You are on page 1of 18

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Sepuluh tahun sudah reformasi berlalu, namun reformasi belum dapat membawa perubahan yang
substansional pada kehidupan rakyat Indonesia. Pada makalah ini akan dibahas mengenai suatu
permasalahan dasar yang sangat penting untuk dianalisis, yakni Pancasila yang merupakan ideologi
bangsa seharusnya dapat ditegakkan agar proses pembangunan nasional yang sesuai dengan reformasi
dapat berjalan dengan baik.

Di kesempatan kali ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini.

Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan
referensi dalam mempelajari bahasan ini.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima kritik, saran dan masukan
yang membangun
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………. 1

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………………………..2

Pengertian Pancasila…………………………………………………………………………………….….2

A. Latar Belakang…………………………………………..…………………………………………4

B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….7

BAB II Pembahasan…………………………………………………………………………………….…13

BAB III……………………………………………………………………………………………………15
Penutup

a. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………15

b. Saran……………………………………………………………………………………………..……16

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama kali oleh Soekarno
pada tanggal I Juni 1945, yakni pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila
secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal
dalam arti formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan
juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut). Hal ini didasarkan pada
interpretasi histories diamana rumusan dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 diberi nama dengan
bentuk istilah “Pancasila” sejak tanggal 1 Juni 1945.

Pada awal pidato dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara.
Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam,
serta jiwa dan hasrat yang mendalam. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter
sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali
dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi yang mencerminkan identitas, kepribadian
bangsa sekaligus merupakan alat pemersatu seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan
kemerdekaan.

Pancasila, secara etimologis berasal dari dua kata yaitu Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti
dasar. Pancasila dari akar kata berarti lima dasar, tepatnya adalah dasar bagi negara Indonesia yang
merdeka.

Semenjak dikumandangkan pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan
urutan sila maupun kata. Dalam rumusan Soekarno sebagai berikut:
1.) Kebangsaan Indonesia,
2.) Internasionalisme atau peri kemanusiaan,
3.) Mufakat atau demokrasi,
4.) Kesejahteraan sosial dan
5.) Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau prinsip Ketuhanan.

Berikut dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, terdapat perubahan kata dalam Pancasila sebagai berikut:
1.) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.) Persatuan Indonesia,
4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan
5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perubahan berikutnya terlihat dalam Mukadimah UUD RIS tahun 1950, di mana kata-kata dalam
Pancasila adalah:
1.) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.) Peri kemanusiaan,
3.) Kebangsaan
4.) Kerakyatan dan
5.) Keadilan sosial.

Adapun urutan dan kata-kata dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah seperti yang tertuang
dalam Pembukaan UUD’45 yakni:
1.) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.) Persatuan Indonesia,
4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai ideologi nasional
karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat, memberi arah dan pedoman
tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi prosedur penyelesaian konflik.
A. Latar Belakang

Pancasila Pada Masa Orde Baru

Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan masa
Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah
pemberontakan PKI tahun 1965.
Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
Mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
Penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.

Latar belakang lahirnya Orde Baru :

1. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.


2. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September
1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3. Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya
keresahan masyarakat.
4. Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran
yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi
Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5. Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk
Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66”
untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6. Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan
tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
ü Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
ü Pembersihan Kabinet Dwikora
ü Penurunan Harga-harga barang.
7. Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus
Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-
tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8. Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan
meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa(Mahmilub).
9. Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak
juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR)
yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk
mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya pemerintahan Orde
Lama. Sebuah kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara
murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan
sebelumnya yang telah menyelewengkan Pancasila serta menyalahgunakan UUD 45 untuk
kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Ode
Baru. Nama itu dipilih untuk menunjukan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan
bernegara yang bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila
dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.
Salah satu agenda besar adalah menghilangkan kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang
menjadi warisan masa lalu dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada kekaryaan.
Ideologi kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih jelas dengan pemerintahan
sebelumnya yang hanya dianggap bermain pada tataran ideologis, tanpa sesuatu karya yang nyata
bagi rakyat banyak.
Untuk itu diperlukan stablitas politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara
kongkrit dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya dalam tataran politik misalnya
adalah menciptakan sistem politik yang menegarakan semua organisasi sosial dan politik dengan
tujuan agar tercapai stabilitas politik. Politik yang stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian
yang kacau akibat ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintah Orde
Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD 45 dan mencoba membuat garis pemisah yang
jelas antara apa yang disebut supra-struktur politik (kehidupan politik pada tataran negara) dan infra-
struktur politik (kehidupan politik pada tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-struktur politik,
lembaga-lembaga negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi
lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Orde Lama.
Sementara itu, dalam perspektif politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan
restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi kekaryaan dengan
nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi
masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh kemenangan lebih
dari 60% dari popular vote. Kemenangan tersebut di samping karena Golkar dijagokan oleh
pemerintah,
masyarakatpun sudah jenuh dengan permainan politik para elit yang dirasakan tidak pernah mengerti
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan seremoni
dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik. Pemilu yang berlangsung secara rutin dan diatur
serta diselenggarakan oleh negara memihak kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui
partai yang berkuasa selalu memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam
setiap pemilihan umum.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 45 tidak banyak
berbeda bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua pemerintahan selalu
menempatkan Pancasila dan UUD ˜45 sebagai benda keramat dan azimat yang sakti serta tidak boleh
diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 45
sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Penafsiran yang berbeda terhadap kedua hal
tersebut selalu diredam secara represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli
kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam
prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Dalam pada itu, penanaman nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis.
Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai
nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga
Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai
makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan melalui metode
indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, semakin
mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.
Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila
yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4 atau PMP (
Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi
muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena
pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari
berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku
itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila
sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk
orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin.
Retorika persatuan kesatuan menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan.
Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Seluruh
tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa adanya. Gagasan mengenai
pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang dibentuk secara
unilateral tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya dilakukan secara sepihak dan
doktriner serta tanpa keteladanan selain tidak akan memperkuat bangsa bahkan dapat merusak hati
nurani dan moral generasi muda. Sebab, pendidikan semacam itu hanya menyuburkan kemunafikan.
Pengalaman pahit yang pernah dilakukan pada masa Orde Lama dalam memanfaatkan Pancasila yang
hanya retorika politik dan sebagai instrumen menggalang kekuasaan ternyata diteruskan pada masa
Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik
dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran yaitu nasionalisme,
komunisme dan agama; sedangkan pada masa Orde Baru Pancasila disalahgunakan sebagai ideologi
penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat masyarakat dengan
dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa Orde Lama ancaman bangsa dan negara
adalah neo-kolonialisme, pada zaman Orde Baru ancaman terhadap bangsa dan negara adalah
komunisme. Namun pada dasarnya, dalam pespektif politik keduanya sama dan sebangun yaitu
bagaimana menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat
dipusatkan pada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lama kekuasaan memusat di tangan
Pemimpin Besar Revolusi, pada zaman Orde Baru di tangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang
semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa
menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu
dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah
kalau bertentangan dengan kehendaknya.
B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah system pemerintahan pada masa orde Baru


Apa Bentuk dari Pelanggaran Kesalahan pada Masa Orde Baru
Apa saja Dampak dari Kesalahan dalam sebuah Orde Baru

a. Sistem Pemerintahan pada Masa Orde Baru

Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan
fungsional.
Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala
tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.

