You are on page 1of 13

MUJAHADAH TERHADAP JIWA

(
‫)هة ا‬

MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA ETIMOLOGIS


Mujahadatun nafsi adalah susunan idhofah (kata majmu’), yang terdiri dari mudlaf (kata yang
disandarkan), yaitu mujahadah dan mudlaf ilahi (kata yang dijadikan sandaran) yaitu an-nafsi. Mujahadah
menurut Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab adalah : Menyapih jiwa dari syahwat dan melepaskan hati dari
angan-angan rusak serta syahwat. Nafs dalam Bahasa Arab bermakna ruh, hati, hakikat, dzat sesuatu (Lisanul
Arab), kebesaran, kesombongan, kebanggaan, obsesi, inti, dan harga diri

MAKNA MUJAHADATUN NAFS SECARA TERMINOLOGIS


Memerangi jiwa yang selalu menyuruh berbuat buruk dengan cara memaksanya melakukan hal hal yang
berat, namun diperintahkan dalam syari’at (Dikutip dari At-Ta’rifat : 263 secara ringkas dan dengan sedikit
perubahan). Ada pembagian lain mengenai jiwa, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Jurjani, yaitu jiwa nafs
nabatiyah, nafs insaniyah, nathiqah dan lain sebagainya Al-Munawi berkata, “Dinyatakan bahwa mujahadah
adalah memaksa jiwa melakukan hal-hal yang memberatkan fisik dan menentang hawa nafsu. Juga dinyatakan
bahwa mujahadah adalah mencurahkan hal yang dimampui untuk melakukan perintah Dzat Yang ditaati; Allah
azza wa jalla.” (At-Tauqif : 297)
Ibnu ‘Alan berkata, “Mujahadah adalah bentuk mufa’alah dari kata al-juhdu yang bermakna
kemampuan. Maka manusia bermujahadah terhadap jiwanya dengan menggunakannya dalam hal-hal yang
memberi manfaat, baik saat ini atau yang akan datang. Dan jiwa pun berjihad padanya untuk melakukan apa
yang diinginkannya.” (Dalilul Falihin, 1 : 302)
Ibnu Hajar –rahimahullah- mengomentari ungkapan Bukhari, “Bab siapa yang berjihad terhadap
jiwanya dalam mentaati Allah azza wa jalla.” Ini merupakan penjelasan keutamaan orang yang bermujahadah.
Dan yang dimaksud mujahadah adalah : Menahan jiwa dari kehendak-kehendaknya yang dapat
menyibukkannya dengan selain ibadah kepada Allah.

MACAM-MACAM JIWA

1. Jiwa yang sangat menyuruh pada kejahatan


yaitu yang cenderung pada tabi’at fisik, menyuruh pada kelezatan dan syahwat indrawi, dan menarik
hati menuju arah kerendahan. Dengan demikian jiwa ini merupakan rumah kejahatan dan sumber
akhlak tercela. Dan jiwa inilah yang harus diperangi.

2. Jiwa yang sangat mencela


yaitu jiwa yang memantulkan sinar hati seukuran yang menyebabkanya tersadar dari kelupaan.
Sehingga setiap kali terjadi kejahatan karena tabi’at jiwa, ia mencela dirinya sendiri.

3. Jiwa yang tenang


yaitu jiwa yang benar-benar tersinari oleh cahaya hati, sehingga terlepas dari sifat-sifat tercela dan
terhiasi akhlak-akhlak mulia.

AYAT-AYAT TENTANG MUJAHADATUN NAFS

…çµtΒ$sàÏã yìyϑøgªΥ ©9r& ß≈|¡ΡM}$# Ü=|¡øts†r& ∩⊄∪ ÏπtΒ#§θ¯=9$# ħø¨Ζ9$$Î/ ãΝÅ¡ø%é& Iωuρ ∩⊇∪ Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# ÏΘöθu‹Î/ ãΝÅ¡ø%é& Iω

∩⊆∪ …çµtΡ$uΖt/ y“Èhθ|¡Σ βr& #’n?tã t͑ω≈s% 4’n?t/ ∩⊂∪


Allah SWT berfirman, “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali dirinya sendiri. Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang
belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
(Al-Qiyamah : 1-4)

∩⊆⊇∪ 3“uρù'yϑø9$# }‘Ïδ sπ¨Ψpgø:$# ¨βÎ*sù ∩⊆⊃∪ 3“uθoλù;$# Çtã }§ø¨Ζ9$# ‘yγtΡuρ ϵÎn/u‘ tΠ$s)tΒ t∃%s{ ôtΒ $¨Βr&uρ
Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at : 40 – 41)

∩∪ $yγ8©.y— tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù ∩∠∪ $yγ1§θy™ $tΒuρ <§øtΡuρ
Allah SWT berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu.” (Asy-Syams: 7 – 9)

…絯ΡÎ) ( «!$# sŒ$yètΒ tΑ$s% 4 šs9 |Mø‹yδ ôMs9$s%uρ šU≡uθö/F{$# ÏMs)¯=yñuρ ϵšø¯Ρ tã $yγÏF÷6t/ †Îû uθèδ ÉL©9$# çµø?yŠuρ≡u‘uρ

z≈yδö(ç/ #u§‘ βr& Iωöθs9 $pκÍ5 §Νyδuρ ( ϵÎ/ ôM£ϑyδ ô‰s)s9uρ ∩⊄⊂∪ šχθßϑÎ=≈©à9$# ßxÎ=øムŸω …絯ΡÎ) ( y“#uθ÷WtΒ z|¡ômr& þ’În1u‘

$s)t6tGó™$#uρ ∩⊄⊆∪ šÅÁn=ø⇐ßϑø9$# $tΡÏŠ$t6Ïã ôÏΒ …絯ΡÎ) 4 u!$t±ósxø9$#uρ uþθ"¡9$# çµ÷Ζtã t∃Î*óÇuΖÏ9 y7Ï9≡x‹Ÿ2 4 ϵÎn/u‘

HωÎ) #¹þθß™ y7Ï=÷δr'Î/ yŠ#u‘r& ôtΒ â!#t“y_ $tΒ ôMs9$s% 4 É>$t7ø9$# #t$s! $yδy‰Íh‹y™ $uŠxø9r&uρ 9(ç/ߊ ÏΒ …çµ|ÁŠÏϑs% ôN£‰s%uρ z>$t7ø9$#

šχ%x. βÎ) !$yγÎ=÷δr& ôÏiΒ Ó‰Ïδ$x© y‰Îγx©uρ 4 Ťø¯Ρ tã Í_ø?yŠuρ≡u‘ }‘Ïδ tΑ$s% ∩⊄∈∪ ÒΟŠÏ9r& ëU#x‹tã ÷ρr& zyfó¡ç„ βr&

uθèδuρ ôMt/x‹s3sù 9(ç/ߊ ÏΒ £‰è% …çµÝÁŠÏϑs% tβ%x. βÎ)uρ ∩⊄∉∪ tÎ/É‹≈s3ø9$# zÏΒ uθèδuρ ôMs%y‰|Ásù 9≅ç6è% ÏΒ £‰è% …çµÝÁŠÏϑs%

∩⊄∇∪ ×ΛÏàtã £ä.y‰ø‹x. ¨βÎ) ( £ä.ωø‹Ÿ2 ÏΒ …絯ΡÎ) tΑ$s% 9(ç/ߊ ÏΒ £‰è% …çµ|ÁŠÏϑs% #uu‘ $£ϑn=sù ∩⊄∠∪ tÏ%ω≈¢Á9$# zÏΒ

’Îû ×οuθó¡ÎΣ tΑ$s%uρ * ∩⊄∪ tÏ↔ÏÛ$sƒø:$# zÏΒ ÏMΖà2 Å7¯ΡÎ) ( Å7Î7/Ρx‹Ï9 “Ì(ÏøótGó™$#uρ 4 #x‹≈yδ ôtã óÚÌ(ôãr& ß#ß™θãƒ

