Professional Documents
Culture Documents
BERMASYARAKAT DI INDONESIA
DISUSUN OLEH
MARIO O H M
SIPIL 1C POLMED
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pengertian
1
UUD 1945 dapat diartikan menurut sesudah dan sebelum
diamandemen. Pengertian UUD 1945 Sebelum amandemen ialah
keseluruhan naskah yang terdiri dari 3 (tiga) bagian: I. Pembuakaan yang
terdiri dari 4 alinea
II. Batang tubuh UUD 1945 yang berisi pasal 1 s.d. 37 yang
dikelompokkan dalam 16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan
Tambahan
III. Penjelasan UUD 1945 yang terbagi dalam Penjelasan Umum dan
Penjelasan Pasal demi pasal
II. Pasal-pasal yang terdiri atas 20 Bab, 73 Pasal, 170 ayat, 3 Pasal aturan
peralihan, dan 2 Pasal Aturan Tambahan
C. Ruang Lingkup
D. Metode Pendekatan
2
tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan
kepercayaan.
3
dengan yang lain di bawah pedoman tertinggi dari kehendak umum; pada
tubuh manusia, kita menganggap setiap organ adalah bagian yang tak
terpisahkan dari organ lainnya secara keseluruhan. Demikian pula
demokrasi, kebebasan semua orang adalah keputusan dari suara
terbanyak yang mencerminkan demokrasi. Sebaliknya kebebasan
seseorang tidak mencerminkan kehendak umum. Walau kebebasan
pribadi harus dihargai negara demokrasi. Maka, disinilah pentingnya
toleransi umat beragama. Fanatisme terhadap kepercayaan pribadi tidak
bisa dipaksakan pada orang lain
BAB II
PERMASALAHAN
Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia
hingga kini masih menjadi problem yang sangat serius dan banyak
mendatangkan konflik di tengah masyarakat.
4
mereka,pembubaran Ahmadiyah adalah harga mati yang tidak bisa
ditawartawar lagi.Tidak jarang jalan kekerasan menjadi cara mereka
untuk membubarkan jamaah Ahmadiyah ini.
BAB III
PEMBAHASAN
Itu tidak berarti tidak ada usaha serius dari sebagian kalangan
Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan
di sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika
usaha-usaha tersebut. Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat
ada tiga opsi usulan fraksi-fraksi MPR berkaitan dengan pasal 29 tadi.
Pertama, mempertahankan rumusan pasal 29 sebagaimana adanya tanpa
perubahan apapun; kedua, mengubah ayat 1 pasal 29 dengan
memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti
rumusan hasil siding BPUPKI 1945; dan ketiga, berusaha mengambil jalan
tengah dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat
lagi dari pasal 29 tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya:
5
“Penyelanggara Negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai,
norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan oleh Partai Golkar); “Negara
melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk
agama diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing”
(diusulkan oleh Partai Reformasi).
6
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang
seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan
beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk.
Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan
keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap
buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa
menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua
tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah melarang lebih dari
seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.
Ini senafas dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM,
pasal 18, yakni : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati
nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
manaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di
muka umum maupun sendiri.” Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih
dahulu memuat soal jaminan kebebasan beragama daripada Deklarasi
HAM. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia bisa dengan mudah menerima
deklarasi tersebut.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)
sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X
mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
8
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam
keadaan apapun (non-derogable). ”Bentuk intervensi kedua Orde Baru
adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan
cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama
resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan
agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara
ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan
kekuasaan.
9
Dalam Islam misalnya, kasus penyimpangan terhadap tafsir
mayoritas ditunjukkan dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-
hak mereka dibatasi, mulai dari soal membangun tempat ibadah hingga
ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok, Tasikmalaya, dan Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan
pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas
bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung
dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan
kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-
undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan
mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu
keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan
membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan,
bukan membatasi definisi dan jumlah agama.
Jaminan Konstitusi
1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas
kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya.
2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak
atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat
umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan
dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal
1
Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau
Berkepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Komnas HAM, 2006) hal 4-5.
11
18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu
kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1
berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal
ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka
mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan
oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama
tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi
pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan
bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang
menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain
seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia.
Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat
(2) dan mereka dibiarkan adanya…”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal
18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang.
12
Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara
lain:2
13
moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan
turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social.
Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral
tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan
dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan
Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)
5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman
terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri
kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka
melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi
agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari
orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik
dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan,
pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan
juga hak kaum minoritas.
4
Siti Musdah Mulia “Menuju Kebebasan Beragama” dalam Chandra Setiawan dan
Asep Mulyana (ed), hal 48
16
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber
dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan
hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia
banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti
Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam
masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali
amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam
hukum di Indonesia.
18
kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup
tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat
aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh
pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi
Rempug, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di
Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena
merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa juga menyatakan
bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah
tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008
di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa
kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah
keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang
terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan
apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan
berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I
UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999
tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan,
dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap
orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam
masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama
atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
BAB IV
BAB V
PENUTUP
20
(sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) sehingga pembangunan rumah
ibadah tidak seakan-akan tergantung dan atau merupakan belas kasihan
dari seorang pejabat atau suatu kelompok/golongan tertentu di dalam
masyarakat.
e) Ketentuan tersebut tidak boleh membatasi/menghalangi hak setiap
makhluk untuk mengekspresikan keberagamaannya kepada Sang Khalik.
Artinya jika oleh karena satu dan hal, rumah-rumah ibadah belum dapat
dibangun, maka hak umat beragama untuk mengungkapkan
keberagamaannya kepada Allah Yang Esa itu tetap dijamin, walaupun
untuk sementara tidak dilaksanakan di dalam ruang gereja/ ruang ibadah
yang khusus.
21