You are on page 1of 26

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FARMASI FISIKA


EMULSIFIKASI

OLEH :
I Putu Bagus Maha Paradipa (0808505001)
Anggy Anggraeni Wahyudhie (0808505002)
Ni Made Wiryatini (0808505003)
Ni Ketut Melysa Cahyani (0808505004)
Liana Dwi Anggraini (0808505005)
Ni Putu Dian Priyatna Sari (0808505007)
I Gusti Agung Suastika (0808505008)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2009
PERCOBAAN 5
EMULSIFIKASI

I. Tujuan Percobaan
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi

II. Dasar Teori


Emulsifikasi merupakan proses pembentukan emulsi pada suatu sediaan farmasi
(susanti.2008) . Terdapat beberapa pengertian tentang emulsi, yaitu :
i. Menurut FI III : 9
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau cairan obat terdispersi
dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok.
ii. Menurut Parrot : 354
Emulsi adalah suatu sistem polifase dari 2 campuran yang tidak saling bercampur.
Salah satunya tersuspensi dengan bantuan emulgator keseluruh partikel lainnya.
Ukuran diameter partikelnya 0.2 – 50 m.
iii. Menurut Physical Pharmacy : 522
Emulsi adalah sistem yang tidak stabil secara termodinamika mengandung paling
sedikit dua fase cair yang tidak bercampur satu diantaranya terdispersi sebagai globul-
globul (fase pendispersi) dalam fase cair lainnya (fase kontinyu) distabilkan dengan
adanya bahan pengemulsi/emulgator.
iv. Menurut FI IV : 6
Emulsi adalah sistem dua fase dimana salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain dalam bentuk tetesan-tetesan kecil.
v. Menurut Ensyclopedia : 138
Umumnya digambarkan sebagai sistem heterogen, terdiri dari dua cairan yang tidak
bercampur. Satu diantaranya didispersikan secara seragam sebagai tetesan kecil dalam
cairan lain.
vi. Menurut Formularium Nasional : 412
Emulsi adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam sistem
dispersi; yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya;
umumnya dimantapkan dengan zat pengemulsi.
vii. Menurut DOM Martin : 508
Emulsi adalah sistem heterogen, terdiri dari kurang lebih satu cairan yang tidak
tercampurkan yang terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan-tetesan di
mana diameternya kira-kira 0,1 mm atau dapat diartikan sebagai dua fase yang terdiri
dari satu cairan yang terdispersi dalam cairan lainnya yang tidak tercampurkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak
stabil secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak
bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk
tetesan–tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan
emulgator/surfaktan yang cocok.
Baik fase terdispersi atau fase kontinu berkisar dalam konsistensi dari suatu
cairan mobil sampai suatu massa setengah padat (semisolid). Jadi sistem emulsi
berkisar dari cairan (lotio) yang mempunyai viskisitas relative rendah sampai salep
atau krim, yang merupakan semisolid. Diameter partikel dari fase terdispersi umumnya
berkisar dari 0,1-10 µm, walaupun partikel sekecil 0,01 µm dan sebesar 100 µm bukan
tidak biasa dalam beberapa sediaan. (Alfred Martin, 2008)
Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-bagi menjadi
butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase kontinyu (zat cair yang
berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal)); dan
Emulgator (zat yang digunakan dalam kestabilan emulsi). (Ansel, 1989).
Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat dengan
menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda bergantung
pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu produk yang
stabil. Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :
a) Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka minyak/air
membentuk lapisan monomolekular dan mengurangi tegangan antarmuka.
b) Koloid hidrofilik yang membentuk suatu lapisan multimolekular sekitar tetesan-
tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi o/w.
c) Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas antarmuka
dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu lapisan partikel di
sekitar bola-bola terdispers. (Tim penyusun, 2008)
Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun
eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi yang mempunyai fase dalam
minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda
sebagai emulsi “m/a”. Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar
minyak disebut emulsi air-dalam-minyak dan dikenal sebagai emulsi ‘a/m”. Karena
fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu, suatu emulsi minyak dalam air diencerkan
atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat dalam air. Umumnya untuk membuat
suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian dari emulsi, yakni: zat
pengemulsi (emulsifying egent). Tergantung pada konstituennya, viskositas emulsi
dapat sangat bervariasi dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan atau semisolid
(setengah padat) (Ansel, 1989).
Untuk membedakan tipe emulsi, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain
• Test Pengenceran Tetesan
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa suatu emulsi akan bercampur dengan yang
menjadi fase luarnya. Misalnya suatu emulsi tipe m/a, maka emulsi ini akan mudah
diencerkan dengan penambahan air. Begitu pula sebaliknya dengan tipe a/m.
(Andre. 2009)
• Test Kelarutan Pewarna
Sejumlah kecil zat warna yang larut dalam air seperti biru metilen atau brilliant
blue FCF bisa ditaburkan pada permukaan emulsi. Jika air mearupakan rase luar,
ykni, jika emulsi tersebut bertipe o/w, zat tersebut akan melarut didalalmnya dan
berdifusi merata ke seluruh bagian dari air tersebut. Jika emulsi tersebut bertipe
w/o, partikel-partikel zat warna akan tinggal bergerombol pada permukaan. (Tim
penyusun, 2008)
• Test Creaming (Arah Pembentukan Krim)
Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-tetesan terdispersi berdasarkan
densitas dari fase internal dan fase eksternal. Jika densitas relative dari kedua fase
diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispersi dapat menunjukkan tipe
emulsi yang ada. Pada sebagian besar sistem farmasetik, densitas fase minyak atau
lemak kurang dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas,
maka emulsi tersebut adalah tipe m/a, jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah,
maka emulsi tersebut merupakan tipe a/m. (Andre. 2009)
• Test Konduktivitas Elektrik
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa air atau larutan berair mampu
menghantarkan listrik, dan minyak tidak dapat menghantarkan listrik. Jika
sepasang elektroda yang dihubungkan dengan suatu sumber listrik luar dan
dicelupkan dalam emulsi. Jika fase luar adalah air, aliran listrik akan melalui
emulsi tersebut dan dapat dibuat untuk membelokkan jarum voltmeter atau
menyebabkan suatu cahaya dalam sirkuit berpijar. Jika minyak merupakan fase
kontinu, emulsi tersebut itdak dapat membawa arus listrik. (Tim penyusun, 2008)
• Test Fluoresensi
Sangat banyak minyak yang dapat berfluorosensi jika terpapar sinar ultra violet.
Jika setetes emulsi di uji dibawah paparan sinar ultra violet dan diamati dibawah
mikroskop menunjukkan seluruh daerah berfluorosensi maka tipe emulsi itu adalah
a/m, jika emulsi tipe m/a, maka fluorosensi hanya berupa noda. (Andre. 2009)
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar
memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA, tragakan, gelatin, sapo
dan lain-lain. Emulsa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu emulsi vera (emulsi
alam) dan emulsi spuria (emulsi buatan). Emulsi vera dibuat dari biji atau buah,
dimana terdapat disamping minyak lemak juga emulgator yang biasanya merupakan
zat seperti putih telur (Anief, 2000).
Pada pembuatan emulsi, surfaktan juga dapat digunakan sebagai emulgator. Jika
surfaktan yang digunakan sebagai emulgator maka dapat terbentuk suatu emulsi ganda
(multiple emulsion). Sistem ini merupakan jenis emulsi air-minyak-air atau sebaliknya.
Mekanisme kerja emulgator semacam ini berdasarkan atas kemampuannya
menurunkan tegangan permukaan air dan minyak serta membentuk lapisan
monomolecular pada permukaan globul fase terdispersi. (Tim Penyusun, 2009)
Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila
surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan minyak, maka gugus
polar akan mengarah ke fase air sedangkan gugus non polar akan mengarah ke fase
minyak. Surfaktan yang didominasi gugus polar akan cenderung membentuk emulsi
minyak dalam air. Sedangkan jik amolekul surfaktan lebih didominasi gugus non polar
akan cenderung menghasilkan emulsi air dalam minyak. (Tim Penyusun, 2009)
Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai
emulgator adalah Metode HLB (hydrophilic-lipophilic balance). Griffin menyusun
suatu skala ukuran HLB surfaktan yang dapat digunakan menyusun daerah efisiensi
HLB optimum untuk setiap fungsi surfaktan. Semakin tinggi nilai HLB suatu
surfakatan, sifat kepolarannnya akan meningkat. Disamping itu, HLB butuh minyak
yang digunakan juga perlu diketahui. Pada umumnya nialai HLB butuh suatu minyak
adalah tetap untuk suatu emulsi tertentu dan nilai ini ditentukan berdasarkan
percobaan. Menurut Griffin, nilai HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan yang
digunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air sehingga membentuk suatu
emulsi yang stabil.(Tim Penyusun, 2009)
Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal 4 macam teori, yang
melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Teori tersebut
ialah :
1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension)
Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang
disebut dengan daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik menarik
antara molekul yang tidak sejenis yang disebut dengan daya adhesi.
Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair
akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi.
Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan tegangan permukaan.
Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan
bidang batas dua cairan yang tidak dapat bercampur. Tegangan yang terjadi antara
dua cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas.
Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang mengakibatkan
antara kedua zat cair itu semakin susah untuk bercampur. Tegangan yang terjadi
pada air akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau
senyawa-senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa
organik tetentu antara lain sabun.
Didalam teori ini dikatakan bahwa penambahan emulgator akan menurunkan
dan menghilangkan tegangan permukaan yang terjadi pada bidang batas sehingga
antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur. (Andre, 2009)
2. Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge)
Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua kelompok yakni :
• Kelompok hidrofilik, yakni bagian dari emulgator yang suka pada air.
• Kelompok lipofilik, yakni bagian yang suka pada minyak.
(Andre, 2009)

3. Teori Interparsial Film


Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air dan
minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase
dispers. Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang
sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase dispers menjadi
stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi, syarat emulgator yang
dipakai adalah :
• Dapat membentuk lapisan film yang kuat tapi lunak.
• Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase
dispers.
• Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua
permukaan partikel dengan segera (Andre, 2009).