∩⊂⊃∪ &Î7•Β 9≅≈n=|Ê ’Îû $yγ1u*t∴s9 $¯ΡÎ) ( $‰7ãm $yγxtóx© ô‰s% ( ϵšø¯Ρ tã $yγ9tGsù ߊÍρ≡t(è? Í“ƒÍ•yèø9$# ßNr&t(øΒ$# ÏπoΨƒÏ‰yϑø9$#
Allah SWT berfirman, “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, ’Marilah ke sini.’ Yusuf
berkata, ’Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya
orang-orang yang lalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan
itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat
tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju
pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami
wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata, ’Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat
serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ Yusuf berkata, ’Dia
menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya),’ dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan
kesaksiannya, ’Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang
yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk
orang-orang yang benar.’ Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang
berkatalah dia, ’Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu
adalah besar.’ (Hai) Yusuf, ’Berpalinglah dari ini dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu,
karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.’ Dan wanita-wanita di kota berkata, ‘Istri
Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada
bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.”
(Yusuf : 23 – 30)
HADITS-HADITS MENGENAI MUJAHADATUN NAFS
1. Fudlalah bin Ubaid meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda

“Setiap orang yang mati ditutup (pahala) amalnya, kecuali orang yang (mati) dalam keadaan berjaga di
jalan Allah ; maka (pahala) amalnya dikembangkan hingga hari kiamat dan mendapatkan keamanan dari fitnah
kubur.” Dan saya juga mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap
jiwanya.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 6/20-22, Turmudzi 1612 dan redaksi di atas dari riwayat beliau. Dan
ia berkata Hadits ini Hasan Shahih. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud 2500, hingga lafal ”Fitnah kubur.”
Muhaqqiq Jami’ul Ushul mengatakan bahwa sanadnya baik 11/21)

2. Sabrah bin Abu Fakihah ra. meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw

“Sesungguhnya syetan duduk di jalan-jalan yang dilalui manusia ; ia mengganggu manusia di jalan
Islam, ia berkata, ’Engkau masuk Islam, meninggalkan agamamu, agama ayahmu, dan agama nenek moyangmu
? Maka manusia pun mendurhakainya dan masuk Islam. Kemudian ia duduk mengganggu di jalan hijrah ; ia
berkata, ’Engkau berhijrah meninggalkan tanah airmu. Padahal perumpamaan orang yang hijrah itu seperti
kuda yang diikat dengan tali.’ Maka manusia pun mendurhakainya dan berhijrah. Kemudian ia menggoda
manusia di jalan jihad, ia berkata, ’Engkau berjihad, padahal jihad itu memberatkan jiwa dan harta; engkau
berperang dan akan terbunuh, lantas istrimu dinikahi orang dan hartamu dibagi-bagi?’ Maka manusia pun
mendurhakainya dan berjihad. Rasulullah saw. bersabda, ’Siapa yang melakukan hal itu, maka ia Allah akan
memasukkannya ke surga. Siapa yang terbunuh, maka Allah akan memasukkannya ke surga. Apabila ia
tenggelam, maka Allah akan memasukkannya ke surga, atau jika kendaraannya membawanya ke tempat jauh,
maka Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR. An-Nasai 6/21 – 22 dalam bab Jihad. Muhaqqiq Jami’ul
Ushul mengatakan (9/540-541) bahwa sanad Hadits ini Shahih. Dianggap shahih oleh Ibnu Hibba serta di
anggap hasan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 3/64)

3. Anas ra. berkata, ”Pamanku Anas bin Nadhor tidak ikut serta dalam perang Badr. Maka ia berkata
kepada Rasulullah saw., ’Wahai Rasulullah saw., saya tidak ikut serta dalam peperangan engkau yang
pertama melawan kaum musyrikin. Apabila Allah memberi kesempatan padaku untuk memerangi kaum
musyrikin, maka Ia akan melihat apa yang akan aku perbuat.’ Ketika perang Uhud terjadi dan kaum
muslimin terkalahkan, ia berdoa, ’Ya Allah, aku mohon ampun kepada-Mu dari apa yang dilakukan
oleh mereka kaum muslimin yang melarikan diri) dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang
dilakukan oleh mereka (kaum musyrikin).’ Kemudian ia maju dan bertemu Sa’d bin Mu’adz, ia berkata,
’Wahai Sa’d, surga demi Tuhan Nadhor. Sesungguhnya saya mencium baunya di balik Uhud.’ Sa’d
berkata, ’Aku tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukannya, wahai Rasulullah saw.” Anas ra.
berkata, ”Kami menjumpai delapan puluh lebih luka ditubuhnya, baik karena sabetan pedang, tusukan
tombak, atau lemparan anak panah. Kami menjumpainya telah terbunuh dan tubuhnya dipotong-potong
oleh kaum musyrikin. Sehingga tiada seorang pun yang mengenalinya, kecuali saudarinya melalui jari
jemarinya.” Anas ra. melanjutkan penuturannya, ”Kami beranggapan bahwa karena dia dan orang orang
sepertinyalah ayat berikut diturunkan, ”Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).
(Al-Ahzab: 23).” (HR. Bukhari, Fathul Bari 6/2805 dan Muslim 1903. Redaksi di atas dari riwayat
Bukhari)

4. Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami ra. berkata, ”Aku bermalam bersama Rasulullah saw., kemudian aku
membawakan air wudlu dan kebutuhan beliau. Beliau berkata kepadaku, ’Ajukan permintaan!’ Aku pun
berkata, ’Aku mohon bisa menemanimu di surga.’ Beliau bertanya, ’Apa ada selain itu?’ Aku
menjawab, ’Hanya itu.’ Beliau bersabda

‘Bantulah aku untuk kepentingan dirimu dengan memperbanyak sujud (shalat).’ (HR. Muslim : 489)

5. Mughirah bin Syu’bah ra. meriwayatkan

Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan shalat hingga dua telapak kaki beliau” bengkak. Maka
ditanyakan kepada beliau, ”Apakah engkau memaksakan seperti ini, padahal Allah telah mengampuni
dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, ”Tidakkah aku menjadi hamba yang
sangat bersyukur?” (Fathul Bari 1130 dan Muslim 2819. Redaksi di atas dari riwayat Muslim)

UNGKAPAN PARA ULAMA MENGENAI MUJAHADATUN NAFS

1. Isa as. berkata

“Berbahagialah orang yang meninggalkan syahwat yang nyata (di dunia) untuk janji yang masih ghaib,
yang belum dilihatnya.” (Ihya’ Ulumuddin 3/71)

2. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. memberi wasiat kepada Umar ra. saat melantiknya sebagai penggantinya

“Hal pertama yang aku peringatkan padamu adalah jiwamu yang berada di antara dua lambungmu.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam 172)

3. Umar bin Khathab ra. berkata

“Hisablah (koreksilah) diri kalian, sebelum kalian dihisab (oleh Allah), timbanglah diri kalian sebelum
kalian ditimbang (oleh Allah), dan berhiaslah untuk menyambut hari pertemuan terbesar di hadapan
Dzat yang tiada tersembunyi dari-Nya amal-amal kalian. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada
Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (Al-Haqqah : 18).
(Madarijus Salikin, 1/189-190)
KEDUDUKAN MUJAHADATUN NAFS
Ibnu Bathal berkata, ”Jihad seseorang terhadap jiwa adalah jihad yang paling sempurna, sebagaimana
firman Allah SWT, ’Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).’ (An-Nazi’at: 40 – 41) Jihad
tersebut dapat dilakukan dengan mencegah jiwa dari melakukan maksiat, hal-hal yang syubhat, dan
memperbanyak melakukan syahwat yang diperbolehkan, untuk menabung di akhirat.” Ia melanjutkan
ungkapannya, ”Agar manusia tidak biasa memperbanyak yang mubah, hingga menjadi kebiasaan yang dapat
menyeretnya pada hal-hal syubhat, hingga dihawatirkan terjatuh pada yang haram”.

HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI MENGENAI JIHAD TERHADAP JIWA


Ibnu Jauzi berkata, ”Aku merenungkan jihad terhadap jiwa, maka aku memandang bahwa ia merupakan
jihad yang paling agung. Aku memandang bahwa ada beberapa ulama dan ahli zuhud yang kurang memahami
maknanya. Sebab di antara mereka ada yang memahami bahwa jihad terhadap jiwa adalah menahan jiwa dari
segala keinginannya secara mutlak. Dan anggapan tersebut salah, karena dua aspek.

