Professional Documents
Culture Documents
pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah
“melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan
dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya
di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum
Pendidikan Kita:
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa
Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat
dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran.
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-
hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952.
“Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16
tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964.
Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
KURIKULUM 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
KURIKULUM 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by
objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975
banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
KURIKULUM 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara
teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan
CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar
siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan
daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen
Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
KURIKULUM 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan
dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih
berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih
banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan
kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar
Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul
apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi
pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan
pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini
disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti
silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum pada hakekatnya adalah alat pendidikan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum akan searah dengan tujuan pendidikan, dan tujuan
pendidikan searah dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan masyarakat (Sanjaya, 2007).
Jika kita bicara dengan arah pembangunan masyarakat, maka disini sudah melibatkan sisi politis
pendidikan. Karena kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan politis tertentu, maka sangat
wajar jika ada istilah ganti menteri ganti kurikulum, ganti rezim ganti kurikulum, bahkan Bush
Jr. mengucurkan dana miliyaran dollar untuk membujuk pesantrren-pesantren di Indonesia agar
tidak berpresepsi buruk terhadap orang Kafir dan mengkerdilkan Jihad, lewat perubahan
kurikulum pesantren atau yang disebut moderenisasi kurikulum pesantren. Melalui paparan
berikut ini, kita akan membuktikan bahwa pengembangan kurikulum sebagai alat pendidikan
sangat dipengaruhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan rezim yang berkuasa.
PENDIDIKAN SEBELUM MASA KOLONIALISME
Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang
merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi, sastra, bahasa,
ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kalingga,
Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu, punjangga, karya sastra, dan seni yang
hebat.
Padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang guru/bengawan
dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga kesaktian. Murid di
Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan pengajaran guru.
Pada zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan mewarnai
penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau, meunasah
(madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan formal tertua di
Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan santri/murid tinggal di pondok/asrama di
sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren cukup banyak tersebar di Jawa, Aceh, dan sumatera
selatan. Sampai saat ini pondok pesantran masih eksis, menurut data DEPAG pada tahun 2005-
2006 jumlah pesantren yang asa di 33 propinsi di Indonesia adalah 16.015 buah, dengan jumlah
santri sebanyak 3.190.394 orang, dengan proposi laki-laki 53,2% dan perempuan 46,8%.
Bagaimana perkembangan pendidikan islam dari sebelum merdeka hingga kini, bisa dibaca
dihalaman madrasah pada blog ini.
Kurikulum 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana
Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah konsep
pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan
sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem
solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah
Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok
perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan dengan metode
disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari
krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di bidang
kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah
alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada
ketetapan MPRS No II tanun 1960.
Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I
dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II
hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100.
Kurikulum 1964 bersifat separate subject curriculum, yang memisahkan mata pelajaran
berdasarkan lima kelompok bidang studi (Pancawardhana). Struktur program berdasarkan
kurikulum ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No Mata Pelajaran Kelas
123456
I Pengembangan Moral
1. Pendidikan kemasyarakatan 1 2 3 3 3 3
2. Pendidikan agama/budi pekerti 1 2 2 2 2 2
II Perkembangan kecerdasan
3. Bahasa Daerah 9 8 5 3 3 3
4. Bahasa Indonesia - - 6 5 8 8
5. Berhitung 6 6 6 6 6 6
6. Pengetahuan alamiah 1 1 2 2 2 2
III Pengembangan emosional/artistik
7. Pendidikan kesenian 2 2 4 4 4 4
IV Pengembangan keprigelan
8. Pendidikan keprigelan 2 2 4 4 4 4
V Pengembangan jasmani
9. Pendidikan jasmani/Kesehatan 3 3 4 4 4 4
Jumlah 25 26 36 36 36 36
Kurikulum 1975
Dibandingkan kurikulum sebelumnya, kurikulum ini lebih lengkap, jika dilihat dari pedoman
yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut. Pada kurikulum SD 7 unsur pokok yang
disajikan dalam 3 buku. Tujuh unsur pokok tersebut adalah dasar, tujun, dan prinsip; struktur
program kurikulum; GBPP; sistem penyajian; sistem penilaian; sistem bimbingan dan
penyuluhan; pedoman supervisi dan administrasi. Pembuatan buku pedoman, pada kurikulum
selanjutnya tetap dipertahankan.
Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien,
yang mempengaruhinya adalah konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (Management by
Objective). Melalui kurikulum 1968 tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung
pada kurikulum 1968 lebih dipertegas lagi. Metode, materi, dan tujuan pengajarannya tertuang
secara gambalang dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI
kemudian lahir satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
bahsasb memiliki unsur-unsur: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, analysis, sintesis). Anak menjadi pintar karena
paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah.
Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk menyerap perkembangan ilmu era 1970-an. Selain
memperkuat matematika, pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Jam pelajaran yang tadinya 41
jam per minggu, menjadi 43 jam. Pelajaran IPA menjadi gabungan dari Ilmu Hayat dan Ilmu
Alam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang diserap siswa SD pada masa itu
menjadi semakin berkembang”. Akan tetapi dampak dari kurikulum 1975 adalah banyak guru
menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan
lain-lain; sedangkan substansi materi uang akan diajarkan kurang didalami.