 Pengelompokkan system pemerintahan:

1. system pemerintahan Presidensial


merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan
pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab
kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala
pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial:
1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
4. eksekutif dipilih melalui pemilu.
2. system pemerintahan Parlementer
merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada
parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana
menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia.
Ciri-ciri dan syarat system pemerintahan Parlementer:
1. Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
2. Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan
antara presiden dan kabinet.
3. Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.
3. system pemerintahan Campuran
dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan
Presidensial dan system pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala
Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Contoh Negara: Perancis.
 Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia

1. Tahun 1945 – 1949


Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
a. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer
berdasarkan usul BP – KNIP.
1. Tahun 1949 – 1950
Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system
parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa
konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni,
parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
2. Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut
adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:

a. presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.


b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
c. Presiden berhak membubarkan DPR.
d. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
3. Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-
kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang
diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
4. Tahun 1966 – 1998
Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era
orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto
mundur pada 21 Mei ’98.
5. Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada
parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
 Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:

 K ekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.


DPR sebagai pembuat UU.
Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
BPK pengaudit keuangan.

 Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002)

MPR bukan lembaga tertinggi lagi.


Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
 Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi dalam praktiknya
banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem
Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
 kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.
Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis
kabinet.
Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR.
 Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.
Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.
Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.
 Perbedaan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan Malaysia
1. Badan Eksekutif
a. Badan Eksekutif Malaysia terletak pada Perdana Menteri sebagai penggerak pemerintahan
negara.
b. Badan Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai 2 kedudukan sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan.
2. Badan Legislatif
a. Di Malaysia ada 2 Dewan Utama dalam badan perundangan yaitu Dewan Negara dan
Dewan Rakyat yang perannyan membuat undang-undang.
b. Di Indonesia berada di tangan DPR yang perannya membuat undang-undang dengan
persetujuan Presiden

b. Bentuk dari pelanggaran Kesalahan Pada masa orde Baru

Kasus Pelanggaran Terhadap Wartawan Meningkat,


Kebebasan pers masih dalam ancaman. Kasus pelanggaran terhadap wartawan meningkat sepanjang
tahun 2008. Tercatat ada 32 kasus mulai dari PHK, intimidasi hingga kekerasan terhadap
wartawan.Jumlah ini meningkat dari tahun 2007 yang mencatat ada 25 kasus. LBH Pers pun
menyoroti kebebasan pers yang masih menjadi ancaman. "Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal KUHP
tentang pencemaran nama baik. Hal ini tentu sangat membungkam terhadap kebebasan media," ujar
Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana saat menggelar jumpa pers catatan akhir tahun di kantornya
Jl Prof DR Soepomo, Jakarta Selatan, Selasa (23/12/2008).LBH juga menilai dengan diterbitkannya
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi ekektronik (ITE) menjadi ancaman serius
bagi dunia jurnalisme yang dibuat oleh wartawan dan masyarakat melalui surat pembaca maupun
blog. Karena dalam pasal 27 UU ITE diatur tentang pencemaran nama baik. "Pasal tersebut sangat
multitafsir dan juga dinilai sebagai pasal karet karena setiap orang berhak menggunakan pasal
tersebut," jelas Hendra.Selain itu ancaman hukumannya melebihi KUHP yaitu 6 tahun dan denda Rp
1 miliar.Rencananya Rabu (23/12/2008) LBH pers akan mengajukan judicial review terhadap UU
tersebut.

