You are on page 1of 10

PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT DAN GULMA SECARA TERPADU

(PHPT)

Oleh : Neng Susi Suniarsyih*

I. PENDAHULUAN

Siapa dan petani mana yang tak khawatir jika tanamannya diserang hama? Apalagi jika

menjelang panen? Hampir semua petani di belahan dunia merasakan kekhawatiran dan menggunakan

banyak cara untuk membunuh hama. Di Indonesia sendiri, penanganan hama tak luput dari perhatian

pemerintah. Ini demi menyelamatkan sumber pangan yang sangat berpengaruh bagi kestabilan pangan

rakyat.

Dalam sudut pandang konvensial, hama bisa diartikan organisme yang dapat mengakibatkan

penurunan hasil produksi pertanian. Jadi, secara umum jika ada organisme apapun itu, yang

mengakibatkan penurunan hasil produksi bisa disebut sebagai hama. Namun pada dasarnya, Hama

adalah binatang yang bersifat pengganggu terhadap petumbuhan dan perkembangan tanaman.

Contoh-contoh hama misalnya: tikus, wereng, burung pemakan biji-bijian, penggerek batang, tungro,

blas, lembing batu dan keong mas.

Selain hama, yang menjadi perhatian serius adalah gulma. Tanaman yang tumbuh di sekitar

areal tanam/persawahan mengganggu karena menjadi pesaing tanaman padi dalam memanfaatkan

unsur hara, air, dan ruang. Selain berebut tiga hal tersebut, gulma sendiri menjadi tempat hidup dan

bernaung hama dan penyakit tanaman, serta menyumbat saluran air. Pada lahan yang terus menerus

tergenang, gulma yang paling banyak dijumpai adalah gulma air (eceng, semanggi, jajagoan, jujuluk),

sedangkan pada lahan yang tidak tergenang, sebagian besar adalah gulma darat (alang-alang,

gerintingan, babadotan, dll.).

I. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam

melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Landasan hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan
perlindungan tanaman adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri

Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Secara operasional, dalam

implementasinya terutama berkaitan dengan otonomi daerah, disesuaikan dengan pelaksanaan tugas,

fungsi, dan kewenangan sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang pelaksanaan otonomi daerah.

Pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara berfikir tentang

pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan

efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan

berkelanjutan. Dengan pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan dengan paradigma pembangunan

agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian

hama secara konvensional yang menekankan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam

kerangka penerapan PHT secara konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik

ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak tepat dan berlebihan.

Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan

langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk

yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang

berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi. Salah satu pertimbangan

dasar, pentingnya melakukan introduksi teknologi PHT, adalah adanya pergeseran strategi

pembangunan dari pendekatan pertumbuhan, top down, dan bersifat jangka pendek (pola

pembangunan konvensional) ke arah pendekatan pembangunan pemerataan, partisipatif, jangka

panjang dan berkelanjutan yang disebut pola pembangunan berkelanjutan (Salim, 1991).

I. SASARAN DAN STRATEGI PENERAPAN PHT

Menurut Direktorat Perlindungan Hortikultura, Sasaran penerapan PHT adalah :

(1) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap berada pada aras yang secara ekonomis tidak

merugikan,

(2) Produktivitas pertanian mantap pada taraf tinggi,


(3) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, dan

(4) Resiko kesehatan dan pencemaran lingkungan ditekan.

Strategi yang diterapkan dalam melaksakan PHT adalah memadukan semua teknik

pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang memenuhi azas ekologi serta ekonomi.

I. TAKTIK PHT

Taktik penerapan PHT suatu cara penerapan pengendalian OPT agar memenuhi asas ekologi

yaitu tidak berdampak negatif pada agroekosistem dan azas ekonomi yaitu menguntungkan dan

meningkatkan kesejahteraan petani. Taktik-taktik tersebut yaitu :

a. Pemanfatan proses pengendali alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang merugikan atau

mematikan perkembangan musuh alami.

b. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan agar lingkungan tanaman

kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan atau pertumbuhan OPT serta mendorong

berfungsinya agen pengendali alami/hayati. Beberapa teknik bercocok tanam antara lain :

Penanaman varietas tahan

 Penanaman benih sehat

 Pergiliran tanaman dan pergiliran varietas

Sanitasi

·        Penetapan masa tanam

·        Tanam serentak dan pengaturan saat tanam

·        Penanaman tanaman perangkap/penolak

·        Penanaman tumpang sari

·        Pengelolaan tanah dan air

·        Pemupukan berimbang sesuai rekomendasi


c. Pengendalian fisik dan mekanis untuk menekan/mengurangi populasi OPT/kerusakan, mengganggu

aktivitas fisiologis OPT yang normal, dan mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi

kehidupan dan perkembangan OPT

d. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi OPT pada aras

keseimbangannya. Selektivitas pestisida berdasarkan pada sifat fisiologis, ekologis dan cara

aplikasi. Keputusan tentang penggunaan pestisida dilakukan setelah dilakukan analisis ekosistem

terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang ekonomi/pengendalian. Pestisida yang

digunakan harus yang efektif, terdaftar dan diizinkan.

e.   Prinsip Penerapan

Ada 4 (empat) prinsip penerapan PHT, yaitu : (1) budidaya tanaman sehat, (2) pelestarian dan

pendayagunaan musuh alami, (3) pengamatan mingguan secara teratur, dan (4) petani berkemampuan

melaksanakan dan ahli PHT.

