You are on page 1of 18

CANDI KALASAN

Oleh: Ari Nugroho

Gambar. 1
Candi Kalasan
Doc. id.wikipedia.org

Candi Kalasan atau Candi Kalibening1 merupakan sebuah


candi yang dikategorikan sebagai candi umat Budha terdapat di
desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta. Candi ini
memiliki 52 stupa dan berada disisi jalan raya antara Yogyakarta
dan Solo serta sekitar 2 km dari candi Prambanan.

1
Wendores, T. Mengenal Candi-candi Nusantar. Pustaka Widyatama.
ISBN 9796102366.
Pada awalnya hanya candi Kalasan yang ditemukan pada
kawasan situs ini, namun setelah digali lebih dalam maka
ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di
sekitar candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan
pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar
bangunan candi utama, berbentuk stupa.

Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang


ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang
pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita,
Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta. Penguasa
yang memerintah pembangunan candi ini bernama Maharaja
Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga
Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada
prasasti Kelurak tokoh ini dapat di identifikasikan dengan
Dharanindra atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari
Samaragrawira2. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti
kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera
atas Jawa.

Sejarah Candi Kalasan

Dari data yang ditemukan dalam prasasti canggal (barat


daya Magelang). Prasasti ini berangka tahun 732 M. Ditulis
dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta.
Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga
(lambang siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh
raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah pulau yang mulia,

2
Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional
Indonesia: Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979407408X.
Yawadwipa, yang kaya raya akan hasil bumi, terutama padi dan
emas.

Yawadwipa mula-mula diperintah oleh raja sanna, yang


lama sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan
budi. Setelah raja sanna wafat, negaranya mengalami
perpecahan dan rakyat mengalami kebingungan karena
kehilangan perlindungan. Sanjaya anak dari Sannaha (saudara
perempuan Sanna) naik tahta. Sanjaya ahli dalam kitab suci dan
keprajuritan, ia menaklukan berbagai daerah disekitar
kerajaannya dan menciptakan ketrentraman serta kemakmuran
yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.

Sanna dan Sanjaya terkenal pula dari cerita parahyangan,


sebuah kitab yang banyak menguraikan sejarah Pasundan.
Dalam kitab ini diceritakan, bahwa Sanna dikalahan oleh Prabu
Sora dari Galuh dan menyingkir ke Gunung Merapi. Tetapi
penggantinya, Sanjaya kemudian menaklukan Jawa Barat, dan
kemudian Jawa Timur dan Bali. Demikian pula Melayu dan Keling
(dengan raja Sang Sriwijaya) diperanginya. Dalam garis
besarnya, cerita ini sesuai juga dengan prasasti Canggal.

Mendirikan sebuah Lingga secara khusus adalah lambang


mendirikan suatu kerajaan. Bahwa Sanjaya memang dianggap
sebagai wamcakarta dari kerajaan Mataram, ternyata juga dari
prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikanya.
Diantara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang
memuat silsilah dan yang menjadi pangkal silsilah itu adalah
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Bahkan ada pula prasasti-
prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya. Dari kedua
kenyataan ini jelas betapa besar arti Sanjaya bagi raja-raja yang
kerajaanya berpusat di Jawa Tengah sampai abad ke-10.
Adapun Lingga yang didirikan Sanjaya itu, tempatnya ialah
di Gunung Wukir di desa Canggal. Disini terdapat sisa-sisa
sebuah candi induk dengan tiga candi perwira di depanya. Di
dalam candi induk itu tidak lagi terdapatkan lingganya, yang ada
ialah sebuah yoni besar sekali dan umumnya yoni itu merupakan
landasan bagi sebuah lingga. Di halaman candi inalah Prasasti
Canggal ditemukan.

Sanjaya dan Cailendrawamca

Selain prasasti Canggal tidak diketemukan prasasti lain


yang berisikan tentang Sanjaya ataupun keturunannya, di
mungkinkan keluarga Sanjaya itu terdesak para Cailendra, tetapi
masih memiliki kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Bagaimana
pergeseran kekuasaan itu secara pasti tidak diketahui. Hanya
saja bahwa antara keluarga Sanjaya dan Cailendra ada kerja
sama yang erat dalam hal-hal tertentu. Hal ini terungkap dalam
prasasti Kalasan.

