
tinggi 26,5 dan 8,1 ton/ha dibandingkan dengan kontrol.

4. Pengelolaan asap dan debu


Senyawa pencemar udara itu sendiri digolongkan menjadi (a) senyawa pencemar
primer, dan (b) senyawa pencemar sekunder. Senyawa pencemar primer adalah
senyawa pencemar yang langsung dibebaskan dari sumber sedangkan senyawa
pencemar sekunder ialah senyawa pencemar yang baru terbentuk akibat antar-aksi
dua atau lebih senyawa primer selama berada di atmosfer. Dari sekian banyak
senyawa pencemar yang ada, lima senyawa yang paling sering dikaitkan dengan
pencemaran udara ialah: karbonmonoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), oksida
sulfur (SOx), hidrokarbon (HC), dan partikulat (debu).

Pencemaran udara dari pada pabrik gula berupa asap dan debu, yang dapat
menyebabkan sejumlah penyakit pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan
pada manusia disekitar pabrik tersebut, iritasi mata dan lain-. Untuk
menanggulanginya dibutuhkan pengendalian pencemaran udara. Pengendalian ini
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengendalian pada sumber pencemar dan
pengenceran limbah gas. Pengendalian pada sumber pencemar merupakan metode
yang lebih efektif karena hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan limbah gas
yang akan diproses dan yang pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam
sebuah pabrik kimia, pengendalian pencemaran udara terdiri dari dua bagian yaitu
penanggulangan emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pencemar.
Idealnya demikian pula yang harus dilakukan oleh pabrik tebu.

Guna menekan tingkat pencemaran udara, pabrik tebu dapat mengelola asap dan
debu tersebut dengan jalan memisahkan partikel padatanya yang berada di asap.
Nantinya partikel-partikel ini dalam jumlah yang cukup, bisa diolah menjadi
pupuk. Karenanya suatu pabrik gula seharusnya dilengkapai dengan alat-alat
pemisah debu untuk memisahkan debu dari alirah gas buang. Debu dapat ditemui
dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia, densitas, daya kohesi, dan sifat
higroskopik yang berbeda.

Maka dari itu, pemilihan alat pemisah debu yang tepat berkaitan dengan tujuan
akhir pengolahan dan juga aspek ekonomis. Secara umum alat pemisah debu
dapat diklasifikasikan menurut prinsip kerjanya:

• Pemisah Brown

Alat pemisah debu yang bekerja dengan prinsip ini menerapkan prinsip gerak
partikel menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran
0,01 – 0,05 mikron. Alat yang dipatenkan dibentuk oleh susunan filamen gelas
dengan jarak antar filamen yang lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel.

• Penapisan

Deretan penapis atau filter bag akan dapat menghilangkan debu hingga 0,1
mikron. Susunan penapis ini dapat digunakan untuk gas buang yang mengandung
minyak atau debu higroskopik.

Electrostatic Precipitator
• Pengendap elektrostatik

Alat ini mengalirkan tegangan yang tinggi dan dikenakan pada aliran gas yang
berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara
beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan
pengendap elektrostatik ini ialah didapatkannya debu yang kering dengan ukuran
rentang 0,2 – 0,5 mikron. Secara teoritik seharusnya partikel yang terkumpulkan
tidak memiliki batas minimum.

• Pengumpul sentrifugal

Pemisahan debu dari aliran gas didasarkan pada gaya sentrifugal yang
dibangkitkan oleh bentuk saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel ke
dinding dan gas berputar (vortex) sehingga debu akan menempel di dinding serta
terkumpul pada dasar alat. Alat yang menggunakan prinsip ini digunakan untuk
pemisahan partikel dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron lebih.

• Pemisah inersia

Pemisah ini bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel dalam aliran gas.
Pemisah ini menggunakan susunan penyekat sehingga partikel akan bertumbukan
dengan penyekat dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Alat yang bekerja
berdasarkan prinsip inersia ini bekerja dengan baik untuk partikel yang berukuran
hingga 5 mikron.

• Pengendapan dengan gravitasi

Alat yang bekerja dengan prinsip ini memanfaatkan perbedaan gaya gravitasi dan
kecepatan yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk
partikel dengan ukuran yang lebih besar dari 40 mikron dan tidak digunakan
sebagi pemisah debu tingkat akhir.

Pada industri, yang lebih maju terdapat juga beberapa alat yang dapat
memisahkan debu dan gas secara bersamaan (simultan). Alat-alat tersebut
memanfaatkan sifat-sifat fisik debu sekaligus sifat gas yang dapat terlarut dalam
cairan. Beberapa metoda umum yang dapat digunakan untuk pemisahan secara
simultan ialah:

Irrigated Cyclone Scrubber

• Menara percik

Prinsip kerja menara percik ialah mengkontakkan aliran gas yang berkecepatan
rendah dengan aliran air yang bertekanan tinggi dalam bentuk butiran. Alat ini
merupakan alat yang relatif sederhana dengan kemampuan penghilangan sedang
(moderate). Menara percik mampu mengurangi kandungan debu dengan rentang
ukuran diameter 10-20 mikron dan gas yang larut dalam air.
• Siklon basah

Modifikasi dari siklon ini dapat menangani gas yang berputar lewat percikan air.
Butiran air yang mendandung partikel dan gas yang terlarut akan dipisahkan
dengan aliran gas utama atas dasar gaya sentrifugal. Slurry dikumpulkan di bagian
bawah siklon. Siklon jenis ini lebih baik daripada menara percik. Rentang ukuran
debu yang dapat dipisahkan ialah antara 3 – 5 mikron.

• Pemisah venture

Metode pemisahan venturi didasarkan atas kecepatan gas yang tinggi pada bagian
yang disempitkan dan kemudan gas akan bersentuhan dengan butir air yang
dimasukkan di daerah sempit tersebut. Alat ini dapat memisahakan partikel hingga
ukuran 0,1 mikron dan gas yang larut di dalam air.

• Tumbukan orifice plate

Alat ini disusun oleh piringan yang berlubang dan gas yang lewat orifis ini
membentur lapisan air hingga membentuk percikan air. Percikan ini akan
bertumbukkan dengan penyekat dan air akan menyerap gas serta mengikat debu.
Ukuran partikel paling kecil yang dapat diserap ialah 1 mikron.

• Menara dengan packing

Prinsip penyerapan gas dilakukan dengan cara mengkontakkan cairan dan gas di
antara packing. Aliran gas dan cairan dapat mengalir secara co-current, counter-
current, ataupun cross-current. Ukuran debu yang dapat diserap ialah debu yang
berdiameter lebih dari 10 mikron.

• Pencuci dengan pengintian

Prinsip yang diterapkan adalah pertumbuhan inti dengan kondensasi dan partikel
yang dapat ditangani ialah partikel yang berdiameter hingga 0,01 mikron serta
dikumpulkan pada permnukaan filamen.

• Pembentur turbulen

Pembentur turben pada dasarnya ialah penyerapan partikel dengan cara


mengalirkan aliran gas lewat cairan yang berisi bola-bola pejal. Partikel dapat
dipisahan dari aliran gas karena bertumbukkan dengan bola-bola tersebut.
Efisiensi penyerapan gas bergantung piada jumlah tahap yang digunakan.

http://ehsablog.com/106.html

You might also like