You are on page 1of 60

http://educare.e-fkipunla.net/index.php?

option=com_content&task=view&id=40&Itemid=3
Penelitian Tentang Manfaat Tujuan Pembelajaran Khusus dalam Proses Belajar
Mengajar

Ditulis oleh Otong Kardisaputra


A. Latar belakang masalah

Sejak diberlakukannya Kurikulum 1975, yang waktu itu dikenal dengan sebutan
Pembakuan Kurikulum, para guru diwajibkan menggunakan tujuan instruksional
khusus (TIK) dalam melaksanakan tugasnya dari mulai perencanaan pengajaran,
pelaksanaan proses belajar-mengajar sampai evaluasi pengajaran. Kewajiban itu
merupakan implikasi dari penggunaan prinsip objective oriented sebagai salah satu
asas pengembangan kurikulum. Penerapan prinsip berorientasi pada tujuan ini
nampak pada Kurikulum 1975 dengan dicantumkannya berbagai jenis tujuan yang
tersusun secara hierarkhis, dari mulai tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional,
tujuan kurikuler sampai ke tujuan instruksional umum. Atas dasar tujuan-tujuan itu,
guru diwajibkan mengembangkan tujuan instruksional khusus untuk diusahakan
pencapaiannya pada proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya. Tujuan
instruksional khusus itu menjadi tujuan antara untuk mencapai tujuan yang berada di
atasnya.

Sejak diimplementasikannya Kurikulum 1975 sampai dewasa ini para guru telah
terbiasa merumuskan tujuan instruksional khusus yang dewasa ini biasa disebut
tujuan pembelajaran khusus (TPK), sebagai bagian penting dari tugas menyusun
Program Satuan Pelajaran dan Rencana Pelajaran. Jika dihitung-hitung, penggunaan
TPK dalam pengajaran (proses belajar-mengajar) telah berlangsung selama lebih dari
seperempat abad. Artinya suatu jangka waktu yang cukup panjang dalam menerapkan
suatu gagasan, sehingga layak untuk diperiksa hasilnya, dengan mengajukan
pertanyaan: apa dampak dari penerapan ide ini? Persoalan lain yang tidak kurang
pentingnya adalah masalah: apakah gagasan itu telah diterapkan secara semestinya?
Suatu studi kecil yang dilakukan peneliti di kalangan guru yang mengikuti lanjutan
studi di IKIP Bandung (sekarang UPI) dan pada beberapa program penataran dengan
pengalaman kerja kebanyakan belasan tahun yang seluruhnya berjumlah 164 orang,
ternyata hanya 27, 43 % dari mereka mengaku senantiasa menginformasikan TPK
pada fase pembukaan pembelajarannya. Selebihnya mengaku hanya kadang-kadang
saja dan bahkan sebagian menyatakan tidak pernah sama sekali memberitahukan TPK
kepada para siswanya pada waktu mengajar. Informasi lain diperoleh dari Pengawas
(Dikbud) di wilayah Bogor, yang menyatakan bahwa kurang lebih 10% dari guru-
guru di wilayah itu yang terbiasa menginformasikan tujuan pembelajaran khusus
kepada para siswanya ketika mereka mengajar. Data dan informasi itu
mengindikasikan kekurang pahaman bagian terbesar dari mereka akan fungsi dan
manfaat TPK dalam pembelajaran. Itu sebabnya mereka tidak memperlakukan TPK
secara semestinya. Konsekuensinya TPK kehilangan fungsinya seperti digagaskan
oleh penggagasnya. Jadi apa yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan suatu ide,
jika ide itu tidak diterapkan sebagaimana mestinya?

Persoalan lain adalah bahwa pengunaan prinsip objective oriented dalam


pengembangan kurikulum itu nampaknya tidak didahului oleh suatu kajian mendalam
dan luas mengenai keampuhan prinsip itu bila diterapkan di Indonesia. Boleh jadi
penerapan prinsip itu hanya didasarkan pada expert judgement semata. Bukankah
betapa pun bagusnya sebuah ide di lingkungan tertentu tidak akan serta merta bagus
pula untuk diterapkan di lingkungan lainnya. Aspek sosial, budaya, dan sumber daya
akan turut menentukan keberhasilan penerapan suatu gagasan. Apa lagi jika kita baca
beberapa literatur, ternyata di Amerika Serikat sindiri pun tempat lahirnya gagasan
perlunya TPK dalam pembelajaran, sempat menjadi sebuah isyu kontroversial di
antara para pakar. Beberapa pakar, misalnya L.T. Dawley dan H.H. Dawley (1974),
P.C. Duchastel dan B. Brown (1975), W.E. Hauck dan J.W. Thomas (1972), R.J.
Kibler (1977), dan lain-lain, melalui penelitiannya masing-masing menemukan
bahwa penggunaan TPK dalam proses belajar-mengajar ternyata dapat meningkatkan
keberhasilan siswa belajar. Tetapi sebaliknya H. Hausdorf (1965), R.L. Ebel (1970),
E.W. Eisner (1967) memandang penggunaan TPK dalam mengajar tidak jelas
manfaatnya. W.J. Popham menulis secara rinci dan mendalam yang esensinya
meragukan validitas sejumlah argumen yang diajukan sejumlah pakar mengenai
kekurang bermaknaan penggunaan TPK dalam pengajaran.

Fenomena yang mengindikasikan belum meratanya kematapan pemahaman guru-


guru akan fungsi dan kemanfaatan dan cara bagaimana memperlakukan TPK dalam
mengajar serta adanya inkonsistensi hasil penelitian dan pandangan yang saling
berbeda di antara sejumlah pakar di Amerika Serikat (R.J. Kibler, 1981; W. Dick dkk.
1985; R.I. Arends,1989) telah mendorong dilakukannya penelitian ini. Dengan
penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan empiris mengenai manfaat TPK
dalam upaya meningkatkan efektifitas proses belajar-mengajar di sekolah.

A. Rumusan Masalah

Secara umum, masalah yang hendak diteliti dalam studi ini adalah manfaat
penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam proses belajar-mengajar. Secara lebih
khusus, masalah itu dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah penggunaan tujuan
pembelajaran khusus meningkatkan efektifitas proses belajar-mengajar?”

Tujuan pembelajaran khusus dalam rumusan masalah itu didefinisikan sebagai:


“pernyataan yang menjelaskan apa yang diharapkan dapat dilakukan siswa setelah
mengikuti satu unit proses belajar-mengajar.” Satu unit proses belajar-mengajar di
sini dimaksudkan sebagai satu pertemuan kelas selama dua kali 45 menit dalam mana
berlangsung rangkaian hubungan edukatif antara guru dengan siswa dan interaksi
antara tindakan pembelajaran guru dengan perbuatan belajar siswa yang ditujukan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dimaksudkan dengan kata-kata “penggunaan tujuan pembelajaran khusus” dalam


rumusan masalah tersebut adalah perlakuan guru terhadap rumusan tujuan-tujuan
pembelajaran khusus yang telah dikembangkan guru sebagaimana yang
dicantumkannya dalam program satuan pelajaran dan/atau rencana pelajaran yang
dibuatnya. Dalam penelitian ini ditetapkan dua kondisi sebagai berikut:

1. Tujuan pembelajaran khusus telah diperlakukan secara semestinya (benar)


apabila tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang dibawa guru ke dalam kelas belajar
diinformasikan kepada siswa dengan jelas pada fase pembukaan proses belajar-
mengajar sehingga tujuan pembelajaran khusus menjadi fungsional;

2. Tujuan pembelajaran khusus diperlakukan secara tidak semestinya apabila


Pembentukan Pengetahuan Sains, Teknologoi dan Masyarakat dalam
Pandangan Pendidikan IPA
Ditulis oleh Reviandari Widyatiningtyas
A. Pembentukan Pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki seseorang pada dasarnya berupa konsep-konsep. Konsep-


konsep ini diproleh individu sebagai hasil berinteraksi dengan lingkungan. Dengan
konsep-konsep dapat disusun suatu prinsip, yang dapat digunakan sebagai landasan
dalam berpikir. Konsep didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut. Menurut
Good (1973: 124), konsep adalah gambaran dari ciri-ciri, yang dengan ciri-ciri itu
objek-objek dapat dibeda-bedakan. Menurut Yelon et al. (1971: 190), konsep adalah
elemen umum dari sekelompok objek, peristiwa atau proses. Sedangkan menurut
Kuslan dan Stone (1968: 79), konsep adalah sifat Khas yang diberikan pada sejumlah
objek, proses, fenomena, atau peristiwa, yang dapat dikelompokkan berdasarkan sifat
khas itu.

Rumusan definisi yang dikemukakan diatas mengandung makna yang sama, yaitu
konsep merupakan suatu abstraksi yang mengambarkan ciri-ciri umum dari
sekelompok objek, proses, peristiwa, atau fenomena lainnya.

Gagne (1985 ; III ) dan Gagne and Briggs (1974: 40) menyatakan bahwa konsep
dapat digolongkan kedalam dua golongan yaitu konsep konkrit dan konsep
terdefinisi. Konsep konkrit adalah konsep yang menunjukkan ciri-ciri atau atribut
dari suatu objek, yaitu relatif mudah dikenali dengan indra. Contoh konsep konkrit
misalnya konsep warna (merah, hijau), bentuk (bulat, datar), sifat (keras, lunak), dan
sebagainya.

Konsep terdefinisi adalah konsep yang dapat dikenali (dipahami) melalui definisi,
jadi sifatnya abstrak. Contoh konsep terdefinisi misalnya konsep: penduduk, fertilitas,
ovulasi, dan sebagainya.

Praget (dalam Dahar, 1989: 159) melalui penelitiannya tentang bagaimana anak
memperoleh konsep atau pengetahuan, berkesimpulan bahwa konsep atau
pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Hasil penelitiannya ini yang
menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama.

Guston et-al (dalam Poedjiadi, 1995: 15) menyatakan bahwa paham konstruktivisme
bertitik tolak dari mempelajari bagaimana individu belajar. Pandangan
konstruktivisme dalam belajar adalah bahwa individu membangun maknanya sendiri
apabila menerima input melalui sensornya.

Dalam pembentukan pengetahuan melibatkan kegiatan berpikir. Ada tiga aspek yang
diajukan Piaget (dalam Dahar, 1989: 110) dalam membahas berpikir pada anak, yaitu
isi, struktur dan fungsi. Isi ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada
respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
Jadi isi mengacu kepada tingkah laku yang nampak sebagai pencerminan dari
kegiatan intelektual. Kerana itu isi berbeda dari umur ke umur dan satu anak ke anak
lainnya. Isi ditentukan oleh struktur kognitif yang disebut skemata atau skema.
Struktur kognitif adalah berupa fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-
generalisasi yang ada dalam pikiran siswa.

Struktuk mengacu pada sifat-sifat penataan (skemata) yang menjelaskan terjadinya


tingkah laku tertentu. Skemata merupakan dasar untuk berpikir, untuk melakukan
operasi-operasi logis, atau memahami sesuatu. Fungsi adalah cara yang digunakan
organisme untuk membuat kemajuan intelektualnya.

Proses terbentuknya pengetahuan pada individu sangat ditentukan oleh struktur


kognitifnya, yang berupa konsep-konsep yang ada dalam pikirannya. Dengan konsep-
konsep yang ada tersebut, memungkinkan individu dapat memikirkan sesuatu dengan
cara adaptasi (baik asimilasi maupun akomodasi), yang kemudian hasil-hasilnya
disistematikan dengan proses organisasi sehingga dihasilkan struktur (skemata) baru.
Dengan stuktur ini akan dihasilkan pola prilaku yang nampak.