Prasasti Kalasan ditulis dengan huruf pra-negari dalam


bahasa sansekerta dan berangka tahun 778 Masehi. Isinya
adalah, bahwa para Guru sang raja [mustika keluarga sailendra]
(Cailendrawancatilaka) telah berhasil membujuk maharaja
Tejahpurnapana Panagkarana (atau di tempat lain dalam prasasti
ini disebut Kariyana Panangkarana) untuk mendirikan bangunan
suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta dalam
kerajaan keluarga Cailendra. Kemudian Pannagkarana itu
menghadiahkan desa Kalaca kepada sanggha.

Bangunan yang didirikan ini adalah Candi Kalasan di desa


Kalasan disebelah timur Yogyakarta. Sesuai dengan tujuan awal
bangunan (candi) ini didirikan sebagai tempat pemujaan
terhadap Dewi Tara, sehingga dalam ruangan candi inipun
terdapat singgasana lengkap dengan biliknya. Candi ini sekarang
kosong, keberadaan arca Tara yang dulu pernah bersemayam di
dalamnya telah hilang.

Tejahpurna Panangkaran adalah Rakai Panagkaran,


pengganti Sanjaya, seperti yang tertulis dalam prasasti raja
Balitung dari tahun 907. Prasasti ini memuat daftar lengkap raja-
raja yang mendahului Balitung, bunyinya sebagai berikut:
“rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu, rakai mataram sang
ratu Sanjaya, cri maharaja rakai Panagkaran, cri maharaja rakai
Panunggalan, cri maharaja rakai Warak, cri maharaja rakai
Garung, cri maharaja rakai Pikatan, cri maharaja rakai
Kayuwangi, cri maharaja rakai Watuhumalang”, kemudian nama
raja yang memerintahkan membuat prasasti yaitu cri maharaja
rakai Watukura dyah Balitung Dharmodya Mahacambhu3.

Dari data tersebut, jelaslah bahwa pemerintahan


Sanjayawanca berlangsung terus disamping pemerintahan
Cailendrawamca. Keluarga Sanjaya beragama Hindu memuja
Ciwa dan keluarga Cailendra beragama Budha aliran Mahayana
yang sudah condong kepada Tantrayana. Wilayah kekuasaan
keluarga Sanjaya ialah bagian utara Jawa Tengah sedangkan
Cailendra adalah bagian selatan Jawa Tengah. Bukti ini diperkuat
dengan keberadaan bangunan candi-candi dari abad ke-8 dan 9
yang berada di Jawa Tengah utara bersifat Hindu dan yang
berada di Jawa Tengah selatan bersifat Budha.

Pada pertengahan abad ke-9 kedua wanca ini bersatu


dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, raja
puteri dari keluarga Cailendra. Dengan demikian dapat
3
Dr. R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan 2. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
dikatakan, bahwa keluarga Cailendra itu memegang kekuasaan
di Jawa Tengah kira-kira selama satu abad (+ 750-850). Dalam
masa pemerintahan ini banyak sekali bangunan-bangunan suci
didirikan untuk memuliakan agama Budha.

Bentuk Fisik Candi Kalasan

Gambar. 2
Candi Kalasan sebelum pemugaran
Doc. Cephas

Dari awal penemuannya pada tahun 1806 oleh Cornelius


Candi Kalasan belum pernah dipugar secara total, candi ini masih
berdiri utuh walaupun banyak kerusakan disana-sini yang
sebagian sudah berhasil diperbaiki pada pemugaran tahun 1939-
1940. Menurut catatan dari Prasasti Kalasan yang menggunakan
bahasa Sansekerta dengan huruf Prenagari, dengan tanda tahun
700 Caka/778M, Candi Kalasan dibangun pada masa Raja
Panangkaran sebagai sebuah kuil yang dipersembahkan untuk
Dewi Tara dengan nama Kuil Tarabhawana. Disebutkan pula
bahwa di dekat Candi Kalasan itu (500 meter ke arah timur laut)
didirikan Asrama Pendeta Budha. Mungkin mirip-miriplah dengan
pola pondok pesantren.
Candi Kalasan bercorak Budha dengan pola hias utama
sulur gelung. Pahatannya terhitung sangat halus dan detail,
bahkan pada beberapa bagian dilapisi dengan bajralepa,
semacam semen. Di candi ini, terdapat 52 stupa yang sekarang
sudah tidak semuanya utuh baik bentuk maupun jumlahnya.
Terdapat empat pintu di masing-masing sisinya dengan pintu
utama di sisi timur. Sayang sekali, tangga candi sudah banyak
mengalami kerusakan sehingga hanya tertinggal sedikit saja sisa
tangga menuju pintu-pintunya.