Pertama : Terkadang orang yang mencegah syahwat dapat memperoleh kesenangan lebih sempurna dengan
mencegahnya daripada memberinya. Misalnya ia mencegahnya dari yang mubah, hingga ia terkenal dengan
sifat tersebut. Maka jiwanya puas dengan pencegahan itu, sebab mendapatkan pujian sebagai penggantinya.
Bahkan yang lebih lembut dari itu adalah, bahwa sikapnya menahan jiwa itu menjadikannya memandang
dirinya lebih utama dari orang lain yang belum mencegahnya. Dan ini merupakan sifat tersembunyi yang
membutuhkan pemahaman cermat untuk melepaskannya.

Kedua : Kita diperintahkan untuk menjaga jiwa. Dan di antara sebab terjaganya jiwa adalah
kecenderungannya pada hal-hal yang dapat menjaga eksistensinya. Karena itu jiwa harus diberi hal-hal yang
dapat menjaga eksistensinya. Di mana kebanyakannya, atau bahkan seluruhnya berasal hal-hal yang disukai
jiwa. Kita hanyalah orang-orang diserahi untuk menjaga jiwa, sebab ia bukanlah milik kita. Ia hanyalah titipan
yang diserahkan kepada kita. Maka menghalanginya mendapatkan haknya secara muthlak adalah berbahaya.

Di samping itu, terkadang penahanan memberikan kenyamanan dan terkadang mempersempit jiwa
merupakan cermin sikap menghindarkan diri darinya. Karena itu ia akan kesulitan menghindari tindakan-
tindakan tersebut. Dalam hadits disebutkan, ”Sesungguhnya agama ini sangat kokoh, masuklah di dalamnya
dengan lemah lembut. Sebab yang memaksakan diri tidak dapat melintasi bumi dan tidak menyisakan
kendaraan.” (HR. Bazzar 1/57 (74). Juga diriwayatkan oleh Al-Qudla’i dalam Musnad Asy-Syhab 2/184 (1147
– 1148) dari Jabir bin Abdullah. Lihat juga Al-Maqashid Al-Hasanah, hal. 391 (1403)).
Jihad terhadap jiwa itu seperti jihadnya orang sakit yang cerdas. Ia berupaya memaksa jiwanya
melakukan hal yang dibencinya, yaitu mengkonsumsi obat yang diharapkan dapat menyembuhkannya. Namun
di sela-sela pahitnya obat terdapat sedikit rasa manis. Ia pun mengkonsumsi makanan seukuran yang ditentukan
oleh dokter dan tidak mungkin ia terbawa syahwatnya untuk memenuhi segala keinginannya, bahkan terkadang
ia rela lapar.
Demikian juga mukmin yang berakal ; ia tidak mungkin melepaskan kendali jiwanya dan juga
mengikatnya kuat-kuat. Sesekali waktu ia melonggarkan kendali, tetapi tali kendali masih ada di tangannya.
Karena itu, selama jiwa masih berada dalam kesungguhan, ia tidak akan mempersempitnya. Apabila ia melihat
jiwanya mulai condong, maka ia mengembalikannya dengan lembut. Tetapi jika jiwa itu merasa berat dan
enggan, maka ia memaksanya.
Dalam hal rayuan, jiwa itu seperti seorang istri yang akalnya dibangun di atas kelemahan dan
keterbatasan. Karenanya ia harus dirayu dengan nasihat saat membangkang. Jika tidak dapat dinasehati, maka
dijauhi. Dan jika masih juga tidak berubah, maka dipukul cambuk pemberian sangsi tidak lebih bagus dari
cambuk tekad.
Hal-hal di atas adalah aspek aplikatif. Sedangkan dari aspek nasihat dan kritikan, maka setiap orang
yang melihat jiwa tengah cenderung dan nyaman pada makhluk, serta melakukan akhlak-akhlak rendah, maka
ia harus mengenalkan jiwa tersebut pada Penciptanya, dengan mengatakan “Bukankah engkau (wahai jiwa)
yang dinyatakan oleh Pencipta ?, Aku telah menciptakanmu dengan kedua tangan-Ku, memerintahkan malaikat
untuk memberi penghormatan padamu, meridhoimu sebagai khalifah di bumi, memberikan pinjaman padamu,
dan memberi darimu”.
Apabila jiwa menyombongkan diri, maka hendaknya dikatakan padanya, ”Bukankah engkau hanyalah
setetes air yang hina; Kamu dapat terbunuh oleh sinar mentari dan merasa sakit disengat serangga ?”
Apabila jiwa terlihat teledor, maka hendaknya dikenalkan dengan kewajiban-kewajiban hamba terhadap
tuannya.
Apabila jiwa terlihat lemah dalam beramal, maka hendaknya diberitahu mengenai pahala yang besar.
Apabila jiwa cenderung pada nafsu, maka hendaknya ditakuti dengan besarnya dosa, kemudian
diingatkan dengan siksa indrawi yang dapat disegerakan, sebagaimana firman Allah SWT :
ö(ÝàΡ$# 3 ϵÎ/ Νä3‹Ï?ù'tƒ «!$# ç*öQxî îµ≈s9Î) ô¨Β Νä3Î/θè=è% 4’n?tã tΛsyzuρ öΝä.t(≈|Áö/r&uρ öΝä3yèøÿxœ ª!$# x‹s{r& ÷βÎ) óΟçF÷ƒuu‘r& ö≅è%

∩⊆∉∪ tβθèùωóÁtƒ öΝèδ ¢ΟèO ÏM≈tƒFψ$# ß∃Îh*|ÇçΡ y#ø‹Ÿ2


Katakanlah, ’Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup
hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya kepadamu? Perhatikanlah bagaimana
Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).”
(Al-An’am : 46)

Juga siksaan mental, seperti firman Allah SWT

$pκÍ5 (#θãΖÏΒ÷σムω 7πtƒ#u ¨≅à2 (#÷ρt(tƒ βÎ)uρ Èd,ysø9$# Î*öQtóÎ/ ÇÚö‘F{$# ’Îû šχρã(¬6s3tGtƒ tÏ%©!$# zÉL≈tƒ#u ôtã ß∃Î*ñÀr'y™

(#θç/¤‹x. öΝåκ¨Ξr'Î/ y7Ï9≡sŒ 4 Wξ‹Î6y™ çνρä‹Ï‚−Gtƒ Äcxöø9$# Ÿ≅‹Î6y™ (#÷ρt(tƒ βÎ)uρ Wξ‹Î6y™ çνρä‹Ï‚−Gtƒ Ÿω ωô©”(9$# Ÿ≅‹Î6y™ (#÷ρt(tƒ βÎ)uρ

∩⊇⊆∉∪ t,Î#Ï≈xî $pκ÷]tã (#θçΡ%x.uρ $uΖÏG≈tƒ$t↔Î/


Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang
benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya.
dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika
mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (Al-A’raf : 146)
Ini adalah jihad dengan ucapan, sementara sebelumnya adalah jihad dengan perbuatan.

