You are on page 1of 26

SYEKH SITI JENAR

I. Sejarah Hidup Syeckh Siti Jenar


Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan
asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai
manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg
dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg
diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya
kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalhar Shodiq dalam sebuah penelitian dan memperoleh gelar Sarjana Filsafat
UGM menyebutkan bahwa Syeh Siti Jenar adalah putra dari seorang Raja Pendeta
yang bernama Resi Bungsu, suatu saat sang ayah marah besar atas kesalah yang
dilakukan oleh Syeh Siti Jenar, sang ayah lalu menyihir sehingga Syeh Siti Jenar
berubah menjadi seekor cacing yang lalu dibuang sungai. Pada waktu itu, Sunan
Bonang Sedang berperahu mengajarkan ilmu gaib kepada Sunan Kalijaga. Kemudian
perahunya bocor lalu ditambal dengan tanah yang kebetulan menjadi tempat Syeh Siti
Jenar yang sedang berubah menjadi cacing, ketika Sunan Bonang mengetahui ada
makhluk jadi-jadian yang menguping ajarannya. Sang cacing pun diubah menjadi
manusia. Siti Jenar itulah konon merupakan nama yang diberikan Sunan Bonang.1
Menurut Achmad Chodjim, setelah berguru dari Baqhdad, dia mendapat julukan Siti
Jenar [tanah kuning, daerah dimana dia berasal]. Dari segi sejarah Jenar adalah suatu
tempat di daerah Sragen, Jawa Tengah. Dari kepandaiannya dalam hal ilmu agama,
dia diberi gelar syekh oleh para wali.2

1
Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Cetakan IV,
Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002, h, 3-4
2
Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, Cet. XIV, Jakarta, PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2009, h. 5
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah
secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika
ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal
dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat
jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]3.
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M 4. dilingkungan
Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal
sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis,
multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian
orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh
‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di
sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan
Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan
kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan
pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan
masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh
Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal
nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah
Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang
sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah
merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang

