You are on page 1of 23

1.

Pendahuluan
Teluk Jakarta merupakan perairan semi tertutup yang masih mendapat pengaruh sifat laut
dari Laut Jawa dan menerima limpasan air sungai yang bermuara ke dalam teluk. Di perairan ini
bermuara 13 sungai besar mulai dari muara sungai Cisadane di bagian barat sampai muara sungai
Citarum di bagian timur. Proses pendangkalan merupakan fenomena dominan di area muara
sungai karena air sungai yang masuk ke dalam teluk membawa sedimen dalam bentuk padatan
tersuspensi dengan konsentrasi yang tinggi. Kedalaman laut di Teluk Jakarta sangat landai, pada
kedalaman 5 m berada pada jarak 1-2 km dari garis pantai, kedalaman 10 m terdapat pada jarak
4-5 km dari garis pantai (Dinas LH DKI Jakarta, 2008).

Peta Kawasan Pantai Utara Jakarta (olahan penulis, 2010)

Arus di perairan terbuka Laut Jawa dan sepanjang pantai Jawa Barat domain merupakan
hasil dari pembangkitan angin. Arus bergerak ke barat mulai bulan Mei-Oktober. Sebaliknya
arus bergerak ke timur pada bulan Januari dan Februari. Secara umum semakin ke utara atau
menjauhi perairan Teluk Jakarta, salinitas air laut semakin bertambah tinggi, artinya pengaruh
masukan air tawar yang mengalir ke dalam teluk sudah semakin berkurang. Di lapisan
permukaan laut pada kedalaman 0-10 m nilai salinitas berkisar antara 30,75 – 31,8 ‰, sedangkan
pada lapisan kedalaman air laut yang lebih dalam > 20 m variasi salinitas berkisar antara 31,8 –
33 ‰ (Dinas LH DKI Jakarta, 2008).

1
2. Arti Penting Wilayah Pesisir Teluk Jakarta
Wilayah pesisir merupakan bagian tak terpisahkan antara komponen hayati dan nir-
hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan meningkatkan mutu kehidupan.
Apabila terjadi suatu perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka
keseimbangan ekosistem akan dapat terganggu. Kelangsungan fungsi wilayah pesisir sangat
menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam sistem di
wilayah pesisir. Oleh karena itu pengelolaan pesisir baik secara langsung maupun tidak langsung
harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem pesisir dan ekosistem daratan.
Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem daratan dan laut di wilayah pesisir dapat
dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water)
yang mengandung beragam materi di dalamnya dimana pada akhirnya akan bermuara di perairan
pesisir. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan dari pergerakan massa air baik dari daratan
maupun laut, selain berperan dalam perpindahan biota perairan dan bahan pencemar dari satu
lokasi ke lokasi lainnya. Keterkaitan berbagai ekosistem di wilayah pesisir Teluk Jakarta seperti
ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang, menjadikan wilayah pesisir Teluk
Jakarta memiliki produktivitas hayati tinggi yang berperan penting dalam memelihara
kebernlanjutan lingkungan sekitarnya. Keterkaitan wilayah pesisir Teluk Jakarta dengan wilayah
daratan 13 DAS yang bermuara di Teluk Jakarta, menjadikan wilayah pesisir ini berperan
sebagai perangkap sedimen, nutrient dan bahan-bahan pencemar yang berasal dari hulu, yang
sangat berpengaruh pada produktivitas hayati dan kualitas lingkungan perairan Teluk Jakarta.
a. Mangrove
Komponen biota dari ekosistem mangrove adalah komunitas mangrove yang
terdiri dari populasi tumbuhan (hutan) dan fauna mangrove yang berinteraksi dengan
komponen abiotik mangrove seperti tanah, oksigen, nutrisi, angin, arus, air, cahaya, suhu,
kelembaban, gelombang dan salinitas. Secara fisik, vegetasi mangrove berperan besar
dalam menjaga pantai dari gempuran ombak dan tebing sungai dari abrasi, menahan
angin, mengendapkan lumpur, mencegah intrusi air laut dan sebagai perangkap zat
pencemar dan limbah. Secara biologis, vegetasi mangrove berfungsi sebagai daerah
asuhan post larva (yuwana), tempat bertelur, tempat memijah dan tempat mencari makan
bagi ikan dan udang. Selain itu, berfungsi juga sebagai habitat burung air, kelelawar,
primata, reptil dan jenis-jenis insekta; serta sebagai penghasil bahan organik yang

2
merupakan sumber makanan biota; oleh karenanya manjadi penting dalam rantai
makanan pada ekosistem perairan.
Ekosistem mangrove di pesisir Teluk Jakarta terdapat di daerah hutan wisata
Kamal, suaka margasatwa Muara Angke, hutan lindung Angke Kapuk, Kemayoran dan
sekitar Cilincing – Marunda (Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1996). Adapun di Kepulauan
Seribu, ekosistem ini terbentuk di P. Rambut, P. Bokor, P. Untung Jawa, P. Lancang, P.
Lancang Besar, P. Peteloran Barat, P. Penjaliran Barat dan P. Penjaliran Timur. Vegetasi
yang tumbuh di kawasan hutan lindung Angke Kapuk, suaka margasatwa Muara Angke
dan hutan wisata Kamal relatif homogen, didominasi oleh api-api (Avicennia sp),
sedangkan bakau (Rhizopora sp) hanya tumbuh di beberapa area yang sempit sehingga
tumbuhan tersebut tamak sporadis. Jenis vegetasi yang ada adalah Avicennia marina
(kondisi kerapatan tinggi), A. officinalis (kondisi kerapatan sedang), A.alba (kondisi
kerapatan tinggi), Delonix regia (kondisi kerapatan tinggi), Sonneratia caseolaris
(kondisi kerapatan sedang), dan Thespesia polpulne (kondisi kerapatan sedang) pada
tingkat pohon; sedangkan Avicennia marina (kondisi kerapatan tinggi), A. officinalis
(kondisi kerapatan sedang), A.alba (kondisi kerapatan tinggi), Rhizopora mucronata
(kondisi kerapatan tinggi), dan Excoecaria agallocha (kondisi kerapatan tinggi) pada
tingkat tiang. Pada tingkat sapihan yang menonjol adalah Avicennia marina, A. officinals,
A. alba, Rhizopora mucronata, Acasia auriculiformis dan Delonix regia dimana
semuanya pada kondisi kerapatan tinggi. Maksud dari kerapatan rendah ialah < 5
individu; kerapatan sedang ialah 5 – 10 individu; dan kerapatan tinggi > 10 individu (PT.
Mandara Permai, 1999).
Fauna yang terdapat pada ekosistem mangrove di pesisir Teluk Jakarta didominasi
oleh burung pantai yang jenisnya hampir sama dengan yang terdapat di cagar alam P.
Rambut dimana kawasan tersebut merupakan habitat berbagai jenis burung, khususnya
sebagai tempat berlindung, berbiak dan mencari makan. Jenis burung yang terdapat pada
ekosistem mangrove mangrove adalah pecuk ular (Anhinga melanogaster), kowak maling
(Nycticorax nycticorak), kuntul putih (Egretta sp), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), cangak
abu (Ardea cinerca), blekok (Ardeola speciosa), belibis (Anas gibberrifrons), cekakak
(Halycon chloris), pecuk (Phalacrocorax sp) dan luwak (Mycteria cineria). Satwa lain
burung adalah biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