4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik ganda)


Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan
dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya
akan bermuatan yang berlawanan dengan lapisan didepannya. Dengan demikian
seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh dua benteng lapisan listrik yang
saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel
minyak yang akan menggandakan penggabungan menjadi satu molekul besar.
Karena susunan listrik yang menyelubungisesama partikel akan tolak menolak dan
stabilitas emulsi akan bertambah. Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh salah
satu dari ketiga cara dibawah ini.
• Terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel.
• Terjadinya absorpsi ion oleh partikel dari cairan disekitarnya.
• Terjadinya gesekan partikel dengan cairan disekitarnya (Andre, 2009).
Ada beberapa Metode yang biasa digunakan dalam pembuatan Emulsi
(Anonim c, 2009), yaitu :
a. Metode Gom Kering
Disebut pula metode continental dan metode 4;2;1. Emulsi dibuat dengan
jumlah komposisi minyak dengan ½ jumlah volume air dan ¼ jumlah
emulgator. Sehingga diperoleh perbandingan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan
1 bagian emulgator. Pertama-tama gom didispersikan ke dalam minyak, lalu
ditambahkan air sekaligus dan diaduk /digerus dengan cepat dan searah hingga
terbentuk korpus emulsi.
b. Metode Gom Basah
Disebut pula sebagai metode Inggris, cocok untuk penyiapan emulsi dengan
musilago atau melarutkan gum sebagai emulgator, dan menggunakan
perbandingan 4;2;1 sama seperti metode gom kering. Metode ini dipilih jika
emulgator yang digunakan harus dilarutkan/didispersikan terlebuh dahulu
kedalam air misalnya metilselulosa. 1 bagian gom ditambahkan 2 bagian air lalu
diaduk, dan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk
dengan cepat.
c. Metode Botol
Disebut pula metode Forbes (1). Metode ini digunakan untuk emulsi dari
bahan-bahan menguap dan minyak-minyak dengan kekentalan yang rendah.
Metode ini merrupakan variasi dari metode gom kering atau metode gom basah.
Emulsi terutama dibuat dengan pengocokan kuat dan kemudian diencerkan
dengan fase luar.
Dalam botol kering, emulgator yang digunakan ¼ dari jumlah minyak (2).
Ditambahkan dua bagian air lalu dikocok kuat-kuat, suatu volume air yang sama
banyak dengan minyak ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus dikocok,
setelah emulsi utama terbentuk, dapat diencerkan dengan air sampai volume
yang tepat (1).
d. Metode Penyabunan In Situ
• Sabun Kalsium
Emulsi a/m yang terdiri dari campuran minyak sayur dan air jeruk,yang
dibuat dengan sederhana yaitu mencampurkan minyak dan air dalam jumlah
yang sama dan dikocok kuat-kuat. Bahan pengemulsi, terutama kalsium oleat,
dibentuk secara in situ disiapkan dari minyak sayur alami yang mengandung
asam lemak bebas.
• Sabun Lunak
Metode ini, basis di larutkan dalam fase air dan asam lemak dalam fase
minyak. Jika perlu, maka bahan dapat dilelehkan, komponen tersebut dapat
dipisahkan dalam dua gelas beker dan dipanaskan hingga meleleh, jika kedua
fase telah mencapai temperature yang sama, maka fase eksternal ditambahkan
kedalam fase internal dengan pengadukan.
• Pengemulsi Sintetik
Beberapa pustaka memasukkannya dalam kategori metode tambahan (1).
Secara umum, metode ini sama dengan metode penyabunan in situ dengan
menggunakan sabun lunak dengan perbedaan bahwa bahan pengemulsi
ditambahkan pada fase dimana ia dapat lebih melarut. Dengan perbandingan
untuk emulsifier 2-5%. Emulsifikasi tidak terjadi secepat metode
penyabunan. Beberapa tipe peralatan mekanik biasanya dibutuhkan, seperti
hand homogenizer.

Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang
hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu
tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan
menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak
diperlukan perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang
tinggi untuk menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim stearat atau krim
pembersih adalah setengah padat dengan fase internal hanya hanya 15%. Sifat
setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal
setengah padat (Anonim b, 1995).
Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan yaitu emulsi untuk pemakaian
dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per
oral atau pada injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit
atau membrane mukosa yaitu linemen, losion, cream dan salep. (Anonim c, 2009)
Emulsi untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe M/A. Emulgator
merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tak enak itu. Flavour
ditambahkan pada fase ekstern agara rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna untuk
menaikan absorbsi lemak melalui dinding usus. Penggunaan emulsi untuk parenteral
dibutuhkan perhatian khusus dalam produksi seperti pemilihan emulgator, ukuran
kesamaan butir tetes untuk injeklsi intravena. Lecithin tidak pernah dipakai karena
menimbulkan hemolisa. Pembuatan emulsi untuk injeksi dilakukan dengan membuat
emulsi kasar lalu dimasukan homogenizer, di tampung dalam botol steril dan
disterilkan dalam auto klap dan di periksa sterilitas serta ukuran butir. (Anonim c,
2009)
Untuk pemakaian kulit dan membrane mukosa digunakan sediaan emulsi tipe
M/A atau A/M. emulsi obat dalam dasar salep dapat menurunkan kecepatan absorbsi
dan eksintensinya absorbsi melalui kulit dan membrana mukosa. Contoh: suspensi
efedrin dalam emulsi M/A bila dipakai pada mukosa hidung di absorbsi lebih lambat
si banding larutannya dalam minyak, jadi diperoleh prolonged action. (Anonim c,
2009)
Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di bidang
farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Kestabilan dari emulsi
farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan
memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. (Alfred
Martin, 2008).
Beberapa peneliti mendefinisikan ketidakstabilan suatu emulsi hanya dalam hal
terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Creaming
yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang
tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakstabilan. Tetapi suatu emulsi adalah
suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta creaming yang dihasilkan
menggambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam
yang sempurna. Lebih-lebih lagi dalam hal emulsi farmasi creaming mengakibatkan
ketidakrataan dari distribusi obat dan, tanpa pengocokan yang sempurna sebelum
digunakan, berakibat terjadinya pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk
penampilan dari suatu emulsi dipengaruhi oleh creaming, dan ini benar-benar
merupakan suatu masalah nyata bagi pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase
dalam. (Alfred Martin, 2008).
Berdasarkan atas fenomena semacam itu, dikenal beberapa peristiwa
ketidakstabilan emulsi, yaitu:
a) Flokulasi dan creaming.
Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang
posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Creaming adalah suatu peristiwa
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.
Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah
tergantung dari bobot jenis. Tim Penyusun, 2009)
b) Koalesense dan Demulsifikasi
Peristiwa ini terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh energy bebas permukaan,
tetapi disebabkan pula oleh ketidaksempurnaan lapisan globul. Koalesen adalah
peristiwa penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Sedangkan
Demulsifikasi adalah peristiwa yang disebabkan oleh terjadinya proses lanjut dari
koalesen. Kedua fase akhirnya terpisah kembali menjadi dua cairan yang tidak dapat
bercampur. Kedua peristiwa semacam ini emulsi tidak dapat diperbaiki kembali
melalui pengocokan. (Tim Penyusun, 2009)
Emulsi juga dapat mengalami ketidakstabilan jika mengalami hal-hal di bawah
ini:
• Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan PH, penambahan CaO /
CaCL2 (Dinda,2008)
• Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan dan pengadukan.
(Dinda,2008)
• Inversi yaitu peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi W/O menjadi
O/W atau sebaliknya dan sifatnya irreversible. (Dinda,2008)
Zat Pengemulsi (Emulgator)

Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil. Untuk itu kita memerlukan suatu
zat penstabil yang disebut zat pengemulsi atau emulgator. Tanpa adanya emulgator, maka
emulsi akan segera pecah dan terpisah menjadi fase terdispersi dan medium pendispersinya,
yang ringan terapung di atas yang berat. Adanya penambahan emulgator dapat menstabilkan
suatu emulsi karena emulgator menurunkan tegangan permukaan secara bertahap. Adanya
penurunan tegangan permukaan secara bertahap akan menurunkan energi bebas yang
diperlukan untuk pembentukan emulsi menjadi semakin minimal. Artinya emulsi akan
menjadi stabil bila dilakukan penambahan emulgator yang berfungsi untuk menurunkan
energi bebas pembentukan emulsi semaksimal mungkin. Semakin rendah energi bebas
pembentukan emulsi maka emulsi akan semakin mudah terbentuk. Tegangan permukaan
menurun karena terjadi adsorpsi oleh emulgator pada permukaan cairan dengan bagian ujung
yang polar berada di air dan ujung hidrokarbon pada minyak (Ibnuhayyan, 2008).
Daya kerja emulgator disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik
dalam minyak maupun dalam air. Bila emulgator tersebut lebih terikat pada air atau larut
dalam zat yang polar maka akan lebih mudah terjadi emulsi minyak dalam air (M/A), dan
sebaliknya bila emulgator lebih larut dalam zat yang non polar, seperti minyak, maka akan
terjadi emulsi air dalam minyak (A/M). Emulgator membungkus butir-butir cairan terdispersi
dengan suatu lapisan tipis, sehingga butir-butir tersebut tidak dapat bergabung membentuk
fase kontiniyu. Bagian molekul emulgator yang non polar larut dalam lapisan luar butir-butir
lemak sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut air ( Ibnuhayyan, 2008 ).
Pada beberapa proses, emulsi harus dipecahkan. Namun ada proses dimana emulsi harus
dijaga agar tidak terjadi pemecahan emulsi. Zat pengemulsi atau emulgator juga dikenal
sebagai koloid pelindung, yang dapat mencegah terjadinya proses pemecahan emulsi,
contohnya:Gelatin, digunakan pada pembuatan es krim; Sabun dan deterjen; Protein; Cat dan
tinta; Elektrolit ( Ibnuhayyan, 2008 ).

Kestabilan Emulsi
Bila dua larutan murni yang tidak saling campur/ larut seperti minyak dan air,
dicampurkan, lalu dikocok kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk sistem dispersi yang
disebut emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa
yang lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan sangat cepat akan terjadi
pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang sesungguhnya muncul dan teramati pada
sistem dispersi terjadi dalam waktu yang sangat singkat ( Ibnuhayyan, 2008 ).
Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:
1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals. Gaya ini
menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat dan
mengendap.
2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan ganda
elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan dispersi koloid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi, adalah:
1. Tegangan antar muka rendah
2. Kekuatan mekanik dan elastisitas lapisan antarmuka
3. Tolakkan listrik double layer
4. Relatifitas phase pendispersi kecil
5. Viskositas tinggi.

