You are on page 1of 14

Kisah Mahabarata

Korawa
Korawa atau Kaurawa (Sansekerta: kaurava) adalah kelompok antagonis dalam wiracarita
Mahabharata. Nama Korawa secara umum berarti "keturunan Kuru". Kuru adalah nama seorang
Maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam
wiracarita Mahabharata. Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa. Jumlah mereka adalah
seratus dan merupakan putra prabu Dretarastra yang buta dan permaisurinya, Dewi Gandari.

Riwayat singkat
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri Dretarastra, menginginkan seratus putera.
Kemudian Gandari memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau mengabulkannya.
Gandari menjadi hamil, namun setelah lama ia mengandung, puteranya belum juga lahir. Ia
menjadi cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga orang putera. Gandari
menjadi frustasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan,
yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging
tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke
dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam
setiap guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh
Dursasana, dan saudaranya yang lain.
Seluruh putera-putera Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah. Mereka memiliki
saudara bernama Pandawa, yaitu kelima putera Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun
mereka bersaudara, Duryodana yang merupakan saudara tertua para Korawa, selalu merasa
cemburu terhadap Pandawa, terutama Yudistira yang hendak dicalonkan menjadi raja di
Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan memuncak pada sebuah pertempuran akbar di
Kurukshetra.
Setelah pertarungan ganas berlangsung selama delapan belas hari, seratus putera Dretarastra
gugur, termasuk cucu-cucunya, kecuali Yuyutsu, putera Dretarastra yang lahir dari seorang
dayang-dayang. Yang terakhir gugur dalam pertempuran tersebut adalah Duryodana, saudara
tertua para Korawa. Sebelumnya, adiknya yang bernama Dursasana yang gugur di tangan Bima.
Yuyutsu adalah satu-satunya putera Dretarastra yang selamat dari pertarungan ganas di
Kurukshetra karena memihak para Pandawa dan ia melanjutkan garis keturunan ayahnya, serta
membuatkan upacara bagi para leluhurnya.

Para Korawa (putera Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih
mempunyai saudara dan saudari pula. Yaitu Yuyutsu, yaitu anak Dretarastra tetapi lain ibu,
ibunya seorang wanita waisya. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putra lagi bernama
Duskampana dan seorang putri bernama Dursala (atau Duççala atau Dussala).

Pandawa
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sansekerta (Devanagari: dieja Pāṇḍava), yang secara
harafiah berarti anak "Pāṇḍu" (Pandu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita
Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putera mahkota kerajaan tersebut.
Silsilah Pandawa
Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna)
merupakan putera kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan
putera kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.
Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung
dari masing-masing Dewa. Hal tersebut diterangkan sebagai berikut:
Yudistira penitisan dari Dewa Yamaraja, Dewa keadilan dan kebijaksanaan;
Bima penitisan dari Dewa Bayu, penguasa angin;
Arjuna penitisan dari Dewa Indra, penguasa Surga;
Nakula dan Sadewa penitisan dari Dewa kembar Aswin, Dewa pengobatan.
Panca Pandawa

Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari
Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir
tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan
serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera
Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata).
Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan
mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada
di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya
bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah
menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.

Bima merupakan putera kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta
memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama
julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling
sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai
memainkan senjata gada dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki
Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka
mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang
putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun
gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya,
Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke
gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga.

Arjuna merupakan putera bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta)
memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra,
Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai
ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai
tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di
Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut
kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan
Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat
berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putera Pritha alias Kunti). Dalam
pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat
menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya
bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam
perjalanan dan mencapai surga.

Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan
penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya
bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang
lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria
yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat
bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan
tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas
permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata,
ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke
gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan
arwahnya mencapai surga.

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan
penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya
bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang
lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang
yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang
bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-
kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan
sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung
Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya
mencapai surga.
Riwayat singkat

Masa kanak-kanak
Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara
yang bernama Duryodana dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain
adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka suka bermain bersama,
tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun Duryodana merasa jengkel karena
menjadi korban dan gangguan dari ejekan Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama
adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa)
tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat
jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.

Usaha pertama untuk menyingkirkan Pandawa

Dretarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra
mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak
memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia
mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara
menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan
yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar
bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya
yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari
Pandawa. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke
dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah
berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam
perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu
dengan raksasa Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi
dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa lama, Hidimbi dan
Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para pangeran tersebut harus melanjutkan
perjalanannya.