3
dan beberapa jenis ular. Vegetasi mangrove di Kepulauan Seribu ditemui di P. Rambut,
P. Bokor, P. Lancang Besar, P. Peteloran Barat, P. Penjaliran Barat dan P. Penjaliran
Timur. Kondisi vegetasi mangrove saat ini telah mengalami kerusakan akibat abrasi,
pencemaran dan sampah padat.

Tabel 1. Vegetasi Mangrove di Kawasan Lindung Kepulauan Seribu


No Lokasi Luas Jumlah Jenis
(ha) Jenis
1 Suaka margasatwa P. Rambut 27 9 R. stylosa, R. mucronata, S. alba, B.
gymnorhiza, A. marina, I. recemosa,
C. tagal, E. agallocha, A. granatum
2 Cagar Alam P. Bokor 25,23 2 R. mucronata, S. alba
3 P. Untung Jawa 31 2 R. mucronata, A. alba
4 P. Lancang Besar 16,5 3 R. mucronata, S. alba, A. alba
5 Cagar Alam P. Peteloran Barat 11,3 3 R. mucronata, C. tagal, A. marina
6 Cagar Alam P. Penjaliran Barat 8,30 4 R. stylosa, C. tagal, S. alba, A. marina
7 Cagar Alam P. Penjaliran Timur 6,80 4 R. stylosa, C. tagal, S. alba, A. marina
Jumlah 126,13 27
Sumber: Lembaga Pengkajian Pengembangan Mangrove dalam DLH DKI Jakarta, 2008

b. Padang Lamun
Sebagai penyangga ekosistem terumbu karang, padang lamun berfungsi meredam
gelombang dan arus, perangkap sedimen, tempat asuhan, tempat mencari makan dan
tempat pemijahan beberapa jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Ekosistem padang
lamun berada di rataan terumbu karang, didominasi oleh tumbuhan rumput laut (sea
grass) dengan struktur perakaran di dasar perairan. Di Kepulauan Seribu terdapat 4
(empat) famili rumput laut yang hidup pada ekosistem padang lamun, didominasi oleh
Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae. Selain flora tingkat tinggi, padang lamun juga
dihuni oleh berbagai macam algae tingkat rendah seperti Halimeda, Sargassum dan
Turbinaria (TNKS, 1999 dalam DLH DKI Jakarta, 2008). Kawasan Kepulauan Seribu
umumnya ditumbuhi oleh Thallasia, Syrongodium, Thalosodendrum dan Chimodecea,
sedang P. Panggang, P. Karya dan P. Pramuka didominasi oleh Thallasia, selain berbagai
algae seperti Halimeda, Sargassum, Caulerpa, Padina, Turbinaria dan Euchema. Selain
berbagai jenis flora laut, padang lamun di Kepulauan Seribu juga dihuni oleh berbagai
organisme benthik (makrozoobenthos) dan fitoplankton. Permasalahan utama ekosistem
padang lamun di Kepulauan Seribu adalah kerusakan akibat kegiatan pengerukan dan

4
penimbunan yang semakin meluas serta pencemaran perairan laut, sebagaimana
diindikasikan oleh hilangnya biota laut (DLH DKI Jakarta, 2008).

c. Terumbu Karang
Terumbu karang terdiri dari endapan kalsium karbonat (CaCO3) hewan karang,
alga berkapur dan beberapa organisme lain. Sebagai suatu ekosistem, terumbu karang
memiliki produktivitas yang tinggi dan merupakan habitat dengan biota yang beraneka
ragam. Terumbu karang berfungsi sebagai tempat tinggal, penyedia makanan, tempat
berlindung dan sebagai tempat asuhan biota laut. Di samping itu secara fisik berfungsi
melindungi pantai dari abrasi, gelombang dan sebagai stabilisator perubahan morfologi
garis pantai. Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mengalami bentuk
pertumbuhan yang berbeda dalam suatu lokasi tertentu. Demikian pula kondisi fisik yang
sama dapat memberikan bentuk pertumbuhan yang serupa walaupun secara taksonomi
berbeda (DLH DKI Jakarta, 2008).
Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu pada umumnya dapat dikategorikan
dalam kondisi rusak hingga sedang. Persentase penutupan karang hidup hanya berkisar
antara 0 – 24,9% dan 25 – 49,9%. Hal ini menunjukkan dominasi tutupan unsur-unsur
abiotik seperti pasir, pecahan karang, serta karang mati telah melampaui 50 persen.
Kerusakan terumbu karang sebagian diakibatkan oleh penambangan karang batu untuk
bahan bangunan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan
kimia. Pengamatan yang dilakukan selama kurun waktu 22 tahun mencatat jenis terumbu
karang yang terdapat di Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta mencakup
68 genera dan subgenera dengan 134 spesies. Spesies terumbu karang di beberapa pulau
di Kepulauan Seribu. Pengamatan yang dilakukan terakhir dapat memperjelas kondisi
terumbu karang di kawasan Kepulauan Seribu. Terumbu karang yang teramati berada
dalam kondisi buruk hingga sedang (13,0% – 36,03%). Kondisi kehidupan karang yang
berada dalam kategori baik hanya terdapat di beberapa lokasi seperti P. Kayu Angin Bira
dan P. Melintang (DLH DKI Jakarta, 2008).

5
Tabel 2. Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Tahun 1985-2001

Sumber: UNESCO, 1995, LP-ITB, TNKS, 1999/2000

6
Hasil studi distribusi dan kelimpahan ikan karang di 22 pulau di Kepulauan
Seribu dan Teluk Jakarta yang dilakukan pada tahun 1995 (Suharsono dkk, 1995)
menyebutkan bahwa terdapat 166 spesies ikan dalam 36 famili, dari 22 pulau wilayah
studi penelitian ini. Famili ikan karang yang mendominasi dari mayor spesies didominasi
oleh Pomacentridae dan Labridae yang ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Spesies
indikator (Chaetodontidae) yang mendominasi dan tersebar luas adalah Chaetodon
octafasciatus, diikuti oleh Chaetodon trifasciatus dan Heniochus accuminatus. Spesies
target yang ditemukan sebanyak 36 jenis dalam 8 famili, dimana 13 jenis tergolong
sebagai komoditi penting, yaitu satu spesies dari Kyposidae, 4 spesies dari Caesionidae, 2
spesies dari Lutjanidae, satu spesies dari Siganidae dan 5 spesies dari Serranidae.
Kesimpulan yang bisa didapatkan adalah adanya hubungan positif antara kelimpahan
ikan karang dengan jarak dari daratan utama, dimana semakin jauh jarak dari daratan
utama, semakin tinggi kelimpahan jenis ikan karang.