Penerapan di Bidang Farmasi


Suatu emulsi o/w merupakan suatu cara pemberian oral yang baik untuk cairan-cairan
yang tidak larut dalam air, terutama jika fase terdispers mempunyai fase yang tidak enak.
Yang lebih bermakna dalam farmasi masa kini adalah pengamatan tentang beberapa senyawa
yang larut dalam lemak, seperti vitamin, diabsorpsi lebih sempurna jika diemulsikan daripada
jika diberikan peroral dalam suatu larutan berminyak. Penggunaan emulsi intravena telah
diteliti sebagai suatu cara untuk melawan pasien yang lemah yang tidak bisa menerima obat-
obat yang diberikan secara oral. Emulsi radiopaque telah ditemukan untuk penggunaan
sebagai zat diagnostic untuk pengujian sinar X. Emulsifikasi secara luas digunakan dalam
produk farmasi dan kosmetik untuk pemakaian luar. Terutama untuk lotion dermatologik dan
lotion kosmetik serta krem karena dikehendakinya suatu produk yang menyebar dengan
mudah dan sempurna pada areal dimana ia digunakan. Sekarang produk semacam itu bisa
diformulasikan menjadi dapat tercuci air dan tidak berkarat. Produk seperti itu jelas lebih
diterima bagi pasien dan dokter daripada produk berlemak yang digunakan satu atau
beberapa abad yang lalu. Emulsifikasi digunakan dalam produk aerosol untuk menghasilkan
busa. Porpelan yang membentuk fase cair terdispers di dalam wadah menguap bila emulsi
tersebut dikeluarkan dari wadahnya. Ini menghasilkan pembentukan busa ( Alfred
Martin,dkk, 1990).

III. Alat Dan Bahan


A. Alat :
- Pipet tetes - Tangas Air
- Gelas Ukur - Pengaduk elektrik
- Tabung raksi - Tabung sedimentasi
- Gelas Beaker - Alat tulis

B. Bahan :
- Tween
- Gliserin
- Minyak Kelapa
- Air

IV. Cara Kerja


A. Perhitungan awal
/R Minyak 10 gram
Tween
Total = 3
gram
Span
Air Ad 50 gram

Di laboratorium tidak tersedia emulgator Span, oleh kerena itu Span diganti dengan
gliserin yang memiliki nilai HLB 3,8. Perhitungan penimbangan menjadi :

• Perhitungan 1 (untuk HLB butuh minyak = 5)


Misalkan jumlah Tween yang dibutuhkan adalah a gram maka jumlah gliserin
yang dibutuhkan adalah (3 – a) gram. Sehingga perhitungannya menjadi :

(a × 15) + { (3 – a) × 3,8} = 3 × 5
15a + 11,4 - 3,8a = 15
11,2 a = 15 – 11,4
11,2 a = 3,6
a = 0,3214
Jadi jumlah Tween yang diperlukan adalaj 0,3214 gram dan jumlah gliserin
yang dibutuhkan adalah (3 – 0,3214) gram yaitu 2,6786 gram.

Dengan cara menghitung yang sama, untuk nilai HLB butuh minyak
berikutnya diperoleh data sebagai berikut :

No HLB Jumlah Tween (gr) Jumlah Gliserin (gr)


1 5 0,3214 2,6786
2 6 0,5893 2,4107
3 7 0,8571 2,1429
4 8 1,1250 1,8750
5 9 1,3928 1,6072
6 10 1,6607 1,3393
7 11 1,9286 1,0714
8 12 2,1964 0,8036
9 13 2,4643 0,5357

B. Cara kerja

Dihitung jumlah tween dan gliserin yang dibutuhkan untuk


setiap nilai HLB.

Ditimbang masing-masing minyak, air, Tween, dan gliserin yang


dibutuhkan

Minyak dicampur dengan gliserin

Air dicampur dengan Tween.

Keduanya dipanaskan di atas tangas air pada suhu 60°C

Campuran air ditambahkan ke dalam campuran minyak dan


segera diaduk dengan pengaduk elektrik selama 5 menit.
Emulsi dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi dan diberi
tanda sesuai dengan nilai HLB masing-masing.

Tinggi emulsi dalam tabung diusahakan sama dan dicatat waktu


mulai memasukkan emulsi ke dalam tabung.

Diamati jenis kestabilan emulsi yang terjadi selama 6 hari. Bila


terjadi creaming, diukur tinggi emulsi yang membentuk cream.

Ditentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relatif paling


stabil.

V. Hasil
Hasil
Dari pengukuran creaming yang telah dilakukan selama 5 hari setelah
pembentukan emulsi, diperoleh data sebagai berikut

Tinggi Creaming (cm)


HLB Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
(Senin) (Selasa) (Rabu) (Kamis) (Jumat)

5 2,5 2,5 2,5 2,4 2,2

6 2,9 2,8 2,7 2,7 2,5

7 2,5 2,3 2,3 2,2 2,0


8 3,3 3,2 3,2 3,2 3,0

9 3,1 3,0 2,9 2,9 2,5

10 3,9 3,8 3,5 3,5 3,2

11 3,4 3,0 2,4 2,2 1,9

12 3,0 2,8 2,5 2,1 1,6

13 2,4 2,1 1,9 1,9 1,8

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan emulsifikasi. Percobaan ini bertujuan
agar mahasiswa mampu menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang
digunakan dalam pembuatan emulsi, membuat emulsi dengan menggunakan emulgator
golongan surfaktan, mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi dan menentukan HLB
butuh minyak yang digunkan dalam opembuatan emulsi.

Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi
sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. (Tim Penyusun, 2009). Emulsi yang akan
dibuat pada percobaan ini adalah emulsi minyak dalam air. Kestabilan emulsi tergantung
dari emulgator yang digunakan. Creaming merupakan salah satu bentuk ketidakstabilan
emulsi yang akan diamati pada percobaan ini. Creaming merupakan suatu peristiwa
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.
Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah
tergantung dari bobot jenis fase.

Pada percobaan emulsifikasi ini akan dibuat satu seri emulsi dengan nilai HLB
butuh masing-masing 5,6,7,8,9,10,11,12 dan 13. Bahan yang digunakan adalah minyak
dan air, sedangkan untuk emulgator digunakan emulgator kombinasi surfaktan yaitu
Tween 80 dan gliserin.

Proses pengerjaan diawali dengan menghitung jumlah Tween 80 dan gliserin yang
dibutuhkan untuk setiap nilai HLB butuh mulai dari HLB butuh 5 sampai HLB 13. Dari
hasil perhitungan diperoleh jumlah Tween 80 dan gliserin yang dibutuhkan adalah
sebagai berikut.

HLB Tween 80 (gram) Gliserin (gram)

5 0.32 2.68

6 0.59 2.41

7 0.86 2.14

8 1.125 1.875

9 1.393 1.607

10 1.661 1.339

11 1.928 1.072

12 2.196 0.804

13 2.464 0.536

Setelah mengetahui jumlah masing-masing Tween 80 dan gliserin yang


digunakan, praktikan kemudian membuat emulsi untuk masing-masing nilai HLB butuh.
Pertama-tama dilakukan penimbangan seluruh bahan sejumlah yang dibutuhkan.
Kemudian minyak dicampurkan dengan gliserin dan ditempatkan dalam Erlenmeyer 50
mL. Minyak dicampur dengan gliserin karena gliserin bersifat non polar, hal ini dapat
diketahui dari nilai HLB gliserin yang relative rendah yaitu 3,8 sehingga sesuai dengan
sifat minyak yang nonpolar. Selanjutnya, air dicampurkan dengan Tween 80 dan
ditempatkan dalam dalam Erlenmeyer yang lain. Air yang digunakan adalah sebanyak 37
mL. Perhitungan jumlah air yang dibutuhkan adalah :

Air = 50 gram – (10 gram minyak + 3 gram emulgator)

= 37 gram

Karena berat jenis air adalah 1 gram/mL jadi volume air yang ditambahkan adalah :

m
Volume air = ρ
37 gram
= g
1
mL

= 37 mL

Pencampuran Tween 80 dengan air karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu
sebesar 15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga
dapat bercampur dengan air yang bersifat polar. Kedua erlenmeyer yang telah berisi
campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 60o C selama 30
menit. Setelah dipanaskan, campuran minyak dimasukkan ke dalam campuran air dan
diaduk menggunakan pengaduk elektrik berupa besi magnet selama 5 menit dengan
kecepatan 500 rpm. Pengaduk elektrik digunakan untuk pengadukan campuran karena
pengaduk elektrik dapat mengaduk dengan kecepatan yang sangat tinggi dimana pada
pembuatan emulsi ini diperlukan pengadukan dengan kecepatan tinggi agar fase
terdispersi tidak menyatu lagi sehingga terbentuk emulsi yang baik. Pada saat peletakan
besi magnet ke dalam campuran diharapkan besi magnet terletak di tengah-tengah agar
proses pengadukan merata pada seluruh bagian campuran.

Terbentuknya emulsi ditandai dengan berubahnya warna campuran menjadi putih


susu. Setelah 5 menit emulsi yang terbentuk diangkat dari penangas dan dimasukkan ke
dalam tabung sedimentasi dan diberi tanda sesuai dengan nilai HLB-nya. Tinggi emulsi
dalam tabung diusahakan sama agar mempermudah dalam membandingkan kestabilan
dari tiap emulsi. Selanjutnya, diamati ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 5 hari.

Dari hasil pengamatan, setelah emulsi dipindahkan ke dalam tabung sedimentasi


semua emulsi mengalami creaming. Terbentuknya creaming menandakan emulsi yang
terbentuk tidak stabil. Creaming yang terbentuk mengarah ke atas. Dari hasil pengukuran
tinggi creaming pada saat hari ke-0 atau hari pelaksanaan praktikum, diperoleh data
sebagai berikut.

HLB Tinggi Creaming (cm)

5 2,5

6 2,9

7 2,5
8 3,3

9 3,1

10 3,9

11 3,4

12 3,0

13 2,4

Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa semua HLB mengalami creaming
sehingga dapat dikatakan tidak ada yang stabil. Tinggi creaming pada emulsi dengan
HLB 10 jauh lebih tinggi dibandingkan tinggi creaming pada emulsi lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa emulsi minyak kelapa dengan air pada HLB 10 paling tidak stabil
jika dibandingkan dengan emulsi pada HLB lainnya.