Panca Pandawa mendapatkan Drupadi

Pandawa lima yang melarikan diri ke rimba mengetahui akan diadakan sayembara di Kerajaan
Panchala dengan syarat, barang siapa yang dapat membidik sasaran dengan tepat boleh
menikahkan putri Raja Panchala (Drupada) yang bernama Panchali atau Dropadi. Arjuna pun
mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada
ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti, menjawab, "Bagi saja secara rata apa yang
kalian dapat". Karena perkataan ibunya. Pancali pun bersuamikan lima orang.
Perselisihan antar keluarga
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun
mengundang mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari
sebagian kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang
diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha.
Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha iri melihat bangunan yang begitu indah, megah
dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk
membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Bersamaan
dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan
Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya
Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu
Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan yang telah dilakukan
Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu terjadinya perang besar antara Pandawa
dan Korawa serta sekutu-sekutunya.

Pertempuran besar di Kurukshetra

Pertempuran besar di Kurukshetra (atau lebih dikenal dengan istilah Bharatayuddha di


Indonesia) merupakan pertempuran sengit yang berlangsung selama delapan belas hari. Pihak
Pandawa maupun pihak Korawa sama-sama memiliki ksatria-ksatria besar dan angkatan perang
yang kuat. Pasukan kedua belah pihak hampir gugur semuanya, dan kemenangan berada di pihak
Pandawa karena mereka berhasil bertahan hidup dari pertempuran sengit tersebut. Seratus
Korawa gugur di tangan mereka, kecuali Yuyutsu, satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa
sesaat sebelum pertempuran berlangsung.
Akhir riwayat
Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi
dan hidup sebagai pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta
kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan perjalanan terakhir
mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak, satu persatu dari mereka meninggal
dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor
anjing yang setia. Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki
kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus meninggalkan anjingnya.
Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud
aslinya, yaitu Dewa Dharma. Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang
diberikan kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.

Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak menyaksikan saudara-saudaranya,


sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya yang jahat menikmati kesenangan di surga.
Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di neraka. Mendengar hal itu,
Yudistira lebih memilih tinggal di neraka bersama saudara-saudaranya yang saleh daripada
tinggal di surga bersama saudara-saudaranya yang jahat. Pada saat itu, pemandangan tiba-tiba
berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut merupakan salah satu ujian yang diberikan
kepadanya, dan sebenarnya saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan
surga.

Perang di Kurukshetra
Perang di Kurukshetra yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahābhārata,
dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putera Pandu dengan seratus putera
Dretarastra. Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan
disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang
disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti
misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut Bhagawad Gita, Perang di
Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut
menjadi referensi yang terkenal.[2] Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar
dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada
masa lampau. Pertempuran terjadi selama 18 hari. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya
wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga
mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman Kali Yuga.
Latar belakang
Mahābhārata, merupakan kisah epik besar yang menceritakan tentang kehidupan keluarga
Dinasti Kuru sebagai kisah sentral. Salah satu bagian yang terkenal dalam kisah tersebut adalah
perang di Kurukshetra. Kurukshetra berarti “daratan Kuru”, disebut juga Dharamkshetra yang
berarti “daratan keadilan”. Lokasi tersebut dipilih sebab daratan tersebut merupakan tanah yang
sangat suci. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terma'afkan berkat
kesuciannya.
Kisah perebutan kekuasaan terjadi antara keturunan Pandu dengan keturunan Dretarastra. Pandu
dan Dretarastra bersaudara tiri, lain ibu namun satu ayah. Dretarastra buta sejak lahir, maka
pemerintahan diserahkan oleh ayahnya kepada adik tirinya, Pandu. Setelah Pandu meninggal,
Dretarastra menggantikan posisi Pandu sebagai kepala pemerintahan di Hastinapura. Ia
sebenarnya bukan seorang Raja sejati, hanya pejabat pemerintahan sementara waktu
Pandu memiliki lima putera yang disebut Pandawa, sedangkan Dretarastra memiliki seratus
putera yang disebut Korawa. Pandawa dan Korawa tinggal di istana yang sama dan dididik oleh
guru yang sama, Dronacharya. Korawa bersifat licik, khususnya Duryodana, kakak sulung para
Korawa. Mereka ingin mewarisi tahta Dinasti Kuru, namun Pandawa adalah penerus kerajaan
yang sebenarnya. Selama Pandawa masih ada, Korawa tidak memiliki peluang untuk mewarisi
tahta. Maka berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan para Pandawa. Namun para
Pandawa selalu selamat meskipun nyawa mereka berkali-kali terancam. Hal itu berkat
perlindungan yang seksama dari pamannya, Widura, dan Sri Kresna, sepupunya
Setelah gagal dengan berbagai usaha, kemudian Korawa mengajak Pandawa main dadu, dengan
syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Tapi permainan dadu yang
sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan
kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan.
Setelah masa pengasingan berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak
meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan
kembali kerajaannya. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta
dalam administrasi pemerintahan, maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana
sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan
seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang
tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.