Kawasan lindung di wilayah perairan DKI Jakarta meliputi hutan lindung, cagar alam,
suaka margasatwa dan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Penyebarannya meliputi pesisir
Teluk Jakarta, seperti di Muara Angke, Angke Kapuk dan Kamal Muara dan yang berada di
Kepulauan Seribu, seperti P. Rambut, P. Penjaliran Barat dan P. Penjaliran Timur.
a. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
Menteri Kehutanan melalui Keputusan Nomor 162/Kpts-II/1995 telah
menetapkan wilayah Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
dengan luas 108.000 Ha yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Zonasi Taman Nasional Kepulauan
Seribu terdiri dari: 1. Zona Inti yang diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber
genetik dan perlindungan proses ekologis. Zona ini merupakan daerah tertutup bagi
segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan kegiatan lain, kecuali penelitian. Zona
ini terdiri dari: Zona Inti I diperuntukkan bagi perlindungan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata); Zona Inti II; dan Zona Inti III yang merupakan perlindungan ekosistem
terumbu karang. 2. Zona Perlindungan, merupakan kesatuan dengan Zona Inti I dan II
yang merupakan tempat mencari makan dan berkembang biak bagi penyu sisik. Di zona
ini tidak diperkenankan segala bentuk eksploitasi dan kegiatan yang dapat mengganggu

7
keseimbangan ekosistem, kecuali kegiatan observasi, penelitian dan pendidikan. 3. Zona
Pemanfaatan Intensif, merupakan wilayah yang diperkenankan untuk kegiatan rekreasi
alam. Sebagian besar pulau-pulau di kawasan ini telah dibangun sebagai kawasan
permukiman dan pariwisata bahari. 4. Zona Penyangga, diperuntukkan mendukung
aktifitas sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta perikanan tangkap
tradisional. Zona ini berfungsi menyaring dampak negatif kegiatan budidaya di dalam
maupun luar kawasan. Sebagian besar penduduk Kepulauan Seribu bermukim di zona ini.
Aktifitas penangkapan ikan diperkenankan dengan alat tradisional, seperti pancing bubu.

b. Suaka Margasawa Muara Angke


Berbatasan dengan tanggul kawasan Pantai Indah Kapuk ke arah suaka
margasatwa sebagian besar digenangi air, sehingga tumbuhan di kawasan ini merupakan
vegetasi rawa yang langsung terkena pengaruh pasang surut air laut. Pohon pidada atau
bidara (Sonneratia alba) merupakan jenis yang sering dijumpai selain api-api (Avicenia
marina), jangkar (Bruguiera sp), api-api (Rhizopora sp), waru laut (Thespesia populnea),
buta-buta (Ezcoecaria agallocha), nipah (Nypa fruticans) dan ketapang (Terminalia
catapa). Suaka margasatwa Muara Angke ditetapkan sebagai kawasan hutan mangrove
yang seharusnya didominasi oleh pohon, namun kondisinya saat ini merupakan lahan
rawa terbuka yang didominasi oleh herba seperti warakas (Acrostichum aureum) dan
seruni (Wedelia biflora). Masih banyak jenis-jenis flora dan fauna yang terdapat di
kawasan ini.
Salah satu keunikan ekosistem khas mangrove di kawasan Muara Angke adalah
adanya tumbuhan rotan (Calamus sp) yang spesifik. Keberadaan pohon relatif sporadis.
Pada lahan rawa terbuka tumbuh vegetasi bukan spesifik penghuni hutan mangrove
seperti gelagah (Saccharum spontaneum), putri malu (Mimosa pudica), talas lompong
(Colocasia sp), dan kangkungan (Ipomoea sp). Tumbuhan di atas merupakan tumbuhan
yang hidup pada kondisi bukan payau.
Suaka margasatwa Muara Angke dihuni oleh burung dengan jenis yang sama
dengan penghuni suaka margasatwa P. Rambut, oleh karena sebagian besar burung-
burung tersebut mencari makan di pesisir Teluk Jakarta. Macaca fascicularis yang
dikenal sebagai monyet Ancol juga menghuni kawasan ini, yang diperkirakan jumlahnya

8
tinggal 40 ekor. Fauna liar lainnya yang dijumpai adalah kelompok reptilia, seperti
biawak (Varanus salvator), kadal (Mabula multifasciata), ular hijau (Dryophis prasinus)
dan ular cincin (Boiga dendrophila). Untuk mempertahankan kondisi suaka margasatwa
Muara Angke sebagai ekosistem mangrove, telah diusahakan penanaman bakau
(Rhizopora mucronata) dan api-api (Avicenia sp) yang telah berlangsung sejak bulan
Agustus 1999 melalui kerjasama antara Lembaga Pengkajian Mangrove, Yayasan Kehati,
Kanwil Kehutanan DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

c. Hutan Lindung Angke Kapuk


Kawasan hutan lindung Angke Kapuk letaknya memanjang sejajar pantai
sepanjang ± 5 km dengan lebar 100 meter dari garis pasang surut yang terbentang mulai
dari batasan hutan wisata Kamal ke arah Timur hingga suaka margasatwa Muara Angke.
Di dalamnya terdapat arela permukiman Pantai Indah Kapuk dengan batas sebelah
Selatan adalah jalan tol Prof. Sedyatmo dan jalan Kapuk Muara. Keberadaan flora
ditampilkan oleh flora khas pesisir, bakau atau mangrove, hingga keberadaannya menjadi
spesifik jika dibandingkan dengan kawasan pemukiman.
Jenis vegetasi yang tumbuh di hutan lindung relatif terbatas, sedang tumbuhan
bawah jarang terlihat karena dipengaruhi pasang-surut. Tumbuhan bawah hanya terdapat
pada area yang cenderung lebih ke darat. Ketebalan hutan lindung sekitar 40 meter.
Vegetasi yang tumbuh di kawasan lindung relatif homogen, didominasi api-api
(Avicennia sp), sedangkan bakau (Rhizoposa sp) hanya tumbuh di beberapa area yang
sempit sehingga tumbuhan tersebut tampak sporadis. Jenis vegetasi yang ada pada tingkat
pohon adalah Avicennia marina, A. officinalis, A. alba, Delonix regia, Sonneratia
caseolaris, Thespesia popoulne; sedangkan Rhizopora mucronata dan Excoecaria
agallocha pada tingkat tiang. Pada tingkat sapihan yang menonjol adalah Avicennia
marina, A. officinalis, A. alba, Rhizopora mucronata, Acasia auliculiformis dan Delonix
regia. Beberapa bagian hutan lindung Angke Kapuk mengalami abrasi yang cukup kuat
oleh gempuran ombak. Dalam upaya mempertahankan keberadaan hutan lindung, di
beberapa bagian pantai di lakukan penanaman vegetasi bakau. Keberhasilan tumbuh
vegetasi tersebut mengalami hambatan oleh gelombang laut yang cukup besar.

