Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sepuluh tahun sudah reformasi berlalu, namun reformasi belum dapat membawa perubahan yang
substansional pada kehidupan rakyat Indonesia. Pada makalah ini akan dibahas mengenai suatu
permasalahan dasar yang sangat penting untuk dianalisis, yakni Pancasila yang merupakan ideologi
bangsa seharusnya dapat ditegakkan agar proses pembangunan nasional yang sesuai dengan reformasi
dapat berjalan dengan baik.
Di kesempatan kali ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini.
Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan
referensi dalam mempelajari bahasan ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima kritik, saran dan masukan
yang membangun
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………. 1
BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………………………..2
Pengertian Pancasila…………………………………………………………………………………….….2
A. Latar Belakang…………………………………………..…………………………………………4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….7
BAB II Pembahasan…………………………………………………………………………………….…13
BAB III……………………………………………………………………………………………………15
Penutup
a. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………15
b. Saran……………………………………………………………………………………………..……16
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama kali oleh Soekarno
pada tanggal I Juni 1945, yakni pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila
secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal
dalam arti formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan
juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut). Hal ini didasarkan pada
interpretasi histories diamana rumusan dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 diberi nama dengan
bentuk istilah “Pancasila” sejak tanggal 1 Juni 1945.
Pada awal pidato dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara.
Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam,
serta jiwa dan hasrat yang mendalam. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter
sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali
dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi yang mencerminkan identitas, kepribadian
bangsa sekaligus merupakan alat pemersatu seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan
kemerdekaan.
Pancasila, secara etimologis berasal dari dua kata yaitu Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti
dasar. Pancasila dari akar kata berarti lima dasar, tepatnya adalah dasar bagi negara Indonesia yang
merdeka.
Semenjak dikumandangkan pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan
urutan sila maupun kata. Dalam rumusan Soekarno sebagai berikut:
1.) Kebangsaan Indonesia,
2.) Internasionalisme atau peri kemanusiaan,
3.) Mufakat atau demokrasi,
4.) Kesejahteraan sosial dan
5.) Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau prinsip Ketuhanan.
Berikut dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, terdapat perubahan kata dalam Pancasila sebagai berikut:
1.) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.) Persatuan Indonesia,
4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan
5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan berikutnya terlihat dalam Mukadimah UUD RIS tahun 1950, di mana kata-kata dalam
Pancasila adalah:
1.) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.) Peri kemanusiaan,
3.) Kebangsaan
4.) Kerakyatan dan
5.) Keadilan sosial.
Adapun urutan dan kata-kata dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah seperti yang tertuang
dalam Pembukaan UUD’45 yakni:
1.) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.) Persatuan Indonesia,
4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai ideologi nasional
karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat, memberi arah dan pedoman
tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi prosedur penyelesaian konflik.
A. Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa
Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah
pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.
Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan
fungsional.
Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala
tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
Dampak dari kesalahan kebijakan ini tidak hanya akan menyebabkan terjadinya
bencana yang mengakibatkan kerugian harta benda, misalnya tergusurnya
suatu kelompok masyarakat dari wilayahnya sehingga kehilangan sumber-
sumber kehidupannya, tapi juga bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa
manusia. Benarkah demikian?
Selama kebijakan-kebijakan pemerintah bangsa Indonesia hingga saat ini tidak
berpihak pada lingkungan hidup, buku karya Sajogyo berjudul Ekologi Pedesaan:
Sebuah Bunga Rampai mungkin (jika bisa berbicara) akan berkata "Non omnis
moriar (Aku takkan pernah mati; Horace)."
Inilah buku karya Sajogyo (1982) yang menyajikan tema besar (dan mungkin
terlalu besar pada zamannya) dan entah kapan akan terwujud, yakni
keselarasan pembangunan dengan lingkungan di Indonesia. Upaya ke arah itu
ditempuh setelah penulis melakukan serangkaian riset masif dengan meletakkan
dasar-dasar pemikiran pembangunan pertanian dan pedesaan di awal
pemerintah Orde Baru, meskipun pada akhirnya karya intelektual yang
melampaui zamannya ini harus dibayar mahal berupa pencekalan dan
pencopotan jabatan Sajogyo ketika itu sebagai ketua Badan Pelaksana Survei
Agroekonomi.
Dalam buku yang berumur seperempat abad ini, Profesor Sajogyo mengingatkan
pemerintah (Orde Baru) ketika itu bahwa model pembangunan yang dijalankan
negara ini, yang terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), hanya
akan menciptakan disharmonisasi dan perusakan lingkungan.
Bagaimana tidak? Sejak awal tahun 1970-an, di beberapa negara termasuk
Indonesia, lingkungan hidup telah kehilangan nilai estetika dan etikanya sebagai
akibat dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak berorientasi pada
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan SDA. Kebijakan pemerintah lebih
mengarah pada eksploitasi dan eksplorasi SDA yang ada secara besar-besaran
dan tidak terencana. Tujuannya semata-mata untuk mendapatkan devisa bagi
negara.