Misi damai Sri Kresna


Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan
mengirimkan surat permohonan kepada para Raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan
pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang besar akan terjadi. Begitu juga yang
dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para Raja di daratan India Kuno
terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke
Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun
Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya
untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa.
Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang
hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya
disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu
para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa
menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.

Persiapan perang

Ilustrasi perang di Kurukshetra dalam kitab Mahābhārata


Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para Pandawa dan
Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang
lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna
dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.
Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para Pandawa
yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat
dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan
permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara
Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan
ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari
berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh
divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno
seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya
dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa
terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa,
Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.

Pihak Pandawa
Melihat tidak ada harapan untuk berdamai, Yudistira, kakak sulung para Pandawa, meminta
saudara-saudaranya untuk mengatur pasukan mereka. Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh
divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana
dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk
Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Mahabharata menyebutkan bahwa
seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan
yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya,
Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.

Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan
perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para
Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya
menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang
Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak
dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah. Bagaimanapun juga,
Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan
Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana
sendiri bersama dengan adiknya — Duhsasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran
Korawa dibantu oleh Rsi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata,
guru Kripa, Kritawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawa, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak lagi
para ksatria dan Raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun
Dretarastra.

Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna, Baladewa, adalah pihak
yang netral dalam peperangan tersebut.
Divisi pasukan dan persenjataan
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi-bagi ke dalam divisi
(akshauhini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
21.870 pasukan berkereta kuda
21.870 pasukan penunggang gajah
65.610 pasukan penunggang kuda
109.350 tentara biasa
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total
pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700 orang.
Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang=3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang
terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan
gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.
Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif,
contohya: panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Para ksatria
terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata
panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada untuk
bertarung.

Formasi militer
Dalam setiap perang di zaman Mahabharata, formasi militer adalah hal yang penting. Dengan
formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa
formasi, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Formasi militer tersebut
sebagai berikut:
Krauncha Vyuha (formasi bangau)
Chakra Vyuha (formasi cakram / melingkar)
Kurma Vyuha (formasi kura-kura)
Makara Vyuha (formasi buaya)
Trisula Vyuha (formasi trisula)
Sarpa Vyuha (formasi ular)
Kamala atau Padma Vyuha (formasi teratai)
Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi
mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang,
bangau, dll) sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip
dengan suatu hewan/hal tertentu.
Aturan perang

Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang
perlakuan yang etis"—Dharmayuddha—sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai
berikut:
Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari
terbenam.
Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
Dua ksatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki
kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
Tidak boleh menyerang wanita.
Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang
memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
Bagaimanapun juga, para ksatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Kebanyakan peraturan tersebut dilanggar sesekali oleh kedua belah pihak.

Jalannya pertempuran

Para Raja dan Ksatria meniup terompet kerang mereka tanda pertempuran akan segera dimulai
Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul
dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran
Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan.
Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan
berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah
pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-
lawannya, dialah pemenangnya.
Beberapa saat sebelum perang

Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa
berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan
Korawa membentuk formasi seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya;
pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang
kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona,
Bahlika dan Kripa.
Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk "formasi Vajra". Karena
pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar
memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi
Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis
depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti: gada, pedang,
kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh
divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih
berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya dari serangan
langsung karena Resi Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk menang.

Arjuna hendak menarik diri dari pertempuran setelah melihat para ksatria bangsa Kuru yang
telah berkumpul di Kurukshetra, kemudian ia diberi wejangan oleh Kresna
Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris
rapi. Para Raja dan ksatria gagah perkasa tampak siap untuk berperang. Duryodana optimis
melihat pasukan Korawa memiliki para ksatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna.
Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana, Wirata, dan Drupada
yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga
optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna,
Kritawarma, Wikarna, Burisrawas, dan Kripa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti
Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran
sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria
dari kedua belah pihak meniup “sangkala” (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan
segera dimulai.

Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk
bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar
mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa
yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut
akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda
kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-
sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil,
semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan saling bunuh. Arjuna
merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan
mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran
agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar
ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang ksatria, agar dapat membedakan antara yang baik
dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang
sangat terkenal yang bernama Bhagawad Gita. Dalam Bhagawad Gita, Kresna menyuruh Arjuna
untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur
yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa saja yang
ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk
semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan
dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar
para ksatria perkasa di kedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya
beberapa orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Kresna menunjukkan bentuk semestanya agar segala keraguan di hati Arjuna sirna
Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia
meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan
Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan para Korawa tidak
percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah menyerah
bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang
suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari
para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki
keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai.

Pembantaian Bisma

Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa
dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan
membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan
menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para
pengawalnya. Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka
menerima kekalahan. Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari
pertama. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna
berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

Duel Arjuna dengan Bisma

Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama.
Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa
berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan
Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak
saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu
seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona
menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang
melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya.
Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun
serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu
dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan
kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Kemarahan Kresna

Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin membunuh Bisma dengan tangannya sendiri, namun
dicegah oleh Arjuna
Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung
elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara
Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi.
Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan
Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan
penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan
tombak. Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah
yang tak terhitung jumlahnya. Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk
menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang
Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang
menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara
Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu
menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana
datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma karena masih segan
untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar dan mengubah perasaannnya kepada
para Pandawa.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam
pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan
kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa
bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil chakra-
nya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk
melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak
pasukan Korawa.

Keberanian Bima

Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan
pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang.
Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting
tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan
pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya,
ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka
dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria
Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di
keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa.
Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu
menyuruh pasukan agar mundur. Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya.
Pertempuran terus berlanjut

Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga
membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di
sampingnya. Setyaki berhadapan dengan Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya.
Bima pergi meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma. Karena Srikandi berperan sebagai
seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki
membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan
dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas dan kemudian Setyaki kesusahan
sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki dan
menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang
dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran
berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak
prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada
hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna—Irawan—terbunuh
oleh para Korawa. Pada hari kesembilan Kresna marah lagi sebab Arjuna masih segan untuk
mengalahkan Bhishma, lalu ia bergerak menuju pasukan Korawa. Arjuna sekali lagi
menghentikan Kresna.

Kekalahan Bisma

Rsi Bhisma yang tidur di ranjang panah menjelang kematiannya


Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun
suatu strategi. Arjuna berencana untuk menempatkan Srikandi di depan keretanya, dan ia sendiri
akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Bisma yang tidak tega untuk menyerang seorang
wanita, tidak bisa menyerang Arjuna karena dihalangi Srikandi. Hal itu dimanfaatkan Arjuna
untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan
panah di tubuh Bisma menancap sampai menembus badannya. Sang ksatria besar terjatuh dari
keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah yang menancap
di tubuh. Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Rsi
Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai
bantal. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari dan
menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.

Yudistira ingin ditangkap

Dengan kekalahan Rsi Bisma pada hari kesepuluh, Karna kembali ke medan laga dan melegakan
hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan
Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Membunuh Yudistira di medan
laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para
Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana untuk
menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena
Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani
Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana.
Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit
diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta — Susharma — bersama dengan 3
saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh
Arjuna atau sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua
belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu.
Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar
kepada pasukan Korawa.
Untuk menghancurkan mereka, Duryodana mencoba memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha.
Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh Kresna beberapa
tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang berukuran sangat besar
sebagai kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat di antara seluruh pasukan
penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang Arjuna dengan ribuan gajahnya.
Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Karena Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit,
ia kesulitan untuk mematahkan formasi Cakravyhuha. Yudistira melihat hal tersebut dan
menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk membantu ayahnya keluar dari perangkap formasi
Cakravyuha. Arjuna berhasil keluar namun sebaliknya, Abimanyu terperangkap dan terbunuh.
Pada hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan
Susharma gugur di tangan Arjuna.

Akhir peperangan

Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Setelah kematian Abimanyu, Bhagadatta,


Susharma dan saudara-saudaranya pada hari ke-12, pertempuran berlangsung dengan ganas
selama enam hari berikutnya. Pada akhir hari ke-18, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup
dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Kripa dan
Kritawarma. Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama
beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama
Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka.
Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Akhirnya Yudistira
berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan hatinya, oleh anugerah Dewa
Dharma ia diizinkan masuk surga sebagai seorang manusia.

You might also like