Kekerasan Terhadap Wartawan 40 Persen Dilakukan Aparat


Jakarta - Sepanjang Mei 2008-Mei 2009, Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat 40 persen dari 52
kasus kekerasan pada wartawan dilakukan oleh tentara dan polisi.
“Separuh lebih berupa kekerasan nonfisik,” beber Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers
Hendrayana di kantornya Ahad (3/5)
Kekerasan non fisik seperti perampasan kamera, pelarangan peliputan tercatat 27 kasus. Beda tipis,
jelas Hendrayan, dari kekerasan fisik yang tercatat 25 kasus. Diakuinya banyaknya kekerasan dalam
peliputan ini justru terjadi di daerah.
Kepala Divisi Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Pers Sholeh Ali menyatakan kekerasan aparat
bertujuan membuat wartawan menjadi takut. Kerusuhan di Sentani pekan lalu, lanjutnya merupakan
bentuk ancaman pada wartawan agar tidak menyebarkan informasi.
Catatan Lembaga Bantuan Hukum, pelaku kekerasan baik fisik dan nonfisik dilakukan pula oleh
massa, aparat pemerintah, anggota parlemen, partai politik, preman, organisasi massa, aparat
keamanan dan mahasiswa.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh pada tanggal 3 mei juga masih diwarnai gugatan
terhadap media dan jurnalis dan regulasi yang membungkam. “Sebagian besar (40 persen) gugatan
masalah perburuhan,” ungkap Sholeh.
Sepanjang Mei 2008-2009 tercatat 26 gugatan yang diterima Lembaga Bantuan. Sepuluh gugatan
masalah perburuhan, diikuti sembilan gugatan pidana, lima gugatan perdata, satu gugatan sengketa
Tata Usaha Negara dan satu gugatan masalah kebebasan pers.
Sholeh menyatakan kepentingan media terhadap pemberitaan ternyata mempengaruhi status
kepegawaian jurnalis. “Kami menerima dua kasus, gara-gara tulisan seorang jurnalis dipecat
pemimpin medianya,” imbuhnhya.
Kasus yang dimediasi Lembaganya, Hendrayana melanjutkan yang mayoritas menang masalah
gugatan perdata. “Kami menang di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial,” jelasnya. Sisanya masih
dalam proses hukum.
Tren gugatan terhadap media dan jurnalis, Hendrayanan menyimpulkan lebih ke arah pembangkrutan
media atau jurnalisnya. “Upaya hukumnya bukan untuk mendidik, tapi lebih ke pembungkaman.” Ia
mencontohkan tuntutan Rp 10 miliar mantan Kepala Polisi Daerah Sulawesi Selatan kepada Jupriadi
Asmaradhana serta gugatan Rp 1 triliun terhadap majalah Time.
“Mereka banyak menggunakan pasal pencemaran nama baik,” jelasnya,” Padahal sudah ada Dewan
Pers.” Maka Hendrayana turut senang ketika Surat Edaran Mahkamah Agung no 13/2008 tentang
saksi ahli dalam kasus pers. “Ini angin segar bagi kebebasn pers.”
Adapun masalah regulasi, menurut Hendrayana kini pemerintah tampaknya ingin masuk ranah
kebebasan pers. “Ada klausul untuk bisa mengatur surat izin penerbitan dalam revisi UU Pers (No
40/1999),” ucapnya.
Ancaman pencabutan izin, Hendrayana menambahkan juga terlihat pada pasal 57 UU Pemilihan
Presiden (UU nomer 42 tahun 2008). Maka lembaga Bantuan menuntut pemerintah dapat mencabut
regulasi yang mengancam kebebasan pers. “Tapi media juga harus memperbaiki kekurangan
internalnya,” tutupnya.
Sumber: Tempo
Penjelasan
Kekerasan terhadap wartawan ,baik itu fisik maupun non-fisik,itu tetap saja merupaka sebuah
ganjalan dalam menuju suatu kebebasan pers yang absolute,tindakan kekerasan merupakan tindakan
yang primitive,kita hidup di Negara Indonesia, sebuah Negara hukum.setiap tindakan yang kita
lakukan itu tertulis ataupun tidak tertulis,semua diatur didalam hukum dan jelas-jelas tindakan
kekerasan tidak dibenarkan sama sekali (no excuse for that).Sekali lagi ini merupakan pelajaran bagi
Bangsa Indonesia bangsa yang menjunjung tinggi hukum.kita harus bisa meningalkan praktik-praktik
kekerasan untuk mencapai kebebasan pers yang bertanggung jawab sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.