Pengamatan pada hari-hari berikutnya menunjukkan bahwa semua emulsi


mengalami creaming. Tinggi creaming yang terjadi pada masing-masing emulsi
berbeda setiap harinya. Tinggi creaming yang terjadi dari awal pengamatan sampai
hari ke-5 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tinggi Creaming (cm)


HLB Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
(Senin) (Selasa) (Rabu) (Kamis) (Jumat)

5 2,5 2,5 2,5 2,4 2,2

6 2,9 2,8 2,7 2,7 2,5

7 2,5 2,3 2,3 2,2 2,0

8 3,3 3,2 3,2 3,2 3,0

9 3,1 3,0 2,9 2,9 2,5

10 3,9 3,8 3,5 3,5 3,2

11 3,4 3,0 2,4 2,2 1,9

12 3,0 2,8 2,5 2,1 1,6

13 2,4 2,1 1,9 1,9 1,8


Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa semua emulsi yang dibuat ternyata tidak
stabil karena terjadi creming pada semua tabung sedimentasi. Walaupun oleh beberapa
peneliti creaming tidak dipertimbangkan sebagai ketidakstabilan, namun creaming
berpotensi terhadap terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna. Jadi,
semakin tinggi creaming yang terjadi, semakin besar pula potensi fase dalam untuk
bergabung secara sempurna.

Dari data di atas yang terlihat dapat juga dijelaskan secara lebih terperinci satu
per satu dimulai dari emulsi I dengan nilai HLB 5 yang mengalami penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi pada hari ketiga yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,4 cm
dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi
menjadi 2,2 cm. Dari hari ke-0 sampai hari kedua tinggi emulsi dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 2,5 cm, hal ini menunjukkan bahwa pada emulsi tidak lagi
terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi I ini
mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang ditandai dengan
menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh kerapatan fase
terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada kerapatan air sehingga
endapan cenderung bergerak ke bawah. Pada emulsi I dengan nilai HLB 5 ini, energi
bebas permukaan yang dihasilkan oleh proses creaming relatif rendah karena endapan
cenderung bergerak ke bawah mendekati fase emulsi. Oleh karena itu, ketidakstabilan
emulsi yang disebabkan oleh proses creaming ini dapat segera dikembalikan dalam
bentuk kestabilannya dengan pengocokan yang tidak terlalu kuat ( emulsi cenderung
stabil ).
Pada emulsi II dengan nilai HLB 6, mengalami peristiwa yang sama dengan
emulsi I yang memiliki nilai HLB 5 yaitu mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi II ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,9 cm menjadi 2,8 cm, hari kedua terjadi penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,8 cm menjadi 2,7 cm, dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,7 cm menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2
sampai hari ke-3 tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,7 cm, hal ini
menunjukkan bahwa pada emulsi dengan HLB 6 sama dengan emulsi pada HLB 5
yaitu emulsi tidak lagi terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang
terbentuk pada emulsi I ini mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang
ditandai dengan menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh
kerapatan fase terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada
kerapatan air sehingga endapan cenderung bergerak ke bawah.
Pada emulsi III dengan nilai HLB 7, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,3 cm, hari ketiga terjadi penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,3 cm menjadi 2,2 cm, dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 2,0 cm . Dari hari ke-1
sampai hari ke-2 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,3 cm.
Pada emulsi IV dengan nilai HLB 8, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IV ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,3 cm menjadi 3,2 cm, dan pada hari keempat juga terjadi
penurunan tinggi creaming dari 3,2 cm menjadi 3,0 cm . Dari hari ke-1 sampai hari
ke-3 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 3,2 cm.
Pada emulsi V dengan nilai HLB 9, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi V ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,1 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm menjadi
2,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,9 cm
menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 2,9 cm.
Pada emulsi VI dengan nilai HLB 10, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VI ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,9 cm menjadi 3,8 cm, pada hari kedua dari 3,8 cm menjadi
3,5 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 3,5 cm
menjadi 3,2 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 3,5 cm.
Pada emulsi VII dengan nilai HLB 11, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VII ini penurunan tinggi creaming terjadi
pada hari pertama yaitu dari 3,4 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm
menjadi 2,4 cm, pada hari ketiga dari 2,4 cm menjadi 2,2 cm dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 1,9 cm. Pada emulsi
dengan HLB 11 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami
perubahan tinggi creaming.
Pada emulsi VIII dengan nilai HLB 12, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VIII ini penurunan tinggi creaming terjadi
pada hari pertama yaitu dari 3,0 cm menjadi 2,8 cm, pada hari kedua dari 2,8 cm
menjadi 2,5 cm, pada hari ketiga dari 2,5 cm menjadi 2,1 cm dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,1 cm menjadi 1,6 cm. Pada emulsi
dengan HLB 12 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami
perubahan tinggi creaming.
Pada emulsi IX dengan nilai HLB 13, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IX ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,4 cm menjadi 2,1 cm, pada hari kedua dari 2,1 cm menjadi
1,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 1,9 cm
menjadi 1,8 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 1,9 cm.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa, emulsi dengan nilai HLB 5, 6, dan 8
merupakan emulsi yang paling stabil karena memiliki laju creaming yang sangat kecil
sehingga tinggi creaming tidak berubah dalam beberapa hari. Sedangkan untuk emulsi
dengan nilai HLB 10,11,dan 12 merupakan emulsi yang paling tidak stabil karena
memiliki laju creaming yang sangat besar, karena sebagian besar terjadi perubahan
tinggi creaming setiap harinya. Namun jika dibandingkan antara emulsi dengan nilai
HLB 10,11,dan 12, yang paling tidak stabil adalah emulsi dengan HLB 11, sebab laju
penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming di hari percobaan sebesar 3,4
cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.

