You are on page 1of 18

RESUME KDRT DAN HAM

BAB 1
PERLINDUNGAN HUKUM, HAK ASASI DAN UUD 1945

A. PERLINDUNGAN HUKUM
Istilah perlndungan, mengacu kepada ketentuan pasal 1 angka 4 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004, adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman
kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan.
Undangan-undang Nomor 23 Tahun 2004, meliputi:
1. Suami, istri, anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan dan perwakilan yang menetap dalam rumah tangga dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetao dalam rumah tangga
tersebut. Dalam arti bahwa, KDRT tidak hanya dapat dialami oleh perempuan saja,
tetapi juga bias terjadi pada suami, anak, pembantu rumah tangga yang ada dalam
lingkup rumah tangga.

B. HAK ASASI MANUSIA


Jan Materson memberikan pengertian HAM sebagai hak-hak yang melekat pada
manusia yang tanpa dengannya mustahil dapat hidup sebagai manusia. Dalam pengertian
yang lainnya, secara sederhana HAM dapat diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki
manusia yang dibawanya sejak lahir yang berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai
ciptaan Tuhan YME tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapapun juga.
Philipus M Hadjon, mengelompokan pemikiran tentang HAM kedalam 3 kelompok yang
didasarkan atas idea atau gagasan yaitu “political and ideological” sebagai berikut:
1. Kosep Barat. Menurut konsep barat, HAM bersumber pada hak-hak kodrat (natural
rights/jus naturalis) yang mengalir dari hukum kodrat. Aspek dominan dalam konsep
barat tentang HAM menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada
kodrat manusia sebagai individu. Hak tersebut berada diatas Negara dan diatas
semua organisasi politik dan sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Kosep
ini sering dilontarkan sebagai kritik bahwa konsep barat tentang HAM adalah konsep
yang individualias sifatnya.
2. Konsep Sosial. Konsep social tentang HAM bersumber pada ajaran Karl Max dan
Frederieck Engels. Sosialisme tidak menekankan hak terhadap masyarakat tetapi
menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Atas dasar itu konsep sosialisme Karl
Marx mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak-hak politik dan hak-hak sipil,
mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan. HAM bukanlah bawaan kodrat
manusia seperti ajaran hukum kodrat, tetapi hak warga Negara yang bersumber dari
Negara, dalam pengertian bahwa negaralah yang menetapkan apa yang merupakan
hak.
3. Konsep dunia ketiga. Menurut H Gros Espiel, diantara kelompok dunia ketiga
terdapat 3 kelompok yaitu kelompok pertama dipengaruhi oleh konsep sosialis
Marxisme, kelompok kedua dipengaruhi oleh konsep barat dan kelompok ketiga
adalah Negara-negara yang karena falsafah hidupnya, ideology dan latar belakang
sejarahnya menerapkan suatu konsep tersendiri tentang HAM.

C. UUD 1945
Indonesia ada di posisi mana dalam pengelompokan pemikiran tentang HAM tersebut?
Apabila ditelusuri dari pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945, maka diketahui bahwa
konsep HAM sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 ternyata bersumber dari Pancasila
sebagai dasar ideoogi dan dasar falsafah Negara. Oleh karena itu pengakuan terhadap
harkat dan martabat manusia (Indonesia) bukanlah hasil dari suatu perjuanga bertahun-
tahun tetapi pengakuan itu secra intrinsic melekat pada Pancasila yang tercermin dalam sila-
silanya.
Sumber HAM dalam kajian ini adalah Pancasila, bukan konsep barat maupun konsep
sosialis, oleh karena itu apabila dikaitkan dengan pengelompokan konsep HAM yang
berlaku, Indonesis termasuk dalam kelompok dunia ketiga karena menerapkan konsep
tersendiri tentang HAM yaitu Pancasila.
Pengakuan terhadap HAM, dalan tataran teoritis sesungguhnya merupakan suatu
perwakilan dari konsep Negara Hukum pada suatu Negara. Menurut Sri Soemantri M, ada 4
unsur penting Negara Hukum yaitu:
1. Bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas kewajiban harus
berdasarkan atas hukum, atau peraturan perundangan-undangan.
2. Adanya jaminan terhdap hak-hak asasi manusia (dan warga Negara)
3. Adanya pembagian kekuasan (distribution of power) dalam Negara
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle)
BAB 2
FUNGSI DAN EFEKTIFITAS HUKUM DI MASYARAKAT