Struktur program pada kurikulum 1975 di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
No Mata Pelajaran Kelas
123456
1. Pendidikan agama 2 2 2 2 2 2
2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 3 4 4 4
3. B. Indonesia 8 8 8 8 8 8
4. IPS - - 2 2 2 2
5. Matematika 6 6 6 6 6 6
6. IPA 2 2 3 4 4 4
7. Olah raga dan kesehatan 2 2 3 3 3 3
8. Kesenian 2 2 3 4 4 4
9. Keterampilan khusus 2 2 4 4 4 4
JUMLAH 26 26 33 36 36 36
Kurikulum 1994
Lahirnya UU No 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, merupakan pemicu lahirnya
kurikulum 1994. Menurut UU tersebut, pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdasakan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manisia beriman
dan bertakwa kepada tuhan yang mahaesa, berbudi luhur, memeliki keterampilan dan
pengetahuan, kessehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pada kurikulum 1994, pendidikan dasar
dipatok menjadi sembilan tahun (SD dan SMP). Berdasarkan struktur kulikulum, kurikulum
1994 berusaha menyatukan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1975 dengan pendekatan
tujuan dan kurikulum 1984 dengan tujuan pendekatan proses. Pada kurikulum ini pun dimasukan
muatan lokal, yang berfungsi mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh
daerahnya. Pada kurikulum ini beban belajar siswa dinilai terlalu berat, karena ada muatan
nasional dan lokal. Walaupun ada suplemen 1999 seiring dengan tuntutan reformasi, namun
perubahan tidak total. Struktur kurikulum 1994 adalah sebagai berikut:
No Mata Pelajaran Kelas
123456
1. Pendidikan agama 2 2 2 2 2 2
2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2
3. B. Indonesia 10 10 10 8 8 8
4. IPS - - 3 5 5 5
5. Matematika 10 10 10 8 8 8
6. IPA 3 6 6 6
7. Olah raga dan kesehatan 3 5 5 5
8. Kerajinan tangan dan kesenian 2 2 2 2 2 2
9. Muatan lokal 2 2 2 2 2 2
JUMLAH 30 30 38 40 42 42
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi). Lahir
sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No 2 1999 tentang pemerintahan daerah,
UU No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah
otonom, dam Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional. KBK
tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah
otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang
diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan
sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak. Seseorang telah memiliki
kompetensi dalam bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.
Kompetensi mengandung beberapa aspek, yaitu knowledge, understanding, skill, value, attitude,
dan interest. Dengan mengembangkan aspek-aspek ini diharapkan siswa memahami, mengusai,
dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari materi-materi yang telah dipelajarinya. Adapun
kompentensi sendiri diklasifikasikan menjadi: kompetensi lulusan (dimilik setelah lulus),
kompetensi standar (dimiliki setelah mempelajari satu mata pelajaran), kompetensi dasar
(dimiliki setelah menyelesaikan satu topik/konsep), kompetensi akademik (pengetahuan dan
keterampilan dalam menyelesaikan persoalan), kompetensi okupasional (kesiapan dan
kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja), kompetensi kultural (adaptasi terhadap lingkungan
dan budaya masyarakat Indonesia), dan kompetensi temporal (memanfaatkan kemampuan dasar
yang dimiliki siswa. KBK dinilai lebih unggul daripada kurikulum 1994, jika dilihat dari
beberapa aspek berikut ini:
Beberapa keunggulan KBK dibandingkan kurikulum 1994 adalah:
1994 KBK
Yang dikedepankan Penguasaan materi Hasil dan kompetenasi
Paradigma pembelajaran versi UNESCO: learning to know, learning to do, learning to live
together, dan learning to be
Silabus Silabus ditentukan secara seragam Peran serta guru dan siswa dalam proses
pembelajaran, silabus menjadi kewenagan guru.
Jumlah jam pelajaran 40 jam per minggu 32 jam perminggu, tetapi jumlah mata pelajaran belum
bissa dikurangi
Metode pembelajaran Keterampilan proses Lahir metode pembelajaran PAKEM dan CTL
Sistem penilaian Lebih menitik beratkan pada aspek kognitif Penilaian memadukan
keseimbangan kognitif, psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan penilaian berbasis kelas
KBK memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar (KHB), penilaian berbasis
kelas (PBK), kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
(PKBS). KHB berisi tentang perencaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai
secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. PBK adalah melakukan penilaian secara
seimbang di tiga ranah, dengan menggunakan instrumen tes dan non tes, yang berupa portofolio,
produk, kinerja, dan pencil test. KBM diarahkan pada kegiatan aktif siswa dala membangun
makna atau pemahaman, guru tidak bertindak sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai
motivator yang dapat menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat belajar secara
penuh dan optimal. PKBS memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan
sumberdaya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Struktur kurikulum KBK adalah
sebagai berikut
No Mata Pelajaran Kelas
123456
Matapelajaran 1. Pendidikan agama tematik 3
2. Pendidikan kewarganegaraan dan pengetahuan sosial 5
3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
5. IPA 4
6. Kerajinan tangan dan kesenian 4
7. Pendidikan jasmani 4
pembiasaan
8. Kegiatan yang mendorong/mendukung pembiasaan 2
Mulok 9. Mata pelajaran/kegiatan
Jumlah 27 32
Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 atau KTSP tidak mengubah KBK, bahkan sebagai penegas KBK (Jalal, 2006).
Dibandingkan kurikulum 1994, kurikulum KTSP lebih sederhana, karena ada pengurangan
beban belajar sebanyak 20%, jam pelajaran yang dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan
ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi, kurikulum ini lebih menekankan
pada pengembangan kompetensi siswa dari pada apa yang harus dilakukan guru. Kurikulum
2006 adalah penyempurnaan dari KBK yang telah diuji coba kelayakannya secara publik,
melalui beberapa sekolah yang menjadi pilot project. Menurut Jalal (2006) KBK tidak resmi,
hanya uji coba yang diterapkan di sekitar 3.000 sekolah se- Indonesia.
KTSP sendiri lahir sebagai respon dari UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, terutama pasal 36 ayat 1 dan 2. KTSP bertujuan memandirikan dan memberdayakan
satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan.
Prinsip pengembangan KTSP adalah:
1. Berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan
lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Komponen dalam KTSP adalah:
1. Tujuan pada pendidikan dasar: meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lanjut.
2. Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar
No Mata Pelajaran Kelas
123456
Matapelajaran 1. Pendidikan agama tematik 3
2. Pendidikan kewarganegaraan 2
3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
5. IPA 4
6. IPS 3
7. Kerajinan tangan dan kesenian 4
8. Pendidikan jasmani 4
9. Seni budaya dan keterampilan 4
Mulok 2
Pengembangan diri 2
Jumlah 26 27 28 32
3. Kenaikan kelas dan kelulusan berdasarkan PP 19/2005 pasal 72 ayat 1, siswa dinyatakan lulus
apabila: menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal, lulus ujian
sekolah, dan lulus ujian nasional.