Piaget (dalam Dahar, 1989: 159) membedakan tiga bentuk pengetahuan berdasarkan
sumber utamanya dan penstrukturannya. Tiga bentuk pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan fisik, pengetahuan logiko-matematik, dan pengetahuan sosial.

Pengatahuan fisik meliputi pengetahuan tentang benda-benda dan sifat-sifatnya.

Pengetahuan logiko-matematik diabstraksikan dari kegiatan, atau dari koordinasi


kegiatan dan bukan bersumber dari onjek itu sendiri, sumber pengetahuan logiko-
matematik adalah proses berfikir dari individu itu sendiri. Sedangkan proses
pembentukan logiko-matematik ialah mengorganisasi tindakan menjadi pola tindakan
yang lebih logis melalui modifikasi tindakan struktur kognitif.

Pengetahuan sosial terjadi dari hasil interaksi manusia dengan manusia. Individu
tidak mungkin memperoleh pengetahuan sosial tanpa berinteraksi dengan manusia
lain. Pengetahuan ini didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau
kebiasaan yang dibuat manusia.

Menurut Piaget (dalam Dahar, 1989: 159) pengetahuan sosial seperti nama hari
dalam seminggu, tanda atom unsur-unsur, satuan besaran pokok, dapat dipelajari
secara langsung, yaitu dari pikiran guru pindah ke pikiran siswa. Namun pengetahuan
fisik dan pengetahuan logiko-matematik tidak secara langsung dan utuh dipindahkan
dari pikiran guru ke siswa. Kedua pengetahuan ini tidak dapat diteruskan dalam
bentuk sudah jadi, setiap siswa harus membangun sendiri pengetahuan itu.

A. Penguasaan Pengetahuan Sains, Teknologi dan Masysarakat

Penguasaan pengetahuan sains dan teknologi akan dikaitkan dengan aspek sosial, hal
ini dikarenakan satu sama lain saling berkaitan. Untuk memperjelas hal tersebut,
dapat diungkap melalui definisi-definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Sains, menurut Titus (1959:78), mengandung tiga definisi yaitu sebagai sejumlah
disiplin ilmu, sebagai sekumpulan pengetahuan, dan sebagai metode-metode.
Disamping itu ditegaskan pula bahwa sains merupakan suatu rangkaian konsep-
konsep yang berkaitan dan berkembang dari hasil eksperimen dan observasi.

Menurut Robert B. Sund (1973: 2), sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body
of knowledge) dan proses penemuan pengetahuan. Dengan demikian, pada
hakekatnya sains merupakan suatu produk dan proses. Produk sains meliputi fakta,
konsep, prinsip, teori dan hukum. Proses sains meliputi cara-cara memperoleh,
mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang mencakup cara kerja, cara
berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara bersikap. Sains dirumuskan secara
sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan eksperimen dan induksi.

Teknologi, menurut Fischer (1975), adalah totalitas alat yang dikembangkan oleh
masyarakat untuk memperoleh objek-objek materi bagi makanan dan kenyamanan
manusia. Menurut Poerwadarminta (1983), teknologi adalah ilmu pengetahuan dan
kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri atau ilmu
pengetahuan tentang cara membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri atau
ilmu pengetahuan tentang cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan
menurut UNESCO (1983), teknologi adalah sebagai berikut:

……..technology is the know-how and creative process that may utilize tools,
resources, and systems, to solve problems, to enhance control over the natural an
man-made environment in endeavour to improve the human condition.

Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa, teknologi merupakan suatu perangkat
keras ataupun perangkat lunak yang digunakan untuk memecahkan masalah bagi
pemenuhan kebutuhan manusia.

Sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang


perkembangan sains, sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam
upaya memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam, namun juga untuk
aktivitas penemuan (invention), misalnya dalam penemuan rumus-rumus.
Pengembangan sains ini tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat.
Sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama untuk kegiatan
invention, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian
yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ; Yager, 1992: 4).

Masyarakat , menurut Aikenhead (dalam Mariana, 1994: 29), adalah suatu


lingkungan pergaulan sosial dan kaidah-kaidah yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat. Menurut Poerwadarminta (1983), masyarakat adalah sehimpunan orang
yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan dan aturan-aturan
tertentu. Sedangkan, sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat. Jadi,
secara ringkas dapat dikatakan bahwa, masyarakat adalah sekelompok manusia yang
memiliki wilayah, kebutuhan, dan norma-norma sosial tertentu.

Sains, teknologi dan masyarakat satu sama lain saling berinteraksi. Interaksi ini dapat
digambarkan seperti gambar sebagai berikut:
SAINS

TEKNOLOGI

MASYARAKAT

Untuk mengungkap penguasaan pengetahuan sains dan teknologi tersebut, dapat


dilakukan melalui suatu evaluasi. Evaluasi merupakan suatu pengukuran atau
penilaian terhadap sesuatu prestasi atau hasil yang telah dicapai. Mengingat
penguasaan sains dan teknologi dalam penelitian ini merupakan penguasaan sains dan
teknologi yang berkaitan dengan aspek masyarakat, maka kriteria pengembangan
evaluasinya dapat mengacu kepada pengembangan evaluasi dalam unit STS atau
STM (sains, teknologi, masyarakat).

Evaluasi dalam STM meliputi ruang lingkup aspek:

1. Pemahaman konsep sains dalam pengalaman kehidupan sehari-hari,

2. Penerapan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains untuk masalah-


masalah teknologi sehari-hari,

3. Pemahaman prinsip-prinsip sains dan teknologi yang terlibat dalam alat-alat


teknologi yang dimamfaatkan masyarakat,

4. Penggunaan proses-proses ilmiah dalam pemecahan masalah-masalah yang


terjadi dalam kehidupan sehari-hari,

5. Pembuatan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kesehatan, nutrisi,


atau hal-hal lain yang didasarkan pada konsep-konsep ilmiah. (Varella, 1992:87-88)

B. STM dan Literasi Sains dan Teknologi

Pendidikan IPA atau pendidikan sains pada hakekatnya merupakan upaya


pemahaman, penyadaran, dan pengembangan nilai positif tentang hakekat sains
melalui pembelajaran. Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan pengetahuan
tentang fenomena alam yang meliputi produk dan proses.

Pendidikan sains merupakan salah satu aspek pendidikan yang menggunakan sains
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan umumnya yakni tujuan pendidikan
nasional dan tujuan pendidikan sains khususnya, yaitu untuk meningkatkan
pengertian terhadap dunia alamiah (Amien, 1992: 19-20).

Untuk penyusunan materi pendidikan sains, Kirham (dalam Wellington, 1989: 136)
menyarankan bahwa sains hendaknya merupakan akumulasi dari content, process,
dan context.

Content, menyangkut kepada hal-hal yang berkaitan dengan fakta, definisi, konsep,
prinsip, teori, model, dan terminologi.

Process, berkaitan dengan metodologi atau keterampilan untuk memperoleh dan


menemukan content.

Context, berkaitan dengan kepentingan sosial baik individu maupun masyarakat atau
kepentingan-kepentingan lainnya yang berhubungan dengan perlunya pengembangan
dan penyesuaian pendidikan sains untuk menghadapi tantangan kemajuan jaman
sekarang ini.

Tantangan pendidikan sains dewasa ini adalah perlu sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta perlu dapat mengantisipasi masalah-masalah sosial
yang berkaitan dengan sains dan teknologi tersebut. Untuk kepentingan itu,
pengajaran sains dewasa ini perlu dikaitkan dengan aspek teknologi dan masyarakat.

Pengajaran yang mengkaitkan sains dengan teknologi dan masyarakat, dikenal


dengan pengajaran dengan pendekatan STM atau STS. Pendekatan Science-
Technology-Society atau STS ini pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat
pada tahun 1980-an, selanjutnya dikembangkan pula di Inggris dan Australia.
National Science Teacher Association atau NSTA, mendefinisikan STS sebagai
belajar/mengajar sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia (Poedjiadi,
1994: 1).

Berkenaan dengan strategi pelaksanaan pendekatan STM, Anna Poedjiadi (1995: 4)


mengemukakan hal sebagai berikut:

Pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam strategi.

strategi pertama, menyusun topik-topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep


yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada awal perubahan tiap topik, guru
memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah
dilingkungan peserta didik atu menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk
teknologi yang ada dilingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada dilingkungan
masyarakat dapat pula diusahakan agar ditemukan oleh peserta didik sendiri setelah
guru membimbing dengan cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau
diskusi kelompok yang dirancang oleh guru akhirnya dibangun atau dikonstruktur
pengetahuan pada peserta didik, dalam hal ini pengetahuan yang berbentuk konsep-
konsep . Strategi ini mirip dengan stategi pendidikan IPA terpadu. Perbedaannya
ialah bahwa pada program STM, isu atau masalah harus diangkat pada awal
pembahasan topik yang diajarkan, sedangkan dalam IPA terpadu tidak mutlak harus
dilaksanakan demikian.

Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu
yang termasuk dalam GBPP. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu suatu
topik yang relevan telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapakan dalam
pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.

Strategi ketiga, mengajak peserta didik untuk berpikir dan menemukan aplikasi
konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-
sela kegiatan belajar berlangsung, contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu
atau masalah sebaiknyadperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk
meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya atau
mengarahkan perhatian peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai
apersepsi.

Pengajaran dengan pendekatan STM dapat meningkatkan literasi sains dan


teknioplogi individu. Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca
dan menulis, atau kemampuan berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata.

Literasi sains (scientific literasi), dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan
aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi teknologi, dapat diartikan sebagai
kemampuan melaksanakan teknologi yang didasari kemampuan identifikasi, sadar
akan efek hasil teknologi, dan mampu bersikap serta mampu menggunakan alat
secara aman, tepat, efesien dan efektif. Adapun literasi sains dan teknologi (literasi
sains dan teknologi untuk semua orang yang diusulkan untuk pendidikan dasar di
Indonesia), dapat diartikan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah dengan
menggunakan konsep-konsep sains, mengenal teknologi yang ada beserta dampaknya
di sekitar, mampu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kreatif
membuat produk teknologi sederhana, dan mampu mengambil keputusan
berdasarkan nilai.

Krakteristik individu yang memilki literasi ilmiah adalah sebagai berikut: (a) bersikap
positif terhadap sains, (b) mampu menggunakan proses sains, (c) berpengatahuan luas
tentang hasil-hasil riset, (d) memilki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains,
serta mampu menerapkannya dalam teknologi dan masyarakat, (e) memilki
pengertian hubungan antara sains, teknologi, masyarakat dan nilai-nilai manusia, (f)
berkemampuan membuat keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk
pemecahan masalah-masalah masyarakat yang berhubungan dengan sains tersebut
(Rubba, 1993: 428).

Adapun individu yang literat teknologi menurut M.J. Dyrenfurth (dalam Poedjiadi,
1994: 34) , memiliki karakteristik: (a) tahu penggunaan dan pemeliharaan produk
teknologi, (b) sadar tentang proses dan prinsip teknologi, (c) sadar tentang akibat
teknologi terhadap masyarakat, (d) mampu mengevaluasi proses dan produk
teknologi, (e) mampu membuat hasil teknologi alternatif yang sederhana.

Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) merupakan perekat yang mengkaitkan sains,


teknologi, dan masyarakat secara terintegrasi. STM merupakan salah satu alternatif
konsep untuk penyempurnaan dan penyesuaian pendidikan sains dewasa ini. Konsep
ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendekatan atau materi pelajaran. STM
dikembangkan untuk meningkatkan literasi ilmiah individu agar mengerti bagaimana
sains, teknologi dan masyarakat, berpengaruh satu sama lain, serta untuk
meningkatkan kemampuan menggunakan pengetahuan didalam membuat keputusan.
Dengan demikian individu tersebut dapat menghargai sains dan teknologi dalam
masyarakat, dan mengerti keterbatasan-keterbatasannya (Yager, 1998: 276).

