You are on page 1of 7

Alat Batu

Dalam konteks perkembangan alat-alat batu tingkat Plestosen di Indonesia dan daerah-daerah
sekitar Asia Tenggara, alat serpih sering kali ditemukan bersama-sama dengan kapak
perimbas atau alat batu masif lainnya. Di beberapa tempat alat serpih merupakan unsur yang
dominan yang terkadang merupakan unsur pokoknya. Alat serpih yang ditemukan di Gua
Tabon (Palawan) dan Gua Niah (Serawak) diperkirakan berlangsung sekitar 30-40 ribu tahun
yang lalu, yakni pada tingkat akhir Plestosen.

Karena alat serpih ini sering kali ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas dan
kapak genggam, maka alat serpih diperkirakan berada pada zaman Paleolitikum. Dilihat dari
letak persebaran alat serpih ternyata tidak jauh berbeda dengan persebaran alat zaman
Paleolitikum lainnya, di mana semua alat itu tersebar di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Perkembangan Alat Serpih di Indonesia

Di Indonesia alat serpih ditemukan pada tingkat yang lebih tua, yaitu pada akhir Plestosen
Tengah atau permulaan Plestosen Atas. Tempat penemuan yang sangat penting di Indonesia
mengenai alat serpih adalah Punung, Sangiran, dan Ngandong di Jawa; Cabbenge di Sulawesi
Selatan; Mengeruda di Flores; serta Gassi Liu dan Sagadat di Timor. Selain itu alat ini
ditemukan di Lahat (Sumatra Selatan), Gombong (Jawa Tengah), dan beberapa tempat di
Timor sebagai unsur minor dalam satu konteks dengan kapak perimbas.
Tradisi alat serpih menghasilkan perkakas-perkakas yang berbentuk sederhana dengan
memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Bahan batuan yang umum digunakan untuk
membuat alat ini adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endap.

Alat serpih yang ditemukan bersama-sama pekakas masif dilembah Kali Baksoko, Gede,
Sunglon, dan Sirikan di dekat Punung merupakan unsur yang penting pula dari Budaya
Pacitan, terbukti dari kehadiran jenis perkakas ini yang melebihi separuh dari jumlah alat-alat
batu yang ditemukan. Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan besar (antara 4-10 cm), dan
rata-rata menunjukan kerucut pukul yang jelas. Sesuai dengan bentuk-bentuknya, alat-alat
tersebut digunakan sebagai penggaruk atau serut, gurdi, penusuk, pisau. Sebagian alat dan
bilah menunjukan teknik pembuatan yang telah maju, dengan penyiapan bentuk-bentuk alat
secara teliti sebelum dilepaskan dari batu intinya sehingga pada sejumlah alat tampak faset-
faset dari dataran pukulnya (teknik pseudo Levallois). Di dalam konteks tradisi alat serpih
tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah dari Punung ini tergolong maju.

Kondisi Sosial Masyarakat


Berdasarkan alat-alat yang ditemukan, masa berburu dan mengumpulkan makanan, alat
serpih termasuk pada masa Palaeolitikum atau Zaman Batu Tua. Ciri utama dari zaman ini,
adalah alat-alat dibuat sangat sederhana, kasar dan tidak halus karena belum banyak
mengenal penghalusan atau pengasahan. Jenis manusia pendukung masa Palaeolitikum
adalah jenis Pithecantrhopus.

Manusia pada masa ini sangat tergantung pada sumber daya alam. Kebutuhan hidup
mereka ada pada alam. Agar dapat bertahan hidup, manusia pada masa ini harus berburu dan
mengumpulkan makanan. Untuk itu tidak mengherankan jika mereka hidupnya berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang ada sumber makanan.