Budidaya tanaman sehat merupakan prinsip penting penerapan PHT dengan menggunakan paket

teknologi produksi dan praktek agronomis, untuk mewujudkan tanaman sehat.

Pelestarian musuh alami melalui pengelolaan dan pelestarian faktor biotik (pengendali alami)

dan abiotik (iklim dan cuaca) agar mampu berperan secara maksimal dalam pengendalian populasi dan

penekanan tingkat serangan OPT.

Pemantauan ekosistem secara teratur yaitu pemantauan hasil interaksi faktor biotik dan

abiotik dan menimbulkan serangan OPT. Kegiatan pemantauan merupakan kegiatan penting yang

mendasari pengambilan keputusan pengendalian.

Petani sebagai ahli PHT merupakan tujuan penerapan agar petani memiliki kemampuan dan

kemauan untuk menetapkan tindakan pengendalian sesuai prinsip PHT dan berdasarkan hasil

pengamatan. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani adalah latihan dan

pemberdayaan petani.

I. TEKNIK PENGENDALIAN GULMA SECARA TERPADU

Pada dasarnya teknik pengendalian gulma hampir sama dengan apa yang saya sampaikan

diatas. Tetapi itu tergantung pada tempa/areal tanam, jenis dan jumlah gulma. Namun, di bawah ini
saya tuliskan salah satu contoh metode pengendalian gulma dengan mengkombinasikan berbagai cara

pengendalian gulma.

Teknik Pengendalian Gulma Secara Terpadu dapat dilakukan sebagai berikut:

1.
1. Gulma ditebas dengan parang kemudian dihamparkan di lahan sebagai mulsa. Sekitar
2-3 minggu gulma yang sedang tumbuh aktif disemprot dengan herbisida sistemik,

seperti glifosat dengan takaran 4-6 liter per hektar. Setelah 2-4 minggu kemudian,

lahan ditanami padi dalam barisan. Upaya penyiangan dilakukan dengan menggunakan

herbisida pasca-tumbuh, seperti 2,4-D amina dengan takaran 1,5 liter per hektar

yang diaplikasikan pada umur 2-3 minggu setelah tanam padi.

2. Gulma ditebas dengan parang kemudian dilakukan pengolahan tanah. Selanjutnya


dilakukan penanaman padi dan penyiangan menggunakan herbisida pra-tumbuh,

seperti Oxadiazon dengan takaran 2 liter per hektar. Penyiangan dilakukan secara

manual satu kali pada umur 35 hari setelah tanam padi.

Penyemprot Punggung

Alat penyemprot herbisida yang paling banyak digunakan adalah alat penyemprot punggung.

Alat ini terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu.

Nosel

Nosel yang tepat untuk aplikasi herbisida adalah nosel polijet yang memenuhi pola semprot

berbentuk kipas. Nosel tersebut di bagi atas 4 macam warna, yaitu merah, biru, hijau, dan kuning

yang masing-masing menghasilkan lebar semprot optimum yang berbeda, sehingga pemakaiannya

dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Jangan menggunakan nosel kembang dan nosel kerucut karena tidak memberikan hasil

semprotan yang baik.

Warna nosel Lebar Kesesuaian Penggunaan dalam


Semprotan (m) Penyemprotan

Merah 2,0 Seluruh areal (total)


Biru 1,5 Pada barisan tanaman

Hijau 1,0 Pada barisan tanaman

Kuning 0,5 Pada barisan tanaman dan setempat

Kalibrasi alat semprot (sprayer)

Kalibrasi adalah menghitung/mengukur kebutuhan air suatu alat semprot untuk luasan areal

tertentu. Kalibrasi harus dilakukan pada setiap kali akan melakukan penyemprotan yang gunanya

adalah:

- Menghindari pemborosan herbisida

- Memperkecil terjadinya keracunan pada tanaman akibat penumpukan Herbisida

- Memperkecil pencemaran lingkungan.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam melaksanakan kalibrasi:

 Siapkan alat semprot yang baik dengan jenis nosel yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya

nosel polijet warna biru lebar semprotnya 1,5 m.

 Isi tangki alat semprot dengan air bersih sebanyak 2,5 liter.

 Pompa tangki sebanyak 10-12 kali hingga tekanan udara di dalam tangki cukup penuh.

 Lakukan penyemprotan pada areal yang akan disemprot dengan kecepatan dan tekanan yang

sama sampai air 2,5 liter tersebut habis.

 Ukur panjang areal yang dapat disemprot dengan 2,5 liter air tersebut.