DAFTAR PUSTAKA

Bloom, et al. (1971), Taxonomy of Educational objectives The Classification of


Educational Goal Handbook I Cognitive Domain, New York: David Mc.’lay
Company.

Carin, A.A., & Sund, R.B. (1980), Teaching Science Through Discovery, Columbus:
Charles E. Merrill Publishing.

Dahar, R.W. (1985), Kesiapan Guru Mengajarkan Sains di Sekolah Dasar Ditinjau
Dari Pengembangan Keterampialan Proses Sains, Disertai Doktor FPS IKIP, IKIP
Bandung: tidak diterbitkan.

_______, (1989), Teori-teori Belajar, Jakarta: Erlangga.

Fischer, R.B. (1971), Science, Man and Siciety, Philadelphia: Saunders Co.

Gagne, R.M. (1985), The Condition of Learning and Theory of Instruction, New
York: Holt, Rinehort and Winston.

Gagne, R.M. & Briggs, L.J. (1974), Principlesof Instructional Desig,. New York:
Rinehort and Winston.

Gordner, P.L. (1975), The Stucture of Science Education, How Thorn Victoria
Australia: Longman Australia Pty Limited.

Good, C.V. (Eds), (1973), Dictionary of Education, New York: Mc Graw Hill Book
Company.

Hall, G.e. et al. (1979), Maesuring Stage of Concern about The Innovation: A Manual
foe use of the Sacial Questionnaire, Austin: Univercity of Texas.

Kuslan, L.I. & Stone, A.H. (1968), Teaching Children Science: An Inquiry Approach,
Belmount: Wadsworth Publishing Company. Inc.

Poedjiadi, A. (1990), “Kecenderungan Pendidikan Sains dan Teknologi dimasa yang


Akan Datang. Makalah dan Lokakarya tentang Reorientasi dan perubahan
Kurikulum Pendidikan Menengah Umum”, Jakarta, 17-19 Januari.

_______,(1995), “Partisipasi FPMIPA IKIP Bandung dalam Menunjang


Perkembangan Pendidikan Sains dan Teknologi Dewasa ini “, Makalah Disajikan
pada Seminar Staff FPMIPA IKIP Bandung. Bandung, 3 Mei.

Poerwadarminta, W.J.S. (1983), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai
Pustaka.
Rogers, E.M. & Shoemaker, F.F. (1971), Communication of Innovation:
Crosscultural Approach, New York: Free Press.

Rubba, P.A. (1993), “Examination of Preservice and Inservice Secondary Science


Teachers Beliefs about Science –Technology-Society Interactions”, Science
Education, 407-431.

Titus, H.H.(1959), Living Issues In Philoshophy, New York: American Book


Company.

Varella, G.F. (1992), “Greater Ability to Apply Concepts Using and


Science/Technology/Sociaty Approach to Teaching Science”, ICASE YEARBOOK,
87-92.

Yager, R.E. (1992), “Science-Technology-Society as Reform”, ICASE YEARBOOK,


2-8.
eranan Pertanyaan Terhadap Kekuatan Retensi dalam Pembelajaran Sains pada
Siswa SMU
Ditulis oleh Taufik Rahman
ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang peranan pertanyaan terhadap retensi dalam


pembelajaran sains pada siswa SMU. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen.
Sampel diambil secara claster random yang meliputi satu kelas eksperimen
menggunakan pertanyaan pengarah dan satu kelas kontrol dengan pertanyaan biasa
tanpa pengarah dalam pembelajarannya. Tes retensi dilakukan setelah tiga minggu dari
pos tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil postes siswa dari kedua
pembelajaran pada umumnya sangat baik demikian pula retensinya. Hasil postes dari
kedua pembelajaran tidak berbeda, namun retensinya berbeda signifikan, retensi siswa
hasil pembelajaran dengan pertanyaan penuntun lebih baik dari pertanyaan biasa.

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan belajar Sains di SMU umumnya diukur dari seberapa jauh siswa
menguasai konsep yang diajarkan. Faktor retensi atau lekatnya konsep dalam ingatan
kurang mendapat perhatian padahal dapat dijadikan indikator bermutunya hasil belajar
atau pembelajaran. Untuk mengetahui efektifnya model pembelajaran, hendaknya
tidak hanya dari penguasaan konsep saja, tetapi lebih jauh perlu dianalisis apakah
konsep-konsep yang diajarkan dapat lekat dalam ingatan siswa ataukah cepat
terlupakan karena pembelajaran yang dilakukan hanya berupa transfer hapalan belaka.
Analisis di atas dipandang kurang terungkap padahal merupakan sesuatu yang perlu
diketahui dan diteliti.

Macam pertanyaan yang diajukan oleh guru secara lisan atau tulisan menentukan
keberhasilan siswa dalam peningkatan berpikir dan penguasaan konsep (Dahar, R.W.,
1985:122). Konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran dapat
disimpan dalam ingatan atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat
diperlukan. Kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi.
Pada kenyataannya, banyak hal yang telah disimpan dalam ingatan sulit untuk
diproduksikan lagi, hal ini dikenal sebagai lupa (Abin Syamsudin, 1996:117). Lupa
bisa dikurangi dengan berbagai cara, salah satunya dengan memberikan pertanyaan,
karena pertanyaan dapat menggali informasi dari ingatan (Winkel, 1996:458). Namun,
tentunya perlu dianalisis pertanyaan-pertanyaan yang bagai mana yang secara baik
dapat menggali ingatan dan yang bagaimana pula yang secara baik dapat menguatkan
ingatan.

2. Rumusan Dan Batasan Masalah

a. Rumusan Masalah

Masalah umum penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

Bagaimana peranan pertanyaan terhadap kuatnya retensi dalam pembelajaran sains


pada siswa SMU?

b. Batasan Masalah

1) Pertanyaan yang diteliti meliputi pertanyaan penuntun dan pertanyaan biasa atau
tidak menuntun. Pertanyaan penuntun berupa rangkaian pertanyaan yang saling
berkaitan untuk menjawab pertanyaan pokok. Pertanyaan biasa adalah pertanyaan-
pertanyaan yang berdiri sendiri tanpa menghiraukan kaitannya dengan pertanyaan
pokok.

2) Pembelajaran sains meliputi pembelajaran biologi konsep polusi air di satu SMUN
di Bandung.

3) Retensi adalah kemampuan mengingat konsep setelah selang waktu tiga minggu.

Kuatnya retensi ditentukan dengan perbandingan tes retensi (postes ke-2) dengan
postes kali 100 persen.

B. Peranan Pertanyaan Dan Retensi Dalam pembelajaran Sains

1. Peranan Pertanyaan Dalam pembelajaran Sains

Pertanyaan merupakan komponen yang amat diperlukan dalam pembelajaran sains.


Pertanyaan dalam pembelajaran antara lain digunakan untuk menguji daya ingat siswa,
mendorong siswa berfikir, mengarahkan atau menuntun pada arah tertentu, dan untuk
mengungkap gagasan siswa (Wynne Harlen, 1991: 97).

Suatu pertanyaan yang diberikan secara tersusun dengan baik dapat


memberikandampak positif sebagai berikut: Dapat meningkatkan partisipasi siswa
dalam kegiatan pembelajaran, dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa
terhadap masalah yang sedang dibahas, dapat mengembangkan pola dan cara berfikir
aktif siswa, dapat menuntun proses berfikir siswa untuk menentukan jawaban yang
baik, dan dapat memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas
(Moh Uzer Usman, 1995: 74)

Berdasarkan karakteristiknya pertanyaan antara lain digolongkan sebagai berikut.


Pertanyaan konvergen dan pertanyaan divergen (Conny Semiawan,1987:72);
Pertanyaan produktif dan non produktif (Sheilla Jelly, dalam Nuryani
Rustaman,1999:4); Pertanyaan permintaan (compliance questions), pertanyaan retoris
(rhetorical questions), pertanyaan mengarahkan atau menuntun (promting question)
dan pertanyaan menggali (probing questions) ( Moh. Uzer Usman, 2000: 75)

Bentuk pertanyaan promting dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: (1) mengubah susunan
pertanyaan dengan kata-kata yang berbeda atau lebih sederhana yang disesuaikan
dengan pengetahuan murid-muridnya, (2) menanyakan pertanyaan-pertanyaan
sederhana yang membawa mereka kembali pada pertanyaan semula, (3) memberikan
suatu review informasi yang diberikan dan pertanyaan yang membantu murid untuk
mengingat atau melihat jawabannya (E.C.Wrag dan George Brown 1997: 43). Dengan
demikian salah satu bentuk promting adalah menanyakan pertanyaan lain yang lebih
sederhana yang jawabannya dapat dipakai menuntun siswa untuk menemukan jawaban
yang tepat (Suwandi dan Tjetjep S, 1996: 18).

Bentuk pertanyaan Pengarah berbeda dari pertanyaan biasa. Pertanyaan biasa berupa
pertanyaan tunggal untuk mengungkap penguasaan konsep. Pertanyaan pengarah
berupa pertanyaan berangkai (lebih dari satu pertanyaan yang satu sama lain berkaitan)
yang ditujukan untuk menuntun siswa menguasai konsep. Dalam pembelajaran sains
kedua jenis pertanyaan tersebut senantiasa dipergunakan, baik secara tertulis dalam
Lembar Kerja Siswa(LKS) maupun secara lisan oleh guru di kelas. Namun, jenis
pertanyaan biasa umumnya lebih mendominasi. Banyaknya pertanyaan yang diajukan
dalam pembelajaran tidak menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut lebih berkualitas
(Wynne Harlen, 1991: 97). Namun, mutu pertanyaan guru sebanding dengan jawaban
yang akan diperoleh dari pertanyaan tersebut (E.C. Wrag dan George Brown ,1997:
43)

2. Peranan Retensi Dalam Pembelajaran Sains

Retensi atau ingatan terhadap pengetahuan yang dipelajari merupakan faktor yang
penting dalam suatu pembelajaran sains misalnya biologi. Retensi erat hubungannya
dengan belajar. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh James Dese
(1959: 236) bahwa jika tidak ada retensi, maka proses belajar siswa tidak berlangsung
dengan baik dan sebaliknya jika tidak belajar maka tidak akan ada retensi.

Dalam mempelajari sains biologi, misalnya topik polusi, banyak hal yang perlu
dipahami dan diingat. Dalam materi tersebut meliputi konsep konkret dan abstrak.
Dengan demikian aspek retensi sangatlah diperlukan.

Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan yang berkaitan
dengan retensi, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Guskey & Gates (1985),
Hursh (1976), Kulik et, al., (1978 & 1990) (dalam Semb et, al., 1993: 305) diantaranya
membuktikan bahwa kita menyimpan banyak ingatan terhadap apa yang telah
dipelajari di sekolah. Retensi dan lupa merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Retensi mengacu pada tingkat dimana materi yang telah dipelajari masih
melekat dalam ingatan, sedangkan lupa mengacu pada porsi ingatan yang hilang.
Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah yang dilupakan sama dengan jumlah yang
telah dipelajari dikurangi dengan ingatan yang masih tersimpan (James Dese, 1959:
236).