MENGENDALIKAN JIWA DENGAN BAIK


Hal yang paling mengagumkan adalah mujahadah terhadap jiwa. Sebab ia membutuhkan kreasi yang
menakjubkan, di mana beberapa orang memberinya kebebasan sesukanya, sehingga ia mengantarkan mereka
pada hal-hal yang mereka benci. Sebagian lagi memasungnya secara berlebihan, sehingga mengharamkannya
mendapatkan hak-haknya dan menzhaliminya. Dan kezhaliman mereka kepadanya berpengaruh pada ibadah-
ibadah mereka. Sebagian dari mereka tidak memberinya gizi dengan baik, sehingga fisiknya tidak mampu
melaksanakan kewajiban. Sebagian yang lain mengisolasinya dalam kesendirian, sehingga ia terasing di
kalangan umat manusia, akibatnya ia meninggalkan yang diwajibkan atau yang utama, misalnya menjenguk
orang sakit, berbakti kepada ibu, atau lainnya.
Orang yang kuat tekad adalah yang mendidik jiwanya untuk bersungguh-sungguh dan menjaga prinsip.
Apabila ia memberi peluang luas pada jiwa untuk menikmati yang mubah, maka ia tidak membiarkannya
melampui batas. Ia dan jiwanya ibarat raja yang bergurau dengan sebagian prajuritnya ; Ia tidak terbuka luas
dengan budak. Jika ia telah berlebihan dalam bergurau dengan budak, maka ia diingatkan dengan wibawa
kerajaan. Demikian juga orang cerdik, ia akan memberikan kepada jiwa akan hak-haknya dan menuntutnya
melakukan kewajiban-kewajibannya.
Orang yang berakal tidak akan melakukan hal-hal yang berat, hingga mengukur jiwanya, apakah
jiwanya kuat? Ia juga mencoba jiwanya untuk melakukannya tanpa sepengetahuan orang lain, sebab boleh jadi
ia terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidak sabar melakukan hal yang berat tersebut, sehingga ia kembali
dalam keadaan dipermalukan.
Misalnya seseorang mendengar sebutan ahli zuhud, lantas ia membuang pakaiannya yang bagus,
mengenakan pakaian yang lebih jelek, menyendiri di pojok, dan hatinya dipenuhi dengan dzikrul maut serta
akhirat. Namun tidak seberapa lama tuntutan tabi’atnya muncul dan terus-menerus mengajaknya kembali ke
kebiasaannya, akhirnya ia pun kembali ke kondisi semula.
Sebagian orang kembali lagi ke penyakitnya, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Seperti orang yang
banyak makan daging unta, setelah sembuh dari sakit. Sebagian lagi ada yang kondisinya di tengah-tengah,
hingga ia tetap berada dalam keragu-raguan.
Orang cerdas berupaya mengenakan pakaian pertengahan saat tampil di tengah manusia ; ia tidak keluar
dari kebiasaan orang-orang baik dan tidak masuk dalam kelompok orang-orang yang mengenakan pakaian
kaum miskin. Apabila tekadnya kuat, maka ia beramal di rumahnya sesuai kemampuan, tidak mengenakan
pakaian perhiasan untuk menutupi kondisi sebenarnya dan tidak memamerkan sesuatu pada orang lain. Ini lebih
jauh dari sikap riyaa’ dan lebih terhindar dari keadaan dipermalukan.
Di antara manusia ada yang pendek angan-angan dan selalu ingat akhirat, hingga menelantarkan buku-
buku tentang keilmuan. Menurutku, tindakan ini salah besar, meski telah dilakukan oleh sekelompok tokoh
terkenal. Saya pernah menyebut tindakan seperti itu kepada sebagian guru kita, lantas ia berkata, ”Mereka
semua keliru.”
Saya mengira sebagian mereka berasal dari cerita kaum yang lemah, tanpa diseleksi. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Sufyan telah mengubur buku-bukunya. Atau hanya sekedar pendapat yang tidak boleh
dianut, seperti tindakan Utsman bin ’Affan ra. membakar seluruh mushaf, agar tidak terjadi perselisihan setelah
ada kesepakatan.
Adapun mengenai tindakan Ahmad bin Abi Al-Hawari dan Ibnu Asbath yang mencuci buku-bukunya,
maka itu semata-mata keteledoran dari mereka berdua. Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim waspada
terhadap amal yang dilarang syari’at, melakukan hal-hal yang diduga merupakan kewajiban, namun ternyata
salah, atau menampakkan sesuatu yang tidak dimampui, sehingga kembali ke belakang.
Rasulullah saw. Bersabda, ”Hendaklah kalian mengerjakan apa yang kalian mampui.” (HR. Bukhari,
Kitabul Iman, 1/17, Muslim, Kitab Shalatul Lail, 3/208. Dan Ibnu Majah, Kitabuz Zuhdi, 1415 (4238))
Ibnul Jauzi berkata, “Aku merenungkan hal yang mengherankan dan prinsip yang baik, yaitu bertubi-
tubinya ujian pada mukmin. Namun ia mengingat Allah, padahal ia mempu meraihnya. Bahkan dapat
meraihnya dengan mudah, tanpa kesusahan. Seperti cinta yang disambut untuk berduaan di tempat yang aman.
Setelah itu saya (Ibnul Jauzi) berkomentar, “Mahasuci Allah! Di situlah nampak pengaruh iman, bukan sekedar
pada shalat dua rakaat.”
“Demi Allah, Nabi Yusuf tidak mencapai ketinggian dan kebahagiaan kecuali karena situasi seperti di
atas. Maka demi Allah, wahai saudaraku, renungkanlah situasi yang menyertai Yusuf ; andaikan ia menuruti
hawa nafsunya, maka bagaimana jadinya ? Analogikan situasi tersebut dengan situasi yang menyertai Adam as.
Kemudian timbanglah dengan timbangan akal untuk mengetahui akibat kekeliruan Adam dan buah kesabaran
Yusuf. Dan jadikan pemahaman kalian terhadap situasi itu sebagai bekal untuk menghadapi segala yang
menggoda jiwa.”

DIALOG DENGAN KELEZATAN MENGENDALIKAN NAFSU


Ibnul Jauzi berkata, “Menurutku, kecenderungan jiwa pada syahwat telah melewati batas, hingga hati,
akal, dan pikirannya ikut cenderung. Akhirnya seseorang tidak lagi dapat mengambil manfaat dari nasihat.
Suatu hari, aku berteriak pada jiwa yang telah cenderung secara total kepada syahwat, Celaka engkau,
berhentilah sejenak untuk mendengarkan beberapa ungkapanku. Setelah itu, lakukan apa saja yang kamu sukai.
Jiwaku berkata, Katakanlah, saya akan mendengarkan. Aku berkata, Engkau telah terbiasa cenderung pada
berbagai syahwat yang diperbolehkan.”
Namun seluruh kecenderunganmu kepada hal-hal yang diharamkan. Aku menunjukkan padamu dua hal
; mungkin engkau mengganggapnya sebagai dua hal yang manis sekaligus pahit. Mengenai syahwat-syahwat
yang diperbolehkan (mubah), maka engkau mendapatkan kebebasan penuh. Tetapi jalan untuk meraihnya sulit.
Sebab boleh jadi kekayaan tidak mampu meraihnya, kerja keras tidak dapat menghasilkan sebagian besar
darinya, waktu yang mulia dapat habis percuma untuk hal-hal di atas, dan hati akan sibuk dengannya saat
berupaya meraihnya, ketika sudah meraihnya, serta ketika takut ia hilang.
Di samping itu, kenikmatan syahwat yang mubah pasti terganggu dengan kekurangan ; apabila syahwat
itu berupa makanan, maka kekenyangan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Apabila berupa seseorang,
maka dapat muncul kebosanan, perpisahan, atau perilaku yang buruk. Bahkan, pernikahan yang paling nikmat
dapat melemahkan fisik. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat panjang kalau dibicarakan.
Mengenai syahwat yang diharamkan, maka sudah tercakup dalam penjelasan mengenai syahwat yang
mubah. Ditambah, bahwa syahwat yang diharamkan dapat merusak kehormatan, mengundang siksa di dunia,
mempermalukan, ancaman di akhirat, dan dapat menimbulkan kesedihan setiap orang yang bertaubat
mengingatnya. Kekuatan mengekang nafsu adalah kelezatan yang melebihi setiap kelezatan. Tidakkah anda
memperhatikan nasib orang yang terkalahkan oleh nafsunya? Bukankah ia terhina, sebab ia terkalahkan?
Berbeda dengan orang yang dapat mengalahkan nafsunya, ia memiliki hati yang kuat dan meraih kemuliaan,
sebab ia menjadi pemenang.
Karena itu waspadalah, jangan melihat hal-hal yang menyenangkan nafsu dengan pandangan baik,
sebagaimana seorang pencuri memandang lezatnya mengambil harta dari brangkas. Bukalah mata hati untuk
merenungkan berbagai akibatnya, tercampurnya kelezatan dengan gangguan, dan perubahan rasa lezat karena
kejenuhan, karena berbagai penyakit, atau karena hilang. Sebab maksiat yang pertama ibarat suapan pertama
yang ditelan oleh orang yang lapar. Hendaklah setiap manusia mengingat lezatnya mengendalikan nafsu serta
merenungkan berbagai manfaat kesabaran menahan nafsu. Apabila manusia terbimbing melakukan hal tersebut,
maka jalan keselamatan selalu dekat padanya.