PENGEMBANGAN SILABUS
Pada KTSP menuntut satuan pendidikan untuk mengembangkan silabus. Silabus adalah rencana
pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar
kompentensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator,
penilaian, alokasi waktu, dan suber/alat/bahan belajar. Silabus merupakan penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Silabus dikembangkan dengan menekankan pada prinsip ilmiah, relevan, sistematis, konsisten,
memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, dan menyeluruh.
Berdasarkan unit waktu:
1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata
pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester, pertahun,
dan alokasi waktu untuk mata pelajaran lain yang sekelompok.
3. Implementasi per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan standar kompetensi
dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum.
Pengembangan silabus dilakukan oleh para guru secara mandiri, atau berkelompok dalam sebuah
sekolah, atau beberapa sekolah, kelompok MGMP atau PKG, dan dinas pendidikan. Adapun
langkah-langkah pengembangan silabus adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti yang ada pada standar isi
2. Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang potensi peserta didik, relevansi
dengan karakteristik daerah, tingkat perkembangan, kebermanfaatan, struktur ilmu, dan lain-lain.
3. Mengemban kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman belajar yang sesuai
dengan pencapaian kompetensi. Kegiatan pembelajaran menekankan pada proses pengembangan
mental dan fisik melalui interaksi antara semua yang terlibat, baik siswa, guru, lingkungan, dan
sumber belajar lainnya.
4. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi sebagai penanda pencapaian kompetensi dasar
yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.
5. Penentuan jenis penilaian berdasarkan indikator baik dalam bentuk tes maupun non tes,
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap penilaian hasil karya, dan lain-lain.
6. Penentuan alokasi waktu pada setiap kompentensi dasar yang didasarkan pada jumlah minggu
efektif dan alokasi waktu mata pelajaran perminggu.
7. Memanfaatkan sumber belajar sebagai rujukan baik berupa cetak, elektronik, narasumber,
lingkungan fisik, a;am, sosial, dan budaya.
Dari uraian di atas, contoh format silabus adalah sebagai berikut:
SILABUS
NAMA SEKOLAH:
MATA PELAJARAN:
KELAS/SEMESTER:
STANDAR KOMPETENSI (LIHAT STANDAR ISI)
KOMPETENSI DASAR (LIHAT STANDAR ISI)
ALOKASI WAKTU:
Materi pokok pembelajaran Kegiatan pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi waktu Sumber
Belajar
Sumber Rujukan:
Anam, S. 2006. Sekolah Dasar Pergulatan Mengejar Ketertinggalan. Solo: Wajatri. h. 113-148
Pikiran Rakyat. 2006. Kurikulum 2006 Pangkas 100-200 Jam Pelajaran. [on line]
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/032006/08/0701.htm
Sanjaya, W. (2007) Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Soenarta, N. (2005). Biaya Pendidikan di Indonesia: Perbandingan pada Zaman Kolonial
Belanda dan NKRI. [on line] http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0408/05/pddkn/1190238.htm
1 komentar:
genial mengatakan...
saiia jd inget sama guru sejarah saiia sewaktu msh di sma dulu... hapalan dan hapalan
selalu... MULO.. meer uitgebeidd leider onderwidgjt...
ato satu lagi HIS ... holland inlandse schuul... hahahahhaha... gag tau ddeee tuu gmn
tulisannya :)
Poskan Komentar
Masyarakat dapat mengacu pada kurikulum yang di tetapkan lembaga pendidikan, untuk
kepentingan memberikan bantuan guna memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang
membutuhkan kerjasama dengan pihak masyarakat. Masyarakat dapat memberikan kritik dan
saran yang konstruktif dalam penyempurnaan program pendidikan di sekolah agar lebih serasi
dengan kebutuhan masyarakat dan kerja.
I. PENDAHULUAN
Kurikulum dan alat-alat pendidikan merupakan instrumen-instrumen penting dalam pelaksanaan proses
pendidikan. Terlaksananya sebuah proses pendidikan, salah satu prasyaratnya adalah adanya kurikulum
dan alat-alat pendidikan. Dalam arti kata, tidak adanya kurikulum dan alat pendidikan di suatu sekolah,
berarti proses pelaksanaan pendidikan di sekolah tersebut tidak akan berjalan dengan baik atau paling
tidak akan berjalan tanpa arah dan target yang baik dan terarah. Berbedanya hasil dari suatu proses
pendidikan disebabkan oleh berbedanya ketersediaan dan kualitas dari kurikulum dan alat-alat
pendidikan yang menunjang proses pendidikan tersebut.
Kurikulum merupakan perencanaan umum dari sebuah proses pendidikan. Disitu akan dijelaskan target-
target yang akan dicapai dalam proses pendidikan. Kurikulum berfungsi sebagai acuan dasar bagi
pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Alat pendidikan akan menunjang pelaksanaan yang telah direncanakan dalam kurikulum yang telah
disusun. Tanpa adanya alat-alat pendidikan, susah untuk diprediksikan target-target yang akan dapat
dicapai sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diatur dalam kurikulum yang telah disepakati.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Kurikulum dalam bahasa Latin mempunyai kata akar ‘curere’. Kata ini bermaksud ‘laluan’ atau ‘jejak’.
Dalam bahasa Inggris, kurikulum mengandung pengertian ‘metamorfosis’ (jelmaan). Menurut Kliebard
(1982) berarti jurusan pengkajian yang diikuti sekolah. Lebih lanjut Harsono (2005) berpendapat;
kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin,
kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang
dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program
pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.
John Dewey (1902:5) mengartikan kurikulum sebagai sebuah pengkajian di sekolah dengan mengambil
kira kandungan dari masa lampau hingga masa kini yang pembentukannya menekankan pada
kepentingan dan keperluan masyarakat.
Menurut Frank Bobbit (1918) kurikulum dapat diartikan keseluruhan pengalaman, yang tak terarah dan
terarah, yang bertujuan untuk perkembangan kemampuan individu atau satu seri latihan pengalaman
langsung secara sadar digunakan oleh sekolah untuk melengkap dan menyempurnakan pemahamannya.
