You are on page 1of 9

April 13, 2007 • 1:41 am

Pembelajaran Matematika Realistik ( RME)


Abstrak:

Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat
mengaplikasikan konsep.  Siswa mengalami kesulitan matematika di kelas.  Akibatnya,
siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa
mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman
sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR). 

Karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment). Berkaitan dengan hal itu,
tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika realistik,
pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan
pengertian.  Pembelajaran Matematika Realistik memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa
mempunyai pengertian kuat tentang konsep-konsep matematika.  Dengan demikian,
pembelajaran Matematika Realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan
pengertian siswa. 

Kata kunci: matematika realistik, dunia nyata, rekonstruksi konsep matematika, model-
model, interaktif.  

1.  Pendahuluan

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak.  Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika.  Prestasi
matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. 
Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata
skor matematika siswa tingkat 8 (tingkat II SLTP) Indonesia jauh di bawah rata-rata skor
matematika siswa internasional dan berada pada ranking 34 dari 38 negara (TIMSS,1999). 
Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami
masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika. 

Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah.Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa
mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. 
Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna.  Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan
dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.  Mengaitkan
pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas
penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni,
2000). 

Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat
mengaplikasikan matematika  Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di
kelas ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman
anak sehari-hari.  Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah
dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan. 

Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman


sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari adalah  pembelajaran Matematika Realistik (MR). 

Pembelajaran MR pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan di Belanda dan dipandang


sangat berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.  

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan secara teoretis pembelajaran matematika realistik,
pengimplementasian pembelajaran MR, serta kaitan antara pembelajaran MR dengan
pengertian. 

2.  Kajian Teori 

2.1 Realistic Mathematics Education (RME) 

Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan
matematika.  Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada
tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.  Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang
mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia.  Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan
kehidupan nyata sehari-hari.  Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan
bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).  Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.  Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa
(Slettenhaar, 2000).  Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur
pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep
matematisasi. 

Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal
dan vertikal. 

Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi


masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke
masalah matematik. 

Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus,


perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan
penggeneralisasian.  Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang,  karena
kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) . 

Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan


matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik,
strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). 
Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.  Kedua jenis matematisasi tidak
digunakan. 

Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak


diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal. 

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,


misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat,
sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. 

Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran.  Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal
diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.   

2.2  Karakteristik RME 

Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den
Heuvel-Panhuizen,1998). 

2.2.1 Menggunakan Konteks “Dunia Nyata” 

Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana “dunia
nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1   Konsep Matematisasi (De
Lange,1987) Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia
nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung.  Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan
oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual.  Melalui abstraksi dan formalisasi
siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit.  Kemudian, siswa dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization).  Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika
dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari
(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematikan dalam sehari-hari
(Cinzia Bonotto, 2000) 

2.2.2 Menggunakan Model-model (Matematisasi) 

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models).  Peran self developed models merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke
matematika formal.  Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. 
Pertama adalah model  situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.  Generalisasi dan
formalisasi model tersebut akan  berubah menjadi model-of masalah tersebut.  Melalui
penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. 
Pada akhirnya, akan menjadi model  matematika formal. 

2.2.3 Menggunakan Produksi dan Konstruksi  


Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong
untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. 
Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk
mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.  

2.2.4 Menggunakan Interaktif  

Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME.  Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari
bentuk-bentuk informal siswa.           

2.2.5 Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment) 

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial.  Jika dalam


pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah.  Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau
geometri tetapi juga bidang lain.                 

3.  Pembahasan 

3.1 Matematika Realistik (MR) 

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran.  Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-
konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.  Pembelajaran MR di kelas
berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan
untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal.  Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika
untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. 

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang
cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap
pakai untuk memecahkan masalah-masalah.   

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak


pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai
dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara
informal melalui matematisasi horisontal.  Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa
digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan
melalui matematisasi vertikal.  Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan
matematika formal).   

3.2 Pembelajaran Matematika Realistik (MR) 

Menurut Pandangan Konstruktivis   Pembelajaran matematika menurut pandangan


konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-
konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. 
Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. 

Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika


berorientasi pada:

(1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi,

(2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,

(3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan
pengalamannya, dan

(4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan
atau tulis.   

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.  Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998). 

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. 

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan


sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri
dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu. 

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap


awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya
(Slavin, 1997).  Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar
dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. 

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut
pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran
matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari
pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest,
1991).  Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya
dengan   konstruktivisme sosio (socio-constructivism).  Siswa berinteraksi dengan guru,
dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan
strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan.  Karakteristik pendekatan
konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. 

Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran
MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention).  Menurut
Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua
pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. 

Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan


pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan
khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika. 

3.3 Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR? 

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini diberikan
contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD).  Pecahan di SD diinterpretasi sebagai
bagian dari keseluruhan.  Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian
yang berukuran sama.  Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang,
dan model volume.  Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide
pempartisian suatu himpunan dari objek diskret.              

Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
dibawa ke “situasi” informal.  Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi
loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan
matematika formal). 

Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah
pecahan.  Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana siswa
sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.   

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru
diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.  Setelah
itu, diaplikasikan dalam masalah  sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat gambar 02).