CARA BERMUJAHADAH
Ibnul Jauzi berkata, “Menurutku, seluruh makhluk dalam pertempuran. Di mana syetan-syetan
menghujani mereka dengan panah nafsu dan menyabet mereka dengan pedang kelezatan. Orang orang yang
mencampur kebaikan dengan kejahatan akan terkapar di awal pertempuran. Sedangkan orang-orang yang
bertaqwa terus berjihad. Dan jihad ini membutuhkan waktu yang lama ; mereka terluka dan melakukan
pengobatan. Mereka terhindar dari kematian, namun luka di wajah dapat memperburuk muka, karena itu para
mujahid harus selalu waspada.
Abu Amr bin Bujaid meriwayatkan, “Siapa menganggap mulia agamanya, maka ia akan menganggap
hina jiwanya”. Al-Qusyairi berkata, “Pokok mujahadah terhadap jiwa adalah menyapihnya dari hal-hal yang
menjadi kebiasaannya dan memaksanya pada hal-hal yang tidak disukai nafsunya. Jiwa itu ada dua macam :
Jiwa yang tenggelam dalam syahwat dan jiwa yang enggan melakukan ketaatan. Mujahadah berada sesuai
kondisi masing-masing”.
Sebagian ulama mengatakan, “Jihad terhadap jiwa masuk dalam kategori jihad terhadap musuh. Sebab
musuh itu ada tiga: Pimpinan mereka adalah syetan, kemudian jiwa karena ia mengajak kepada kelezatan yang
mengantar kepada keharaman yang dimurkai oleh Allah. Dan syetan adalah pembantu dan penghias jiwa agar
melakukannya. Karena itu siapa yang menentang hawa nafsunya, berarti telah mengalahkan syetan yang
menyertainya. Dengan demikian, mujahadah terhadap jiwa adalah memaksanya untuk mengikuti perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apabila seorang hamba telah mendapat kekuatan dalam
hal tersebut, maka sangat mudah baginya berjihad melawan musuh-musuh agama.
Jihad pertama (jihad terhadap syetan dan jiwa) adalah jihad batin. Sedangkan jihad yang kedua (jihad
terhadap musuh agama) adalah jihad lahir . Jihad terhadap jiwa itu memiliki empat tingkatan
1. Memaksanya untuk mempelajari urusan-urusan agama
2. Memaksanya untuk mengamalkan apa yang dipelajari
3. Memaksanya untuk mengajarkan apa yang diketahui kepada orang yang belum mengetahui
4. Menyeru kepada keesaan Allah dan memerangi orang yang menyimpang dari agama-Nya serta
mengingkari nikmat-Nya
Pembantu yang paling kuat untuk berjihad melawan jiwa adalah jihad terhadap syetan, dengan cara
membuang semua syubhat dan keraguan yang dibisikkannya, membentengi diri dari hal-hal haram yang dihiasi
oleh syetan, dan mencegah diri dari memperbanyak hal-hal mubah yang dapat menjerumuskan pada syubhat.
Untuk kesempurnaan mujahadah, hendaknya hamba selalu waspada pada jiwa dalam semua keadaannya. Sebab
jika ia melupakannya, maka syetan dan jiwanya akan mengajaknya melakukan hal-hal yang dilarang. Dan
hanya Allah yang memberi pertolongan.” (Fathul Bari, 11/345-346)
Al-Ghazali –rahimahullah- berkata, “Para ulama sepakat bahwa tiada jalan yang mengantar pada
kebahagiaan di akhirat kecuali menahan jiwa dari hawa nafsu dan menentang syahwat. Ini merupakan hal yang
wajib diimani. Sedang mengenai ilmu terperinci mengenai syahwat yang harus ditinggalkan dan yang tidak
ditinggalkan, harus diketahui melalui syari’at. Cara mujahadah dan latihan setiap orang berbeda-beda, sesuai
kondisi masing-masing.
Pada dasarnya, setiap orang perlu meninggalkan kegembiraan yang terkait dengan urusan dunia.
Misalnya, orang yang gembira pada harta, kedudukan, simpati orang saat memberi nasihat, kemuliaan dalam
peradilan atau kekuasaan, atau banyaknya pengikut saat mengajar. Hendaknya ia meninggalkan kegembiraan
itu. Tetapi ketika dia meninggalkan kegembiraan itu, kemudian dikatakan padanya, “Pahalamu di akhirat tidak
akan berkurang dengan sikap meninggalkan itu.” Apabila ia benci ungkapan tersebut dan merasa sakit hati,
maka itu salah satu tanda bahwa ia gembira dengan kehidupan dunia dan merasa nyaman dengannya. Dan ini
merupakan hal yang dapat membinasakannya. Karena itu, sebaiknya ia menyendiri untuk mengevaluasi hatinya
dan menyibukkannya hanya dengan dzikir kepada Allah serta memikir makhluk-makhluk-Nya. Kemudian
hendaklah mengawasi syahwat dan bisikan yang muncul dalam jiwanya, sehingga dapat mengikatnya, meski
telah nampak jelas. Setiap bisikan pasti ada sebabnya, dan bisikan tidak akan hilang kecuali dengan
meninggalkan penyebabnya. Setelah itu hendaklah mengulangi tindakan-tindakan di atas sepanjang sisa usia,
sebab jihad tidak akan berakhir, kecuali bila kematian telah tiba.” (Ihyaa Ulumuddin, 3/67)
Ibnu Hajar –rahimahullah- menyatakan dalam kitabnya, Syarah al-Misykat, ketika menjelaskan Hadits
dari Rabi’ah bin Ka’ab ra. yang memohon pada Nabi saw. agar dapat menemani beliau di surga, “Berjihad pada
jiwanya dengan memperbanyak sujud.” Maka ia pun mendapatkan derajat yang tinggi itu, di mana tiada lagi
harapan kecuali semakin dekat pada Allah di dunia dengan memperbanyak sujud, sebagaimana yang
diisyaratkan dalam firman-Nya :

∩⊇∪ ) >Î*tIø%$#uρ ô‰ß∨ó™$#uρ çµ÷èÏÜè? Ÿω ξx.


“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (Al-‘Alaq : 19)

Setiap sujud adalah “pendekatan tertentu” yang dapat mengantar pelakunya menaiki tangga kedekatan
(pada Allah), sehingga berakhir pada tingkatan menjadi teman Rasul tercinta saw. Dan dengan begitu ia
mendapatkan seperti yang difirmankan Allah SWT :

∩⊂⊇∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ª!$#uρ 3 ö/ä3t/θçΡèŒ ö/ä3s9 ö(Ïøótƒuρ ª!$# ãΝä3ö7Î6ósム‘ÏΡθãèÎ7¨?$$sù ©!$# tβθ™7Åsè? óΟçFΖä. βÎ) ö≅è%
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran : 31)