9
Fauna yang terdapat di hutan lindung Angke Kapuk antara lain didominasi oleh
burung pantai yang berjenis sama dengan yang terdapat di suaka margasatwa P. Rambut,
yaitu pecuk ular (Anhinga melanogaster), kowak maling (Nycticorax nycticorax), kuntul
putih (Egretta sp), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), cangak abu (Ardea cinerea), blekok
(Ardeola speciosa), belibis (Anas gibberrfrons), cekakak (Halycon chloris), pecuk
(Phalacrocorax sp) dan bluwak (Mycteria cineria). Satwa lain selain jenis burung adalah
biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beberapa
jenis ular.

d. Hutan Wisata Kamal


Hutan wisata Kamal merupakan kawasan dengan vegetasi mangrove paling luas,
yaitu sekitar 110,00 Ha. Di dalam kawasan ini terdapat areal kebun bibit mangrove seluas
10,47 Ha. Jenis vegetasi yang dominan adalah api-api (Avicennia spp) yang tumbuh
mulai tingkat semai hingga tingkat pohon. Keadaan ini mengindikasikan bahwa
kelanjutan pertumbuhan jenis tumbuhan tersebut relatif baik. Adapun jenis bakau
(Rhizopora sp) hanya tumbuh secara sporadis. Rhizopora sp yang termasuk dalam
klasifikasi pohon banyak dijumpai di kawasan perbatasan dengan hutan lindung Angke
Kapuk di sekitar pantai. Perannya terhadap keseluruhan area adalah sangat penting.
Adanya vegetasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan fungsi lindung terhadap
serangan abrasi, apalagi kawasan ini memiliki pasang laut cukup tinggi dan pengaruh
angin musim cukup besar. Dengan akar tunjang yang dimiliki, maka jenis bakau
merupakan tanaman yang diharapkan dapat bertahan terhadap pengaruh laut.
Tumbuhan lain yang dijumpai adalah jenis akasia (Acasia auriculiformis), kihujan
(Samanea saman), mahoni (Swietenia macrophyla), flamboyan (Delonix regia), dan
kedondong (Spondias pinnata). Jenis-jenis tersebut tumbuh di tepi areal tambak. Jenis
tumbuhan bawah yang tumbuh antara lain kitower (Derris heterophylla), bluntas (Plucea
sp), nenasia (Breynia sp) dan beberapa jenis rumput yang biasa tumbuh pada ekosistem
darat. Hutan wisata Kamal masih berfungsi sebagai habitat burung air sebagaimana
diindikasikan oleh keberadaan vegetasi mangrove seperti api-api (Avicennia sp) yang
menyebar di seluruh hutan wisata. Peranan kawasan ini adalah sebagai tempat mencari
makan bagi burung air pada pagi hingga sore hari, serta sebagai tempat beristirahat pada

10
malam hari, serta tempat berlindung dari tiupan angin. Keberadaan empang bekas tambak
maupun tambak yang masih diusahakan di sekitar kawasan wisata ini telah menjadi daya
tarik bagi burung untuk tetap memanfaatkan hutan wisata sebagai habitatnya. Hal
tersebut diindikasikan oleh kehadiran burung-burung pecuk (Phalacrocorax sp), kuntul
(Egretta sp) dan cangak (Ardea sp) yang terbang di area hutan wisata Kamal (DLH DKI
Jakarta, 2008).

3. Gambaran Ancaman Terhadap Wilayah Pesisir Teluk Jakarta


Akibat maraknya aktivitas pemanfaatan di wilayah pesisir Teluk Jakarta maupun di hulu
dan laut lepas, wilayah ini tengah mengalami situasi yang tak menguntungkan dan
memprihatinkan. Kawasan tersebut berada dalam tekanan yang besar, dimana ekosistemnya
menghadapi ancaman kerusakan dan penurunan kualitas yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kelangsungan fungsional ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Menurut catatan Dinas
Kebersihan DKI Jakarta, rata-rata volume sampah yang memasuki Teluk Jakarta mencapai 300
hingga 600 m3/hari dengan titik terjauh sekitar 35 km dari Pantai Marina, Jakarta Utara (Tim
Ekspedisi Ciliwung Kompas, 2009) sehingga berdampak amat buruk bagi ekosistem laut dan
pulau serta terhadap aktivitas ekonomi warga di sekitar Kepulauan Seribu maupun Pantai Jakarta
Utara.Ancaman-ancaman ini ada yang berdiri sendiri dan adapula yang saling berkaitan dalam
setiap pemanfatan sumberdaya atau kegiatan pembangunan yang memberikan dampak terhadap
ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Beberapa ancaman potensial terhadap ekosistem pesisir Teluk
Jakarta antara lain:
a. Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan pembukaan lahan atas (hulu) dan pesisir untuk pertanian,
pertambakan, permukiman, industri, dan pengembangan kota merupakan sumber
beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir. Adanya penebangan hutan dan
pembukaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimen serius
di beberapa daerah muara dan perairan pesisir Teluk Jakarta. Di samping itu sampah-
sampah padat yang berasal dari rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar
perairan pesisir yang sulit dikontrol, sebagai akibat perkembangan pemukiman dan
pusat-pusat perdagangan yang pesat. Demikian pula pembukaan lahan pesisir untuk
pertambakan dan industri berkontribusi penating dalam peningkatan pencemaran baik

11
organik maupun anorganik di perairan Teluk Jakarta. Sumber pencemar lain di pesisir
Teluk Jakarta berasal dari kegiatan reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dapat
mengakibatkan perubahan pada lingkungan pesisir, berupa peningkatan kekeruhan air
dan pengendapan sedimen.
b. Degradasi Habitat
Kebanyakan erosi pantai yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah
pembukaan hutan pesisir dan reklamasi pantai untuk kepeantingan pemukiman,
industry dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi
perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain terhadap habitat adalah degradasi
terumbu karang di pesisir Teluk Jakarta yang disebabkan oleh berbagai aktivitas
manusia, diantaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan,
komoditas perdagangan (ikan hias) dan obyek wisata (keindahan dan
keanekaragaman hayati).
c. Degradasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan dan perkembangan
permukiman serta perkotaan ke arah pesisir, semakin terlihat jelas adanya degradasi
sumberdaya alam pesisir. Salah satu degradasi sumberdaya alam pesisir Teluk Jakarta
yang cukup menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan
lahan/ konversi hutan atau reklamasi pantai menjadi kawasan pemukiman,
pertambakan, dan industri. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati di
peraiaran pesisir Teluk Jakarta diduga antara lain berasal dari pembangunan
infrastruktur (pelabuhan, industri, dll) di pinggir pantai dan juga reklamasi pantai.
Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di pesisir Jakarta, diperkirakan dapat
merubah struktur ekologi pesisir bahkan dapat menurunkan keanekaragaman hayati
perairan.