Konsep tersebut menekankan kepada pemupukan perkembangan individu melalui segala pengalaman
termasuk pengalaman yang dirancangkan oleh sekolah.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang
beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di
suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum.
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may
contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in
given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu
pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel
dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences
children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang
mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject
and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar mengajar. Kurikulum dipandang
sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan.
Apabila masyarakat dinamis, kebutuhan anak didikpun akan dinamis sehingga tidak tersaing dalam
masyarakat, karena memang masyarakat berubah berdasarkan kebutuhan itu sendiri.
Kurikulum juga sebagai pedoman mendasar dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan. Berhasil
atau tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang anak didik dan pendidik dalam menyerap dan
memberikan pengajaran, dan sukses tidaknya suatu tujuan. Bila kurikulumnya didesain dengan
sistematis dan komprehensif serta integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan pembelajaran
anak didik untuk mempersiapkan diri mengahadapi kehidupannya, tentu hasil (out-put) pendidikanpun
akan mampu mewujudkan harapan. Tetapi jika tidak, kegagalan demi kegagalan akan terus menerus
membayangi dunia pendidikan.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa
konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:
1. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam
bidang kurikulum dan pendidikan.
2. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang
didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
3. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana
tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan,
dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan
tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian:
1. kurikulum sebagai ide
2. kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam
melaksanakan kurikulum
3. kurikulum menurut persepsi pengajar
4. kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas
5. kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik
6. kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dalam praktek pendidikan, istilah alat pendidikan sering diidentikan dengan media pendidikan,
walaupun sebenarnya pengertian alat lebih luas dari media. Pengertian alat pendidikan disini adalah
langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pelaksanaan pendidikan berupa usaha dan
perbuatan yang dilaksanakan secara konkrit dan tegas guna menjaga agar proses pendidikan berjalan
dengan lancar dan berhasil.
Ahmad D. Marimba memandang alat pendidikan dari aspek fungsinya, yaitu alat sebagai perlengkapan,
alat sebagai pembantu untuk mempermudah usaha dalam mencapai tujuan, alat sebagai tujuan untuk
mencapai tujuan selanjutnya. Dari pendapat Marimba ini, alat pendidikan bisa berupa usaha/ perbuatan
atau berupa benda/ perlengkapan yang bisa memperlancar atau mempermudah pencapaian tujuan
pendidikan.
Alat-alat pendidikan dapat dibedakan kedalam dua golongan yaitu alat pendidikan preventif dan alat
pendidikan represif.
Alat pendidikan prefentif ialah alat pendidikan yang bersifat pencegahan. Tujuannya adalah untuk
mencegah peserta didik sebelum berbuat sesuatu yang tidak baik yang bisa mengganggu atau
menghambat proses pendidikannya. Contoh alat pendidikan prefentif adalah tata tertib, anjuran dan
perintah, larangan dan paksaan.
Alat pendidikan represif disebut juga alat pendidikan korektif yaitu alat pendidikan yang bersifat
memperbaiki. Tujuan alat pendidikan ini adalah untuk menyadarkan kembali peserta didik yang telah
melakukan pelanggaran terhadap alat pendidikan prefentif yang telah dibuat. Contoh alat pendidikan ini
adalah pemberitahuan, teguran, hukuman dan ganjaran.
Indriati Sukorini (2009) mengatakan, ditinjau dari tujuan pendidikan disetiap jenjang adalah
meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan
mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta
meningkatkan kemampuan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan sekitarnya. Kata kunci
yang menarik untuk diperhatikan dari rumusan tujuan pendidikan diatas adalah “mengembangkan diri”.
Betulkah kurikulum dalam praksisnya telah mengembangkan diri para peserta didik? Atau justru
membebani para peserta didik?
Kritik pada kurikulum pendidikan di negara kita pada tahun 1975, 1984, dan 1994 justru membebani
belajar siswa karena materi kurikulum yang terlalu padat. Sehingga siswa tidak bisa mengembangkan
dirinya sesuai kemampuan siswa masing-masing, maka peranan kurikulum pada tahun tersebut dirasa
kurang berhasil dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu pemerintah mengambil sikap untuk membenahi kurikulum pada tahun tersebut,
akhirnya lahirlah kurikulum 2004 yang terkenal dengan lahirnya KBK. Pada kurikulum 2004 ini materi
kurikulum sudah agak longgar, sehingga tidak begitu membebani belajar siswa. Pada kurikulum ini siswa
dituntut untuk bisa mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.
Karena pada kurikulum ini, orang tua diberi kesempatan dalam kegiatan persekolahan tersebut,
walaupun peran orang tua dalam kegiatan persekolahan tersebut masih sedikit terbatas. Apalagi kalau
banyak kesempatan yang diberikan kepada orang tua untuk selalu aktif berperan dalam kegiatan
sekolah atau proses pembelajaran mungkin kompetensi masing-masing anak bisa lebih berkembang.
Melihat uraian diatas ternyata kurikulum 2004 pun belum mempunyai peranan yang utama dalam mutu
pendidikan kita. Karena jika kita lihat mutu pendidikan di negara kita masih tertinggal jauh dibanding
negara-negara lain, seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat telah dikembangkan “less is more” yaitu
jumlah bahan dikurangi supaya siswa dapat meniliti secara mendalam. Dengan less is more siswa tidak
diburu waktu sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk berpikir kritis dan berefleksi.
Seperti pernyataan Sukorini, peranan KTSP pada mutu pendidikan di negara kita juga belum ada
pengaruhnya. Karena peringkat Indonesia masih dibawah jauh dari negara-negara seperti Korea,
Singapura, Jepang, Taiwan, China, India, Malaysia dan masih banyak negara lain yang peringkatnya ada
diatas negara kita. Salah satu penyebabnya adalah kurang berperannya guru didalam mengembangkan
KTSP ini dengan baik. Masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah sehingga cara berfikir
anak serasa mati. Selain itu juga kurang tanggung jawabnya seorang guru pada mata pelajaran yang
mereka berikan. Sebagian besar guru masih ada yang hanya memikirkan materi yang menjadi tanggung
jawabnya itu selesai tepat waktu sesuai dengan silabus dan program semester tetapi tidak memikirkan
apakah materi yang mereka sampaikan itu bisa difahami dan diserap oleh siswa dengan baik atau tidak.