Gambar 2  Penemuan dan Pengkonstruksian konsep


(Diadopsi dari Van Reeuwijk,1995)    

3.4 Kaitan antara Pembelajaran  MR dengan Pengertian   

Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata
“bagaimana, apa mengerti ?”  Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau
sudah.  Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak … pada saat di kelas saya mengerti
penjelasan Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak … pada saat di kelas
saya mengerti contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal
latihan”  Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa
belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual.  Siswa yang mengerti
konsep atau mempunyai pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang
mereka lupakan. 

Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh
pengalaman siswa dan faktor internal.  Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk
kerja guru.  Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru
dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. 
Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika.  Karena tanpa
pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. 

Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari
jaringan representasi (Hiebert dan Carpenter , 1992).   Umumnya, sejak anak-anak orang
telah mengenal ide matematika.  Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari
mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola,
bentuk, data, ukuran dsb.  Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. 
Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala “kosong”
yang siap diisi dengan apa saja. 

Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa
yang telah diketahui anak.  Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui
sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka. 

Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat
ditingkatkan melalui interaksi kelas.  Percakapan kelas dan interaksi sosial dapat digunakan
untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan
kembali.              

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan


mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang
diberikan oleh guru.  Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan
cara-cara informal  untuk menyelesaikan masalah.  Cara-cara informal siswa yang
merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan
pengkonstruksian konsep.  Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah
dikaitkan dengan skema (jaringan representasi) anak.  Melalui interaksi kelas keterkaitan
skema anak akan menjadi lebih kuat sehingga pengertian siswa tentang konsep yang
mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan demikian, pembelajaran MR akan
mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa. 

4.  Simpulan dan Saran 

Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal
sebagai berikut. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. 

Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan


melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan
merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. 
Selanjutnya, siswa diberi kesempatan  menerapkan konsep-konsep matematika untuk
memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.  Dengan kata lain,
pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of
everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari
(everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna
(pengertian).              

Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan
motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa
belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma
pembelajaran matematika selama ini.  Karena itu, perubahan persepsi guru tentang
mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika
realistik.  Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan:

(1) kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-
penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory 
pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya  Indonesia, dan

(2) kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR


secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk
memotivasi siswa menyampaikan pendapat. 

Pustaka Acuan 

Atwel, Bleicher & Cooper.1998. “The Construction of The Social Contex of Mathematics
Clasroom : A Sociolonguistic Analysis”. Dalam Journal for Research in Mathematics
Education. Vol 29 No.1 January 1998.hal 63-82 

Cinzia Bonotto. 2000. Mathematics in and out of school : is it possible connect these
contexts ? Exemplification from an activity in primary schools.
http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.htm 

Cobb,Yackel & Wood.1992.”A Constructivist Alternative to The Representational View of


Mind in Mathematics Education”. Dalam Journal for Research in Mathematics Education.
Vol.23. No.1 January 1992. hal. 2-33 . 

Davis. 1996. “One Very Complete View (Though Only One) of How Children Learn
Mathematics ” Dalam Journal for Research in Mathematics Education Vol.27. No.1 January
1996. hal. 100-106 

De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning. OW & OC. Utrecht 

Ernest,P. 1991. The Philosopy of Mathematics Education. London :

Falmer Press Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Freudenthal


Institute.     Utrecht. 

Hiebert,J & Thomas Carpenter. 1992. “Learning and Teaching With Understanding”
Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York : Macmillan 

Jennings, Sue & R, Dunne.1999. Math Stories,Real Stories, Real-life Stories.


http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm.  

Mitzel, H.E. 1982. Encyclopedia of Educational Research (Fifth Ed). New York :
Macmillan NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics.USA :
NCTM Price,J. 1996. “President’s Report : Bulding Bridges of Mathematical Understanding
for All Children” . Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol.27. No.5
November 1996. hal. 603-608 

Soedjadi. 2000. “Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia”. Dalam Majalah


Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB,
17-20 Juli 2000) 
Slavin,R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and
Bacon. 

Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context”.


Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional
Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000 Streefland,L. 1991. Realistic Mathematics Education in
Primary School. Freudenthal Institute.
Utrecht. 

Taylor.1993.”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to


Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-
17.  TIMSS. 1999. International Student Achievement in Mathematics.
http://timss.bc.edu/timss 1999i/pdf/T99i_math_01.pdf 

Treffers.1991. “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”.


Dalam Realistic Mathematics Education in Primary School. Freudenthal        Institute.
Utrecht. 

Van den Heuvel-Panhuizen. 1998. Realistic Mathematics Education Work in Progress.


http://www.fi.nl/ ……2000. Mathematics Education in the Netherlands a Guided Tour.
http://www.fi.uu.nl/en/indexpulicaties.html.  

Van Reeuwijk, Martin. 1995. The Role of Realistic Situations in Developing Tools for Solving
Systems of Equations. www.fi.uu.nl/en/indexpublicaties/3781.pdf 

Wilson, Teslow, Taylor.1993. “Instruction Design Perspectives on Mathematics Education


With Refrences to Vygotsky’s Theory of Social Cognition”. Focus on Learning Problem in
Mathematics.Vol 15.No 2 &3. hal. 65-84 

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publishing

I Gusti Putu Suharta, Dosen Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Negeri Singaraja

Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 38, Pusat Data dan Informasi Pendidikan,
Balitbang – Depdiknas 

Filed under: Education

You might also like