Professional Documents
Culture Documents
Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat
mengaplikasikan konsep. Siswa mengalami kesulitan matematika di kelas. Akibatnya,
siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa
mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman
sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR).
Karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment). Berkaitan dengan hal itu,
tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika realistik,
pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan
pengertian. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa
mempunyai pengertian kuat tentang konsep-konsep matematika. Dengan demikian,
pembelajaran Matematika Realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan
pengertian siswa.
Kata kunci: matematika realistik, dunia nyata, rekonstruksi konsep matematika, model-
model, interaktif.
1. Pendahuluan
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi
matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan.
Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata
skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor
matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999).
Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami
masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.
Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa
mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.
Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan
dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan
pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas
penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni,
2000).
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat
mengaplikasikan matematika Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di
kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman
anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah
dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika realistik,
pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan
pengertian.
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan
matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada
tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang
mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan
kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan
bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa
(Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur
pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep
matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal
dan vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal
diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den
Heuvel-Panhuizen,1998).
Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana “dunia
nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1 Konsep Matematisasi (De
Lange,1987) Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia
nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan
oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi
siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika
dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari
(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari
(Cinzia Bonotto, 2000)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke
matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan
formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui
penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis.
Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari
bentuk-bentuk informal siswa.
3. Pembahasan
Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-
konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas
berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan
untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika
untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang
cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap
pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
(1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi,
(2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,
(3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan
pengalamannya, dan
(4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan
atau tulis.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut
pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran
matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari
pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest,
1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya
dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru,
dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan
strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan
konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran
MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention). Menurut
Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua
pendekatan ini dikembangkan secara terpisah.
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan
contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Pecahan di SD diinterpretasi sebagai
bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian
yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang,
dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide
pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
dibawa ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi
loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan
matematika formal).
Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah
pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa
sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru
diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah
itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat gambar 02).
Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata
“bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau
sudah. Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada saat di kelas saya mengerti
penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas
saya mengerti contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal
latihan” Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa
belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti
konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang
mereka lupakan.
Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh
pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk
kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru
dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian.
Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa
pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses.
Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari
jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992). Umumnya, sejak anak-anak orang
telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari
mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola,
bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong”
yang siap diisi dengan apa saja.
Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa
yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui
sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka.
Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat
ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan
untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan
kembali.
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal
sebagai berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran.
Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan
motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa
belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma
pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang
mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika
realistik. Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan:
(1) kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-
penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory
pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan
Pustaka Acuan
Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The Construction of The Social Contex of Mathematics
Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics
Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82
Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out of school : is it possible connect these
contexts ? Exemplification from an activity in primary schools.
http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm
Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn
Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January
1996. hal. 100-106
Hiebert,J & Thomas Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding”
Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : Macmillan
Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York :
Macmillan NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA :
NCTM Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding
for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5
November 1996. hal. 603-608
Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of Realistic Situations in Developing Tools for Solving
Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf
I Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan,
Balitbang – Depdiknas