Gambar. 3
Tampak sisi utara dari Candi Kalasan dimana masih terdapat
tangga bambu yang diperlukan selama proses renovasi

Sekilas, bentuk Candi Kalasan mirip dengan Candi Mendut,


namun sedikit lebih besar. Ukurannya; tingginya mencapai 24
meter dengan rincian batur = 1 meter, kaki = 3 mater, tubuh
candi setinggi 13 meter, dan atap setinggi 7 meter. Sedangkan
penampangnya berukuran 16,5 x 16,5 meter.
Salah satu peninggalan Candi Kalasan adalah sebuah
genta besar yang terbuat dari perunggu yang sekarang
tersimpan di Museum Sana Budaya Yogyakarta. Sedangkan
Prasasti Kalasan sekarang tersimpan di Museum Nasional di
Jakarta dengan nomor koleksi D-147.

Keunikan Candi

Candi Kalasan memiliki beragam keunikan yang tidak


dipunyai oleh Candi lain, mulai dari seni pahat baik dalam bentuk
arca, relung, bilik, Kala, Mekara, Gana, dan juga bentuk stupa
dan juga bentuk-bentuk sulurnya yang sangat halus karena
mendapat sentuhan dari badjralepa. Ini merupakan penegasan
corak khusus kebudayaan bangsa kita, agar kita lebih mengenal
watak bangsa sendiri dan juga paham akan diri sendiri, yang
notabene telah berabad-abad mengalami pengaruh baik yang
datang dari sekeliling sendiri maupun dari luar.

Walau memiliki tubuh yang tambun seperti candi di Jawa


Tengah pada umumnya, namun candi Kalasan tidak terlihat
gemuk karena bangunan candi terbagi atas kaki, badan, dan
kepala, dimana masing-masing terbagi menjadi tiga bagian
mendatar (perbingkaian bawah, batang dan perbingkaian atas).
Terdapat empat tangga yang menghubungkan batur yang
dahulukala dikelilingi oleh pagar langkan, yang mempunyai
hiasan-hiasan berbentuk genta atau stupa di atasnya. Papan
batu yang ada di depan tangga sebelah timur bentuknya hampir
menyerupai setengah lingkaran, yang mirip “Moonstone” di
depan tangga kuil agama Buddha di India selatan terutama di
Sailan, hal ini merupakan keunikan tersendiri yang ada di Candi
Kalasan.
Gambar. 3
Kehalusan Candi Kalasan karena mendapat sentuhan dari
badjralepa

Penampil-penampil pada tubuh candi begitu lebarnya


sehingga masing-masing terdapat sebuah bilik. Pintu gerbang
candi ialah terdapat pada bilik di sebelah timur. Namun sekarang
tidak bayak yang masih tersisa. Bilik yang masih utuh ialah bilik
sebelah Utara dan Selatan. Kaki candi hanya beberapa saja yang
yang masih terlihat jelas susunannya. Susunan kaki tersebut
diperindah dengan bingkai mendatar yang menonjol, setengah
bulatan dan sisiya merupakan semacam bantal sebagai tempat
berdirinya candi. Bagian atap candi sudah sangat rusak walau
demikian kita masih dapat mengenali bentuk dasarnya yang
bujur sangkar, dengan penampil-penampil sebagai penghubung
antara tubuh dengan atapnya. Diatasnya terdapat prisma segi
delapan bersusun menjadi pusat atas. Dahulunya diperkirakan
pusat ini terdapat mahkota yang besar. Keempat penampil
tersebut mempunyai atap sendiri, dengan beralaskan susunan
dua kubus yang menempel pada prisma segi delapan sebelah
bawah pusat atap tadi. Dengan demikian tinggi seluruh candi
tanpa stupa punjaknya kurang lebih 24 Meter. (A.J. Bernet
Kempers., 1954, Candi Kalasan dan Sari, Jakarta, Dinas Purbakala
Republik Indoesia dan Balai Buku Indonesia hlm.10)