3
Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah,
2002, hlm. 1
4
Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi
Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka
Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976;
Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu,
LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud,
Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817
ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran
Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto);
Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg
diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi
Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati;
Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Setelah diasuh oleh Ki Danusela sampai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431
M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh
Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh
Kerajaan Sunda.
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai
pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah
hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan
menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti
Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai
siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan
Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian
(sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal
dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani,
yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping
sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal
sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk
Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah
Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah
Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini
adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari
Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama
keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua
keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh
‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari
Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina
Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui
pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di
Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja
dan menjadi penyebar agama Islam di sana.\
Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah
kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu
Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh
Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon
karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan
pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah
kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut
nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan.
Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat
penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-
sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun,
baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta
penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di
Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg
saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas
perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya
yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah
mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat,
serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama
Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang,
menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri
Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi
sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-
1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang
hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya
Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak
bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu,
membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan
barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk
mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku
zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga
menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta.
Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari
uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-
ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar
ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat
segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka
asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti
Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu
“ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya
adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan
langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari
Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu
pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi
perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru
perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,
sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa
semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu
sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-
Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga
al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab
itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak
ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal
sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn baik tradisi sufi dari al-
Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-
Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240),
Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428).
secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun.
Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru
bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-
Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali
menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang
mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham
Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-
ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai
pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh
Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg
dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan
pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan
al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam
Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut,
semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa
menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik
pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal
dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-
Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki
ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis
mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Ajaran Syekh Siti Jenar lebih bisa diterima oleh raja-raja jawa yang telah
memeluk agama Islam. Diceritakan dalam Babad Jaka Tingkir, bahwa ada 40 orang
tokoh yang berguru kepada Syekh Siti Jenar. Mereka itu: Ki Ageng Banyubiru, Ki
Ageng Getas Aji, Ki Ageng Balak, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng
Jati, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Watalunan, Ki Ageng Pringapus, Ki Ageng
Nganggas, Ki Ageng Ngambat, Ki Ageng Ba badan, Ki Ageng Wanantara, Kiai
Majasta, Ki Ageng Tambak Baya, Ki Ageng Baki, Ki Ageng Tembalan, Ki Ageng
Karanggayam, Ki Ageng Ngargaloka, Ki Ageng Kayu Purin, ki Ageng Salandaka,
Kiai Ageng Purwasada, Kebo Kangan, Kiai Ageng Kebonalas, Ki Ageng Waturante,
Kiai Ageng Taruntum, Kiai Ageng Pataruman, Kiai Ageng Purna, Kiai Ageng Kare,
Kiai Ageng Candhi, Kiai Ageng Wanasaba, Kiai Ageng Gugulu, Kiai Ageng Gunung
Pragota, Kiai Ageng Ngadi Baya, Kiai Ageng Karungrungan, Kiai Ageng Jatingali,
Kiai Ageng Wanadadi, Kiai Ageng Tambangan, Kiai Ageng Ngampuhan, Kiai Ageng
Bangsri, dan Jeng Kiai Ageng Pengging.5
Melihat banyaknya tokoh yang berguru kepada Syekh Siti Jenar dirumah Jeng
Kiai Ageng Pengging, maka cemaslah Raden Patah. Sebabnya Ki Pengging adalah
cucu Brawijaya V. Raja Demak Khawatir bila dikemudian hari, Pengging melakukan
pemberontakan. Maka setelah kekuasaan Demak kuat dan Pengging telah
ditaklukkan, Syekh Siti Jenar diperintahkan untuk menghentikan ajarannya. Karena
Syekh Siti Jenar tidak mau, maka vonis mati pun dijatuhkan kepadanya sekitar tahun
1515 Masehi.6
Syekh Siti Jenar telah tiada 500 tahun yang lalu, beliau diadili oleh Wali
Songo. Sebagian riwayat mengatakan, ia dieksekusi di Mesjid Demak, Jawa tengah.
Tapi versi lain menyebytukan, Syekh Siti Jenar dieksekusi di Mesjid Agung
Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat.7
Menurt versi lain, Syekh Siti Jenar dimakamkan di Klematen, Cirebon.
Makam itru berada di tengah pemakaman umum, di dalam bangunan sederhanan dan
gelap seluas 5x5 meter. Makam Syekh Siti Jenar berada ditengah, diapit oleh makam
dua muridnya, Pangeran jagabayan di sebelah kanan dan Pangeran Kejaksan di
sebelah kiri.8
5
Paku Buwana VI, 1849, Babad Jaka Tingkir Dalam Kupiya Iber Warni-warni, Surakarta.
6
Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, cetakan V, Jakarta,
PT. Serambi Semesta, 2010, h.13-14
7
Purwadi, 2009, Rahasia Hati dan Pikiran Syekh Siti Jenar, Jogjakarta, Garailmu, h. 188
8
Herry Muhammad dan Mujib Rahman, 2001, Ketika Tuhan Menyatu Bersatu Diri, Gatra,
Edisi Khusus No. 5 tahun VIII, Surabaya.
Untuk menghindari pengultusan dan memutuskan mata rantai ajaran Syekh
Siti Jenar, keturunannya pun dirahasiakan keberadaannya. Syekh Siti Jenar
mempunyai dua putra, Abdul Qadir Alias Datuk Bardut, dan Abdul Qahar alias Datuk
Fardun. Konon, sepeninggal Syekh Siti Jenar, Datuk Bardut bermukim di Cirebon.
Sedangkan Datuk Fardun bermukim di Paciran, Lamongan Jawa Timur. Sejauh ini,
keturunan Syekh Siti Jenar tak pernah terungkap. Kalau toh ada, klaim itu sudah
dibuktikan dengan analisis pisau sejarah. Itu sebabnya anak turun Syekh Siti Jenar
tidak pernah terungkap.