A. FUNGSI HUKUM DI MASYARAKAT


Menurut Soerjono Soekanto, ada 3 macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal
ini berlakunya hukum tersebut biasanya disebut “gelding (bahasa belanda) atau “geltung”
(bahasa jerman). Entang hal berlakunya hukum ada anggapan sebagai berikut:
1. Hukum berlaku yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi tinggkatnya, atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau
apabila menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi dan akibatnya.
2. Hukum berlaku sosiologis apabila kaidah tersebut efektif,artinya kaidah tersebut
dapat atau tidak dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun diterima atau tidak
diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena
diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan)
3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
Agar hukum dapat berfungsi, maka harus memenuhi 3 unsur tersebut diatas karena:
1. Bila hukum berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut
merupakan kaidah mati (“dobe rege”)
2. Kalau hanya berlaku secara sosiologis (dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah
tersebut hanya menjadi aturan pemaksa (“dwangmaafregel”)
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan (“ius constituendum”)
Fungsi hukum dalam masyarakat secara tradisional sesungguhnya berkaitan erat
dengan tujuan hukum. Ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang
teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta obyektif yang
berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.
Berdasarkan pada tujuan tersebut, maka dapat dinyatakat bahwa fungsi hukum adalah
untuk menjamin ketertiban dan menciptakan kepastian hukum. Namun demikian dalam
perkembangannya, fungsi hukum ikut mengalami perkembangan, hukum tidak hanya
berfungsi untuk menciptakan kedua hal tersebut, tetapi juga berfungsi sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Fungsi ini didasarkan atas anggapan ketereturan dan tetertiban
dalam usaha pembangunan dan pembaharuan merupakan suatu yang diinginkan atau
bahkan dipandang mutlak perlu fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
juga didasarkan atas anggapan lain bahwa dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang
bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.

B. EFEKTIFITAS HUKUM DI MASYARAKAT


Efektivitas hukum sesungguhnya berkaitan erat dengan hasil atau operasioalnya hukum
tersebut telah berjalan dengan baik atau sesuai dengan yang telah direncanakan ataukah
tidak.
Menurut Selo Sumardjan, efektivitas hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor
sebagai berikut:
1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga
manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat
mengetahui, menghargai, mangakui dan mentaati hukum.
2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada system nilai-nilai yang berlaku. Artinya
masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum
karena compliance, indentification, internalization atau kepentingan-kepentingan
mereka terjamin pemenuhannya.
3. Jangka waktu menanam hukum, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana
usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.
Apabila suatu hukum yang berlaku di masyarakat dirasakan tidak efektif, maka terdapat
beberapa kemungkinan yang akan terjadi, antara lain disebabkan oleh beberapa factor,
yaitu:
1. Peraturan tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masyarakat pada
umumnya
2. Materi peraturan tidak tegas batasannya/terlalu bersifat umum
3. Perubahan-perubahan politik praktis (peta politik yang ada)
BAB 3
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAM

A. HAK ASASI MANUSIA


Istilah hak asasi manusia dalam bahasa Inggris dikenal dalam dua istilah yaitu:
1. Human rights, yang diartikan dengan hak asasi manusia
2. Fundamental rights, yang diartikan dengan hak dasar manusia
Dalam bahasa Belanda istilah hak asasi manusia juga dikenal dengan dua istilah yaitu:
1. Mesenrechten, menunjuk kepada istilah human rights (hak asasi manusia) yang
merupakan bagian dari hukum internasional.
2. Grondrechten, menunjuk kepada istilah fundamental rights (hak asasi manusia).
Istilah ini dipergunkan dalam lapangan hukum tata Negara. Oleh karena itu ahli
hukum tata Negara Belanda dalam berbicara menganai HAM lebih mempergunkan
istilah Gronrenchten.
Dalam bahasa Perancis, istilah HAM dikenal dengan nama:
1. Droits de I’homme, istilah ini menunjuk kepada human rights (HAM)
2. Droits fundamentaux, istilah ini menunjuk kepada fundamental rights (hak asasi
manusia)
Menurut Louis Henkin dalam “The Right of Man Today” mengatakan bahwa:
“….hak-hak asasi manusia adalah tuntutan-tuntutan yang dipertahankan yang di kenal
“sebagai hak”, bukan tuntutan-tutuntan atas cinta atau rahmat atau persaudaraan atau
cinta kasih; orang tidak harus mendapat atau menerimanya. Tutuntan-tuntutan ini bukan
hanya merupakan aspirasi atau pernyataan=pernyataan moral tetapi merupakan tutuntan-
tutntutan hukum berdasarkan hukum tertentu yang dapat diterapkan.