Ilmuwan yang pertama kali meneliti tentang retensi adalah Ebbinghaus pada tahun
1885. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Ebinghaus adalah kurva retensi yang
menunjukkan bahwa retensi dapat berkurang dengan cepat setelah interval waktu
tertentu dan lupa atau berkurangnya retensi ini dapat terjadi beberapa jam pertama
setelah proses belajar berlangsung (James Dese, 1959: 241). Retensi merupakan salah
satu fase dalam tahapan belajar. Dalam tahap ini retensi merupakan proses
penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang diperoleh setelah mengalami proses
acquisition (fase menerima informasi). Dalam tahap belajar terjadi proses internal
dalam pikiran siswa. Winkel (1996: 305), menggambarkan tahapan proses tersebut
terjadi dengan urutan sebagai berikut: 1) siswa menerima rangsang dari reseptor, 2)
rangsang yang masuk ditampung dalam sensori register dan diseleksi, sehingga
membentuk suatu kebulatan perseptual, 3) pola perseptual tersebut masuk ke dalam
ingatan jangka pendek (Short Term Memory / STM) dan tinggal disana selama 20
detik, kecuali bila informasi tersebut ditahan lebih lama melalui proses penyimpanan,
4) penampungan hasil pengolahan informasi yang berada dalam STM dan
menyimpannya dalam ingatan jangka panjang (Long Term Memory / LTM) sebagai
informasi yang siap pakai sewaktu-waktu pada saat diperlukan, 5) pada saat
diperlukan siswa menggali informasi yang telah dimasukkan dalam LTM untuk
dimasukkan kembali ke dalam STM

Dengan melihat proses internal yang terjadi dalam siswa, maka fase ke 3 dan 4 dimana
ingatan dimasukkan dan ditahan dalam STM dan kemudian dimasukkan ke dalam
LTM merupakan proses yang amat penting bagi retensi. Dan sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Winkel di atas informasi tersebut dapat ditahan lebih lama melalui
proses penyimpanan. Tentu saja yang dimaksud dengan proses penyimpanan ini
berkaitan dengan bagaimana informasi ini dapat diterima dan dikonstruksikan dan
akhirnya disimpan dalam benak siswa. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
banyak ilmuwan dibidang pendidikan menyatakan bahwa proses pembelajaran
memegang peranan penting terhadap retensi siswa. Semb dan Elis (1992) (dalam
Semb dan Elis, 1993: 305) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
LTM tehadap pengetahuan yang telah dipelajari dalam kelas adalah tingkat dari materi
yang dipelajari, tugas yang harus dipelajari, metode pembelajaran, dan perbedaan
individual.

Sedangkan dalam masalah lupa Winkel (1987: 297) menyatakan bahwa gejala lupa
mudah terjadi pada pengetahuan kognitif bila individu tidak berhasil mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri atau tidak berhasil mengaitkan konsep-konsep yang
dipelajarinya dengan konsep-konsep yang telah dimilikinya. Lupa akan terjadi apabila
materi yang dipelajari tidak menarik, tidak diperlukan individu sehingga tidak
dihiraukan. Dengan demikian dalam pembelajaran dipandang perlu untuk menitik
beratkan pada aspek-aspek bernalar sehingga pembelajaran menjadi bermakna.

Pembelajaran yang menitik beratkan pada guru (teacher centered) dinilai telah gagal
untuk mengembangkan pemahaman yang permanen. Penelitian yang dilakukan oleh
Angelo (1991, dalam Susan Hanley, 1994: 3) terhadap siswanya di Berkeley
membuktikan bahwa dengan menggunakan metode pembelajaran secara tradisional
dimana guru bertindak sebagai penyampai informasi dan siswa penerima informasi
didapatkan hasil bahwa kurang dari 20% dari siswanya dapat mengingat apa yang
telah disampaikan oleh guru. Mereka terlalu sibuk mencatat dam memasukkan
informasi tanpa melalui seleksi ke dalam ingatan mereka. Dengan demikian perlu
diupayakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

Pembelajaran yang banyak melibatkan panca indra dalam proses berpikir dapat
memungkinkan pembelajaran menjadi lebih bermakna, sehingga dengan demikian
memungkinkan kuatnya retensi siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan. Untuk
memenuhi hal tersebut guru sedapat mungkin melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran, salah satunya adalah dengan memberikan pertanyaan untuk memacu
keterlibatan berpikir siswa sehingga siswa dapat menggunakan dan mengaitkan
konsep-konsep yang telah dimilikinya. Bila konsep-konsep tersebut terkait satu sama
lain maka akan terbentuk pengetahuan yang bermakna yang tidak mudah untuk
dilupakan.

C. Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen untuk
membandingkan dua perlakuan pembelajaran yang berbeda, yaitu pembelajaran
dengan menggunakan pertanyaan pengarah dan pembelajaran dengan menggunakan
pertanyaan biasa tanpa pengarah.

Desain penelitian yang digunakan adalah modifikasi Randomized Control Group Pre-
test Post-test Desain, yang digambarkan dengan tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Disain Penelitian

Kelompok Tes awal Perlakuan Tes akhir 1 Selang Waktu Tes akhir 2
Eksperimen T1 X1 T2(1) 3 minggu T2(2)
Kontrol T1 X2 T2(1) T2(2)
Keterangan:

T1= Tes awal / pre-test; X1= Pembelajaran dengan menggunakan pertanyaan


pengarah; X2= pembelajaran dengan menggunakan pertanyaan biasa; T2(1)= Pos-
tes; dan T2(2)= Tes retensi (pos-test ke-2)

D. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dalam bab ini disajikan dalam bentuk tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 1. Rekapitulasi Rata-rata Nilai Pre-tes, Pos-tes, dan Retensi siswa

Konsep/su Nilai Kontrol Eksperimen


b konsep Pre- Post- Retensi % Pre- Pos-tes Retensi %
test test Reten-si test 1 (Post- Reten-si
(Pos-tes test 2)
ke-2)
Polusi Air X 50,03 79 74,9 95,98 50,58 81,36 80,25 98,93
Sd 10,07 11,75 8,4 12,6 7,58 8,5 9,27 8,83
(LKS T 78 100 89 125 67 100 96 116,4
Eksp.) R 33 52 59 75,3 26 63 63 78,7
Keterangan:

X = rata-rata nilai; T = nilai tertinggi; Sd = standar deviasi; dan R = nilai terendah

Tabel 2. Rekapitulasi hasil uji dua rata-rata (Uji kesamaan)

Konsep/Sub Uji rata-rata kel. Z hitung Z tabel Hasil perbandi- Keterangan


Konsep Kontrol & kel. ngan atara Z
Eksperimen hitung & Z
tabel
Polusi Air Pretes 1,16 1,64 Z hit < Z tab Tidak berbeda secara
signifikan
Postes 1 1,48 1,64 Z hit < Z tab Tidak berbeda secara
signifikan
Retensi 3,25 1,64 Z hit > Z tab Berbeda secara
signifikan (Pos tes 2
(Postes 2) kel. Eksperimen >
Pos tes 2 kel.
Kontrol

*dilakukan dengan uji t1


Tabel 3. Rekapitulasi Predikat Penguasaan Siswa Pada pos test, Retensi, dan Retensi Konsep Polusi Air

Batas Kriteria Pos tes 1 Pos tes 2 Retensi


nilai K E K E K E
100-80 Sangat 19 21 12 15 33 35
baik
(52,8%) (58,3%) (33,3%) (41,7%) (91,7%) (97,2%)
70 – 79 Baik 10 11 16 18 (50%) 3 1

(27,8%) (30,6%) (44,4%) (8,3%) (2,8%)


60 – 69 Sedang 4 4 5 3 -

(11,1%) (11,1%) (13,9%) (8,3%)


50 – 59 Kurang 3 - 3 - - -

(8,3%) (8,3%)
Keterangan:

K= kelompok kontrol; dan E = kelompok eksperimen

E. Pembahasan

Dilihat dari hasi rata-rata nilai (tabel 1) terdapat peningkatan nilai rata-rata post tes
dari pretes. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pertanyaan pengarah
maupun dengan pertanyaan biasa (tanpa pertanyaan pengarah) sama-sama dapat
meningkatkan penguasaan konsep siswa. Pertanyaan baik berupa pertanyaan pengarah
maupun pertanyaan biasa merupakan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi minat,
sikap dan motivasi siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuan mereka sehingga
terbentuk konsepsi dan meningkatnya pemahaman siswa terhadap konsep yang mereka
pelajari (Ratna Wilis Dahar, 1989:159).

Dari hasil uji kesamaan dua rata-rata (tabel 2), pembelajaran dengan menggunakan
pertanyaan pengarah antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dalamsub
konsep polusi air tidak memiliki perbedaan secara signifikan pada pos tes , namun
berbeda signifikan pada retensi (pos tes ke-2). Artinya bahwa hasil pembelajaran
menggunakan pertanyaan pengarah unggul dalam hal retensi atau lebih kuat dapat
diingat.

Dari rata-rata hasil yang diperoleh terhadap retensi dapat disimpulkan bahwa siswa
yang menggunakan pertanyaan pengarah dalam pembelajarannya berbeda secara
signifikan dibanding siswa yang pembelajarannya menggunakan pertanyaan biasa /
pertanyaan bukan pengarah. Hasil retensi siswa kelompok eksperimen memiliki nilai
yang lebih tinggi dibanding siswa pada kelompok kontrol. Peristiwa ini dapat
disimpulkan bahwa retensi siswa dengan pembelajaran yang menggunakan pertanyaan
pengarah pada lebih baik dibandingkan dengan retensi siswa yang pembelajarannya
menggunakan pertanyaan biasa/bukan pengarah. James Deese (1959:253)
mengemukakan bahwa salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi retensi
siswa adalah taraf belajar (level of learning) seseorang. Lebih jauh lagi Richard
Anderson dan Gerald Faust, (1973:460) berpendapat bahwa taraf belajar menjadi
faktor penentu bagi retensi siswa. Dalam hal ini pertanyaan yang sifatnya
mengarahkan telah menuntun siswa dalam menemukan jawaban yang tepat (Moh,
Uzer Usman, 2000:75). Pertanyaan yang sifatnya mengarahkan ini merupakan salah
satu jenis pertanyaan yang baik (Nuryani Rustaman, 1999:8) yang dirancang untuk
mendorong siswa agar terlibat secara aktif dalam pembelajaran sehingga siswa
dirangsang untuk berpikir dan melakukan kegiatan bermakna. Dalam proses belajar
yang bermakna ini terjadi proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa. Melalui pertanyaan yang
mengarahkan, maka struktur kognitif siswa akan lebih terorganisasi, jelas dan stabil.
Menurut Slameto (1995:123) makin jelas, stabil serta terorganisasinya struktur
kognitif seseorang, maka proses belajar yang bermakna dan retensi akan mudah terjadi
pada orang tersebut, sebaliknya, pada struktur kognitif yang tidak stabil, kabur dan
tidak terorganisasi dengan baik cenderung merintangi proses belajar bermakna dan
retensi.

Dari tabel 3 dapat dilihat adanya penurunan rata-rata nilai tes dari postes 2 (retensi)
dibanding rata-rata nilai postes 1. Hal ini disebabkan karena terjadinya peristiwa lupa,
karena postes 2 dilaksanakan dalam selang waktu 3 minggu setelah pos tes 1
diberikan. Pelaksanaan pos tes 1 diberitahukan sebelumnya kepada siswa sehingga
siswa belajar terlebih dahulu menghadapi tes, sedangkan pos tes ke-2(tes retensi) tidak
diberi tahu, sehingga siswa kemungkinan tidak belajar lagi. Peristiwa Lupa merupakan
hal yang biasa terjadi pada manusia, seperti yang dikatakan oleh Robert Travers
(1982:1994) “forgetting is normal everyday and constant reminder of our
limitations”, lupa merupakan kejadian yang biasa karena keterbatan manusia dalam
mengingat. Dengan dilakukannya postes 2 dalam jangka selang waktu dimana siswa
telah mendapatkan materi yang baru, maka materi yang baru tersebut akan
mengganggu pemanggilan kembali materi yang sudah tersimpan dalam ingatan
(Muhibbin Syah, 1996:158). Selain itu Hilgard dan Bower, 1975 (dalam Muhibbin
Syah, 1996:160) mengatakan bahwa lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang
telah dikuasai tidak pernah digunakan/dihapalkan oleh siswa. Terutama penurunan ini
terjadi lebih banyak pada kelompok eksperiemen diabandingkan dengan kelompok
kontrol. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak siswa menguasai konsep
semakin banyak ia lupa.