II. Ajaran Mistik Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar mengajarkan konsep yang sangat kontroversial pada saat itu,
yaitu  konsep tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan,  serta tempat berlakunya
syariat tersebut.  Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini
disebut sebagai kematian.  Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai
kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan
hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan;
dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti
bahwa setelah menempuh Makrifat terus meninggalkan tingkatan sebelumnya.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan
prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan
mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Beberapa Ajaran Mistik Syekh Siti Jenar.


Tentang Allah, Tauhid Dan Manunggaling Kawula Gusti
1. "Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang
Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai
pelindung?”9
2. "Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan
yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia
inginkan.”10
3. "… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata
Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya,
yang disebut sebangsa Allah…” 11
4. "Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat
kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang
satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada
mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi
segala niat kita yang sungguh-sungguh]. 12
5. "…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang
sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya
menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan,
selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati
dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang
paling tersembunyi.]” 13
6. "Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah
Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada
bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-
betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya

9
Sulaeman Sulendraningrat, 1982, Babad Tanah Sunda, bagian XLIII.
10
S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103.
11
R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124.
12
Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1.
13
Asmarandana, Serat Siti Jenar, hlm. 15, bait 20-22
kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati
yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada
tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada
perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu
tersebut.” 14
7. "Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah
berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh.
Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” 15
8. "Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma
Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” 16
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam
teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara
hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan
Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara
syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi
kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual,
yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya
Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, "ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj,
juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul,
dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling
Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
9. "Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan
tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak
mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung.
Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk

14
Tan Khoen Swie, 1931, Boekoe Siti Djenar,Kediri, h. 18-20
15
R. Tanaja, Suluk Wali Sanga, , hlm. 42-46).
16
Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Wawacan Sunan Gunung Jati, Pupuh 38 Sinom,
bait 13
menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan
menjadi kalimat yang diucapkan: "Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir
berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” "Lain jika
kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam
syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan
memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan
ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan,
bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula
kehendak tanpa tujuan.” "Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada
susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah
tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada
kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka
timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan
masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. 17
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi
intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan.
Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan
perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual),
hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak
disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu
mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah
sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir.
Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus
menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan
wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara
Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing
mengasingkan.

17
Raden Sasrawijaya, 1958, Serat Siti Jenar, Yogyakarta, Pupuh III Dandanggula, h. 45-48.
10. "Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau
sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu
sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah,
jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian
Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” 18
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup,
rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-
Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan
memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang "Shalat Tarek
Limang Waktu”.
11. "Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun
ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan,
tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada
diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri
sekehendak.” 19
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam
menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari
belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada
sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun
hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari
ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan
yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di
dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud.
Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya
saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115,
"Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di

18
Wejangan Walisanga: hlm. 5
19
Raden Sasrawijaya, op.cit. h. 32
situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian
ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh
mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap
suci.
12. "Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke
semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu
keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah,
cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya
manusia dapat menerima keinginan yang lain”.20
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat
kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang
iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat
terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan
yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak
terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan
kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi
manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia,
bukan di luarnya.
13. "Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi,
tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di
sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan
dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu
yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh
yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.”21
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh
lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala
sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di

20
Ibid, h. 44
21
Ibid, h. 30.
hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian
manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai "sesuatu yang
baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada
jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi
keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun
seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi
kebutuhannya adalah isi dari wadah.
14. "Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah
adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia,
membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke
tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
"Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah,
yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya.
Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi
perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju
pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
"Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar,
bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau
kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk
bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan
udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru,
bukan asli.”
"Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran
saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau
shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada
siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan
mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-
ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan
selalu mengajak mencuri.”22
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri
manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang
asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara
rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-
idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya.
Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik
Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir
materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa
dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran
yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka
sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu
dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya
berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga
kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta
makhluk lainnya…allahu akbar.
15. "Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam
kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api
neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya
sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng
tiada ini itu.”23
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang
sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.