c. Dampak dari kesalahan dalam sebuah Orde Baru

Dampak dari kesalahan kebijakan ini tidak hanya akan menyebabkan terjadinya
bencana yang mengakibatkan kerugian harta benda, misalnya tergusurnya
suatu kelompok masyarakat dari wilayahnya sehingga kehilangan sumber-
sumber kehidupannya, tapi juga bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa
manusia. Benarkah demikian?
Selama kebijakan-kebijakan pemerintah bangsa Indonesia hingga saat ini tidak
berpihak pada lingkungan hidup, buku karya Sajogyo berjudul Ekologi Pedesaan:
Sebuah Bunga Rampai mungkin (jika bisa berbicara) akan berkata "Non omnis
moriar (Aku takkan pernah mati; Horace)."
Inilah buku karya Sajogyo (1982) yang menyajikan tema besar (dan mungkin
terlalu besar pada zamannya) dan entah kapan akan terwujud, yakni
keselarasan pembangunan dengan lingkungan di Indonesia. Upaya ke arah itu
ditempuh setelah penulis melakukan serangkaian riset masif dengan meletakkan
dasar-dasar pemikiran pembangunan pertanian dan pedesaan di awal
pemerintah Orde Baru, meskipun pada akhirnya karya intelektual yang
melampaui zamannya ini harus dibayar mahal berupa pencekalan dan
pencopotan jabatan Sajogyo ketika itu sebagai ketua Badan Pelaksana Survei
Agroekonomi.
Dalam buku yang berumur seperempat abad ini, Profesor Sajogyo mengingatkan
pemerintah (Orde Baru) ketika itu bahwa model pembangunan yang dijalankan
negara ini, yang terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), hanya
akan menciptakan disharmonisasi dan perusakan lingkungan.
Bagaimana tidak? Sejak awal tahun 1970-an, di beberapa negara termasuk
Indonesia, lingkungan hidup telah kehilangan nilai estetika dan etikanya sebagai
akibat dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak berorientasi pada
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan SDA. Kebijakan pemerintah lebih
mengarah pada eksploitasi dan eksplorasi SDA yang ada secara besar-besaran
dan tidak terencana. Tujuannya semata-mata untuk mendapatkan devisa bagi
negara.
Sebagai contoh pada 1979, kayu-kayu dari Kalimantan menghasilkan US $3,2
milyar hasil ekspor kayu yang hampir separuhnya ke Jepang. Menarik untuk
diperhatikan di sini karena Jepang sendiri merupakan negara penghasil kayu
(dua per tiga tanahnya diliputi hutan). Pada 1979, Jepang mengimpor kayu US
$7,3 milyar, antara lain dari Indonesia sekitar 21% sehingga setiap tahunnya
Jepang dapat membangun satu setengah juta rumah baru di negerinya (hal. V).
Bagi Sajogyo, pemerintah adalah manusia politik yang memiliki tanggung jawab
ekologis. Sebagaimana Karl J. Pelzer dalam salah satu bab buku tersebut
mengatakan, politik memiliki peran penting mengubah wajah alam bangsa
Indonesia (hal. 23). Dengan demikian, Pemerintah sebagai pemegang
kewenangan melaksanakan dan menyelenggarakan pengelolaan lingkungan
hidup seharusnya mampu menjaga dan mengelola lingkungan hidup dan SDA
dengan baik.
Pertanggungjawaban ekologis pemerintah ini sangat penting mengingat efek
dari kesalahan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup berdampak
besar. Dampak kesalahan kebijakan ekologis ini tidak hanya akan menimbulkan
kerusakan lingkungan semata, melainkan menimbulkan pada pelanggaran hak
asasi manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa
Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang
membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud
berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak
pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya
tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik
Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional
berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.

Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau
konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara
diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.

Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam
suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan
pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik
yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.

Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut
pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun
yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing
society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.

Dalam penulisan ini, kami mencoba memberikan penjelasan singkat seputar konfigurasi politik
yang dibatasi pada dua era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, serta pemahaman terhadap partai politiknya.

KONFIGURASI POLITIK ERA ORDE BARU

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)


menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno
dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk
mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.

Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI
berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap
orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar
lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan
apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :

1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.

2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama.
Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.

Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara
lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP
MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh
rakyat Indonesia.[9] Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu
pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki
basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan
rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa
Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah
dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh
lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga
terkesan sebagai partai baru.[10] Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi
hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam
pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar
merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula
pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya
antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka
dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam
kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political
Battle Unit “ rezim orde baru.

Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut
harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan
membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.[11]

Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai
yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan,
sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987,
1992 dan 1997).
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum
pada era Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia kecil
yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani dan Wirjono
Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini berdasarkan doktrin staatsnoodrecht
dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum
yang menyimpang dari asas perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa
dan membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat
bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka
Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung
Sementara;
3. Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun
1960;
4. Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden
No. 4 Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12
Tahun 1960.

MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
melalui Ketetapan MPRS No. III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD
1945.

Jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh peristiwa
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga berakibat pembunuhan besar-besaran
terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang
pada hakekatnya merupakan bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.[20]

Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari
kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD
1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto
yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada
aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.[21] Pada era ini pula mulai
memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep
Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan
tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan
partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat
untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan
partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha
menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.

b. Saran

Adapun saran dari kami dari kelompok 3 (tiga yaitu) semoga apa yang telah kami paparkan dalam
makalah kami ini mudah – mudahan dapat bermanfaat dan bisa dipelajari dengan sebaik – baiknya.

Dan kami sangat berharap kepada teman – teman apabila didalam makalah kami ini terdapat kesalahan
maupun kekeliruan kami mohon maaf yang sebesar – besarnya karena kita sebagai manusia biasa tidak
pernah luput dari kesalahan dan kehilafan.

Kami dari Kelompok 3 sangat mengharapkan kritik dari teman – teman apabila didalam makalah kami ini
terdapat kesalahan, dan kami akan terima dengan lapang dada. Karena kritik dari teman-teman sangat
berguna bagi kami agar kami bisa memperbaikinya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Konpress, 2005.
Azed, Abdul Bari. "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia," dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum:
Suatu Himpunan Pemikiran. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2000.
___________ dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi HTN
FHUI, 2005.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Budiardjo, Miriam. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2000.
Faith, Herbert. The Indonesian Elections of 1955. Jakarta: KPG, 1999.
Kusnardi, M. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: FH UI, 1983.
Mahfud, MD. Moh. Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999. Yogyakarta:
UII, 1998.
__________. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 1998.
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004.
Morissan, Hukum Tata Negara RI: Era Reformasi. Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005.
Notosusanto, Nugroho. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Oltmans, Willem. Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, Jakarta: Aksara Karunia, 2001
Serbo, M. Hukum, Pemaksaan dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata
Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003.
Suhardiman. Pembangunan Politik Satu Abad. Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996.
Sumarkidjo, Atmadji. Mendung di Atas Istana Merdeka. Jakarta: s.n. 2000.
Syam, Nur. Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde Baru,
Jurnal IAIN Sunan Ampel Edisi XVII, 1999.

***
[1] M. Serbo, Hukum, Pemaksaan dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata
Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003), hal. 109.
[2] Morrisan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, (Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2005), hal. 25.
[3] Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), hal. 50.
[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hal. 24.
[5] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999,
(Yogyakarta: penerbit UII, 1998), hal. 133-134.
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004), hal. 141.
[7] Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan skenario
hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA.
Lihat: Willem Oltmans, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, (Jakarta: Aksara Karunia,
2001), hal. 9, 68 dan 102.
[8] BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal. 148-150.
[9] Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985),
hal. 27-49.
[10] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konpress, 2005), hal. 190.
[11] Nur Syam, Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde
Baru, (Jurnal IAIN Sunan Ampel Edisi XVII, 1999).
[12] Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 163-164.
[13] Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
HTN FHUI, 2005), hal.41.
[14] Abdul Bari Azed, "Sistem Pemilihan Umum di Indonesia," dalam Sistem-Sistem Pemilihan Umum:
Suatu Himpunan Pemikiran, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2000), hal. 7.

You might also like