Berdasarkan predikat skor pada postes 1, 2 dan persentase retensi (tabel 3), secara
umum jumlah siswa kelompok eksperimen lebih banyak yang menduduki peringkat
sangat baik, baik dan cukup dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan penguasaan konsep dan terutama mengingat dengan
baik. Perbedaan ini disebabkan karena pembelajaran pada kelompok ekperimen
menggunakan LKS dengan pertanyaan pengarah yang dapat mempengaruhi proses
internal yang terjadi dalam siswa ketika ingatan dimasukkan dan ditahan dalam STM
yang kemudian dimasukkan ke dalam LTM (Winkel, 1996:305).
Dengan bantuan pertanyaan pengarah pada LKS eksperimen dapat mengembangkan
proses berfikir dan keterampilan proses, penggunaan memori, penemuan sendiri.
Selain itu juga pertanyaan yang mengarahkan ini mendorong siswa untuk terlibat
secara aktif dalam mengasimilasikan, mengakomodasikan, mengorganisasikan dan
mengkonstruksikan konsep-konsep dalam benak siswa. Sehingga pembelajaran
menjadi lebih bermakna dan berakibat pada baiknya retensi siswa (Wyne Harlen,
1996:102).

F. Kesimpulan Dan Saran

1. Kesimpulan

Pemberian pertanyaan baik pertanyaan penuntun atau pengarah maupun pertanyaan


biasa tanpa penuntun dalam pembelajaran sains (konsep polusi air) pada siswa SMU
sama-sama memberikan peranan yang signifikan terhadap kuatnya retensi siswa .
Hasil postes dari kedua pembelajaran variatif berkisar antara kurang dan sangat baik,
umumnya sangat baik dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Dalam selang waktu tiga minggu, retensi siswa juga variatif berkisar antara baik dan
sangat baik, umumnya sangat baik. Namun, pembelajaran yang menggunakan
pertanyaan penuntun memberikan dampak terhadap retensi lebih kuat dari pada hasil
pembelajaran yang menggunakan pertanyaan biasa dan berbeda secara signifikan.

2. Saran

a. Agar hasil pembelajaran dapat memberi dampak retensi yang kuat, dalam
pembelajaran guru hendaknya terampil membuat LKS dan memberi pertanyaan
pertanyaan untuk siswanya terutama pertanyaan pengarah yang dapat menuntun siswa
memahami konsep dengan baik.

b. Mengingat retensi merupakan hal yang penting dari suatu pembelajaran, maka
penelitian yang berkaitan dengan retensi perlu dikembangkan misalnya yang berkaitan
dengan faktor internal siswa seperti intelegensi dan faktor eksternalnya seperti jenis
materi dan model pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.C., 1973, Teaching and The Science of Learning, New York: Harper and
Row Publishers

Gagne, R.M. 1985. The condition of Learning and theory of Instruction. New York:
Holt, Renehart and Winston.

Gagne, R.M. and Briggs L,J. 1974. Principoles of Instructional Design. New York:
Renehart and Winston

George, B and Wragg, 1997, Bertanya, Jakarta: Gramedia


George J.M., 1967, Psychology for Effective Teaching, New York: Holt, Rinehart and
Winstron, Inc.

James Deese, 1959, The Psychology of Learning, London: Mc. Graw Hill Book Comp.

Jim Flower and Lou Cohen, 1990, Practical Statistics for Field Biology, Milton
Keyners: Open University Press

Mohamad Uzer Usman, 1995, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Rosdakarya

Nuryani Rustaman, 1999, Pertanyaan, Teknik Bertanya dan Keterampilan Bertanya,


Handout Mta Kuliah SBM: Tidak diterbitkan

Osborne, J. 1993. Alternatives to Practical Work. School Science Research. 25. (271):
117-123.

Ratna Wilis Dahar, 1992, Dampak Pertanyaan dan Teknik Bertanya Guru Selama
PBM IPA Pada Berpikir Siswa, Laporan Penelitian: tidak diterbitkan.

Semb and Ellis, 1993, Long-term Memory For Knowledge Learned in School, Journal
of Education Psychology, vol.85, No.2: 305-316

Slameto, 1987, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka


Cipta

Susan Hanley, 1997, Constructivist Theory, Internet

Travers, R.M.W., 1982, Information, Processing and Learning, New York: Mc. Graw
Hill Book Comp.

Wang and Thomas, 1995, Effect of Keywords on Long-Term Retention: Help or


Hindrance?, Journal of Education Psychology vol. 87, No.3: 468-475

Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Wragg, E.C., 1997, Keterampilan Mengajar di Sekolah Dasar, Jakarta: Rasindo

Wynne Harlen, 1992, The Teaching of Science, London: David Futton Publishers
Sikap Mengajar Guru Serta Pengaruhnya dalam
Pendidikan
Ditulis oleh Sungging Handoko
A. Pendahuluan

Sikap dari seorang guru adalah salah satu faktor yang menentukan bagi perkembangan
jiwa anak didik selanjutnya. Karena siikap seorang guru tidak hanya dilihat dalam
waktu mengajar saja, tetapi juga dilihat tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-sehari
oleh anak didiknya.
Mengingat pada saat ini banyak sikap dari seorang guru tidak lagi mencerminkan
sikapnya sebagai seorang pendidik karena adanya berbagai faktor yang mestinya tidak
terjadi dalam dunia pendidikan. karenanya masalah sikap guru dalam mengajar perlu
mendapat perhatian kita semua.

Proses pendidikan berlangsung tidak tanpa alasan dan atau tujuan, pendidikan
merupakan proses yang berfungsi membimbing pelajar didalam kehidupan. Yakni
membimbing perkembangan diri sesuai dengan tugas-tugas perkembangan tersebut,
dalam mencukupi kebutuhan hidup baik sebagai individu maupun sebagi anggota
masyarakat.

Bila mana ditinjau secara luas akan jelas nampak bahwa manusia yang hidup dan
berkembang adalah manusia yang selalu berubah dan perubahan itu adalah hasil
belajar. Hanya soalnya tidak semua peristiwa belajar itu berlangsung secara sadar dan
terarah. Malahan pada dasarnya lebih banyak hal-hal yang dipelajari manusia dengan
tak sadar dan terencana . Menyadari bahwa perubahan yang tak disadari dan tak
diarahkan lebih banyak memberikan kemungkinan perubahan tingkah laku yang
berada di luar titik tujuan.

Pendidikan menurut hakekatnya memang adalah suatu peristiwa yang mempunyai


aspek normatif yang artinya, bahwa di dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak
didik berlangsung pada ukuran, norma atau nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu
yang baik. Karena dalam pendidikan ini biasanya dilakukan dalam keadaan sadar
antara pendidik dan anak didik. Memang ada juga pendidikan yang dilakukan oleh
orang tua dengan anaknya dan itu terjadi di rumah.

Pada dasarnya pendidikan ini sangat penting bagi umat manusia dalam mencapai taraf
hidup yang mulia. Sebab pendidikan ini sangat mempengaruhi kehidupan manusia.
Karena dengan mencapai pendidikan yang tinggi manusia akan dihormati, disegani
dan dijunjung tinggi martabatnya di masyarakat.

Dalam pada itu perlu ditegaskan, bahwa seseorang yang ingin mempengaruhi orang
yang belum dewasa, belum tentu ia dapat disebut seorang pendidik. Sebab sifat yang
khas pada seorang pendidik ialah bahwa setiap usaha, mempengaruhi, dan memeberi
bantuan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu atau lebih cepat “membantu
anak agar cukup cakap melaksanakan tugas kehidupannya sendiri”. Hanya usaha
mempengaruhi yang demikian saja yang dapat disebut “pendidik” dan “mendidik”
ialah mempengaruhi dengan maksud mencapai tujuan yang bersesuaian dengan
pembentukan pribadi anak.

Bukanlah dengan mudah dapat dilihat bahwa pendidik mengingini atau menolak
sesuatu, memperoleh/mengharuskan atau memberantas atau sikap tertentu. Memberi
contoh mengenai suatu tindakkan sedang suatu hal yang lain dijauhkan dari alam
sekitar anak. Walaupunn tidak semuanya dilakukannya menurut suatu rencana
tertentu. Namun dari sikap dan tindakkanya telah mungkin diperoleh suatu gambaran
dari seorang pendidik tidak hanya cukup menguraikan tapi harus memperhatikan sifat
lahirnya (bentuk). Hendaknya turut diperhatikan segala sesuatu yang mengandung arti
bagi seorang pendidik atau suatu lingkungan pendidikan, yang mana semuanya ini
bersifat memberi bantuan kepada anak dalam perkembangannya mencapai “tujuan
hidupnya”.

A. Sikap-sikap dan pengaruhnya dalam pendidikan

Kalau kita tinjau pengertian sikap ini, maka pengertian itu relatif adanya. Karena
mengingat sikap itu terdapat di dalam diri manusia, maka sikap itupun tergantung pada
manusia itu sendiri bagaimana caranya manusia itu menggunakannya dalam
kehidupannya sehari-hari.

Adapun sikap itu muncul dalam hubungan antara manusia yang mempunyai hubungan,
bahwa manusia bersama-sama dengan manusia lainnya yang memerlukannya. Jadi
bukan hanya bersama-sama pada suatu tempat, itu sebabnya mengapa sikap itu tidak
dapat dilepaskan dari diri/pribadi pemangku sikap itu, bahwa mulanya tidak dapat
dilepaskan dari hadirnya pemangku sikap itu sendiri.

Dalam sikap seseorang itu selalu terdapat suatu ketegangan antara milik pribadi yang
tunduk pada sikapnya dengan perasaan bersatu dengan pemangku kesikapannya.
Perasaan bersatu itu dapat merupakan pengikat antara orang tua dan anak, antara
murid dan guru dan dapat juga merupakan rasa kekeluargaan yang berdasarkan
kepentingan bersama antara orang-orang yang menurut alamnya bukan satu keluarga
dan banyak lagi bentuk lain.

Sikap sesorang itu susah dipengaruhi oleh orang lain bila ia telah menentukan
sikapnya, bisa sikap itu berubah bila sikapnya itu dianggap salah olehnya. Tetapi tidak
dengan begitu saja ia akan merubh sikapnya itu tanpa ia mentelaah lagi kesalahan dari
sikapnya itu. Memang sikap adalah hak seseorang untuk menentukan sesuatu. Jadi
sikap itu sangat berpengaruh dalam diri sesorang, dan sikap adalah salah satu faktor
yang terdapat di dalam diri seseorang. Karena dengan sikap bahwa orang itu
mempunyai yang dapat dipertanggung jawabkan.

B. Sikap-sikap guru dalam mengajar serta pengaruhnya.

1. Sikap berpakaian.

Sebenarnya hal ini tidak perlu dibicarakan akan tetapi mengingat keadaan sekarang,
dimana orang sering sempat berani dan bebas serta progresif dalam hal berpakaian,
maka hal ini kita bicarakan.

Sebaiknya seorang guru berpakaian hendaknya sopan, sederhana tetapi terpelihara.


Jangan bercelana Napoleon atau bergaun you can see di muka kelas. Tak usah
berpakaian yang gemerlapan atau dari bahan yang sangat mahal. Ingat bahwa seorang
guru yang ganjil dalam berpakaian dapat menerbitkan geli hati dan celaan murid-
murid. Akibatnya seorang guru tidak dapat mengajar dengan tenang. Ia merasa bahwa
ada sesuatu yang menggelisahkan dan meragukan hatinya dengan sendirinya ia tidak
dapat menyatukan segala perhatiannya dan pikirannya pada pelajaran yang sedang ia
berikan. Ia makin bertambah bingung dan pelajaran menjadi kacau dan gagal sama
sekali, padahal ia telah membuat persiapan dengan sungguh-sungguh.
2. Sikap di muka kelas.