22
Ibid, Pupuh III Dandanggula, 33-36.
23
Ibid, h. 20-21
Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga
keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda
kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia
akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah
ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna,
dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
16. "Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam
kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan
langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup
atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang
menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan!
Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya.
Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan
sejati.”24
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang
sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan
dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian
adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi
yang sudah berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem
teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah "dimatikan” atau
"dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini,
sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah
sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami
pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya
itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak
pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak
mengerti apa yang sedang dialami.
24
Ibid, h. 14-16.
17. "…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai
dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya
yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan
mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan
memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” "…Tersasar,
tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya,
justru bagi ilmu orang remeh…”25

Shalat, Puasa, Zakat dan Haji


18. "Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya
melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan
keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya
inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan
tidak dapat dibayangkan.”26
19. "Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh).
Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-
orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian
hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya,
Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid
mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala
berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia
adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka
nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya
setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”27
20. "Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa
rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu
25
Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74.
26
Raden Sasrawijaya, Op.cit. h. 37
27
Ibid, h. 38-39.
kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi
akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan,
Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam
semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak
akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak
membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia
membuat dunia.”28

III. Perbedaan Ajaran Mistik Syekh Siti Jenar dengan Walisongo.

Syekh Siti Jenar mengajarkan konsep yang sangat kontroversial pada saat itu,
yaitu  konsep tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan,  serta tempat berlakunya
syariat tersebut.  Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini
disebut sebagai kematian.  Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai
kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan
hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan;
dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti
bahwa setelah menempuh Makrifat terus meninggalkan tingkatan sebelumnya.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu
tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Wali songo khawatir
jika ada salah paham dalam menyerap yang  disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan
adalah pada tingkatan ‘syariat’.  Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap

28
Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51
‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’ kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang
mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar
hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’. Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar
merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu
dalam agama apapun,  setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa.
Hanya saja masing – masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda –
beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu,
masing – masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan
bahwa agamanya yang paling benar.
"Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?
Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah,
tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?”29

Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali
menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-
aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh
Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi
yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan
syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar
tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali
menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, "Adapun Allah itu adalah
yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, "Allah itu adalah jauhnya tanpa batas,
dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, "Allah itu tidak berwarna, tidak
berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya,
mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, "Allah itu adalah seumpama
memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, "Allah itu meliputi segala sesuatu.”;
Syekh Majagung menyatakan, "Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh
Bentong menyuarakan, "Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan

29
(Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan
keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut,
"Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak
bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali
memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya.
Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan
Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar
tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, "Utawi Allah iku
nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin).30

"Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya
melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan
keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah
Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak
dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
37).

Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi
dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan
pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai
kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya
akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan
busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah
letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.

30
Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911)
pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap
memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami
celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan
shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan
bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’.
Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1)
menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-
siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan
sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan
amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya.
Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat.
Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan
digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan
khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya
adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam,
penyerahan diri <Wong Jowo ngomonge’ Pasrah Bongkoan>. Sehingga doktrin
manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi,
bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan
menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali
sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali
adalah model shalatnya para pencuri.
"Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu
seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang
dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.
Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan
jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama.
Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda
satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja,
yaitu Gusti Zat Maulana.” 31

Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah
"omong kosong belaka”, atau "wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu
istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan
bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas
syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah "iku wes palson kabeh”, yg
artinya "itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata "iku palsu kabeh” atau "itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at
Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam
pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan,
namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus
ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat
legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak
lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan
mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi
hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna
dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni

31
Raden Sasrawijaya, Op.cit, h. 38-39.
shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg
melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar
dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam
karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian
antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima
waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
"Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa
rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu
kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini
baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu
wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”32

Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar
memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang
sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki
muatan makna pernyataan sufistik, "Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa
raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta.
Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar
termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah
jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk
luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot,
darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman
32
Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51.
yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan
kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi,
manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an
bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu
menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.