Dekat dengan Rasulullah saw tidak mungkin tercapai kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah
SWT Dan kedekatan dengan Allah SWT tidak mungkin tercapai kecuali dengan kedekatan dengan Rasulullah
saw. Dua kedekatan itu saling mempengaruhi, satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lainnya. Karena itulah,
Allah menempatkan tindakan mengikuti Rasul-Nya di antara dua kecintaan untuk mengajarkan kepada kita,
bahwa cinta hamba kepada Allah dan cinta Allah kepada hamba-Nya sangat tergantung pada tindakan
mengikuti RAsulullah saw.” (Dalilul Falihin, 1/318)
Ibnu Hajar menambahkan, “Berjihadlah pada jiwamu dengan pedang-pedang latihan. Dan latihan itu
ada empat macam :
• makan yang hanya sekedar menghilangkan lapar;
• sedikit tidur;
• sedikit bicara; dan
• menanggung gangguan dari seluruh manusia.
Sedikit makan dapat menyebabkan kematian syahwat, sedikit tidur dapat menjernihkan kehendak,
sedikit bicara dapat menyelamatkan dari berbagai penyakit, dan kemampuan menanggung derita dapat
mengantar pada tujuan. Tiada yang berat bagi seorang hamba melebihi sikap santun saat diperlakukan kasar
dan sabar saat mendapatkan gangguan.
Apabila kehendak syahwat dan keinginan berbuat dosa mulai bergerak dalam jiwa, hingga kata-kata
pun keluar secara berlebihan, maka pedang sedikit akan terhunus dari sarung tahajjud dan sedikit tidur, lalu
menebas keinginan tersebut dengan menggunakan tangan sedikit bicara, sehingga jiwa terhindar dari
kezhaliman, aman dari berbagai bahaya, tercerahkan dari kegelapan syahwatnya, selamat dari gangguan
penyakitnya, dan ia menjadi bersih, bercahaya, serta ringan mengarungi berbagai kebaikan, dan menapaki
jalan-jalan ketaatan, seperti kuda yang berlari kencang di lapangan dan seperti raja yang rekreasi di kebun.”
(Ihyaa Ulumuddin, 3/66)
Malik bin Dinar jalan-jalan di pasar. Apabila ia melihat sesuatu yang diinginkan oleh jiwanya, maka ia
berkata kepada jiwanya, “Bersabarlah, demi Allah aku tidak mencegahmu kecuali karena kemuliaanmu atas
diriku.” (Ihyaa Ulumuddin, 3/67)
Ahnaf bin Qais tidak berpisah dengan lampu di malam hari ; ia meletakkan jarinya pada lampu itu
seraya berkata kepada jiwanya, “Apa yang menyebabkanmu melakukan ini dan itu pada hari ini dan itu”. Umar
bin Khathab ra. memberi sangsi pada dirinya saat tertinggal jamaah shalat Ashar, dengan cara menshodaqahkan
tanahnya yang senilai dua ratus ribu Dirham.
Apabila Ibnu Umar tertinggal shalat jamaah, maka ia menghidupkan seluruh malamnya. Dan suatu
ketika ia mengundur shalat Maghrib, hingga dua bintang terbit, maka ia memberi sangsi dengan memerdekakan
budak. Ibnu Abi Rabi’ah (al-Harits bin Abdullah bin Abi Rabi’ah ; Gubernur Bashrah dan salah satu tokoh
tabi’in, Tahdzibut Tahdzib, Al-Ishabah 2039) tertinggal dari dua rakaat sebelum shubuh, maka ia
memerdekakan budak.
Sebagian ulama memaksa dirinya untuk shaum selama setahun, menunaikan haji dengan berjalan kaki,
dan bershodaqah dengan seluruh hartanya. Itu semua sebagai pengikat jiwa dan pemberian sangsi kepadanya
demi keselamatannya. Dikisahkan bahwa ada sekelompok orang yang menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang
sedang sakit. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang badannya kurus. Umar berkata kepadanya,
“Wahai pemuda, apa yang membuatmu menjadi seperti yang aku lihat?” Ia menjawab, “Wahai Amirul
Mukminin, karena sakit” Umar berkata, “Saya bersumpah dengan Nama Allah, bicaralah dengan jujur padaku”
Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, saya mencicipi manisnya dunia, tapi saya rasakan pahit. Saya
menganggap sepele bunga dunia dan kelezatannya. Menurutku sama saja emas dunia dan batunya. Dan seolah-
olah saya melihat Arsy Allah serta melihat manusia digiring ke surga dan ke neraka. Karena itu, siang hari aku
dahaga, malam hari aku begadang, dan segala apa yang aku miliki hanya sedikit serta hina bila dibanding
pahala dan siksa Allah.
Abu Darda’ berkata, “Andai tidak ada tiga hal, maka tidak ingin hidup sehari pun ; Dahaga karena Allah
di siang hari, sujud untuk Allah di tengah malam, dan duduk bersama orang-orang yang memilih ucapan baik,
sebagaimana mereka memilih buah-buahan yang baik.” Al-Aswad bin Yazid serius dalam beribadah dan shaum
pada hari yang panas, sehingga badannya membiru. Maka Al-Qamah bin Qais menegurnya, “Mengapa engkau
menyiksa diri?” Ia menjawab, “Aku menginginkan kemuliaannya.”
Kurz bin Wabrah berjihad terhadap dirinya dengan maksimal untuk melakukan ibadah. Maka seseorang
berkata kepadanya, “Engkau telah melelahkan dirimu.” Ia menjawab dengan balik bertanya, “Berapa usia
dunia?” Dijawab, “Tujuhpuluh ribu tahun.” Ia bertanya, “Berapa ukuran sehari di hari kiamat?” Dijawab,
“Limapuluh ribu tahun.” Ia bertanya, “Bagaimana mungkin seorang dari kalian merasa tidak mampu beramal
selama tujuh hari untuk mendapatkan keamanan pada hari akhir ?”
Apabila jiwamu membisikimu, “Mereka adalah tokoh-tokoh yang kuat, kita tidak dapat meneladani
mereka.” Maka kajilah kehidupan para wanita mujahidah, kemudian katakanlah kepada jiwamu, “Wahai jiwa,
apa kamu tidak malu lebih kecil dari kamu wanita?” Sungguh hina laki-laki yang lebih lemah dari wanita dalam
urusan agama dan dunia. Sekarang, mari kita kenang kehidupan para wanita mujahidah.
Diriwayatkan bahwa Apabila Habibah Al-‘Adawiyah hendak melaksanakan shalat Isya’, maka ia
berdiri di bagian atas rumahnya, seraya mengikat pakaian dan kerudungnya, kemudian ia berkata, “Ya Tuhan-
ku, bintang-gemintang telah tenggelam, beberapa mata telah terlelap, para raja telah menutup pintu-pintunya,
dan setiap kekasih telah menyendiri bersama kekasihnya. Inilah posisiku di hadapan-Mu!” Setelah itu ia
melaksanakan shalat. Apabila fajar telah terbit, ia berkata, “Ya Tuhan-ku, malam telah berlalu dan siang telah
datang menjelang. Maka alangkah senangnya andai malamku kembali lagi kepadaku.”
Diriwayatkan bahwa ‘Ajrodah menghidupkan malam, padahal ia buta. Apabila datang waktu sahur,
maka ia berseru dengan suara sedih, “Untuk-Mu (ya Allah) Para ahli ibadah menyusuri kegelapan malam.
Mereka berlomba untuk mendapatkan rahmat-Mu dan karunia ampunan-Mu. Kepada-Mu aku memohon, wahai
Tuhan-ku, tidak kepada selain-Mu, jadikanlah aku di kelompok pertama orang-orang yang mendapatkan
kemenangan. Tinggikanlah derajatku di sisi-Mu di kalangan orang-orang yang mulia dan orang-orang yang
dekat dengan-Mu. Sampaikanlah aku untuk bersama hamba-hamba-Mu yang shalih. Sebab Engkau adalah
Yang Maha Kasih di antara yang punya kasih, Yang Maha Agung di antara yang agung, dan Yang Maha Mulia
di antara yang mulia! Setelah itu, ia tersungkur sujud hingga hidangan sahur. Kemudian ia terus menerus
berdoa dan menangis hingga shubuh.”
Yahya bin Bustham berkata, “Saya menyaksikan majlisnya Sya’wanah dan melihatnya menangis.”
Maka saya katakan kepada sahabatku, “Alangkah baiknya kalau kita mendatanginya saat sendirian, kemudian
menyuruhnya untuk belas kasihan pada dirinya?” Sahabatku menjawab, Ok.” Setuju dengan pendapatmu.”
Maka kami pun datang kepadanya kemudian saya berkata kepadanya, “Apa tidak sebaiknya kalau kamu belas
kasihan pada dirimu dan mengurangi tangisanmu ini. Sebab itu dapat lebih menguatkanmu untuk mencapai apa
yang kamu inginkan?” Sya’wanah semakin menangis, kemudian berkata, “Demi Allah, aku ingin menangis
hingga air mataku kering, kemudian aku menangis mengeluarkan darah hingga tiada setetes pun darah di
tubuhku! Bagaimana aku tidak menangis! Bagaimana aku tidak menangis!” Ia terus-menerus mengulang kata-
kata itu, hingga pingsan.
Apabila engkau termasuk orang-orang yang mengawasi dirinya, maka hendaklah mengkaji kehidupan
tokoh-tokoh yang bermujahadah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab hal itu dapat membangkitkan
semangat dan menguatkan tekad. Jangan memperhatikan orang-orang yang sezaman denganmu, sebab apabila
engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi, maka mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Kisah mengenai orang-orang yang melakukan mujahadah tidak terhingga. Dan apa yang kami sebutkan
di atas sudah memadai untuk orang yang dapat mengambil pelajaran. Tetapi jika anda ingin tambahan, maka
silahkan membaca kitab, “Hilayatul Auliyaa”. Sebab kitab tersebut memuat penjelasan mengenai kehidupan
para shahabat, tabi’in, dan generasi setelah mereka. Dengan mengkaji kitab tersebut, anda akan mengerti
perbedaan ahli agama pada generasimu dan generasi setelahmu.