Sering suasana kelas dipengaruhi oleh sikap guru di muka kelas. Kelas menjadi gaduh,
kalau guru ragu-ragu dan kelas menjadi tentang kalau guru bersikap tegas dan
bijaksana. Bersikap tegas tidak sama dengan bersikap keras, bersikap tegas berarti
begini: kalau guru menyuruh murid-muridnya supaya tenang, mereka harus
mengidahkan suruhannya. Kalau mereka belum tenang dan jangan mulai mengajar
atau melanjutkan pelajaran, kalau murid-murid belum tenang sungguh-sungguh. Kalau
masih ada murid-murid yang bercanda, bercakap-cakap dan guru terus melanjutkan
mengajar, maka percakapan itu akan menjadi menjalar dan kelas akan menjadi gaduh.
Kerena itu peganglah teguh disiplin kelas, berbicaralah dengan tenang dan tegas,
jangan menggangap.

Mengenai sikap di muka kelas perlu diperhatikan hal-hal yang lain, yaitu, jangan
terlalu banyak menggunakan gerak-gerak tangan waktu berbicara, jangan berbicara
terlalu keras dan jangan pula berbicara terlalu pelan atau lemah. Bergeraklah dengan
tengan dan berbicaralah dengan suara yang sedang dan jangan ribut, kalau guru ribut
kelas akan segera ribut pula. Bergembiralah selalu (sebagai seorang guru harus pandai
bermain sandiwara), mungkin guru, sedang susah namun janganlah kesusahannya itu
ditunjukkan kepada murid-murid. Tunjukkanlah semua pertanyaan kepada semua
kelas seluruhnya dan baru kemudian tunjukkanlah seorang murid-murid menjawab.
Bagi seorang guru kita haris berani:

a. Berani memandang tiap-tiap murid, matanya.

b. Jangan bersikap putus asa.

c. Usahakanlah murid-murid bekerja sendiri.

d. Jangan mengajak murid-murid.

e. Ciptakan suasana kelas yang baik.

f. Jangan memberi hukuman badan.

Dalam kelas yang suasananya baik, murid-murid dapat bekerja bersma-sama, saling
tolong menolong. Mereka giat bekerja dan merasa suatu keluarga, cintailah murid-
nurid seperti ibu bapak mencintai anak-anaknya.

3. Sikap sabar.

Sering guru merasa, bahwa ia telah mengajar dengan baik dan sungguh-sungguh.
Asas-asas didaktik teleh diprektekkan Ia mengajar dengan penuh kegembiraan dan
enthousianisme, namun demikian hasilnya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkannya.

Guru selalu kecewa dan kekecewaan yang terus menerus dapat menjadikan guru
mudah putus asa. Karena itu harap sabar, karena hasil pengajaran dan pendidikan kita
tidak selalu segera kelihatan oleh kita. Anak-anak tidak selalu segera mengerti akan
maksud kita dan mengindahkan keinginan kita.

4. Sikap yang mengejek murid.

Guru yang kecewa mudah berbuat hal-hal yang tidak baik umpamanya mengejek,
mencela, mengeluarkan kata-kata yang kasar yang dapat mematahkan semangat
belajar murid. Seorang guru ilmu pasti pernah melemparkan kata-kata demikian
kepada seorang murid “meskipun kamu bekajar 10 tahun lagi kamu tak akan mengerti
juga”, kata-kata yang demikian dapat membuat murid-murid bersikap acuh tak acuh
dan menjadi putus asa. Dan kata-kata demikian ini secara paedagogis dan psychologis
tidak dapat dipertanggung jawabkan. Lebih berbahaya lagi kalau seorang murid
dijadikan sasaran ejekan teman-temannya. Banyak anak murid yang menjadi sakit hati
dan tak mau berbuat lagi sesuatu, hal ini sangat merugikan bagi perkembangan anak
murid selanjutnya.

5. Sikap yang lekas marah

Banyak hal yang dapat mengecewakan guru, umpamanya: murid yang tidak sopan ,
yang tolol, yang selalu gaduh, yang kotor, dan sebagainya. Janganlah guru lekas marah
karena itu, orang yang lekas marah mudah bertindak yang kurang baik. Guru mudah
marah menghukum anak, mengejek, mencelanya, memukulnya dan sebagainya.

6. Sikap yang memberi hukuman badan.

Menurut peraturan sekolah, guru dilarang memberi hukuman badan, umpamanya:


memukul, menedang, melempar dsb. Dengan hukuman yang demikian itu murid dapat
dirugikan/disakiti karenanya. Murid yang lebih kecil itu biasanya tidak berani
melawan, tetapi dalam hatinya timbul rasa tidak senang terhadap guru, atau ia menjadi
takut kepada guru, dan kedua-duanya tidak baik.

Lagi pula kalau guru sudah sering atau biasa memberi hukuman badan ia tidak segan-
segan memberi hukuman yang lebih berat lagi kepada murid.

Memang masih ada guru-guru yang memberi hukuman badan, dan hukuman yang
diberikan sesungguhnya tidak begitu dipertimbangkan. Memukul murid dengan
tongkat kecil, bukan hak itu tidak jarang dilakukan.

Secara personlijk sesungguhnya tidak memberi larangan mutlak, untuk memberi


hukuman badan. Menurut hemat penulis, guru boleh memberi hukuman badan, kalau
ia sebagai orang tua terhadap anaknya, bertanggung jawab penuh atas tindakannya itu,
artinya: kalau ia sudah mempertimbangkan hukuman itu masak-masak, bahwa
hukuman itu satu-satunya obat yang manjur untuk memperbaiki murid. Jadi hukuman
itu tidak diartikan pada waktu guru bernyala-nyala marahnya, dan tidak diberikan
untuk membalas dendam.

7. Sikap yang banyak memberi larangan.

Guru yang banyak mengadakan larangan membuktukan bahwa perinta-perintahnya


tidak dituruti oleh murid-muridnya. Dan itu membuktikan bahwa tidak ada ketertiban.
Guru yang baik, jarang melarang, sebab biasanya perintahnya dituruti. Larangan yang
banyak dapat menimbulkan kemungkinan besar untuk melanggar peraturan tanpa
disadari oleh murid-murid. Larangan biasanya merupakan hal yang tidak
menyenangkan bagi murid, karena itu jangan banyak melarang.

8. Bersikap jujur dan adil.

Murid-murid akan lekasa mengerti, apakah guru itu bertidak adil dan jujur, mereka
lekas melihat, bahwa guru memperlakukan mereka tidak sama. Yang satu
diperlakukan lebih manis dari pada yang lain, ini adalah suatu bahaya bagi mereka,
mereka lekas-lekas mengecap gurunya dengan kata-kata: tidak adil, tidak jujur, pilih
kasih dan sebagainya. Dan mereka sendiri yang diperlakukan lebih manis itu merasa
tidak senang akhirnya. Suasana kelas akan menjadi lebih buruk karena sikap guru yang
demikian.

9. Sikap guru yang bertanggungjawab

Sama halnya dengan dokter, ahli hukum, insinyur, montir, gurupun membutuhkan
sejumlah pengetahuan, metode dan kecakapan dasar lainya yang perlu dapat untuk
melaksanakan tugasnya.

Ada jenis pekerjaan yang lebih banyak menuntut syarat fisik, ada yang meminta lebih
banyak syarat-syarat emosi, ada pula pada syarat intelek, sosial dan sebagainya. Yang
menyebabkan perbedaan-perbedaan jenis pekerjan itu adalah tuntutan yang terdapat
pada setiap jenis pekerjaan. Yang kemudian dianalisa dan dikembangkan melalui
sebuah masa pendidikan. Begitu pula keadaannya dengan tugas mengajar bila ditinjau
sebagi tugas yang memperoleh gambaran mengenai jenis pengetahuan dan ketrampilan
dasar yang dibutuhkan setiap orang yang mempersiapakan diri untuk terjun dalam
bidang ini. Salah satu caranya ialah dengan mengamati dan menganalisa berbagai
situasi pendidikan. Dalam pendidikan hendaknya seorang guru harus dapat
bertanggung jawab demi masa perkembangan anak didiknya.

Memang dalam mendidik, seorang guru harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
dalam. Bila seorang guru tidak mempunyai rasa tanggung jawab maka banyak
pengaruhnya pada anak didik itu. Karena dengan tidak adanya rasa tanggung jawab
dari guru maka anak didik itu akan berbuat hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
pendidikan.

Dengan tidak adany rasa tanggung jawab dari seorang guru maka tidak mustahil bila
tujuan pendidikan yang akan dicapai akan tidak tercapai apa yang diharapkan oleh
guru itu sendiri maupun oleh orang tua sekolah dan negara.

Memang kenyataan-kenyataan itu membenarkan teori didaktik yang meletakkan


berbagai pertanggungan jawab pada pundak seorang guru disamping tugasnya
mengajar suatu pengetahuan. Guru harus menjadi pembimbing dan penyuluh yang
segar yang memelihara dan mengarahkan perkembangan pribadi dan keseimbangan
mental murid-muridnya. Dan guru memjadi orang tua mereka di dalam mempelajari
dan membangun sistem nilai yang dibutuhkan dalam masyarakat, serta menjadikan
murid-muridnya menjadi manusia dewasa susial serta bertanggung jawab moral.

C. Penutup

Daripembahasan diatas ini, maka dapat diambill beberapa kesimpulan Bahwa


pendidikan merupakan unsur yang terpenting dalam kehidupan manusia. Bahwa sikap
guru dalam mendidik memiliki pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak didik
sehinggaGuru, dituntut memiliki sikap yang tepat sesuai dengan tuntutan tugas
profesionalnya sebagai seorang pendidik yang bertanggung jawab. Karena seringkali
anak didik akan mencontoh apa-apa yang dilakukan oleh pendidiknya.

Daftar pustaka

Abu Ahmad. Didaktik Metodik, cv. Toha Putra, Semarang 1995.

Bambang Laksono., Majalah Mahasiswa No.33 Thn. VI Januari 1993

M.J. Langevld, Beknopte Theoretische Paedagogiek, diterjemajkan, Prof. DR. I. P.


Simanjuntak M. A., nasco, Jakarta 1989.

Mashoed, Pedoman Mengajer Oleh Raga Pendidikan Di sekolah Dasar, cv. Baru
Jakarta 1996.

Otang Kardi Saputra, Belajar dan

Pembelajaran , FKIP-UNLA 2000.

Winarno Surakhmad, Dasar Dan Teknik Instraksi Mengajar dan Belajar, Tarsito,
Bandung 1993, cetakan ketiga.
Accelerated Learning: Pendekatan Baru
Pembelajaran
Ditulis oleh Eki Baihaki
Dave Meier, penulis buku The Accelerated Learning Handbook, yang diterbitkan
oleh McGraw-Hill New York tahun 2000, mengajak kita untuk memperbarui
pendekatan kita terhadap pembelajaran untuk memenuhi tuntutan adanya dinamika
kebudayaan yang bermetabolisme tinggi ini. Dan perlu melakukan perubahan yang
bersifat sistemis bukan bersifat kosmetik , organis bukan sekedar mekanis.

Accelerated Learning (A.L.) adalah cara belajar yang alamiah, akarnya telah tertanam
sejak zaman kuno. (A.L.) telah dipraktikkan oleh setiap anak yang dilahirkan. Sebagai
suatu gerakan modern yang mendobrak cara belajar di dalam pendidikan dan
pelatihan terstruktur yang muncul kembali sebagai akibat adanya sejumlah pengaruh
pada paro kedua abad ke-20.