Penutup

Maka dalam menyikapi ajaran Syekh Siti Jenar ini kita jangan lari dari kitab
AL Quran untuk merenungi kebenaaran ajaran Syekh Siti Jenar. Sehingga kita tidak
menduga-duga tanpa dasar yang benar Karena Al Quran adalah penengah dari setiap
permasalahan dan perbedaan pendapat (QS An-nisa {4}:59) dan Al quran adalah
petunjuk ke jalan yang lurus (QS Al-isra {17}:9). Apakah kita menganggap remeh
saja Al-quran?  (QS Al-waqiah {56}:81).
Setelah saya amati bahwa inti ajaran Syekh Siti Jenar adalah bagaimana
mnyikapi kehidupan di dunia dan di akhirat agar selamat menuju jalan Allah. Letak
keselamatan itu intinya pada keselamatan kehidupan di dunia terlebih dahulu. Barang
siapa buta di dunia maka akan lebih buta lagi di akhirat al-quran surat 17 ayat 72.
Dan beliau menekankan pelaksanaan ibadah ritual seperti shoalat, puasa dan haji,
harus disertai ilmu. Kegiatan beribadah tanpa ilmu adalah kegiatan kosong belaka
yakni fatamorgana seperti firman Allah dalam alquran surat 8 ayat 35 Sholat mereka
disekitar Ba’itullah hanyalah siulan dan tepuk tangan belaka maka rasakanlah azab
karena kekafiranmu. Dalam hal ini sholat saja masih dibilang kafir oleh Allah. Ini
berarti sholat mereka memang tidak disertai ilimu sebagaimana yang dimkasudkan
oleh Kanjeng Siti Jenar.
Penerapan Ajaran Siti Jenar juga bernuansa logis dan mudah dicerna apabila
kita telah memahami teks-teks alquran yang mutasyabihat. Dimana proses ini tidak
akan terlaksana bila manusia itu sendiri puas dengan rutinitas beragama yakni syariat.
Justru beliau mengajak agar manusia segera beranjak pada tahapan agama berikutnya
yakni tarekat, hakikat dan makrifat agar nilai-nilai dalam pelaksanaan beragama
bernilai emas. Mana yang lebih berharga emas 1 kg dengan kapas 1 kg walaupun
keduanya sama jumlahnya?
Dalam perspektif ritual agama seperti sholat adalah suatu kegiatan  yang berat
kandunganya, tidak semata-mata hanya melepas kewajiban belaka. Seperti firman
Allah dalam surat 2 ayat 45-46 …sholat itu berat kecuali bagi orang-orang yang
khusuk. Bila sholat hanya dikerjakan demi kebutuhan semata, maka Allah mengejek
sholat kita seperti firmannya dalam al-quran surat 4 ayat 43 sholat kita dianggap
sebagai sholat mabuk. Wah berarti sia-sia dong pekerjaan kita!  Dan mereka berdiri
untuk sholat dengan malas dan riya, alquran surat 4 ayat 142.
Demikianlah sekelumit ajaran Syekh Siti Jenar, tentang ibadah ritual tanpa
disertai ilmu adalah ibadah buta semata. Mereka menganggap pekerjaan mereka
adalah baik padahal dimata Tuhan adalah kosong belaka seperti firman Nya dalam al-
quran dalam surat 24 ayat 39 dan surat 14 ayat 18. Memang luar biasa pandangan dan
ajaran Syekh Siti Jenar bila kita semua mengacu pada Al-quran dimana Al-quran
adalah ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi ilmu, al-quran surat
29 ayat 49. Dan al-quran adalah petunjuk kejalan yang lurus, surat 17 ayat 9. Maka
apakah kamu menganggap remeh saja al-quran? Surat 56 ayat 81.
Islam tidak sebatas syariat, melainkan ada tingkatan-tingkatan
peribadatan yang wajib ditempuh yakni tarekat, hakekat dan makrifat.
Seseorang dapat disebut sebagai Islam sejati apabila telah  mengamalkan
tingkatan peribadatan secara utuh.

You might also like