Adapun kondisi dari dua kawasan di Teluk Jakarta dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perairan Teluk
Perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal Water) dan
mempunyai peranan yang sangat besar dimana berbagai sektor telah memanfaatkan
wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan,

12
perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang
sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas
perairannya. Disamping itu, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya beberapa
sungai yang melewati kota Jakarta, diperkirakan ada 9 muara sungai yang membawa
limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan
lainnya dan menyebabkan perairan Teluk Jakarta mempunyai karakteristik yang khusus
dimana perairan ini menerima beban pencemaran yang cukup berat.
Di lain pihak Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan
kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI
Jakarta. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diambil suatu kebijakan oleh Pemda
Provinsi DKI Jakarta yang menyangkut peningkatan kualitas perairan teluk. Berbagai
upaya telah dilaksanakan untuk memperbaiki mutu perairan Teluk Jakarta antara lain
dengan program Kali Bersih yang bertujuan untuk mengendalikan beban pencemaran dari
kegiatan di sepanjang DPS Ciliwung, Cipinang, Mookervart, Cakung dan Grogol.
Pemerintah pusat melalui Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Provinsi DKI Jakarta, juga telah merencanakan Program Pantai Lestari yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan pantai dan laut agar pemanfaatannya dapat
ditingkatkan serta memperbaiki kondisi Mangrove dan Terumbu Karang di Kepulauan
Seribu.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka pihak BPLHD Provinsi DKI Jakarta setiap
tahunnya melaksanakan kegiatan pemantauan kualitas perairan Teluk Jakarta dan
sekitarnya dengan harapan dapat diperoleh informasi yang dapat dipakai sebagai bahan
pengendalian lingkungan. Pemantauan Teluk Jakarta meliputi perairan dan muara Teluk
Jakarta. Jumlah titik pemantauan sebanyak 41 titik terdiri dari 23 titik lokasi pemantauan
di perairan Teluk Jakarta dan 9 lokasi pemantauan di muara Teluk Jakarta dimana untuk
muara dilakukan dua kali pengukuran yaitu pada kondisi pasang dan surut. Parameter
yang dipantau adalah kimia, biologi, dan fisik. Kualitas pemantauan perairan dan muara
Teluk Jakarta tahun 2007 dan 2008 terdiri dari beberapa kriteria berikut: a. Fisik, yaitu
Suhu, Salinitas, Kedalaman, arah arus, kecepatan arus, pH, dan Kecerahan; b. Kimia,
yaitu Parameter Zat Padat Tersuspensi, Kekeruhan, Ammonia, Nitrit, Nitrat, Phospat,
COD, BOD, Oksigen terlarut, Organik, Phenol, Detergen dan Logam (Chromium,

13
Cadmium, Tembaga, Timah Hitam, Nikel dan Seng); c. Biologi, yaitu Plankton
(Zooplankton dan Phytoplankton), Benthos, Coliform, dan Fecal Coli.

Gambar 2. Lokasi Pemantauan Kualitas Air Perairan Dan Muara Teluk Jakarta

Sumber: DLH DKI Jakarta, 2008

Kadar DO di muara Teluk Jakarta sangat rendah sehingga tidak dapat menunjang
kehidupan biota laut. Tingginya tingkat pencemaran di muara dapat berpengaruh pada
kadar DO, karena oksigen banyak digunakan untuk dekomposisi bahan organik yang
terkandung dalam zat pencemar sehingga oksigen yang terkandung di air menjadi
berkurang. Perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran yang cukup tinggi yang
menjadikan tingginya tingkat kesuburan di perairan Teluk Jakarta, sehingga Teluk
Jakarta termasuk pada perairan eurotrofik. Pada semua titik pemantauan konsentrasinya
telah melebihi baku mutu. Kadar fenol tinggi, kemungkinan terjadi karena adanya
pengaruh aktifitas manusia dan kondisi lingkungan di sekitar, seperti adanya aktifitas
industri kimia, minyak, tekstil, dan plastik. Selain itu sumber pencemar fenol berasal dari
limbah domestik berupa pemutih pakaian dan limbah pewarna.

14
Adapun sumber utama pencemar phospat berasal dari daratan yaitu limbah
detergen. Tingginya konsentrasi phospat di zona C2 disebabkan pada zona masih
mendapat pengaruh yang mungkin timbul akibat arah arus yang mengakibatkan
pencampuran air laut dari muara ke perairan. konsentrasi BOD pada bulan Juli 2007
sebagian besar telah melebihi baku mutu. Tingginya kadar BOD mengindikasikan bahwa
pada zona perairan tersebut kebutuhan akan oksigen untuk menguraikan bahan organik
semakin tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga akan tinggi.
Nilai indeks diversitas plankton (fitooplankton dan Zooplankton) dan
makrozoobenthos adalah sebagian dari parameter biologi perairan yang dapat digunakan
untuk menentukan tingkat pencemaran di Teluk Jakarta. Indeks keragaman
Phytoplankton dan zooplankton di Perairan Teluk Jakarta pada tahun 2007 dan 2008
berada pada kisaran tercemar ringan sampai tercemar berat, dan makrozoobenthos berada
pada kisaran tercemar sangat ringan sampai berat

b. Muara Teluk Jakarta


Kawasan ini merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melalui wilayah
DKI Jakarta. Terdapat 9 muara yang masuk ke Teluk Jakarta, yang menjadikan kualitas
air di muara Teluk Jakarta menjadi sangat tercemar. Kualitas air di muara Teluk Jakarta
baik pada saat kondisi pasang maupun surut, lebih tercemar bila dibandingkan dengan di
perairan. Konsentrasi Amonia telah melebihi baku mutu, sumber pencemarnya berasal
dari limbah domestik yang mengalir ke sungai dan bermuara ke laut. Tingginya Amonia
hampir terjadi di semua lokasi ini setidaknya menunjukkan indikasi adanya pencemaran
bahan organik yang berasal dari limbah domestik maupun industri. Sumber lain yang
dapat berperan dalam meningkatkan kandungan Amonia adalah tinja yang berasal dari
biota akuatik yang merupakan limbah dari aktifitas metabolisme. Konsentrasi fenol pada
saat pasang telah memenuhi baku mutu di semua titik (DLH DKI Jakarta, 2008).
Konsentrasi phospat di muara pada semua titik baik kondisi pasang maupun surut
telah melebihi baku mutu. Hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi phospat yang
terkandung dalam air sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingginya konsentrasi phospat di muara Teluk Jakarta berasal dari
limbah domestik yang dialirkan oleh sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Hal ini akan