B. KONSEP HAM BERDASARKAN PANCASILA


Pancasila pada hakekatnya terdiri dari lima sila, dan kelima sila tersebut merupakan
suatu rangkaian yang tersusun secara sistematis logis. Sila-sila Pancasila tersebut, melalui
TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
kemudian dijabarkan dalam butir-butir nilai pedoman penghayatan dan pengamalan
Pancasila yaitu terdiri dari:
1. Sila kesatu, yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung butir-butir
nilai sebagai berikut:
a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
b. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai
dengan adama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusian
yang adil dan beradab
c. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk
agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
d. Membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa
e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyakut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
dipercayai dan dinyakininya
f. Mengembangkan sika saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing
g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain
2. Sila kedua, yang berbunyi Kemanusian yang Adil dan Beradab, yang mengandung
butir-butir nilai sebagai berikut:
a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa
b. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan social, warna kulit dan sebagainya
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia
d. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira (mawas diri)
e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain
f. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
g. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
h. Berani membela kebenaran dan keadilan
i. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia
j. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa
lain
3. Sila ketiga, yang berbunyi Persatuan Indonesia, yang mengandung butir-butir nilai
sebagai berikut:
a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan
bangsa dan Negara sebagai kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan
golongan
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan Negara dan bangsa apabila
diperlukan
c. Mengembang rasa cinta tanah air dan bangsa
d. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia
e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social
f. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika
g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa
4. Sila keempat, yang berbunyi Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan, yang mengandung butir-butir nilai sebagai
berikut:
a. Sebagai warga Negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
b. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain
c. Mengutamakan musyawarah untuk mencapa mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan
d. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah
e. Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi atau golongan
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjunhg tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-
nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama
h. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan permusyawaratan
5. Sila kelima, yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang
mengandung butir-butir nilai sebagai berikut:
a. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan
b. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
d. Menghormati hak orang lain
e. Suka memberikan pertolangan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri
f. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain
g. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
bergaya hidup mewah
h. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum
i. Suka bekerja keras
j. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama
k. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
keadailan social
BAB 4
KAJIAN YURIDIS TINDAK KDRT

A. MENURURT UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHT


Penelusuran terhadap pasal-pasal yang diatur dalam Universal Declaration of Human
Rights, ternyata menunjukkan bahwa dalam deklarasi ini tidak ditemukan pengaturan yang
secara khusus memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindak
KDRT, namun demikian terdapat beberapa pasal dalam deklasi tersebut yang dapat
dijadikan sebagai landasan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan dari
tindak KDRT, meliputi:
1. Pasal 1 yang menyebutkan bahwa “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan tindakannya terhadap
satu sama lain harus dalam semangat persaudaraan”.
2. Pasal 3 yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan
dan keselamatan sebagai individu”.
3. Pasal 5 yang menyebutkan bahwa “Tidak seorangpun boleh disiksa atau
diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau secara merendahkan
martabat manusia”.

B. MENURUT HUKUM UUD 1945


Berkaitan dengan hak unuk mendapatkan perlindungan hukum atas adanya KDRT, ada
beberapa pasal dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan sebagai landasan jaminan
perlindungan hukum atas adanya KDRT. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 28 A, Pasal 28 B,
ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (1), (2) dan (4). Uraian
terhadap pasal-pasal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pasal 28 A UUD 1945, menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
2. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945, menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
3. Pasal 28 D ayat (1) yang menybutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
4. Pasal 28 G ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”.
5. Pasal 28 G ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan
atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari Negara lain”.
6. Pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
7. Pasal 28 I ayat (2) yang menyebutkan bahwa”Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun yang berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.
8. Pasal 28 I ayat (4) menyebutkan bahwa”Perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara terutama
pemerintah”.

C. MENURUT KETETAPAN MPR-RI NOMOR XVII/MPR/1998


Berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan oleh Ketetapan MPR-RI ini dari
tindak KDRT, setidaknya dapat dilihat dari beberapa pasal yang terdapat Piagam HAM yang
merupakan satu kesatuan dari ketetapan MPR-RI tersebut, yaitu meliputi Pasl 1, Pasal 4,
Pasal 7, Pasal 22, dan Pasal 25. Uraian terhadap pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1, yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
2. Pasal 4, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih saying
untuk pengembangan pribadinya, memperoleh dan mengembangkan pendidikan
untuk meningkatkan kualitas hidunya”.
3. Pasal 7, yang berbunyi “Setiap orangberhak atas pengakuan, jaminan perlindungan
dan perlakuan hukum yang adil”.
4. Pasal 22, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.
5. Pasal 25, yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bebas dai penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”.

D. MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA


Penelusursan terhadap ketentuanyang diatur dalam KUHP menunjukkan bahwa
masalah perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindak KDRT, tidak diatur secara
spesifik dala KUHP ini. Namun demikian setidaknya ada beberapa pasal dalam KUHP yang
dijadikan adanya bentuk pengaturan tindak kekerasan terhadap perempuan ini, pasal-pasal
tersebut, yaitu Pasal 351, 353, 354, 355 dan 356 KUHP. Isi dari pasal-pasal tersebut sebagai
berikut:
1. Pasal 351 KUHP, berbunyi:
a. Penganiayaan diancam dengan pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara palinga lama tujuh
tahun.
d. Dengan penganiayaan disamakan segaja merusak kesehatan.
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tindak pindana.
2. Pasal 353 KUHP, berbunyi:
a. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan
pidana paling lama lama tujuh tahun.
c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
3. Pasal 354 KUHP, berbunyi:
a. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama depalan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibakan kematian yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
4. Pasal 355 KUHP, berbunyi:
a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana paling lama dua belas tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
5. Pasal 356 KUHP, berbunyi:
a. Bagi yang melakukan kejahatan terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya
atau anaknya.
b. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri ketika atau karena
menjalakan tugas yang sah.
c. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

E. MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974


Menurut Pasal 1 UU No 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Mengacu pada pengertian perkawinan di atas, menunjukkan bahwa perkawinan
sesungguhnya merupakan suatu ikatan yang mulia karena tidak hanya bertujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal saja, tetapi juga bertujuan
untuk membentuk keluarga yang berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Atas dasar tersebut
jelas menunjukan bahwa UU no 1 Tahun 1974 sesugguhnya tidak menghendaki adanya
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.

F. MENURUT UU NOMOR 7 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI


PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI WANITA
Mengacu pada UU no 7 Tahun 1984, diketahui bahwa UU ini merupakan pengesahan
atas konversi menganai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang
merupakan hasil siding Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979, mengacu pada
dasar menimbang pada UU No 7 Tahun 1984 tersebut, diketahui bahwa pengesahan ini
sesungguhnya didasarkan atas:
1. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan,
sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konversi tersebut pada dasarnya tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundangan-
undangan Republik Indonesia.
3. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konversi tersebut pada
tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konferensi Dunia Dasawarsa PBB bagi wanita
di Kopenhagen.
Atas dasar tersebut diatas, maka konversi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, kemudian disahkan dengan undang-undang. Artinya konversi
tersebut telah menjadi hukum positif yang berlaku di wilayah Negara Indonesia.

G. MENURUT UU NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM


Hasil analisis terhadap UU No 39 Tahun 1999 menunjukkan bahwa beberapa pasal yang
dapat dijadikan sebagai landasan adanya jaminan hak bagi perumpuan untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari KDRT yaitu:
1. Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan da perlakuan hukum yang adil serta kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum”.
2. Pasal 4 yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
3. Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia
pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang
sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan hukum”.
4. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
5. Pasal 9 ayat (2) menyebutjan bahwa “Setiap orang berhak hidup tentram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”.
6. Pasal 17 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gagutan,
dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar”.
7. Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga kehomatan, martabat dan hak miliknya”.
8. Pasal 30 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas rasa aman dan
tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat susuatu”.
9. Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.
10. Pasal 58 ayat (1)) yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
orang tua atau walinya atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas
pengasuhan anak tersebut”.
11. Pasal 58 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Dalam halo rang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiaya fisk atau mental, penelataran,
perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau
pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan
pemberatan hukuman”.
12. Pasal 66 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk tidak
dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi”.
H. MENURUT UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
Pada prinsipnya tindak KDRT menurut UU No 23 Tahun 2004, merupakan bentuk tindak
pidana biasa. Artinya memberikan kewajiban kepada kepolisian untuk segera melakukan
penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya KDRT, tanpa
harus terlebih dahulu mendapatkan pangaduan baik secara lisan maupun tertulus dari
korban atau keluarga korban. Namun demikian, beberapa tindak KDRT, merupakan delik
aduan, sehingga baru dapat ditindaklanjuti oleh kepolisian setelah mendapat pengaduan
dari korban atau keluarga korban.
Proses penyedikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan berkaitan dengan
adanya tindak KDrT ini dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali yang telah ditentukan lain dalam UU No 23 tahun 2004.
Berdasarkan uraian diatas UU No 23 Tahun 2004 ini diketahui bahwa pengaturan
mengenai jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindak KDRT, jauh lebih
lengkap dan mendetail dibandingkan dengan dalam peraturan perundangan-undangan
sebelumnya. Pengaturan yang diberikan baik dalam rangka pencegahan maupun terhadap
langkah-langkah represif ketika kekerasan tersebut terjadi. Namun demikian dalam rangka
menilai efektivitas keberlakuan pengaturan UU ini, perlu dilakukan kajian lebih jauh dengan
menyandingkan pada tataran praktek melalui analisis terhadap kesiapan aparatur hukum
dan masyarakat untuk memahami dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam UU
terebut, maupun dengan kasus-kasus tindak KDRT yang terjadi di lapangan.
BAB 5
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI KDRT