Metode-metode belajar konvensional, yang dilahirkan pada awal era ekonomi industri,
cenderung menyerupai bentuk dan gaya pabrik: mekanisasi, standardisasi, kontrol luar,
satu-ukuran-untuk-semua, pengondisian behavioristis (hadiah dan hukuman),
fragmentasi, dan tekanan pada format “Saya-bicara-kau-mendengar” (yang juga
dikenal sebagai teknik membosankan). Dimana Kita merasa bahwa itulah satu-satunya
cara untuk mempersiapkan pelajar menjalani kehidupan yang kering dan
membosankan

Idealnya Belajar ditandai dengan keterlibatan penuh pembelajar, kerja sama murni,
variasi dan keragaman dalam metode belajar, motivasi internal (dan bukan semata-
mata eksternal), adanya kegembiraan dan kesenangan dalam belajar, dan integrasi
belajar yang lebih menyeluruh ke dalam segenap kehidupan organisasi. Alasannya?
Belajar bukan lagi persiapan untuk bekerja; belajar adalah bekerja untuk menemukan
cara-cara mempercepat dan mengoptimalkan belajar .

Revolusi dalam Belajar

Kepercayaan-kepercayaan abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh di


Barat cenderung membuat pembelajaran muram, lamban, dan tidak efektif. Dan
teknologi canggih atau “teknik-teknik” cerdas apapun yang dibangun di atas landasan
lama ini tidak akan dapat membantu memperbaiki permasalahan. Yang kita butuhkan
adalah landasan yang benar-benar baru.

Landasan lama didasarkan pada anggapan bahwa pembelajar adalah konsumen, pada
prestasi individu, pengotak-ngotakan (orang dan pokok masalah), kontrol birokrasi
terpusat, pelatih sebagai pelaksana program, bahwa pembelajaran terutama bersifat
verbal dan kognitif, dan program pelatihan sebagai proses jalur perakitan. Landasan
baru didasarkan pada anggapan bahwa pembelajar adalah kreator, pada kerja sama
dan prestasi kelompok, kesalingterkaitan, belajar sebagai aktivitas seluruh
pikiran/tubuh, dan program belajar yang menyediakan lingkungan belajar yang kaya-
pilihan dan cocok untuk seluruh gaya belajar.

Belajar pada Abad Kesembilan Belas

Cita-cita pendidikan abad kesembilan belas (yang masih mempengaruhi pemikiran


banyak orang sekarang ini) adalah melatih orang dalam perilaku lahiriah yang
didefinisikan secara sempit, agar dapat memperoleh hasil standar yang dapat
diramalkan. Pendekatan belajar ini mengharuskan penumpulan diri seseorang
sepenuhnya. Yang dicari: membuat perilaku sejalan dengan produksi dan pemikiran
rutin. Tugas pendidikan dan pelatihan adalah mempersiapkan orang untuk menghadapi
dunia yang relatif sederhana, statis, dan dapat diramalkan. Kesulitannya sekarang
adalah bahwa dunia semacam itu tidak ada lagi. dan kita lamban menyadarinya.

Belajar pada Abad Kedua Puluh Satu

Kini, tugas pendidikan dan pelatihan adalah mempersiapkan orang untuk hidup di
dunia yang pasang surut, yaitu dunia tempat setiap orang harus mengerahkan seluruh
kekuatan pikiran dan hati mereka sepenuhnya dan bertindak berdasarkan kreativitas
yang penuh kesadaran , bukan sesuatu yang mudah diramalkan dan tidak
membutuhkan pikiran. Bukannya menghasilkan manusia “fotokopi” seperti pada abad
ke 19, kini kita harus menghasilkan “tokoh orisinal” yang dapat mengerahkan
sepenuhnya energi mereka yang potensial dan menjanjikan. Kita harus membebaskan
kecerdasan setiap orang yang unik dan bukan menindasnya atas nama staandardisasi
atau “budaya perusahaan”. Keadaan sudah tidak seperti dahulu lagi. Di setiap
tingkatan, kita semua harus menjadi inovator.

Pendekatan Lozanov

Pada 1970-an, Lynn Schroeder dan Sheila Ostrander menerbitkan sebuah buku
berjudul Superlearning yang mengemukakan karya psikiater Bulgaria, Georgi
Lozanov. Buku itu mengundang perhatian banyak pendidik dan guru yang sedang
mencari pendekatan belajar yang lebih efektif.

Lozanov mendapati bahwa dengan menenangkan pasien psikiatri dengan musik barok
dan memberi mereka sugesti positif mengenai kesembuhan mereka, banyak pasien
tersebut mengalami kemajuan besar. Dia merasa telah menemukan cara untuk
melangkah masuk ke dalam sesuatu jauh di lubuk jiwa yng lebih dalam daripada
kesadaran rasional. (Dia menyebut ini “cadangan pikiran yang tersembunyi”.)
Lozanov merasa metode ini juga dapat diterapkan pada pendidikan. Dengan disponsori
pemerintah Bulgaria, dia mulai melakukan penelitian mengenai pengaruh musik dan
sugesti positif pada pembelajaran, dengan menggunakan bahasa asing sebagai materi
subjek. Dia mendapati bahwa kombinasi musik, sugesti, dan permainan kanak-kanak
memungkinkan pelajar untuk belajar jauh lebih cepat dan jauh lebih efektif. Kabar
mengenai temuannya menyulut imajinasi guru bahasa dan pendidik di mana-mana.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Accelarated Learning

Banyak faktor lain telah memberikan sumbangan pada perkembangan yang mantap
dan berlangsung terus-menerus dalam filosofi, metode, dan aplikasi A.L. diantaranya :

1. Ilmu kognitif modern, terutama penelitian mengenai otak dan belajar, telah
mempertanyakan banyak asumsi lama kita mengenai pembelajaran. Lenyap sudah
pendapat bahwa belajar itu semata-mata aktivitas verbal dan “kognitif”. Penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa belajar yang paling baik melibatkan emosi, seluruh
tubuh, semua indra, dan segenap kedalaman serta keluasaan pribadi (yang disebut oleh
Lozanov “cadangan pikiran yang tersembunyi”).

2. Penelitian tentang gaya belajar menunjukkan orang belajar dalam cara yang
berbeda-beda dan satu jenis belum tentu tepat untuk semua orang. Ini telah menantang
secara serius gagasan kita mengenai pendidikan dan pelatihan formal sebagai proses
jalur perakitan atau ban-berjalan.

3. Tumbangnya pandangan-dunia Newtonian (bahwa alam bekerja seperti mesin,


secara otomatis patuh pada proses yang mandiri, linear, langkah-demi-langkah) dan
bangkitnya fisika kuantum telah memberi kita apresiasi baru terhadap
kesalingterkaitan dari segala sesuatu dan terhadap hakikat realitas yang nonlinear,
nonmekanistis, kreatif, dan “hidup”.

4. Evolusi yang berlangsung lambat laun (namun tidak sempurna) dari kebudayaan
yang didominasi pria menjadi kebudayaan yang menyeimbangkan perasaan pria dan
wanita memungkinkan berkembangnya pendekatan yang leih lembut, kolaboratif, dan
bersifat mengasuh pada aktivitas belajar.

5. Runtuhnya Behaviorisme sebagai psikologi yang dominan dalam pembelajaran


telah mendorong timbulnya keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang lebih
manusiawi dan holistis.

6. Beberapa gerakan paralel pada abad ke-20 telah mendukung hidupnya berbagai
pendekatan pendidikan alternatif: Gerakan Sekolah Progresif yang dimulai pada 1920-
an, Gerakan Pendidikan Confluent yang dimulai pada 1940-an, Gerakan Pendidikan
Humanistis yang dimulai pada 1950-an, dan Gerakan Sekolah Bebas pada 1960-an.
Yang juga berpengaruh besar adalah Sekolah Montessori yang didirikan oleh Maria
Montessori, Sekolah Waldorf oleh Rudolph Steiner, dan gerakan Sekolah Summerhill
di Inggris yang dipimpin oleh Alexander Sutherland Neill.

7. Kebudayaan dan keadaan di tempat kerja yang selalu berubah telah membuat
banyak metode pendidikan dan pelatihan menjadi lamban dan usang dan telah
membuka pintu bagi pendekatan alternatif.

Prinsip-prinsip Accelerated Learning,

1. Belajar Melibatkan seluruh Pikiran dan Tubuh. Belajar tidak hanya


menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, dan verbal), tetapi juga
melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya.

2. Belajar adalah Berkreasi, Bukan Mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu


yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar.
Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan
ketrampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara
harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi
elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

3. Kerja Sama Membantu Proses Belajar. Semua usaha belajar yang baik
mempunyai landasan sosial. Kita biasanya belajar lebih banyak dengan berinteraksi
dengan kawan-kawan daripada yang kita pelajari dengan cara lain manapun.
Persaingan di antara pembelajar memperlambat pembelajaran. Kerja sama di antara
mereka mempercepatnya. Suatu komunitas belajar selalu lebih baik hasilnya daripada
beberapa individu yang belajar sendiri-sendiri.

4. Pembelajaran Berlangsung pada Banyak Tingkatan secara Simultan. Belajar


bukan hanya menyerap satu hal kecil pada satu waktu secara linear, melainkan
menyerap banyak hal sekaligus. Pembelajaran yang baik melibatkan orang pada
banyak tingkatan secara simultan (sadar dan bawah-sadar, mental dan fisik) dan
memanfaatkan seluruh saraf reseptor, indra, jalan dalam sistem total otak/tubuh
seseorang. Bagaimanapun juga, otak bukanlah prosesor berurutan, melainkan prosesor
paralel, dan otak akan berkembang pesat jika ia ditantang untuk melakukan banyak hal
sekaligus

5. Belajar Berasal dari Mengerjakan Pekerjaan Itu Sendiri (dengan Umpan


Balik). Belajar paling baik adalah dalam konteks. Hal-hal yang dipelari secara
terpisah akan sulit diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan
berenang, cara mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi dengan
bernyanyi, cara menual dengan menjual, dan cara memperhatikan kebutuhan
konsumen dengan memperhatikan kebutuhannya. Pengalaman yang nyata dan konkret
dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis dan abstrak-
asalkan di dalamnya tersedia peluang untuk terjun langsung secara total, mendapatkan
umpan balik, merenung, dan menerjunkan diri kembali.

6. Emosi Positif Sangat Membantu Pembelajaran. Perasaan menentukan kualitas


dan juga kuantitas belajar seseorang. Perasaan negatif menghalangi belajar. Perasaan
positif mempercepatnya. Belajar yang penuh tekanan, menyakitkan, dan bersuasana
muram tidak dapat mengungguli hasil belajar yang menyenangkan, santai, dan
menarik hati.

7. Otak-Citra Menyerap Informasi secara Langsung dan Otomatis. Sistem saraf


manusia lebih merupakan prosesor citra darpada prosesor kata. Gambar konkret jauh
lebih mudah ditangkap dan disimpan darpada abstraksi verbal. Menerjemahkan
abstraksi verbal menjadi berbagai jenis gambar konkret akan membuat abstraksi verbal
itu bisa lebih cepat dipejari dan lebih mudah diingat.
Aspek Ekonomi dalam
Pendidikan
Ditulis oleh Cucu Lisnawati
Penulis: Cucu Lisnawati, S.Pd. (dosen tetap pada Universitas Langlangbuana di
Bandung).

Abstrak: Masalah pendidikan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah


ekonomi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, kontribusi pendidikan
terhadap ekonomi dan pembangunan harus diakui. Dengan demikian, tidak selamanya
pendidikan dianggap sebagai konsumsi atau pembiayaan. Sudah saatnya, pendidikan
harus dipandang sebagai investasi, yang secara jangka panjang kontribusinya dapat
dirasakan.