Jadi bila diurut, laju kestabilan emulsi dari kesembilan sample emulsi adalah
sebagai berikut

Emulsi I < Emulsi IV < Emulsi II < Emulsi III < Emulsi V < Emulsi IX < Emulsi VI <
Emulsi VIII < Emulsi VII

Walaupun emulsi I memiliki selisih tinggi creaming awal percobaan dengan


tinggi akhir hasil pengamatan hari ke-4 yang sama yaitu 0,3 cm, tetapi laju emulsi I
lebih kecil daripada laju emulsi IV dengan kata lain emulsi I lebih stabil daripada
emulsi IV, sebab tinggi creaming pada emulsi I tidak mengalami perubahan atau tetap
pada hari ke-0 hingga hari ke-2,sedangkan pada emulsi IV terjadi perubahan creaming
pada harike-1 baru kemudian konstan hingga hari ke-3 dan mengalami lagi penurunan
pada hari ke-4.

Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak


sesuai, selain itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi
tidak stabil. Penambahan air secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi
pembentukan emulsi yang tidak stabil.
• Pengaruh emulgator yang tidak sesuai
Setiap senyawa memiliki karakteristik tertentu dalam suatu emulgator. Dalam
hal ini minyak dengan air, dan emulgator yang dipakai adalah gliserin dan tween 80.
Saat praktikum terjadi penggantian emulgator yang sebelumnya menggunakan span
kemudian diganti dengan giserin. Hasil yang maksimal dalam emulsifikasi ini apabila
minyak dicampur dengan span, tetapi secara farmasi fisik gliserin tidak berbeda jauh
dengan span walaupun tidak maksimal.
• Pengaruh suhu
Dalam proses emulsifikasi ini terjadi kesalahan persepsi dimana saat proses
pengadukan berakhir emulsi langsung dituangkan ke dalam tabung sedimentasi.
Seharusnya suhu dituhunkan secara perlahan – lahan, baru dimasukkan ke dalam
tebung sedimentasi.
• Penambahan air
Saat penambahan air ke dalam gliserin harus dilakukan sedikit demi sedikit
agar air yang diaduk nanti lebih merata, namun dalam praktikum ini air langsung
dicampur ke dalam gliserin. Hal ini dapat menyebabkan gliserin sedikit menggumpal
dan distribusinya tidak merata.

VII. Kesimpulan

1. Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamika tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi
sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. Sistem ini umumnya distabilkan dengan
emulgator.
2. Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang
berbeda-beda di dalam emulsi.
3. Emulsi dengan bahan air dan minyak kelapa menggunakan emulgator Tween dan
gliserin dengan HLB 5,6,7,8,9,10,11,12, dan 13 tidak stabil karena mengalami
creaming, dimana creaming yang terbentuk mengarah ke atas.
4. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling tidak stabil adalah emulsi
dengan HLB 11, sebab laju penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming
di hari percobaan sebesar 3,4 cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.

5. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling stabil adalah emulsi
dengan HLB 5, emulsi IV, sebab tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 5 tidak
mengalami perubahan atau tetap pada hari ke-0 hingga hari ke-2.

6. Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang tidak


sesuai, selain itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan emulsi menjadi
tidak stabil. Penambahan air secara langsung dalam campuran juga mempengaruhi
pembentukan emulsi yang tidak stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Andre. 2009. Tugas Kuliah (Emulsi dan Suspensi)


Available at : http://andre774158.wordpress.com/
Opened at : 29 November 2009

Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Gajah Mada University Press : Yogyakarta

Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Yogjakarta : Gadjah Mada
University Press

Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen kesehatan RI

Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Anonim c. 2009, Emulsi


Available at : http://www.perfspot.com/
Opened at : 28 november 2009

Anonim d.2008. Sifat-Sifat Koloid-Emulsi


Available at : http://kimia.upi.edu/
Opened at : 28 november 2009

Anonim e. 2009. Emulsi _ BLoG kiTa


Available at : http://blogkita.info/
Opened at : 28 November 2009

Ansel, Howard C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta : Universitas Indonesia
Press

Dinda. 2008. Emulsi


Available at : http://medicafarma.blogspot.com/
Opened at : 27 November 2009

Ibnuhayyan. 2008. Emulsi


Available at : http://ibnuhayyan.wordpress.com/
Opened at : 28 november 2009

Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Jurusan Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana

Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Laboratorium
Farmasi Fisik, Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Udayana

You might also like