15
berpengaruh pada kondisi perairan Teluk Jakarta dimana akan mudah mengalami
eutrofikasi dan mudah terjadi blooming. Pada saat surut dan pasang konsentrasi BOD
sudah cukup tinggi dan telah melebihi baku mutu di semua muara. Dengan konsentrasi
yang tinggi ini maka akan akan mengurangi kandungan oksigen terlarut. Hal ini
menunjukkan pada muara tersebut kaya akan bahan organik yang mudah di urai
(biodegradable organic matter). Tingginya bahan organik pada daerah muara dapat
berasal dari aktifitas di sekitar muara atau sepanjang aliran sungai (DLH DKI Jakarta,
2008).
Parameter biologi perairan yang diamati meliputi kelimpahan plankton dan
benthos (makrozoobenthos). Berdasarkan hasil analisis terhadap kelimpahan Fitoplankton
dan makroozoobenthos, diperoleh nilai indeks diversitas/keanekaragaman untuk masing-
masing wilayah pemantauan. Nilai Indeks keragaman Phytoplankton di Muara Teluk
Jakarta pada saat pasang maupun surut berada pada kisaran tercemarsedang sampai berat,
Zooplankton berada pada kisaran tercemar ringan sampai berat, dan makrozoobenthos di
muara Teluk Jakarta pada saat pasang maupun surut menunjukkan kondisi interval
tercemar ringan sampai berat (DLH DKI Jakarta, 2008).

Kondisi kritis tersebut menunjukkan bahwa kawasan pesisir Teluk Jakarta perlu
dilakukan penanganan yang lebih serius, karena di kawasan pesisir Utara Jakarta juga banyak
ditemui beberapa kluster permukiman kumuh, seperti Muara Angke, Kampung Luar Batang,
Kalibaru dan sebagainya. Selain itu terdapat permukiman nelayan Kamal Muara, Muara Angke
dan Kalibaru yang juga berfungsi sebagai tempat perdagangan dan pengolahan ikan.

4. Konversi Lahan Pantai Indah Kapuk


Wilayah Jakarta Utara yang di dalamnya terdapat daerah Pantai Indah Kapuk
menghadirkan permasalahan baru di balik permukiman yang mencirikan eksklusivitas dan
kehidupan kaum urban. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan arus urbanisasi yang
cukup besar di Jakarta, diperlukan juga tempat permukiman. Hal ini dimanfaatkan oleh PT
Mandara Permai untuk mengembangkan kawasan permukiman. Tidak hanya sebagai tempat
tinggal tetapi juga sebagai kawasan bisnis yang strategis dengan memanfaatkan kawasan
peresapan air di utara Jakarta yang sekarang menjadi Pondok Indah Kapuk. Rawa dan hutan

16
mangrove yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air dikonversi menjadi lahan
permanen mengakibatkan air yang semula terhimpun di wilayah ini kemudian menjadi
genangan-genangan di sekitarnya dan meluap apabila musim penghujan tiba. Selain itu di sekitar
Jakarta terutama kawasan Jakarta Utara kondisi air tanah sudah mengalami penyusutan dan
kerusakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Kawasan ini dijadikan aset ekonomi yang menghasikan profit bagi pihak-pihak tertentu
yang mencari keuntungan dari proyek tersebut. Padahal dengan mengambil keuntungan dari
profit yang justru merusak ekosistem, ekologi dan keanekaragaman hayati justru mendatangkan
permasalahan dan kerugian yang lebih besar. Contohnya adalah masalah banjir yang setiap
tahunnya melanda Jakarta. Daerah Pantai Indah Kapuk dengan permukiman yang bernama
Pondok Indah Kapuk dibangun di wilayah di bawah permukaan air laut. Akibatnya alih fungsi
lahan yang bersifat permanen ini membuat tidak adanya resapan air, sehingga banjir akan terjadi
di sekitar wilayah Pantai Indah Kapuk. Namun kawasan perumahan elite tersebut tidak
merasakan masalah ini karena air pada lahan basah ini dialirkan ke wilayah-wilayah sekitarnya.
Lahan ini juga mengalami penurunan, dapat dilihat dari jalan tol menuju bandara
Seokarno-Hatta, lahan daerah tersebut semakin rendah bahkan menjadi lebih rendah dari
kawasan Pantai Indah Kapuk. Hal ini disebabkan, karena jalan tol yang terletak di dekat kawasan
ini harus menampung beban mobil setiap waktu. Pola pemanfaatan lahan masih dianggap
permasalahan sektoral sehingga masalah ini menjadi agenda subwilayah yang kadang terabaikan
bahkan menjadi suatu masalah yang dibayar dengan sejumlah uang tertentu, padahal kriteria
setiap kawasan berbeda. Keadaan tanah dan kondisi lahan harus sesuai dengan pola
pemanfaatannya, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dalam pemanfaatan lahan yang dapat
berakibat fatal.
Untuk mencegah permasalahan yang semakin kronis maka yang harus dilakukan adalah
evaluasi sumberdaya lahan, perencanaan pembangunan lahan, penegakan hukum bagi pihak yang
melanggar, menjaga dan memperbaiki ekosistem di wilayah Pantai Indah Kapuk, menyusun
langkah strategis guna memperbaiki tata guna lahan dan tata ruang wilayah sehingga ada
alternatif daerah resapan air di Pantai Indah Kapuk dan pencegahan serta langkah alternatif
dalam mengantisipasi debit air permukaan yang semakin besar ke wilayah sekitar Pondok Indah
Kapuk serta sulitnya pasokan air tanah pada saat musim kemarau.