Keunikan candi Kalasan yang lain ialah terdapatnya ceruk


pada setiap dinding candi dengan tinggi ceruk dengan hiasan
ukir-ukiran diatasnya hampir sama tingginya. Fungsi dari ceruk
dan ukir-ukiran ini ialah memberikan kesan agar candi napak
lebih langsing. Dalam candi Kalasan bentuk sugkup merupakan
kekecualian, karena berbeda dengan candi lainnya dimana
pembangunan candi sedemikain rupa sehingga mengakibatkan
sungkup bertemu di sisi atas candi. Namun di Candi Kalasan
terdapat lengkungan di atas ceruk-ceruk. Namun pada dasarnya
pembangunan candi sama dengan pembangunan candi yang
lainnya, dimana batu disusun semakin keatas semakin menjorok
kedalam (teknik susun timbun).

Keunikan lain ialah pada kaki candi dimana kita akan


melihat Djambangan (pengganti Bonggol) sebagai perlambang
dari kesuburan dan kebahagiaan. Dari dalam jembangan terlihat
seakan-akan memuntahkan bunga-bunga dan sulur-sulur. Boggol
berbentuk bulat sedangkan jembangan juga berbentuk bulat
sehingga dalam hal ini keberadaannya dapat saling
menggantikan. Tempat menjulurnya sulur-sulur selain dari
bonggol atau djambangan juga terdapat pada kerang, kura-kura,
ikan, ular, gambar orang, dua ekor kera, ketan, burung, babi,
sapi, atau rusa yang semuanya digambar sedemikian rupa
sehingga berbentuk bulat. Sulur-sulur yang ada di candi Kalasan
melingkar-lingkar menjadi Sulur gelung dan di Candi Kalasan
berpangkal kepada Bonggol.

Gambar. 4
Salah satu relung di Kalasan menggambarkan Kala dan
pemandangan dewata di swargaloka

Kepala Kala yang besar dan yang sering kita sebut sebagai
Banaspati (raja hutan) seakan-akan menggambarkan bahwa
candi ialah lambang dari hutan yang sunyi, tempat sang raja
hutan itu berkuasa. Namun dapat kita artikan juga candi sebagai
perlambang dari pegunungan yang tidak dapat lepas dari hutan.
Dalam hutan dan juga pegunungan saling bertemulah alam biasa
dan alam gaib, hidup dan mati, tuhan dan manusia. Candi
Kalasan belum begitu jelas apakah sebagai tempat kediaman
para dewa ataukan tiruan dari gunung Mahameru (Semeru).
Stupa-setuapa yang ada di atap candi merupakan hiasan semata
dan bukan benda pemujaan yang mejadi hal yang paling penting
dalam agama Buddha (sebagai tempat menyimpan benda-benda
suci, terutama dari sang Budha sendiri).Namun dalam
perkembagannya stupa tersebut berfungsi sebagai tanda
peringatan atau lambang dari agama Buddha.

Kepala Kalanya, berbeda dengan kala pada candi lainnya


dimana bersatu dengan makara yang terdapat pada kedua sisi
pintu. Makara ialah seekor binatang Ajaib, di Jawa Tengah
digambarkan menyerupai Gajah. Bentuk ini tiada lain setelah
menempuh perjalanan panjang dari kesenian India kurang lebih
200 Tahun SM. Dimana dahulu digambarkan menyerupai seekor
buaya, yang mula-mula digambarkan dengan ekor lurus,
kemudian dengan ekor melingkar, kemudian dalam
perkembangan selanjutnya menyerupai binatang-binatang yang
serupa dengan Gajah yang bertubuh ikan (gajahmina), walau
fungsi dan tujuan makara tersebut belum begitu jelas maksud
dan tujuannya.