JIWA YANG HARUS DIPERANGI


Tidak diragukan bahwa jiwa muthmainnah dan jiwa lawwamah adalah sumber mata air akhlak terpuji.
Jiwa pertama adalah mata air keyakinan, ketenteraman, kekhusyu’an, ketundukan, dan sifat-sifat terpuji
lainnya. Sedang jiwa lawwamah membangkitkan taubat, istigfar, kesadaran untuk kembali kepada Allah SWT,
dan lain sebagainya. Dengan demikian tinggal jiwa ammaroh bis suuk, ia adalah jiwa yang menjadi sumber
mata air kejahatan dan landasan akhlak tercela, misalnya dengki, sombong, marah, permusuhan, dan lain
sebagainya.
Potensi marah, syahwat, dan kecerdasan juga dinamakan jiwa, di mana kesemuanya perlu menjadi
sasaran mujahadah. Sebab semuanya dapat mempengaruhi akhlak ; baik yang terpuji maupun yang tercela.
Potensi syahwat itu amat kuat. Apabila tidak ditaklukkan dan dididik oleh manusia, maka syahwat akan
menguasai dan mengendalikannya, sehingga ia tunduk pada syahwat tersebut. Apabila itu terjadi, manusia lebih
mirip binatang ternak. Dan jika ini benar-benar nyata, maka manusia akan menjadi jahat, terkalahkan oleh
kesia-siaan, suka main-main, dan melakukan berbagai kemungkaran.
Potensi marah harus diperangi dan dikuasai. Jika tidak, maka manusia akan sering marah, nampak jelas
kedunguannya, selalu dengki, dan cenderung ingin membalas dendam. Tindakan-tindakan tersebut dapat
mencelakakan pelakunya dan menceburkannya ke jurang kebinasaan. Sebab ia terkuasai oleh kedengkian,
kedunguan, dan luapan emosi.
Potensi kecerdasan adalah tempat berfikir dan berdzikir. Dan ini merupakan sifat-sifat terpuji. Akan
tetapi, potensi ini juga mempunyai aspek negatif yang harus diperangi, misalnya kelicikan, tipu daya, riyaa,
rayuan, dan lain sebagainya. (Tahdzibul Akhlak, Al-Jahizh 20015)

JIHAD TERHADAP JIWA DAPAT MENGANTAR PADA AKHLAK MULIA


Jihad terhadap jiwa adalah pondasi utama bagi kesiapan manusia memegang kekhalifahan di bumi.
Karena itu ia harus disucikan dengan melakukan mujahadah. Dan mujahadah memiliki beberapa sebab dan
faktor penunjang. Ar-Raghib berkata, “Yang dapat mensucikan jiwa adalah ilmu, ibadah, dan kesabaran yang
menjadi sebab baiknya kehidupan akhirat. Sebagaimana penyucian badan dengan air yang menjadi sumber
kehidupan dunia. Karena itulah Allah menamai ilmu dan ibadah sebagai kehidupan dan menamai wahyu yang
diturunkan dalam Kitab-Nya sebagai air. Allah SWT berfirman,

ãΑθçts† ©!$# Dχr& (#þθßϑn=ôã$#uρ ( öΝà6‹ÍŠøtä† $yϑÏ9 öΝä.$tãyŠ #sŒÎ) ÉΑθß™§(=Ï9uρ ¬! (#θç7ŠÉftGó™$# (#θãΖtΒ#u zƒÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

∩⊄⊆∪ šχρç*|³øtéB ϵøŠs9Î) ÿ…絯Ρr&uρ ϵÎ7ù=s%uρ Ïö(yϑø9$# š÷t/


“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada
suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (Al-Anfal : 24)

Allah SWT menamai ilmu dan ibadah sebagai kehidupan. Sebab jika jiwa tidak mendapatkannya, maka
ia akan binasa untuk selamanya. Allah SWT juga menjelaskan sifat air dalam firman-Nya,

>óx« ¨≅ä. Ï!$yϑø9$# zÏΒ $oΨù=yèy_uρ ( $yϑßγ≈oΨø)tFxsù $Z)ø?u‘ $tFtΡ%Ÿ2 uÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ¨βr& (#ÿρã(xx. tÏ%©!$# t(tƒ óΟs9uρr&

∩⊂⊃∪ tβθãΖÏΒ÷σムŸξsùr& ( @cyr


“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al-
Anbiyaa: 30)

Kesucian jiwa dapat diraih dengan :


 Memperbaiki pemikiran dan proses belajar, sehingga seseorang dapat membedakan keyakinan yang haq
dan yang batil, ungkapan yang jujur dan yang dusta, tindakan yang baik dan yang buruk.
 Memperbaiki syahwat dengan sifat iffah (menjaga diri), agar ia terbiasa dermawan dan suka menolong
dengan cara terpuji sebatas kemampuannya.
 Meluruskan emosi dengan cara melenturkannya, agar dapat dikendalikan. Dan ini dapat dilakukan
dengan menahan jiwa dari menuruti kebutuhan rasa takut dan ambisi yang tercela.
Dengan meluruskan tiga kekuatan tersebut, jiwa akan seimbang dan menjadi baik. (Adz-Dzari’ah, Ar-Raghib,
38, 48)

TINGKATAN MUJAHADAH TERHADAP JIWA


Ibnul Qayyim –semoga Allah SWT merahmatinya- mengatakan bahwa jihad terhadap jiwa itu
mempunyai empat tingkatan :
 Berjihad padanya agar mempelajari petunjuk dan agama yang benar
 Berjihad padanya agar mengamalkan petunjuk dan agama yang benar, setelah mengetahuinya
 Berjihad kepadanya agar menyeru ke kebenaran
 Berjihad kepadanya agar sabar menanggung beratnya dakwah menuju Allah SWT dan gangguan
makhluk. Ia menanggung semua itu karena Allah SWT
Setelah itu Ibnul Qayyim –semoga Allah SWT merahmatinya- berkomentar, “Apabila seorang muslim
menyempurnakan empat tingkatan jihad pada jiwa tersebut, maka ia menjadi orang-orang rabbani. Para
pendahulu yang shalih sepakat bahwa orang yang mempunyai ilmu tidak berhak dinamai rabbani, sehingga ia
mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barangsiapa mengetahui, mengamalkan, dan
mengajarkan kebenaran, maka ia disebut manusia agung dalam kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/10)

PENUTUP
Ketahuilah bahwa musuhmu yang sesungguhnya adalah jiwamu yang ada dalam dirimu. Sebab jiwa
diciptakan dengan membawa sifat menyuruh pada kejahatan, cenderung pada keburukan, dan menjauh dari
kebaikan. Karena itu, ia harus disucikan, diluruskan, dikendalikan dengan rantai pemaksaan agar beribadah
kepada Tuhan dan Penciptanya, dicegah dari keinginan syahwatnya, serta disapih dari berbagai kelezatan yang
diinginkannya. Apabila jiwa dibiarkan, maka akan semakin liar dan mengalahkan pemiliknya. Tetapi jika ia
selalu dikritik dan dicela, maka ia akan menjadi jiwa lawwamah yang dipergunakan sumpah oleh Allah SWT
Dan saya berharap semoga jiwa seperti itu akan menjadi jiwa muthma’innah yang diseru untuk bergabung
dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT yang ridha dan diridhai
Jangan lalaikan jiwamu meski hanya sesaat. Berilah ia peringatan dan kritikan setiap waktu. Jangan
sibukkan diri memberi nasihat pada orang lain sebelum menasihati jiwamu sendiri. Allah SWT mewahyukan
kepada Isa as., “Wahai putera Maryam, nasihati jiwamu. Apabila ia dapat menerima nasihat, maka mulailah
menasihati orang lain. Tetapi jika ia tidak menerima nasihat, maka hendaklah engkau malu pada-Ku. Allah
SWT berfirman,