Sebagai contoh pada 1979, kayu-kayu dari Kalimantan menghasilkan US $3,2
milyar hasil ekspor kayu yang hampir separuhnya ke Jepang. Menarik untuk
diperhatikan di sini karena Jepang sendiri merupakan negara penghasil kayu
(dua per tiga tanahnya diliputi hutan). Pada 1979, Jepang mengimpor kayu US
$7,3 milyar, antara lain dari Indonesia sekitar 21% sehingga setiap tahunnya
Jepang dapat membangun satu setengah juta rumah baru di negerinya (hal. V).
Bagi Sajogyo, pemerintah adalah manusia politik yang memiliki tanggung jawab
ekologis. Sebagaimana Karl J. Pelzer dalam salah satu bab buku tersebut
mengatakan, politik memiliki peran penting mengubah wajah alam bangsa
Indonesia (hal. 23). Dengan demikian, Pemerintah sebagai pemegang
kewenangan melaksanakan dan menyelenggarakan pengelolaan lingkungan
hidup seharusnya mampu menjaga dan mengelola lingkungan hidup dan SDA
dengan baik.
Pertanggungjawaban ekologis pemerintah ini sangat penting mengingat efek
dari kesalahan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup berdampak
besar. Dampak kesalahan kebijakan ekologis ini tidak hanya akan menimbulkan
kerusakan lingkungan semata, melainkan menimbulkan pada pelanggaran hak
asasi manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa
Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang
membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud
berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak
pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya
tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik
Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional
berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau
konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara
diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam
suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan
pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik
yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut
pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun
yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing
society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar konfigurasi politik
yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, serta pemahaman terhadap partai politiknya.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap
orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar
lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan
apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama.
Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara
lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP
MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh
rakyat Indonesia.[9] Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu
pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki
basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan
rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa
Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah
dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh
lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga
terkesan sebagai partai baru.[10] Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi
hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam
pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar
merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula
pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya
antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka
dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam
kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political
Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut
harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan
membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11]
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai
yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan,
sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987,
1992 dan 1997).
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum
pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil
yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono
Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin staatsnoodrecht
dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum
yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa
dan membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat
bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka
Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung
Sementara;
3. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun
1960;
4. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden
No. 4 Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12
Tahun 1960.
MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
melalui Ketetapan MPRS No. III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD
1945.
Jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh peristiwa
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga berakibat pembunuhan besar-besaran
terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang
pada hakekatnya merupakan bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.[20]
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari
kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD
1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto
yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada
aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.[21] Pada era ini pula mulai
memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep
Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan
tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan
partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat
untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan
partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha
menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
b. Saran
Adapun saran dari kami dari kelompok 3 (tiga yaitu) semoga apa yang telah kami paparkan dalam
makalah kami ini mudah – mudahan dapat bermanfaat dan bisa dipelajari dengan sebaik – baiknya.
Dan kami sangat berharap kepada teman – teman apabila didalam makalah kami ini terdapat kesalahan
maupun kekeliruan kami mohon maaf yang sebesar – besarnya karena kita sebagai manusia biasa tidak
pernah luput dari kesalahan dan kehilafan.
Kami dari Kelompok 3 sangat mengharapkan kritik dari teman – teman apabila didalam makalah kami ini
terdapat kesalahan, dan kami akan terima dengan lapang dada. Karena kritik dari teman-teman sangat
berguna bagi kami agar kami bisa memperbaikinya.
Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Konpress, 2005.
Azed, Abdul Bari. "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia," dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum:
Suatu Himpunan Pemikiran. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2000.
___________ dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi HTN
FHUI, 2005.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Budiardjo, Miriam. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2000.
Faith, Herbert. The Indonesian Elections of 1955. Jakarta: KPG, 1999.
Kusnardi, M. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: FH UI, 1983.
Mahfud, MD. Moh. Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999. Yogyakarta:
UII, 1998.
__________. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1998.
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004.
Morissan, Hukum Tata Negara RI: Era Reformasi. Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005.
Notosusanto, Nugroho. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Oltmans, Willem. Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, Jakarta: Aksara Karunia, 2001
Serbo, M. Hukum, Pemaksaan dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata
Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003.
Suhardiman. Pembangunan Politik Satu Abad. Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996.
Sumarkidjo, Atmadji. Mendung di Atas Istana Merdeka. Jakarta: s.n. 2000.
Syam, Nur. Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde Baru,
Jurnal IAIN Sunan Ampel Edisi XVII, 1999.
***
[1] M. Serbo, Hukum, Pemaksaan dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata
Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003), hal. 109.
[2] Morrisan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), hal. 25.
[3] Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), hal. 50.
[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hal. 24.
[5] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999,
(Yogyakarta: penerbit UII, 1998), hal. 133-134.
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004), hal. 141.
[7] Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan skenario
hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA.
Lihat: Willem Oltmans, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, (Jakarta: Aksara Karunia,
2001), hal. 9, 68 dan 102.
[8] BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal. 148-150.
[9] Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985),
hal. 27-49.
[10] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konpress, 2005), hal. 190.
[11] Nur Syam, Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde
Baru, (Jurnal IAIN Sunan Ampel Edisi XVII, 1999).
[12] Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 163-164.
[13] Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
HTN FHUI, 2005), hal.41.
[14] Abdul Bari Azed, "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia," dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum:
Suatu Himpunan Pemikiran, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2000), hal. 7.