Sehingga tidak relevan dengan tujuan KTSP itu sendiri dimana guru harus mampu mengembangkan KTSP
yang bisa menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang kuat.
Disamping itu pihak pemangku kepentingan dalam meningkatkan mutu pendidikan juga tidak bisa
berperan aktif. Sehingga sampai saat ini pun mutu pendidikan di negara kita masih sangat rendah dan
terpuruk, walaupun sudah diadakan reformasi kurikulum pendidikan di negara kita. Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa reformasi kurikulum pendidikan yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah kita
belum mampu mengubah mutu pendidikan yang lebih baik dan berhasil guna.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tuntutan adanya kurikulum yang sesuai
dengan zamannya menjadi relevan. Penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia mestinya
mendapatkan perhatian yang lebih. Pengajaran bahasa yang lebih berorientasi pada fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi akan membantu siswa belajar menkomunikasikan pemikiran dan
pengaetahuannya secara sistematis.
Penguasaan Bahasa Inggris yang baik dalam diri siswa atau guru akan dapat mengembangkan
pengetahuan lewat informasi dari buku-buku asing. Keterampilan menggunakan komputer dan internet
perlu ditingkatkan pada setiap guru dan siswa sehingga siswa terbantu untuk secara mandiri mengambil
informasi dan pengetahuan dari negara-negara lain. Sekolah perlu memfasilitasi peralatan dan
pengajaran komputer, sehingga siswa dapat mengenal peralatan mutakhir tersebut dan dapat
menggunakannya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan cara belajar siswa sesuai kemajuan
teknologi dan komunikasi.
Menurut Hasan (1992) kurikulum bersifat fleksibilitas mengandung dua posisi. Pada posisi pertama
berhubungan dengan fleksibilitas sebagai suatu pemikiran kependidikan bagi diklat. Dengan demikian,
pada posisi teoritik yang harus dikembangkan dalam kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu
sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya posisi pengembang ini karena adanya perubahan
pada pemikiran kependidikan atau pelatihan.
Dampak kurikulum terhadap perkembangan proses pendidikan dapat juga dilihat dari peranan
kurikulum dalm proses pendidikan tersebut. Paling tidak ditentukan tiga jenis peranan kurikulum, yaitu:
1) Peranan konservatif.
Kurikulum bisa dikatakan konservative, karena mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada
anak didik atau generasi muda.
2) Peranan kritis dan evaluatif.
Maksudnya kurikulum selain mewariskan atau menstranmisikan nilai-nilai kepada generasi muda juga
sebagai alat untuk mengevaluasi kebudayaan yang ada.
3) Peranan kreatif
Kurikulum melakukan kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu
yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat.
Ketiga peran diatas harus dilaksanakan secara seimbang, sehingga tercipta keharmonisan diantara
ketiganya. Dengan demikian kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan untuk membantu
peserta didik menuju kebudayaan yang akan datang, sehingga mereka menjadi generasi yang siap dan
terampil dalam segala hal
A. Pendahuluan
Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan
dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus,
pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa
berkepentingan dengan pendidikan.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang
sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori
yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori
para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki
seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun.
Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen
kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui
memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga
kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten
kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita
masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal
dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan
karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya,
kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi
kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal
keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum,
kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam
berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan
sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki
kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as
observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi
juga kurikulum sebagai hasil.
Waring (dalam cienurani, 2008) mengemukan posisi keragaman sebagai variabel bebas memang
berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan
diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat
diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru
yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani
kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh
diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan
besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan
dan diputuskan. Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus
menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam sosialisasi kurikulum, dan
pelaksanaan kurikulum
Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan: faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.
B. Pengertian Kurikulum
Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di
suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah
kurikulum. George A. Beauchamp (dalam Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa : “A
Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan
for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern,
pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi
dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (dalam Sudrajat,
2008) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children
have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (dalam
Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of
courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners
under the auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (dalam Sudrajat, 2008)
mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:
kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,
khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai
suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai
suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai
suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan
perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi (dalam Sudrajat, 2008) memilah pengertian kurikulum menjadi enam
bagian, yaitu :
Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu”
Dalam Sukmadinata (2006 : 158), ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum, yaitu :
Perguruan Tinggi
Masyarakat
Sistem nilai
1. Pergururan Tinggi
Pertama, dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan
diperguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi
kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi
akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan
teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media
pendidikan.
Kedua, dari segi pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK, seperti IKIP, FKIP, STKIP). Kurikulum
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum,
terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya.
Pengusaan keilmuan, baik ilmu pendidikan maupun ilmu bidang studi serta kemampuan
mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi
kurikulum di sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang
ada dewasa ni, umumnya disiapkan oleh LPTK melalui berbagai program, yaitu program
diploma dan sarjana. Pada Sekolah Dasar masih banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG
dan SGO, tetapi secara berangsur-angsur mereka mengikuti peningkatan kompetensi dan
kualifikasi pendidikan guru melalui program diploma dan sarjana.
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang diantaranya bertugas mempersiapkan anak
didik untuk dapat hidup secara bermatabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi
kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi
kebutuhan dan tuntutan mereka.
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau
heterogen. Sekolah berkewajiban menyerap dan melayani aspirasi-aspirasi yang ada di
masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan
dunia usaha yang ada di masyarkat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal ini
karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai sekolah, tetapi juga untuk
dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada di masyarakat berimplikasi pada
kurikulum yang dikembangkan dan digunakan sekolah.
3. Sistem Nilai
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial,
budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertangung jawab dalam
pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat.
Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum.