17
Lahan basah berperan menjadi penyangga sumber kehidupan, siklus air tanah dan air
sungai, dan siklus tanah dalam kesuburan kesuburan keanekaragaman hayati flora, fauna, dan
manusia. Lahan untuk fungsi lindung banyak menjadi tempat pemukiman manusia berkaitan
dengan tata ruang yang semakin sempit. Pada daerah-daerah yang kritis, maka kebijakan yang
ada harus dapat memberikan arahan pada tindakan-tindakan nyata untuk rehabilitasi (Muhajir
dkk, 1992 dalam Esanawati, dkk., 2007).
Keadaan hutan konservasi saat ini sangat memprihatinkan dengan adanya sampah-
sampah yang berserakan, semak belukar dan warna tanahnya hitam pekat akibat pencemaran
minyak. Kawasan Pantai Indah Kapuk juga merupakan Suaka Margasatwa Muara Angke tempat
kawasan hutan mangrove. Suaka Margasatwa Muara Angke merupakan bagian dari hutan Angke
Kapuk yang total luasnya 1.154,88 hektar. Sebagian besar hutan Angke Kapuk sudah dikuasai
PT Mandara Permai, pengembang yang membangun kawasan permukiman Pantai Indah Kapuk.
Dari 1.154,88 hektar hutan yang ada di kawasan hutan Angke Kapuk, seluas 827,18 hektar
diambil alih untuk permukiman, lapangan golf, tempat rekreasi dan olahraga, bangunan umum,
olahraga air, cottage, hotel, dan kondominium (Esanawati, dkk., 2007).
Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi DKI, luas kawasan hutan yang dipertahankan
tinggal 327,7 hektar, terdiri atas hutan lindung (44,76 hektar), hutan wisata (99,82 hektar), suaka
margasatwa (25,02 hektar), kebun pembibitan (10,5 hektar), transmisi PLN (23,70 hektar),
Cengkareng Drain (28,39 hektar), serta untuk keperluan jalan tol dan jalur hijau (95,50 hektar).
Sebelum dikembangkan menjadi kawasan permukiman, Suaka Margasatwa Muara Angke juga
merupakan habitat satwa-satwa liar. Daerah ini mempunyai fungsi sebagai pengendali banjir.
Sebagai upaya melindungi kawasan penyerapan dan perlindungan terhadap abrasi pantai,
pemerintah Hindia Belanda saat itu menetapkan kawasan hutan bakau Muara Angke sebagai
kawasan konservasi (Esanawati, dkk., 2007).
Kontroversi pembangunan permukiman di Pantai Indah Kapuk berpangkal dari izin
perubahan fungsi kawasan. Hutan Angke Kapuk yang sejak 10 Juni 1977 ditetapkan Menteri
Pertanian sebagai hutan lindung dan sisanya untuk hutan wisata dan pembibitan, diubah menjadi
permukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi, dan lapangan golf, dengan syarat tetap
menyediakan hutan lindung. Persetujuan perubahan fungsi tertulis dalam SK Dirjen Kehutanan
31 Juli 1982. Gubernur DKI setuju karena peningkatan nilai ekonomi kawasan itu lebih
menggiurkan. Dalam bentuk rawa-rawa dan tambak nelayan, saat itu Ipeda (Iuran Pembangunan

18
Daerah) yang bisa ditarik hanya Rp 2.000/ha/tahun. Begitu menjadi perumahan, DKI bisa
mendapat Rp 2.000.000/ha/tahun. Sehingga apabila luasan kawasan yang berubah fungsi adalah
831,63 ha, maka dana yang dihimpun mendekati Rp 2 miliar setiap tahun. Tidak heran bila
Gubernur segera mengeluarkan keputusan tanggal 15 Agustus 1984. Isinya menetapkan areal
pengembangan hutan Angke-Kapuk dan Gubernur tidak merasa melanggar RUTR (Rencana
Umum Tata Ruang) dan RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota). Padahal, dalam master plan
itu, jelas disebutkan kawasan itu hanyalah untuk hutan lindung dan hutan wisata, sekaligus
mencegah banjir di bandara Soekarno-Hatta (Esanawati, dkk., 2007). Atas dasar pertimbangan
seperti itulah, proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan daerah propinsi DKI Jakarta.
Menurut Esanawati, dkk. (2007), degradasi lingkungan dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu meningkatnya kebutuhan ekonomi (economic requirement) dan gagalnya kebijakan (policy
failure). Namun, daya dukung lingkungan (carrying capasity) sangat perlu diperhatikan, sebab
justru dengan mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan akan berdampak lebih buruk
dari apa yang dihasilkan.

5. Respon Pemerintah DKI Jakarta


Urgensi tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan ini ialah melakukan
perencanaan ulang terhadap pengembangan lahan di kota dengan mempergunakan model-model
dan teknik yang sesuai. Selain itu pengembang di Pantai Indah Kapuk dihentikan izin perluasan
pembangunan pemukiman guna mengurangi kerusakan terhadap sistem parkir air. Pengendalian
dan pengawasan pengembangan lahan harus semakin diintesifkan mencakup kebijaksanaan
umum pertanahan (land policy), rencana tata ruang yang pengembangannya melalui kesepakatan
bersama rakyat, adanya komitmen rasional mengenai pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk
perkembangan sosial dan ekonomi, dan adanya kriteria pengakomodasian dinamika
perkembangan masyarakat (Esanawati, dkk., 2007).
Adapun upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka meminimalkan kerusakan
ekosistem, antara lain (DLH DKI Jakarta, 2008):
1) Kegiatan Bersih Pantai, yakni program aksi bersih-bersih pantai dari sampah secara
terpadu yang dapat didukung oleh kegiatan usaha yang berada di pantai Utara Jakarta

19
melalui program CSR, dimana langkah yang dilakukan adalah membagi garis pantai utara
Jakarta menjadi 5 zona berdasarkan lokasi kegiatan.
2) Kegiatan Super perusahaan meliputi: pelaksanaan Peraturan Pengelolaan Limbah pada
perusahaan yang berada di wilayah pesisir Utara yang antara lain: Limbah Proses,
Limbah Domestik, Emisi Proses dan Utilitas, Emisi Kendaraan Bermotor, Limbah Padat,
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
3) Green and Clean, yakni program untuk menggerakkan kominitas menjadi agen
”perubahan perilaku”, dimana target program Jakarta Green and Clean pada tahun 2008
adalah tercapainya program tersebut di 150 Kelurahan, 300 RW, 3.000 RT dan
melakukan penggalangan kader sebanyak 35.000 orang.
4) Pengembangan insfrastruktur, polder dan relokasi permukiman nelayan.