 Lakukan penyemprotan sebanyak 3 kali dan hitung panjang serta luas areal yang dapat

disernprot seperti contoh berikut.

Panjang dan luasan areal yang dapat disemprot dengan 2,5 liter menggunakan nosel polijet

warna biru.

Ulangan Panjang (m) Luas (m2)


I 33 49.5

II 33 49.5

III 34 51

Rata-rata 33.3 50

Bila luas areal yang akan disemprot adalah 1 hektar (10.000 m2 ), maka

banyaknya air yang dibutuhkan adalah:

Volume air = 10.000 m2 x 2,5 liter air

1,5 m x 33,3m

= 10.000 m2 x 2 5 liter air

50 M2

= 500 liter/ha.

Apabila takaran herbisida yang akan digunakan adalah 3 liter (3000 ml) per hektar maka

herbisida yang dibutuhkan untuk 15 liter air pencampur adalah:

Volume herbisida = 15 liter x 3000 ml

500 liter

= 90 ml herbisida /15 liter air

Cara penggunaan herbisida

Herbisida akan berhasil dan efektif apabila digunakan dengan benar sesuai

petunjuk, yaitu:

- Merata ke seluruh areal sasaran


- Takaran sesuai dengan kebutuhan per satuan luas

Penggunaan herbisida dengan memakai bahan pelarut air

Penyemprotan

- Campurkan herbisida dan air dengan Takaran yang benar

- Aduk hingga tercampur rata

- Semprotkan secara menyeluruh ke seluruh areal pertanaman

Khusus untuk herbisida pra-tumbuh atau pasca tumbuh pada padi sawah, air harus dalam

keadaan macak-macak yang dipertahankan selama 4 hari setelah

penyemprotan.

Pengusapan

Pada gulma yang tumbuh jarang tapi berbahaya, cukup dengan mencelupkan sepotong kain

pada larutan herbisida lalu dieluskan sampai membasahi gulma tersebut.

Penggunaan herbisida tanpa bahan pelarut

Bentuk cair yang siap untuk digunakan:

- Tidak memerlukan alat semprot

- Petakan sawah harus dalam keadaan tergenang 2-5 cm

- Percikkan herbisida ke kiri dan ke kanan

- Percikan herbisida yang jatuh ke air akan cepat menyebar membentuk lapisan tipis di dasar

air

- Pertahankan genangan air selama 4 hari.


Bentuk butiran

- Dapat digunakan pada padi sawah

- Sawah harus dalam keadaan tergenang setinggi 2-5 cm selama 4 hari

- Cara penggunaannya ditebar merata ke seluruh petakan sawah

- Dapat membunuh biji gulma akan tumbuh/ berkecambah

I. PENUTUP

1. Kesimpulan

Mengatasi masalah hama dan gulma merupakan pengetasan masalah yang dilematis diakhir

tahun 80-an. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya

dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal,

senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal

inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara

alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami.

Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung

memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang

akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal

setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah

ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida.

Untuk itulah, sejak awal tahun 90-an, pemerintah melalui undang-undang meminta kepada

para petani untuk tidak lagi mengunakan pestisida kimia. Karena dirasa kontaminasinya berpengaruh

besar bagi ekosistem alam. Hingga saat ini petani diharapkan untuk tidak menggunakan pestisida atau

bahan kimiawi baik untuk memberantas hama, atau meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai

alternatif pemerintah telah mengeluarkan pestisida organik, dan cara-cara pemberantasan dengan

lebih memperhatikan ekosistem lingkungan.


1. Saran

Perkembangan peradaban umat manusia yang di awali masa revolusi industri ternyata

membawa dampak negatif bagi lingkungan. Emisi carbon yang kian hari semakin meningkat sehingga

udara menjadi terkontaminasi, kotor dan sudah berada di atas batas toleransi. Air dan tanah

menjadi terkontaminasi dan tak bisa dimanfaatkan lagi karena molekul dan senyawa di dalamnya

rusak, hilang, bercampur baur. Tanah yang telah mengalami defisiensi unsur hara akan merugikan

bagi petani. Untuk itu penyelesaian yang di tawarkan pemerintah perlu di lakukan sebelum semua

serba terlambat dan kita benar-benar merasakan akibatnya.

Kembali ke cara-cara dan metode lama bukanlah suatu kemunduran melainkan sebuah usaha

yang lebih bijak dan menjaga amanah ilahi yang tiada lain merupakan tujuan penciptaan manusia.

Namun dari apa yang saya tuliskan diatas tidak menutup kemungkinan adanya dampak yang lain. Selalu

mengkaji, memperbaiki, dan mencari jalan yang lebih baik, bukankah itu fungsi dari ilmu

pengetahuan?

*Kawan dari Banten. Bertitel A.Md. Kuanggap adik, tetapi kupanggil bibi karena cerewetnya bukan

main. Sekarang melanjutkan studi S1-nya di UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) Jurusan

Agrotek.

You might also like