Makara di India bagian Selatan digambarkan dengan


binatang buas yang mulutnya menganga, belalainya melingkar
dan ekornya bermalai besar sekali. Di Jawa Tengah yang tinggal
hanya bentuk kepalanya saja dan kadang kala dengan kedua
kaki depannya. Candi kalasan memiliki relief makara baik di
ujung lengan tangga baik yang berupa ukiran maupun yang bulat
mempunyai sekor singa yang duduk didalam mulutya yang
menganga lebar. Dilain candi di mulut Makara terdapat burung
Nori atau manusia. Pada belalai makara terdapat gambar bunga,
dan dari bunga ini bergantung seuntaian mutiara, dengan telinga
yang sama sekali tidak menyerupai telinga gajah, namun lebih
mirip telinga sapi yang pinggirnya berkumai seperti daun
tumbuh-tumbuhan.

Gambar. 3
Ukiran kepala raksasa Kala di dinding selatan
dengan bagian jengger yang dihiasi kuncup-kuncup bunga,
dedaunan dan sulur-suluran.

Bentuk makara di Candi Kalasan juga berganti wujud


menjadi Garis-garis lekak lengkung dan berlingkar-lingkar seperti
daun-daun dan sulur-sulur. Bentuk makaranya hanya tinggal
dalam garis kelilingnya serta beberpa garis besarnya saja.
Bentuk ini terdapat pada hiasan kepala Makara di Bagian candi
sebelah selatan, jengger Kala terdiri atas timbunan kuncup-
kuncup, daun-daun, sulur-sulur. Dibawah kepala Kala terdapat
kembali jengger yang serupa. Dimana tjeplok bunga yang
menjadi penggantinya. Di Candi Kalasan merupakan bukti bahwa
pertukaran bentuk relief dimungkinkan terjadi atas dasar
persamaan sifat. Sehingga kiranya tidak menjadikan janggal jika
ada teratai tumbuh dari beggol atau dari daun-daun yang aneh
bentuknya.

Kepala Kala tidak hanya berhubungan dengan pohon-


pohonnya diatas dunia saja, tetapi juga dengan pohon-pohon
yang lebih tinggi tingkatanya (kayangan). Hal ini dijelaskan
dalam hiasan gumpalan-gumpalan awan yang mengelilingi
Jengger kala, sedangkan diatas awan nampak penghuni
kayangan yang memainkan bunyi-bunyian. Dantara bunyi-
bunyian tersebut dapat kita kenali seperi Gendang, Rebab, dan
kerang, baik disisi kana maupun disisi kiri, sedangkan orang
keempat memegang cambuk penghalau lalat.

Bentuk makara yang tidak lazim di Jawa ialah pada bawah


kala dimana makara pada dua tiap sisi dimana yang satu
menjadi ujung plengkung dan menghadap ke dalam, sedangkan
yang kedua bertolak belakang dengan yang pertama dan
menghadap keluar. Diatas makara terdapat kala yang
menghadap keluar. Keindahan candi dari segi kehaluasan relief
tidak lain ialah hasil kerjakeras dari Bajralepa. Deretan makhluk
kecil yaitu makluk kayangan yang bertubuh kerdil dan bernama
Gana menambah semakin uniknya candi Kalasan. Gana menjadi
satu dengan untaian bunga yang merupakan sebuah pasangan
yang menjadi suatu ragam indah dari hiasan pendukung untaian.
Ragam hias ini sudah sejak dahulu kala diambil oleh kesenian
Hindia awal dari kesenian Yunani-Romawi, dan kemudian
menjadi lazim dalam seni hias India, seperti Untaian bunga yang
didukung oleh makhluk kerdil, kantong-kantong uang yang
membujur panjang, deretan relung dengan arca Buddha di
dalamnya. Gana di candi Kalasan terkesan berdiri sendiri dan
tidak mendukung untaian bunga dimana terlihat mereka
terdapat pada bingkai tersendiri, dan melayang tidak satu arah
dan beberapa menunjang rangkaian bunga diatasnya dengan
satu tangan saja.

Gambar. 4
Salah satu relief yang menggambarkan tokoh
dewa/dewi surga dengan bunga teratai. Relief ini
terletak di sisi kanan pintumasuk sebelah barat.

Relief candi Kalasan memang lebih sedikit tidak seperti


candi Prambanan atau Borobudur. Semua arca buddha yang ada
di candi Kalasan melukiskan para Dhyani Budda/Djina (dewa-
dewa khayangan), dewa-dewa tertinggi di dalam mitologi agama
Buddha, yang dihubungkan dengan empat penjuru mata angin
serta zenith. Arca-arca yang ada di luar cadi yang ada di bilik
utara dan selatan, dan juga pada dinding segi delapan bagian
pusat atap candi hanyalah arca relief saja, yang dapat kita sebut
sebagai arca tokoh-tokoh dari dunia kedewaan.