Secara umum wilayah Pantura Jakarta dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pengembangan
yaitu Wilayah Pengembangan Barat untuk pemukiman dan campuran; Wilayah Pengembangan
Tengah untuk kepariwisataan; dan Wilayah Pengembangan Timur untuk industri dan
pergudangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pengendalian dan pemulihan lingkungan Pantura
Jakarta yang dituangkan melalui Program Reklamasi dan Revitalisasi Pantura Jakarta (pedoman
Keppres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Ruang Kawasan Pantura
Jakarta). Tetapi program ini belum dapat berjalan secara maksimal karena masih adanya
perbedaan pendapat dan dukungan di tingkat pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Adapun
upaya-upaya yang sedang diusahakan untuk dilakukan oleh pemerintah adalah (DLH DKI
Jakarta, 2008):
1) Melakukan koordinasi dengan seluruh stakeholder terkait untuk dapat merumuskan
konsep/langkah-langkah reklamasi dan revitalisasi yang berwawasan lingkungan agar
dapat menghasilkan satu pemikiran yang sama dalam pengelolaan lingkungan kawasan
Pantura yang berwawasan lingkungan antara diantara stakeholders terkait.
2) Pengelolaan pesisir Teluk Jakarta berbasis zonasi, untuk saat ini kegiatan yang telah
dilakukan dalam upaya bersih pantai melalui Program CSR (Corporate Social
Responsibility) yang membagi garis pantai Utara Jakarta menjadi 5 zona berdasarkan
lokasi kegiatan usaha seperti terlihat pada denah berikut:

20
Gambar 3. Denah Zona Aksi Bersih-Bersih Sampah di Pantai Utara Jakarta

Sumber: DLH DKI Jakarta, 2008

Keterangan mengenai zonasi aksi bersih-bersih oleh pemerintah dan seluruh


elemen masyarakat sekitar yakni:
a. Zona A meliputi wilayah seluas 5,75 km dengan koordinator PT Mandara Permai
serta anggota 20 institusi yakni: PT. Kapuk Naga Indah, Hutan Lindung Kapuk,
Hutan Lindung Cagar Alam Muara Angke, PT. Jasamarga (Pengelola Tol
Sedyatmo), PT. Multi Artha Pratama, Damai Indah Pantai Indah Kapuk, Rumah
Sakit Pantai Indah Kapuk, PT. Berkat Plywood, PT. Wirasakti Surya Persada, PT.
Wahana Indonesia, PT. Murinda (Pengelola Taman Wisata Alam Angke Kapuk),
Pengelola Perumahan Grisenda, Audi Pantai Indah Kapuk, Nissan Pantai Indah
Kapuk, Suzuki Pantai Indah Kapuk, Volvo Pantai Indah Kapuk, Sekolah
St.Nickolas Pantai Indah Kapuk, Sekolah Bina Bangsa School, Sekolah Singapore
Internasional School, STIP Marunda
b. Zona B meliputi wilayah seluas 16,25 km, dengan koordinator PT Batavia Sunda
Kelapa Marina (Marina Batavia), serta anggota sebanyak 73 institusi. Dimana ada
TPI Muara Angke, PLTGU Muara Karang, UPT Pelelangan Ikan Muara Karang,
Dept. Kelautan dan Perikanan, Perumahan Pantai Mutiara, dan yang lainnya adalah
perusahaan perseroan terbatas.

21
c. Zona C meliputi wilayah seluas 11,50 km dengan koordinator PT Taman Impian
Jaya Ancol dengan anggota sebanyak 21 institusi diantaranya: PT. Indonesia
Power, Mabes POLRI, AIRUD, dan yang lainnya adalah perusahaan perseroan
terbatas.
d. Zona D meliputi wilayah seluas 3,75 km dengan koordinator PT. Bogasari Flour
Mills, dengan anggota: PT. Adiguna Shipbuilding, PT. Sarfindo Soybean
Industries, PT. Dharma Karya Perdana, dan PT. Eastern Polimer.
e. Zona E meliputi wilayah seluas 3,25 km dengan koordinator PT. Kawasan Berikat
Nusantara dengan anggota sebanyak 34 institusi dan hampir seluruhnya merupakan
pabrik/ perusahaan.

3) Pengendalian Krisis Ekologi di Hulu, Tengah, Hilir, Pesisir dan Laut di Wilayah
Jabodetabekjur yang bertujuan mencari terobosan pemikiran, prinsip-prinsip dan
pendekatan untuk mengendalikan krisis ekologi di kawasan hulu, tengah, hilir, pesisir dan
laut di wilayah Jabodetabekjur.
4) Pengelolaan Jabodetabekjur Berbasis Ekosistem DAS Ciliwung-Cisadane, sehingga
pengelolaan Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan ekosistem DAS Ciliwung-Cisadane
tidak terlepas dari Kebijakan, Rencana dan Program yang terpadu dalam pengelolaan
lingkungan hidup di wilayah Jabodetabekjur, baik di tingkat Pemerintah Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota dan stakeholders yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan
pengelolalaan Jabodetabekjur.
5) Kegiatan Super oleh perusahaan di pesisir, “Green and Clean”, dan pengembangan
insfrastruktur polder dan relokasi permukiman nelayan.
6) Pemasangan ajir untuk menanam bakau rhizopora di kawasan Restorasi Ekologis Hutan
Lindung Angke Kapuk-Pantai Indah Kapuk; pemasangan ajir untuk persiapan penanaman
bibit pohon bakau rhizopora pada areal Restorasi Ekologis di Hutan Lindung Angke
Kapuk-Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara (Nopember 2007); restorasi ekologis di
kawasan reklamasi Hutan Lindung Angke Kapuk yang ditandai dengan penanaman 1.000
tegakan pohon bakau rhizopora pada Desember 2007.

22
6. Kesimpulan dan Saran
Perairan Teluk Jakarta mempunyai peranan sangat besar dimana berbagai sektor telah
memanfaatkan wilayah ini, yang meliputi sektor industri, pertambangan, perhubungan,
perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan yang sedemikian banyak dan tidak terkendali
telah menurunkan tingkat kualitas perairannya. Teluk Jakarta juga merupakan tempat
bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta, dan diperkirakan ada 9 muara sungai
yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta
kegiatan lainnya yang menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang
cukup berat.
Urgensi tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan ini ialah melakukan
perencanaan ulang terhadap pengembangan lahan di kota dengan mempergunakan model-model
dan teknik yang sesuai. Semua pengembang di kawasan Teluk Jakarta diminta untuk
memperbaiki sistem parkir air. Pengendalian dan pengawasan pengembangan lahan harus
semakin diintesifkan mencakup kebijaksanaan umum pertanahan (land policy), rencana tata
ruang yang pengembangannya melalui kesepakatan bersama rakyat, adanya komitmen rasional
mengenai pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk perkembangan sosial dan ekonomi, dan
adanya kriteria pengakomodasian dinamika perkembangan masyarakat. Selain itu,
mengintensifkan lagi Program Reklamasi dan Revitalisasi Pantura Jakarta yang telah digagas
secara baik oleh pemerintah.

7. Daftar Pustaka
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup DKI Jakarta
2008.
Esanawati, R., dkk. 2007. Permasalahan Konversi Lahan di Pantai Indah Kapuk. Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
Tim Ekspedisi Ciliwung Kompas. 2009. Ekspedisi Ciliwung. Kompas: Jakarta.

23

You might also like