Binatang yang dapat mereka buru, antara lain babi, rusa, burung atau menangkap ikan di
sungai, danau dan pantai. Perburuan yang mereka lakukan di hutan-hutan, di sekitar daerah di
mana mereka tinggal. Binatang yang berhasil ditangkap biasanya mereka bakar sebelum
dimakan. Dengan demikian pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia pada
masa ini sudah mengenal api. Selain berburu, mereka juga mengumpulkan umbi-umbian atau
tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan.

Guna menghadapi tantangan alam yang begitu keras, terutama dari serangan binatang buas
mereka perlu bekerja sama. Tidak mengherankan jika hidup mereka pada masa ini
berkelompok. Dengan berkelompok akan memudahkan mereka untuk menaklukkan binatang
buas atau binatang buruan. Hidup berkelompok memudahkan perburuan dan keamanan.
Contoh alat-alat yang ditemukan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, antara
lain alat-alat serpih atau disebut dengan flakes. Bentuk alat ini sederhana dan dibuat kecil-
kecil sekali dengan ukuran antara 10-20 cm. Berdasarkan bentuknya, alat-alat serpih ini
berfungsi sebagai pisau, gurdi atau penusuk.

Alat Tulang

Dua hal yang sangat menentukan kehidupan manusia pada zaman berburu adalah alat-alat
seperti alat dari tulang dan api. Pembuatan peralatan dari tulang merupakan bagian tersendiri
yang makin lama-makin maju ke arah penyempurnaan, baik bentuk maupun fungsinya. Alat-
alat yang digunakan pada masa ini, termasuk alat dari tulang, ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dalam perburuan. Peralatan yang terbuat dari tulang ternyata tidak hanya
ditemukan di Indonesia, namun banyak ditemukan di luar Indonesia.

Perkembangan Kebudayaan Alat Tulang


Raymond Dart berpendapat bahwa alat yang pertama kali digunakan oleh Australopithecus
bukan dari batu, melainkan dari kayu maupun tulang. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya data di situs perburuan yang menunjukkan adanya fragmen tulang
Australopithecus yang memunyai konteks temuan dengan tulang singa dan alat-alat berupa
lancipan tulang serta tanduk. Diperkirakan alat tersebut berfungsi sebagai penusuk karena
bagian distalnya yang meruncing, diperkeras dengan pembakaran. Selain itu, juga ditemukan
fragmen tulang kaki yang berfungsi sebagai alat pemukul.

Kapak Perimbas

Zaman Paleolitikum berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu, manusia pada masa itu
harus berjuang untuk kelangsungan hidupnya. Perjuangan adalah sebuah keharusan yang
harus ditempuh oleh manusia demi tercapainya sebuah kelangsungan hidupnya. Alam ini
bukan musuh yang harus di jauhi, melainkan sebuah tantangan yang harus menjadi kawan
dalam hidup ini. Hidup mengembara sebagai pemburu, penangkap ikan, dan pengumpul
bahan makanan seperti buah-buahan, umbi-umbian, dan bahan makanan lainnya, menjadi
sebuah kebiasaan sehari-hari mereka, berusaha mengumpulkan makanan sebanyak-
banyaknya.

Untuk menjawab sebuah tantangan alam dan menjadikanya kawan, tentunya manusia
harus terus berinovasi agar tidak kalah cepat dengan perubahan alam. Manusia pada zaman
prasejarah khususnya zaman Paleolitikum berusaha melakukan semua itu dengan melakukan
berbagai inovasi, terutama dalam hal peralatan hidup. Salah satu peralatan hidup yang
berhasil mereka buat, dengan tujuan untuk mempermudah dalam berbagai aktivitas hidupnya,
seperti dalam berburu, menangkap ikan, mengumpulkan makanan adalah kapak perimbas.