Persoalannya bagi pengembang kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya
satu. Masyarakat umumnya heterogen, terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok
vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spritual keagamaan, yang masing-
masing kelompok itu memiliki nilai khas dan tidak sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-
aspek sosial, ekonomi, politk, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya. Aspek-aspek
tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengakomodasi pebagai nilai yang tumbuh di
masyarakat dalam kurikulum sekolah, diantaranya :
Berdasarkan analisis kami, bukan hanya 3 (tiga) faktor yang dikemukan oleh
Sukmadinata (2006) saja, yang merupakan faktor-faktoe yang mempengaruhi
pengembangan kurikulum, tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi
pengembangan kurikulum. Salah satunya landasan pengembangan kurikulum itu sendiri.
Landasan pengembangan kurikulum sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum
karena bila landasannya berupa maka akan mempengaruhi pengembangan kurikulum.
Berdasarkan analisis kami, maka faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum, diantaranya :
· Filosofis
· Psikologis
· Sosial budaya
· Politik
· Pembangunan negara dan perkembangan dunia
· Ilmu dan teknologi (IPTEK)
1. Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme,
essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan
kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai
terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada
pemikiran Ella Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan tentang isi dari
masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
2. Psikologis
Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang
mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan
dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat
perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam
konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta
berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan.
1. Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan
untuk melakukan suatu aksi.
2. Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau
informasi.
3. Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
4. Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
5. Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya
manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada
permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan
lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat
untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit
untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (dalam Sudrajat: 2008) menyoroti
tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya
terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan
kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan
perkembangan kognitif.
3. Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan
merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di
masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan
sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing
dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti
dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses
pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan
perkembangan yang ada di masyakarakat.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga
turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan
penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (dalam Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan bahwa melalui pendidikan
manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat
peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah
seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial –
budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
4. Politik
Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to
Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum.
Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik,
kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah
kurikulum pendidikan berubah.
Pengembangan kurikulum juga dipengaruhi oleh faktor pembangunan negara dan perkembangan
dunia. Negara yang ingin maju dan membangun tidak seharusnya mempunyai kurikulum yang
statis. Oleh karena itu kurikulum harus diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
kemajuan sains dan teknologi.
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana,
namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-
teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin
berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak
mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia
bisa menginjakkan kaki di bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil
Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah
berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya.
Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan
keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada
konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan
melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan
kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan
belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai
pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup
manusia.
Kurang waktu
Kekurang sesuaian pendapat (baik antara sesama guru dengan kepala sekolah dan
administrator)
Karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
Masyarakat merupakan sumber input dari sekolah, karena keberhasilan pendidikan, ketetapan
kurikulum yang dugunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dari mayarakat.
1. Masalah biaya.
E. Penutup
Proses perkembangan kurikulum sebagai sifatnya yang sentiasa berubah turut dipengaruhi oleh
faktor-faktor persekitaran yang merangsang reaksi manusia yang terlibat dalam kepentingannya.
Hasrat terhadap perubahan kurikulum itu menggambarkan keperluan pendidikan yang menjadi
wadah penerus kemajuan bangsa dan negara itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan perkembangan kurikulum adalah elemen yang saling berkait antara satu sama
lain. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum itu
sendiri mencerminkan idealisme dan perubahan keperluan masyarakat dan negara, melalui
institusi persekolahan yang akan meneruskan kebudayaan.
Pergururan Tinggi
Masyarakat
· Sistem Nilai
· Filosofis
· Psikologis
· Sosial-Budaya
Politik
Pembangunan Negara Dan Perkembangan Dunia
Ilmu dan Teknologi (IPTEK)
Faktor-foaktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, harus menimaliskan faktor yang
bersifat negatif. Oleh karena itu bagi pengembang kurikulum diharapkan dapat bekerjasama
dengan kelompok lain dan adanya ujicoba agar faktor negatif dapat diminimaliskan.
REFERENSI
Chamisijatin, Lisa, dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum SD. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari hasil analisis KTSP dan proses pembelajaran PKn di kelas I SD, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Perubahan kurikulum yang terjadi dalam dunia pendidikan sejalan dengan IPTEK yang terus
berkembang.
2. Kurikulum 2006 (KTSP) dalam pembelajaran PKn mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk
melahirkan peserta didik sebagai ilmuan professional sekaligus warga negara Indonesia yang taat
terhadap peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat serta cinta tanah air (Nasionalisme)
yang tinggi.
3. Kelebihan dari kurikulum 2006 (KTSP) yaitu mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan, mendorong guru dan pihak manajemen sekolah untuk
meningkatkan kreatifitas dalam program pendidikan, menitikberatkan dan mengembangkan mata
pelajaran tertentu bagi kebutuhan peserta didik, dan memberikan peluang yang lebih luas untuk
mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah.
4. Kelemahan dari kurikulum 2006 (KTSP) yaitu kurangnya SDM, kurangnya ketersediaan
sarana dan prasarana, masih banyak guru yang belum memahami KTSP, pengurangan jam
pelajaran yang berdampak pada berkurangnya pendapatan guru.
5. Proses belajar mengajar pada pembelajaran PKn cukup baik, namun penggunaan alat peraga
yang kurang maksimal dan format penilaian yang belum lengkap.
3.2 SARAN
Dari kesimpulan diatas maka penulis berusaha memberikan saran yang diharapkan dapat
membantu program pelaksanaan KTSP dengan baik. Saran-saran tersebut antara lain :
1. Lebih ditingkatkan lagi sosialisasi KTSP sehingga dapat meningkatkan SDM guru dan kepala
sekolah sesuai dengan perkembangan IPTEK
2. Penyediaan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan program KTSP.
3. Perlu ditingkatkannya proses belajar mengajar yang menggunakan alat peraga dalam setiap
pembelajaran khususnya mata pelajaran PKn di kelas I tingkat SD.
DAFTAR PUSTAKA
Haryati, Mimin. 2007. Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan. Edisi
Pertama. Gaung Persada Press Jakarta. Jakarta
mahaniv@yahoo.com
Mulyadi, Usman, dkk. 1988. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Edisi Pertama. Bina
Aksara. Jakarta.