∩∈∈∪ šÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ßìxΖs? 3“t(ø.Ïe%!$# ¨βÎ*sù ö(Ïj.sŒuρ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Cara memberi nasihat padanya adalah berbicara padanya dan menegaskan kebodohan serta
kedunguannya. Sebab ia amat cerdik dan menyombongkan diri jika dinyatakan bodoh. Katakan padanya,
“Wahai jiwa, betapa bodohnya engkau. Engkau mengklaim bijaksana, cerdas, dan cerdik, padahal engkau
adalah manusia yang paling bodoh dan dungu. Apakah engkau tidak menyadari bahwa di hadapanmu ada surga
dan neraka. Dan engkau pasti segera masuk ke salah satunya? Mengapa engkau bergembira, tertawa-tawa, dan
sibuk menuruti nafsu, padahal engkau menghadapi bahaya besar. Boleh jadi hari ini atau besok engkau diculik
kematian. Mengapakah aku melihatmu memandang kematian itu jauh, padahal menurut Allah SWT sangat
dekat? Tidakkah engkau mengetahui bahwa setiap yang akan datang itu sangat dekat dan yang jauh itu tidak
mungkin akan datang? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kematian itu datang secara tiba-tiba, tanpa
pemberitahuan, tanpa perjanjian, dan tanpa kesepakatan. Ia datang tanpa pilih-pilih; hanya di musim dingin
tidak di musim panas, hanya di musim panas tidak di musim dingin, hanya di siang hari tidak di malam hari,
hanya di malam hari tidak di siang hari, hanya mendatangi orang tua tidak anak muda, atau hanya mendatangi
anak muda dan tidak mendatangi orang tua. Tetapi setiap jiwa pasti akan didatangi kematian secara mendadak.
Apabila kematian tidak datang secara mendadak, maka sakit akan datang secara tiba-tiba, kemudian sakit itu
mengantarkan pada kematian. Mengapa engkau tidak bersiap-siap menghadapi kematian, padahal ia lebih dekat
padamu daripada orang-orang terdekatmu?
Apakah engkau tidak merenungkan firman Allah SWT,

ωÎ) B^y‰øt’Χ ΝÎγÎn/§‘ ÏiΒ 9(ò2ÏŒ ÏiΒ ΝÎγŠÏ?ù'tƒ $tΒ ∩⊇∪ tβθàÊÌ(÷è•Β 7's#øxî ’Îû öΝèδuρ öΝßγç/$|¡Ïm Ĩ$¨Ψ=Ï9 z>u*tIø%$#

Ö(t±o0 ωÎ) !#x‹≈yδ ö≅yδ (#θçΗs>sß tÏ%©!$# “uθôf¨Ζ9$# (#ρ•*| r&uρ 3 öΝßγç/θè=è% ZπuŠÏδŸω ∩⊄∪ tβθç7yèù=tƒ öΝèδuρ çνθãèyϑtGó™$#

∩⊂∪ šχρç*ÅÇö7è? óΟçFΡr&uρ t(ósÅb¡9$# šχθè?ù'tFsùr& ( öΝà6è=÷VÏiΒ


“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian
lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan)
dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam
Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah
seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu, Padahal kamu menyaksikannya?”
(Al-Anbiyaa : 1-3)

Celaka engkau wahai jiwa, tidak sepatutnya engkau tertipu oleh kehidupan dunia dan tertipu oleh syetan
yang menipu, hingga lupa Allah SWT! Perhatikanlah dirimu, sungguh engkau tidak penting bagi orang lain!
Janganlah engkau menyia-nyiakan waktumu, sebab nafasmu dapat dihitung. Apabila sebagian nafas telah
keluar darimu, maka sebagian dirimu telah hilang. Karena itu gunakan masa sehat sebelum sakit, masa luang
sebelum masa sibuk, masa kaya sebelum masa miskin, masa muda sebelum masa tua, dan hidup sebelum mati.
Persiapkanlah diri untuk hari akhirat seukuran kekekalanmu di dalamnya.
Celaka engkau wahai jiwaku, apakah engkau mengetahui bahwa orang yang tertarik pada dunia dan
merasa nyaman dengannya, sementara kematian selalu mengintainya dari belakang, adalah orang yang akan
memperbanyak penyesalan saat berpisah dengan dunia? Sesungguhnya, orang tersebut membekali diri dengan
racun, tanpa ia sadari. Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah berlalu ; bagaimana mereka
membangun dan meninggikan bangunan, kemudian mereka pergi dan berlalu. Juga bagaimana Allah SWT
mengguncangkan bumi, kampung, dan perbekalan mereka? Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana
mereka mengumpulkan harta yang tidak mereka makan, membangun rumah yang tidak mereka huni, dan
mengharapkan sesuatu yang tidak diraih. Masing-masing mereka membangun istana menjulang ke langit,
namun tempat tinggalnya kubur yang digali di dalam tanah? Adakah kebodohan dan kedunguan di dunia
melebihi hal tersebut? Seseorang memakmurkan dunianya, padahal ia pasti meninggalkannya, dan
menghancurkan akhiratnya, padahal ia pasti akan memasukinya.
Celaka engkau wahai jiwa, apakah engkau tidak malu? Engkau menghias lahirmu untuk mendapat
simpati makhluk, namun engkau menantang Allah SWT secara sembunyi-sembunyi dengan melakukan dosa-
dosa besar. Apakah engkau malu kepada makhluk, tetapi tidak malu kepada Pencipta? Celaka engkau, apakah
engkau menganggap pandangan Pencipta lebih ringan daripada pandangan makhluk?
Wahai jiwa, apakah engkau memerintahkan yang baik, sementara dirimu berlumur kehinaan. Engkau
mengajak manusia kepada Allah SWT, namun engkau justru lari dari-Nya. Engkau mengingatkan hamba pada
Allah SWT, sementara engkau sendiri lupa pada-Nya? Sungguh engkau amat mengherankan, wahai jiwa!
Meski itu semua engkau lakukan, namun engkau mengklaim cerdik dan sangat paham. Di antara tanda
kecerdikanmu adalah engkau senang setiap hartamu bertambah, namun tidak bersedih setiap usiamu berkurang!
Padahal apa manfaat penambahan harta, jika usia terus berkurang ?
Celaka engkau wahai jiwa, engkau berpaling dari akhirat padahal ia pasti datang padamu. Sebaliknya
engkau serius menghadap dunia, padahal ia pasti berpaling darimu! Betapa banyak orang yang menghadap satu
hari, namun tidak sempat menyempurnakan hari itu. Dan betapa banyak orang yang mengharapkan sesuatu,
namun tidak pernah sampai padanya. Ketahuilah wahai jiwaku, bahwa agamaku tidak dapat ditukar, imanku
tidak dapat diganti, dan fisikku tidak mempunyai cadangan. Karena itu sadarlah dengan nasihat ini dan
terimalah wejangan ini. Sebab siapa yang berpaling dari nasihat, maka ia telah ridha masuk neraka.

MANFAAT MUJAHADAH TERHADAP JIWA


1. Menundukkan jiwa dan nafsu agar taat kepada Allah SWT
2. Menjauhkan jiwa dari syahwat serta mencegah hati agar tidak hanya berangan-angan dan bernikmat-
nikmat dengan dunia
3. Membiasakan sabar menghadapi berbagai kesulitan, melakukan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan.
4. Jalan lurus yang mengantarkan pada keridhaan Allah SWT dan surga.
5. Memasung syetan dan bisikan-bisikannya.
6. Mencegah jiwa dari mengikuti nafsu itu merupakan kebaikan dunia dan akhirat.
7. Siapa yang berjihad pada jiwanya, maka akan mulia di kalangan rekan sebayanya di masyarakatnya.
8. Siapa yang berjihad pada jiwanya, maka telah memegang kunci kebaikan dan akhlaknya menjadi baik.
9. Kebanggaan pada diri akan terkikis dan jamaah akan terbebas dari egoisme yang membahayakan
jamaah serta masyarakat.

Maraji’ :
• Zaadul Maad-Bekal Menuju Akherat (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
• Fathul Baari-Syarah Hadits Bukhari (Ibnu Hajar Al-Asqalani)
• Ihyaa Ulumuddin (Imam Al-Ghazali)
• Madarijus Salikin-Pendakian Menuju Allah (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)

Sumber : www.scribd.com
Ditulis kembali oleh Abu ‘Ammar
Prabumulih, 24 Januari 2011

You might also like