A. KONSEPSI PELANGGARAN HAM


Pada asasnya ada 2 cara untuk menunjuk isi pelanggaran HAM. Rumusan pertama,
menyatakan bahwa pelanggaran HAM merupakan hukum pidana yang berlaku di Negara
anggota termasuk pelanggaran hukum yang menetapkan penyalahgunaan kekuasaan
sebagai kejahatan. Rumusan kedua, menyatakan bahwa perbuatan atau kelalaian (yang
dapat dipersalahkan kepada Negara) yang belum merupakan pelanggaran hukum pidana
nasional tetapi merupakan kaidah yang diakui secara internasional dalam kaitannya dengan
HAM.
Mengacu kepada kedua rumusan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pelanggaran
HAM sesungguhnya merupakan perbuatan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran
hukum pidana nasionala yang berlaku di dalam wilayah Negara atau kaidah-kaidah yang
diakui secara Internasional berkaitan dengan HAM.
Beberapa unsure dari KDRTyaitu:
1. Adanya perbuatan. Perbuatan ini dapat mengandung maka baik perbuatan yang
bersifat aktif maupun perbuatan yang bersifat pasif. Perbuatan yang bersifat aktif
artinya orang tersebut melakukan sesuatu yang menimbulkan dampak atau
kesengsaraan bagi orang lain. Perbuatan yang bersifat pasif artinya orang tersebut
tidak melakukan sesuatu atau diam, tetapi dengan diamnya tersebut menimbulkan
dampak atau kesengsaraan bagi orang lain.
2. Perbuatan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan. Kesengsaraan
atau penderitaan adalah dampak dari adanya perbuatan KDRT. Mengacu pada
pengertian KDRT, maka kesengsaraan atau penderitaan tersebut berbentuk fisik,
psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.
3. Perbuatan tersebut disertai dengan acaman, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secra melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B. JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM THD PEREMPUAN DARI TINDAK KDRT


Dalam tataran pelakasanaannya dengan keluarnya UU No 23 Tahun 2004 perlu
dilakukan kajian jauh apakah UU ini telah cukup memberikan jaminan perlindungan hukum
yang lebih baik bagi korban khususnya perempuan dari tindak KDRT atau belum mengacu
pada pandangan yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto, yang menyatakan bahwa
hukum dapat berfungsi apabila dapat berlaku baik secara yuridis, sosiologis maupun
filosofis, maka keberlakuan hukum tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam
rangka menentukan apakah UU No 23 Tahun 2004, dapat berjalan dengan efektif sehingga
UU ini dapat berfungsi dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap
korban khususnya perempuan dari tindak KDRT.
Tolak Ukur Yuridis
Dinyatakan berlaku secara yuridis penentuan hukumnua memenuhi:
a. Didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatnya
b. Terbentuknya menurut cara yang telah ditetapkan
c. Menunjukkan hubungan keharusan antara suatu konsidi dan akibatnya
Tiga hal diatas dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan apakah UU No 23
Tahun 2004 telah memenuhi aspek yuridis dalam pembentukannya.
Tolak Ukur Sosiologis
Secara sosiologis, hukum dapat dinyatakan berlaku apabila aturan hukum tersebut
dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasan walaupun diterima atau tidak oleh
masyarakat atau aturan hukum tersebut berlaku karena diterima atau diakui oleh
masyarakat. Mendasarkan pada pandangan sosiologis keberlakuan hukum tersebut, maka
berkaitan dengan UU No 23 tahun 2004, maka jelas dapat dinyatakan bahwa secara teroritis
kedaluatan, Negara mempunyai kewenangan untuk memberlakukan aturan hukum pada
wilayah pada negaranya. Demikian halnya dengan kewenangan untuk memberlakukan UU
No 23 Tahun 2004, Negara melalui Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
memberlakukan UU ini pada seluruh wilayah Negara Indonesia dan terhadap seluruh warga
Negara Indonesia.
Tolak Ukur Filosofis
Secara Filosofis, aturan hukum berlaku apabila sesuai dengan cita-cita hukum sebagai
nilai positif yang tertinggi. Cita hukum disini adalah nilai-nilai yang tergantung dalam
Pancasila. Pancasila dalam kedudukannya sebagia norma fundamental, maka Pancasila
berfungsi sebagai cita-cita atau idea.

You might also like