Wahid, Aliaras, dkk. 2006. Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Jakarta Barat.
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa
Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat
dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran.
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-
hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952.
“Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16
tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964.
Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
KURIKULUM 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
KURIKULUM 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by
objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975
banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
KURIKULUM 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara
teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan
CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan
CBSA bermunculan.
KURIKULUM 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan
dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih
berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih
banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan
kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar
Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul
apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi
pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan
pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini
disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan
kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti
silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Source: http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.html
KURIKULUM pendidikan Indonesia rupanya terus ditakdirkan berada dalam dunia yang
berbeda. Dunia ideal untuk memperbaiki mutu pendidikan dan tataran praksis yang justru
menghasilkan kenyataan sebaliknya. Dari sudut pandang pemerintah, kurikulum sering dianggap
seperti ‘mantra baru’, sementara publik justru menganggapnya sebagai ‘petaka baru’.
Kurikulum sering dinilai tidak hanya menjadi momok, tetapi juga mengganggu dunia
pendidikan. Pendidikan kita seperti disandera oleh sistem kurikulum yang tak kunjung
menghasilkan apa yang ada dalam cita-cita ideal kita.
Seperti juga sekarang telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004. Kurikulum yang sesungguhnya
belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan
Kurikulum 1994.
Seperti yang sudah-sudah, munculnya kurikulum baru itu juga disambut kontroversi. Ada yang
optimistis dan juga sebaliknya. Yang optimistis berkeyakinan KTSP akan mampu mengatasi
mandulnya kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Sekolahlah
sebagai penentu pendidikan, bukan pemerintah pusat. Kini sekolah dan komite sekolah harus
bermitra mengembangkan kurikulum sendiri.
Guru, dalam kurikulum baru itu, benar-benar digerakkan agar menjadi manusia profesional. Ia
dipaksa untuk meninggalkan cara-cara konservatif dan menggantinya dengan cara kerja yang
kreatif. Selama ini para guru lebih banyak menampakkan wajahnya sebagai perpanjangan wajah
birokrasi. Ia terlampau patuh pada apa yang disebut petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.
Sementara itu, yang pesimistis mengolok-olok KTSP sebagai (K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai
karena lahir terlalu prematur. Sumber kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada
pada guru sendiri. Seberapa banyak guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman
yang disyaratkan KTSP? Bukankah pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali
guru sebagai penyusun kurikulum?
Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan
menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru itu pun akan sama nasibnya dengan
kurikulum-kurikulum lainnya. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004).
Ironisnya lagi, meski KTSP benar-benar memberikan otonomi kepada sekolah untuk
mengembangkan pendidikan, ujung dari seluruh proses itu juga harus lewat ujian negara. Ujian
negara akan membuat guru sibuk bagaimana agar seluruh siswa lulus, dan pada akhirnya lupa
mengembangkan kreativitas sekolah.
Kita khawatir niat suci pemerintah untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada sekolah
dan guru, justru menjadi belenggu. Sebab, pemerintah sendiri belum menyiapkan guru-guru
untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum berbasis sekolah tersebut. Kita khawatir KTSP
tidak menjadi jawaban yang tepat atas dunia pendidikan kita yang masih terhuyung-huyung
untuk menghadapi persaingan global yang keras.
Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan adalah
kurikulum pendidikannya. Karena pentingnya maka setiap kurun waktu tertentu
kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar. Departemen Pendidikan Nasional
juga secara teratur melakukan evaluasi terhadap peraturan yang berkait dengan
kurikulum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi, pengetahuan dan metode belajar
semakin lama semakin maju pesat. Oleh karena itu, tidak mungkin dalam suati instansi
pendidikan tetap mempertahankan kurukulum lama; hal ini dikhwatirkan akan
mengakibatkan suatu instansi sekolah tidak dapat sejajar dengan sekolah-sekolah yang
lain.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat. Sementara di sisi lain,
prioritas kebijakan nasional ikut berubah. Begitu pun pola pembiayaan pendidikan serta
kondisi sosial, termasuk perubahan pada tuntutan profesi serta kebutuhan dan keinginan
pelanggan. Semua itu ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk
selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang
digunakan.
Di dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat
penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses
pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan
dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004
dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu
Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan
serta pendekatan dalam merealisasikannya.
1. Kurikulum Tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947)
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada
saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan
kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam
semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development
conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
2. Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran 1947)
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964)
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok
pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana
(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan,
dan jasmani.
4. Kurikulum 1968 (Rencana Pendidikan 1968)
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-
pendekatan di antaranya sebagai berikut.
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan
sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan
keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke
kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian
kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan
latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media
digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya
7. Kurikulum 1994
Ciri-Ciri Umum Kurikulum 1994:
- Perubahan dari semester ke Caturwulan (Cawu)
- Dari pola pengajaran berorientasi TEORI belajar mengajar menjadi beroreintasi pada
MUATAN (Isi)
- Bersifa populis yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di
seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar
- Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam
mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban
konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
8. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK))
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Menekankan pd ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
9. Kurikulum 2006 (KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No.
19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih
bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah
subject matter), yaitu:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi
sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun
rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan,
mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender
pendidikan, hingga pengembangan silabusnya
Pergantian kurikulum adalah suatu keniscayaan yang harus diberlakukan untuk mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku dan metode pngajaran yang
setiap saat terus berkembang. Untuk menyikapi pergantian kurikulum maka yang harus
disiapkan adalah: Kesiapan dari guru itu sendiri (apapun kurikulumya apabila guru
memahami akan esensi dari kurikulum maka tidak akan terjadi permasalahan), kesiapan
sekolah, kesiapan pemerintah dan kesiapan stake holder pendidikan. Semoga tulisan ini
dapat sedikit memberikan pencerahan tentang kurikulum di Indonesia, sehingga dapat
lebih menimbulkan kearifan dalam proses belajar-mengajar.
(Dari berbagai sumber
Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah
enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975,
1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah
pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu
membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global?
Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas
secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknya membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi
datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai
kesalehan, baik individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam panggung
kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi,
kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain yang dilakukan oleh orang-orang yang
notabene sangat kenyang “makan sekolahan”. Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai
hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris
semacam itu, disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa dunia pendidikan kita
telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di pasar
kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika
zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah
KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas?
Mitos Globalisasi
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mustahil mampu menghindar dari dampak dan
imbas globalisasi. Globalisasi telah mendorong terciptanya rekonfigurasi geografis, sehingga
ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan oleh kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas
teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial
global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di
kawasan yang jauh bisa dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula,
dan sebaliknya. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau
serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organization dari
hubungan sosial dan transaksi –ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan
dampaknya– yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.
Dunia pendidikan pun tak luput dari imbas dan pengaruh yang dihembuskan oleh globalisasi.
Paling tidak, ada tiga perubahan mendasar yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya
hembusan paham neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah
usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara kontinyu. Globalisasi
mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas
dalam pasar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih membenani orang tua murid dengan
sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun
pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi
dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik
dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945
yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari corak
sentralistis menjadi desentralistis.
Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi
pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti komputer dan internet, telah membawa
perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfataan
multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik
pembelajaran di dunia persekolahan kita.
Meskipun demikian, diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi
terhadap dunia pendidikan kita. Mitos yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah
bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus
identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.
Dalam pandangan Mursal Esten, anggapan atau jalan pikiran semacam itu tidak sepenuhnya
benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi
hilang dan tidak berguna. Kemajuan Iptek telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi
dan kekuasaan negara. Dalam buku Global Paradox, Naisbitt pun memperlihatkan hal yang
justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt
mengatakan bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, perusahaan-perusahaan
kecil dan sedang akan semakin mendominasi. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita
semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global,” ujar Naisbitt. Ini artinya, proses
globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis sebagai masalah yang
penting yang harus dipertimbangkan.
Dalam konteks demikian, perlu ada penekanan dan perhatian yang lebih serius dari tim
pengembang KTSP di sekolah untuk “membumikan” unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal
ke dalam kurikulum. Bahasa dan Sastra Jawa, misalnya, harus menjadi muatan lokal yang
“wajib” dikembangkan di sekolah, termasuk di SMA/SMK/MA. Bahkan, perlu dikembangkan
lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar, atau penggiat Bahasa dan Sastra Jawa.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “agen
peradaban” yang menggambarkan masyarakat mini –lengkap dengan segala atribut, identitas,
dan jatidirinya secara utuh– di tengah-tengah perkampungan global yang gencar menawarkan
perubahan gaya hidup dan kultur modern lainnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi
“benteng” terakhir pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer
sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam
mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya.
Implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem
pembelajaran yang benar-benar memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk
mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara. Namun, diakui atau tidak, perubahan kurikulum selama ini hanya sebatas
papan nama. Secara lahiriah menggunakan label kurikulum baru, tetapi sejatinya masih
menggunakan “roh” kurikulum yang lama.
Dalam pandangan Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), selama
ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya,
perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis,
tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia
sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis,
pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya
dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan.
Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.
Kita berharap, implementasi KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana
perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses
dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya
menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-
generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang
dihadapinya.
Peran Keluarga
Yang tidak kalah penting, implementasi KTSP harus diimbangi dengan intensifnya peran
pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan
keluarga dan orang tua berkaitan memiliki pengaruh yang signfikan terhadap prestasi belajar
anak. Menurut Idris dan Jamal (1992), peranan orang tua dalam mendidik anak adalah
memberikan dasar pendidikan, sikap dan watak, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan
agama, budi pekerti, sopan-santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar mematuhi
peraturan, serta menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan disiplin.
Globalisasi, disadari atau tidak, juga telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup
dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materistis, dan hedonis ke
dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota
keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak yang luput mendapatkan perhatian dan
kasih sayang sering kali menghabiskan waktunya dengan cara mereka sendiri. Hubungan anak
dan orang tua pun hanya semata-mata bersifat biologis. Orang tua sudah merasa cukup jika
sanggup memenuhi kebutuhan hidup materiil sampai kelak sang anak bisa hidup berumah
tangga. Sedangkan, hubungan yang hakiki; kesuntukan membangun komunikasi dan interaksi
secara utuh – lahir dan batin—luput dari perhatian.
Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, idealnya
keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir
negatif globalisasi. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan
dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi.
Dengan kata lain, dari ranah keluarga, anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara
optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi
yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga.
Seiring dengan dinamika globalisasi yang terus merambah ke segenap lapis dan lini kehidupan,
sekolah tidak lagi mampu berperan sebagai in loco parentis yang akan mengambil alih peran
orang tua secara utuh. Harus ada sinergi antara pendidikan yang berlangsung di lingkungan
keluarga dan di sekolah. Keluarga harus kembali kepada “fitrah”-nya sebagai institusi yang
menyenangkan; tempat menaburkan dan membumikan nilai-nilai akhlakul karimah, etika, kasih
sayang, dan nilai-nilai luhur lainnya. Jika dasar-dasar karakter anak sudah terbentuk, mereka
akan memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena perpaduan antara kecerdasan
intelektual, emosional, spiritual, dan sosial sudah mulai terformat dengan baik. Dengan cara
demikian, peran sekolah dalam mengoptimalkan pengembangan potensi kognitif, afektif, dan
motorik anak akan bisa berlangsung dengan baik.
Sebagus apa pun konsep perubahan kurikulum, tanpa diimbangi dengan optimalnya peran
stakeholder pendidikan, hal itu tidak akan banyak membawa dampak positif bagi kemajuan
peradaban bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini merindukan lahirnya generasi bangsa yang
“utuh dan paripurna”; berimtaq tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi
semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini sanggup bersaing di tengah kancah
peradaban global yang demikian kompetitif secara arif, matang, dan dewasa. Nah, akankah
perubahan kurikulum di awal tahun ajaran ini mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan
dunia pendidikan di negeri kita? Kita tunggu saja! ***