1. Kemunculan Kapak Perimbas


Peradaban manusia purba terbagi dalam beberapa masa, yaitu masa berburu dan
mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, serta masa perundagian. Setiap masa
memiliki ciri khas tersendiri. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia
purba telah mengenal alat-alat berburu seperti kapak perimbas, alat-alat serpih, dan alat-alat
tulang. Pada masa bercocok tanam, manusia purba telah mengenal sistem kepercayaan dan
telah mampu membuat bangunan besar dari batu (Megalit), berbagai alat dari batu, gerabah,
dan perhiasan. Pada masa perundagian, manusia purba telah mengenal kehidupan sosial
ekonomi dan mampu menghasilkan berbagai benda dari perunggu.

Selain di Indonesia, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kapak perimbas ini
banyak ditemukan di wilayah luar Indonesia, khususnya kawasan Asia Tenggara dan Asia
Timur. Kapak perimbas diperkirakan sebuah peralatan awal yang dibuat manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara
merampingkan pada suatu permukaan batu untuk memperoleh tajaman. Bentuk alat ini
meruncing, dan kulit batu masih melekat pada pangkal alatnya sebagai pemegang. Pada
umumnya alat ini dipersiapkan dari sebuah serpihan besar. Bentuk alat ini mendekati bujur
sangkar atau persegi empat panjang. Tajamnya dipersiapkan melalui penyerpihan terjal pada
permukaan alas menuju pinggiran batu (Poesponegoro, 2008: 96).
Tajam kapak perimbas, yang berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus,
diperoleh melalui pemangkasan pada salah satu sisi pinggiran batu. Kulit batu masih melekat
pada bagian besar permukaan batu (Poesponegoro, 2008: 96).

Melihat seluruh penemuan di wilayah Punung, dan dari hasil-hasil penggolongan alat-alat
Paleolitik yang tercapai, tampaklah bahwa jenis kapak perimbas menduduki tempat utama di
antara alat-alat yang masif. Kapak perimbas budaya Pacitan oleh Heekeren dibagi dalam
beberapa jenis atas dasar ciri-ciri pokok yang sudah sebagai landasan penggolongan
Movious. Jenis-jenis penggolongan itu adalah:

• Tipe setrika (iron-heater chopper), berciri: panjang menyerupai setrika,


berpenampang lantang plano-konveks, dan memperlihatkan penyerpihan yang
memancang dan tegas.
• Tipe kura-kura (tortoise ), berciri: beralas membulat dengan permukaan atas yang
cembung dan meninggi.
• Tipe serut samping (side scraper), berciri: berbentuk tidak teratur dan tampak gelap,
tajamnya dibuat pada sebelah sisi.

2. Persebaran Kapak Perimbas

a. Luar Indonesia

Peralatan prasejarah yang sangat menonjol di Indonesia pada masa Paleolitikum adalah
kapak perimbas. Kapak ini merukan jenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif.
Manusia pendukung dari kapak perimbas ini diduga adalah Pithecanthropus. Bukti-bukti
pendukung dari kebudayaan ini ditemukan pula di Cina, yaitu Chou-kou-tien, dan kapak ini
ditemukan bersamaan dengan fosil manusia Pithecanthropus pekinensis.

Mengenai persebaran kebudayaan kapak perimbas telah dilakukan penelitian sejak tahun
1397 dan 1398 di Myanmar. Ada pun tempat persebaran kapak perimbas adalah Thailand,
Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Kalau dilihat dari sudut teknologinya,
ternyata kapak perimbas yang ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan dengan yang
ditemukan di negara-negara lain.

Movius berpendapat bahwa di Asia Tenggara dan Asia Timur berkembang suatu budaya
Paleolitik yang berbeda dengan corak yang berkembang di daerah sebelah barat seperti
Eropa, Afrika, Asia Barat, dan sebagian India, khususnya mengenai bentuk dan teknik alat-
alat batunya. Hasil penemuan menunjukkan kalau teknik pembuatan yang ada di Asia Timur
dan Asia Tenggara adalah monofasial, yaitu pengasahan alat-alat batu dilakukan pada salah
satu permukaan saja. Kebudayaan kapak perimbas digolongkan sebagai tingkat awal budaya
batu di Asia Timur dan masa perkembangannya pada umumnya ditentukan sejak kala
Plestosen Tengah, sesuai dengan keadaan geografisnya.