Nilai dan Makna Candi

Fakta geologi terbaru menyebut, bahwa candi-candi di


sekitar Jogja telah ada sejak abad 1 dan berkembang pesat
pembangunannya pada abad 8-10. Meskipun pusat Mataram
Kuno dipindahkan tahun 928 M ke Jawa Timur, terbukti
pembangunan candi-candi kecil tetap berlangsung hingga abad
13 (Sri Mulyaningsih, 2006). Fakta ini terus bergerak berdasar
hipotesa baru, kita masih harus banyak belajar dari yang
dilakukan generasi terdahulu. Kesan mengunjungi komplek
Candi-candi menjelang terbenam matahari, menikmati siluet
sinar kemerahan di cela-cela bangunan candi sungguh
mengesankan, sekaligus menyadarkan bahwa manusia Jawa
amatlah religius, bijaksana, gemar bersuci dan berbakti pada
Tuhan.

Nama arca Dewi Tara pada Candi Kalasan dan ornamen


khas disana bisa pula terbaca lain. Arti tara yakni suci, dekat
dengan kata Arab thair (burung) dan mathar (pangkalan udara).
Era Mataram kuno ini menjelaskan pada kita tentang kebesaran
peradaban yang telah tinggi di tanah Jawa, sebagai pusat
perkembangan masyarakat pada masanya. Candi Kalasan, Candi
Plaosan serta candi-candi lain memiliki alasan kuat bagi
pemujaan figur Ibu, ibu pertiwi atau Um (Umi-Ummah) dan kata
Ratu – Keratuan – Kraton. Arca Dewi Tara juga bermakna
representasi figur suci seorang Ibunda dari Maharaja Jawa,
mertua Raja Tejahpurnapana Panangkaran.

Candi Kalasan seperti disebut sebelumnya, sengaja


dibangun untuk menghormati kematian Sang Ibunda mertua, hal
ini merupakan penghormatan pada sosok perempuan yang lebih
berhak untuk disanjung, detaati dan diangkat tinggi-tinggi.
Simbul suci dan feminitas merujuk pada fakta bangunan candi,
sekaligus menggambarkan bagaimana ketinggian moral Raja-
raja di Jawa. Itulah sebabnya, seorang Raja memiliki tugas-tugas
Ke-Ratu-an (Kraton) yaitu membina dan mengabdi kepada rakyat
dan ibu pertiwi. Itu pula, sosok Dewi Tara yang dipuja dan dipuji
adalah Dewi Quan’in bagi seluruh semesta. Di dalam Islam,
terdapat Hadits Rasul SAW yang menyebut Siti Fatimah sebagai
Ibu dari diri beliau, dimaksud untuk menghormat sosok
perempuan. Dalam konsep ini, awalnya kesucian berwujud
maskulin, namun berubah menjadi feminin oleh tuntutan harkat
tanggung-jawab menjaga isi semesta.
Sumber Referensi

A. J. Bernet Kempers dan Soekmon. Candi-candi di Sekitar


Prambanan. Bandung: GANACO N.V, 1974.

A. J. Bernet Kempers. Cadi Kalasan dan Sari, Jakarta, Dinas


Purbakala Republik Indoesia dan Balai Buku Indonesia,
1995

Dr. R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan 2. Yogyakarta:


Kanisius, 1995.

Dr. John Miksic. Indonesian Heritage: Sejarah Awal, Jakarta,2002

Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. Sejarah nasional Indonesia:


Jaman kuna. Jakarta: PT Balai Pustaka. 1992 ISBN
979407408X

Wendores, T. Mengenal Candi-candi Nusantar. Jakarta: Pustaka


Widyatama

Candi In Central Java Indonesia. Provincial Goverment of Central


Java Indonesian, Nov 1982

http://dtur88.wordpress.com.

http://siwagrha.files.wordpress.com

http://id.wikipedia.org

http://purbakalayogya.com

By: Ari Nugroho, Etnomusikolog, Pengkaji Seni

You might also like