Perimbangan tipe-tipe alat di daerah persebaran Asia Tenggara dan Asia Timur tidak sama.
Ada tipe-tipe tertentu yang menonjol daripada tempat lain. Yang menonjol dalam kelompok
lokal budaya Paleolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara adalah tipe kapak perimbas dan
kapak penetak. Begitu pula jenis batuan yang digunakan untuk membuat kapak perimbas
berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Misalnya, fosil kayu banyak dipakai
di Myanmar, kuarsa di Punjab, Cina, dan Malaysia, sedangkan kapur kersikan dan tufa
kersikan banyak dipakai di Indonesia.

b. Di Indonesia

Salah satu ciri khas dari kehidupan prasejarah Indonesia adalah berkesinambungan dari
satu zaman ke zaman berikutnya. Fenomena seperti ini terus berkembang dari mulai zaman
kehidupan awal manusia sampai zaman sekarang. Bukti adanya kapak perimbas
menunjukkan adanya sebuah kehidupan pada zaman Paleolitikum, zaman yang diperkirakan
sebagian bumi masih diselimuti es.

Keberadaan kapak perimbas di Indonesia ternyata memiliki persebaran yang luas dan
khusus berkembang di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan batuan yang sesuai
untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Penelitian mengenai tradisi paleolitik di Indonesia
dimulai pada 1935, ketika Koenigsswald menemukan alat-alat batu di daerah Punung
(Pacitan), di dasar Kali Baksoko. Alat-alat tersebut bercorak kasar dan sederhana teknik
pembuatannya. Koenigswald beranggapan bahwa kebudayaan Paleolitik yang tersebar ada di
Pacitan sama dengan kebudayaan yang berkembang di Eropa pada zaman awal Paleolitik.
Temuan kapak perimbas di Pacitan ini merupakan sebuah kebudayaan terawal di Indonesia.

Perhatian terhadap kebudayaan kapak batu dari zaman Paleolitik di Indonesia mulai
meluas. Dan penemuan-penemuan baru terus terjadi, seperti; Sumatra Selatan (lahat),
Lampung (Kalianda), Kalimantan Selatan (Awangbangkal), Sulawesi Selatan (Cabbege), Bali
(Sembiran, Trunyan), Sumbawa (Batutring), Flores (Wangka, Maumere, Ruteng), dan Timor
(Atambua, Kefanmanu, Noelbaki). Daerah Punung ternyata daerah terkaya akan kapak
perimbas sehingga sekarang merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.

3. Keadaan Manusia Pendukungnya


Kehidupan zaman batu ini telah berlangsung sejak 600.000 tahun yang lalu. Selama kurun
waktu tersebut manusia hanya menggunakan alat-alat yang paling dekat dengan lingkungan
kehidupan mereka, seperti kayu, bambu, dan batu. Mereka menggunakan batu-batu tersebut
untuk berburu maupun untuk membersihkan makanan. Batu-batu tersebut juga mereka
gunakan sebagai kapak yang digenggam untuk memotong kayu atau membunuh binatang
buruan. Kehidupan manusia pendukung zaman ini masih nomaden atau berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain. Kepindahan mereka bergantung dari tersedianya bahan-bahan
makanan terutama binatang buruan. Jadi, inti kegiatan hidup harian manusia pendukung
kebudayaan kapak perimbas (zaman Paleolitikum) adalah mengumpulkan bahan makanan
untuk dikonsumsi saat itu. Kegiatan seperti itu disebut peradaban food gathering atau
pengumpul makanan.

Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman
Paleolitikum adalah Pithecanthropus erectus,
, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis. Fosil ini ditemukan di aliran Sungai
Bengawan Solo.
http://www.wacananusantara.org/

You might also like