Kata Kunci: Ekonomi pendidikan, investasi dalam pendidikan, pembiayaan dalam


pendidikan.

A. Ukuran-ukuran Kontribusi Pendidikan Terhadap Pembangunan dan Pertumbuhan


Ekonomi

Bagaimanakan keterkaitan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi? Secara sederhana,


jawaban atas pertanyaan tersebut dapat digambarkan berikut ini.
Untuk menjawab hal tersebut di atas, kita tidak dapat melepaskan diri dari masalah
pembangunan. Konsep pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sangat beragam
tergantung konteks pengggunaanya. Ahli-ahli ekonomi mengembangkan teori
pembangunan yang didasari kepada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam
proses pembangunan, yang kemudian dikenal dengan istilah Invesment in Human
Capital. Teori ini didasari pertimbangan bahwa cara yang paling efisien dalam
melakukan pembangunan nasional suatu negara terletak pada peningkatan kemampuan
masyarakatnya. Selain itu dihipotesiskan pula bahwa faktor utama yang mendukung
pembangunan adalah pendidikan masyarakat.

Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan formal merupakan instrumen


terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktifitas yang tinggi.
Menurut teori ini pertumbuhan dan pembangunan memiliki 2 syarat, yaitu

1. Adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien, dan

2. Adannya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada.
Sumber daya manusis seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan.

Hal inilah yang menyebabkan teori human capital percaya bahwa investasi dalam
pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat.

Asumsi dasar yang melandasi keharusan adanya hubungan pendidikan dengan


penyiapan tenaga kerja adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk meningkatkan
keterampilan dan pengatahuan untuk bekerja. Dengan kata lain, pendidikan
menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja. Namun demikian pada kenyataannya
tingat pengangguran di hampir seluruh negara bertambah sekitar 2 % setiap tahunnya
(World Bank:1980)

Terjadinya pengangguran bukan disebabkan tidak berhasilnya proses pendidikan,


namun pendidikan tidak selalu harus menghasilkan lulusan dengan jenis pekerjaan
tertentu. Sekolah memang dapat menghasilkan tenaga kerja dengan keterampilan
tertentu, tetapi sekolah bukan satu-satunya tempat dimana keterampilan itu dapat
dicapai.

Terdapat berbagai macam faktor untuk mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi


diukur dengan baik. Diantara ukuran-ukuran tersebut, diantaranya:

1. Pendapatan per-kapita

2. Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri

3. Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi seperti mobil,


telepon, televisi

Dengan demikian kriteria untuk menilai keberhasilan pembangunan:

4. Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP.

5. Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,

6. Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang


dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas.

Pola keterkaitan antara pendidikan dan pembangunan berbeda sesuai dengan


karakteristik khas setiap negara. Secara ringkas tampak berikut ini.

1. Negara Kapitalis vs Negara Sosialis. Ekonomi di negara kapitalis mengasumsikan


bahwa model produksinya bebas dari intervensi pemerintah dan mensyaratkan adanya
kompetisi terbuka di dalam pemasaran. Hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan
ekonomi sangat erat dan pendidikan merupakan suatu hal yang diperlukan. Ekonomi
di negara sosialis, memiliki konteks yang berbeda dalam mengitepretasikan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Pemerintah memiliki peranan di dalam
mengontrol jalannya proses produksi dan pemasaran. Kaitan antara pendidikan
dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan seolah tidak terlihat karena
pembangunan sangat diatur oleh negara, bukan ditentukan oleh masing-masing warga
negara.

2. Negara Industri vs Non-Industri. Di Amerika Serikat yang sudah maju, persentase


pekerja yang bekerja di sektor industri sebesar 33 % dan di bidang jasa/service sebesar
66 %. Di Meksiko persentase di sektor yang sama adalah 23 % dan 33 %. Di negara
maju, penduduknya memiliki pendapatan perkapita yang lebih tinggi, pemakaian
teknologi yang canggih, konsumsi energi yang lebih besar dibandingkan negara
kurang berkembang. Di negara maju memiliki akumulasi modal yang lebih besar,
sebagai akibat dari kelebihan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan konsumsi,
sehingga jumlah tabungan semakin lebih besar dan pada akhirnya akan diinvestasikan
lagi pada sistem ekonomi yang telah berjalan. Hubungan antara pendidikan dan
pembangunan di negara maju sangat jelas dilihat dari adanya perubahan karakteristik
individu yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Di negara non-industri,
perekonomiannya sangat tergantung kepada sektor pertanian sehingga persentase
tenaga kerjanya lebih banyak yang bekerja di sektor non-industri.

Jelas bagaimana pentingnya analisis kontribusi pendidikan dalam pembangunan. Salah


satu alasan banyaknya kontroversi tentang kaitan antara pembangunan dan pendidikan
disebabkan karena sedikit sekali kebijakan pendidikan yang dimonitor benar-benar dan
juga dievaluasi hasilnya. Analisis terhadap pendidikan biasanya bersifat ex-post fakto,
artinya data diperoleh dari kejadian-kejadian yang telah lampau. Sebenarnya konsep
bagaimana pendidikan itu harus dievaluasi harus dikembangkan sejak tujuannya
ditetapkan. dengan memperhatikan kerangka berpikirnya dan metodologinya. Metode
yang sering dipakai dalam penelitian evaluasi adalahl linear regresion and the
educational production.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk membicarakan lebih lanjut kontribusi
pendidikan terhadap pembangunan harus ditemukan kriteria-kriteria atau ukuran-
ukuran pertumbuhan atau hasil pembangunan. Dari uraian di atas, maka dapatlah
dirumuskan ukuran-ukuran sebagai berikut.

1. Teknologi tinggi dan sumberdaya yang mengoperasikannya

2. Pendapatan per-kapita

3. Perubahan peta ketenagakerjaan dari pertanian ke industri

4. Konsumsi energi atau pemakaian barang berteknologi tinggi

5. Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP
dan GNP

6. Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat

7. Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang


dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas.

Berdasarkan ukuran tersebut di atas, maka untuk mengetahui keterkaitan antara


pendidikan dan pembangunan diperlukan data sebagai berikut.

1. Pendidikan, yang meliputi partisipasi pendidikan untuk setiap jenis dan jenjang
pendidikan

2. Pendapatan nasional, baik dalam bentuk Pendapatan Nasional Bruto, Pendapatan


Domestik Bruto, maupun Pendapatan Perkapita
3. Perubahan peta ketenagakerjaan, dengan rentangan pertanian-jasa-industri

4. Konsumsi energi

A. Konsep Investasi dalam Pendidikan

Investasi berarti penanaman modal atau uang. Modal atau uang yang ditanamkan
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa uang atau modal maupun
dalam bentuk barang atau jasa. Kenneth J. Arrow (1962) mengemuikakan bahwa
istilah investasi atau investment merupakan alokasi current resources yang
mempunyai alternatif produktif yang berguna untuk pelaksanaan kegiatan yang dapat
menambah keuntungan yang diperoleh di masa yang akan datang. Biaya atau cost
suatu investasi merupakan keuntungan yang diperoleh dibagi dengan penggunaan
sumber daya dalam berbagai kegiatan lain. Dengan demikian jelas bahwa investasi
merupakan penanaman modal atau uang yang sengaja dilakukan untuk mendatangkan
keuntungan melalui produk yang dihasilkan. Sementara itu pendidikan merupakan
usaha manusia untuk membangun manusia itu sendiri dengan segala masalah dan
spektrumnya yang terlepas dari dimensi waktu dan ruang. Hal ini berarti bahwa inti
pendidikan itu adalah pembelajaran seumur hidup (life long learning), sementara
bentuk pendidikan formal, pendidikan non formal (luar sekolah) dan sebagainya hanya
merupakan modus operandi dari proses pendidikan. Pendidikan di sini dimaksud untuk
meningkatkan martabat manusia agar mempunyai ketermapilan dan kemampuan
sehinggan produktivitasnya meningkat. Oleh sebab itu maka hasil pendidikan akan
menjadi sumber daya manusia yang sangat berguna dalam pembangunan suatu negara.

Investasi dalam pendidikan merupakan penanaman modal dengan cara


mengalokasikan biaya untuk penyelenggaraan pendidikan serta mengambil
keuntungan dari sumber daya manusia yang dihasilkan melalui pendidikan itu. Dalam
konteks ini pendidikan ini diapandang sebagai industri pembalajaran manusia, artinya
melalaui pendidikan dihasilkan manusia-manusia yang mempunyai kemampuan dan
keterampilan yang sangat diperlukan bagi perekonomian suatu negara untuk
meningkatkan pendapatanindividu dan pendapatan nasional. Dengan demikian maka
investasi dalam pendidikan mempunyai jangka waktu yang panjang untuk dapat
mengetahui hasilnya dan hasilnya itupun tidak dalam bentuk keuntungan lansung,
melainkan keuntungan bagi pribagi yang menerima pendidikan dan bagi negara.

Sebagai fungsi investasi, pendidikan memberikan sumbangan yang berarti dalam


kenaikan tingkat kehidupan, kualitas manusia dan pendapatan nasional, terutama
dalam hal-hal berikut:

1. Proses belajar mengajar menjamin masyarakat yang terbuka (yaitu masyarakat


yang senantiasa beresedia untuk mempertimbangkan gagasan-gagasan dan harapan-
harapan baru serta menerima sikap dan proses baru tanpa harus mengorbankan
dirinya).

2. Sistem pendidikan menyiapkan landasan yang tepat bagai pembangunan dan hasil-
hasil rises (jaminan melekat untuk pertumbuhan masyarakat modern yang
berkesinambungan). Investasi pendidikan dapat mempertahankan keutuhan dan secara
konstan menambah persediaan pengetahuan dan memungkinkan riset dan penemuan
metode serta teknik baru yang berkelanjutan.

3. Apabila dalam setiap sektor ekonomi kita dapatkan segala faktor yang dibutuhkan
masyarakat kecuali tenaga kerja yang terampil, maka investasi dalam sektor
pendidikan akan menaikan pendapatan perkapita dalam sektor tersebut, kecuali bila
struktur sosial yang hidup dalam masyarakat tersebut tidak menguntungkan.

4. Sistem pendidikan menciptakan dan mempertahankan penawaran ketermapilan


manusia di pasar pemburuhan yang luwes dan mampu mengakomodasi dan
beradaptasi dalam hubungannya dengan perubahan kebutuhan akan tenaga kerja dan
masyarakat teknologi modern yang sedang berubah (Komaruddin, 1991: 14).

Investasi dalam pendidikan memusatkan perhatian pada manusia sebagai sumber daya
yang akan menjadi modal (human capital) bagai capital (Gary S. Backer, 1962)
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi real income masa yang akan
datang melalui penempatan sumber daya dalam bentuk manusia. Human capital di sini
merujuk pada tenaga kerja sebagai suatu faktor produksi yang menghubungkan aspek
non-ekonomi pendidikan terhadap aspek ekonomi lainnya yang mempunya dua ciri
esensial, yaitu:

1. Kualitas tenaga kerja sebagai suatu input produktif tidak dapat dibagi dan
digunakan secara terpisah.

2. Kemampuan tenaga kerja tersebut tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.

Dalam kaitan ini, Ace Suryadi (1991) mengungkapkan bahwa menurut teori human
capital yang tercermin dalam keterampilan, pengetahuan dan produktivitas kerjanya.
Lebih lanjut dikemukakannya bahwa ada model investasi dalam bentuk sumber daya
manusia yang secara langsung atau tidak melakukan hubungan antara indikator
pendidikan di satu pihak dan indikator ekonomi di lain pihak. Model yang
dimaksudkan adalah model analisis biaya dan keuntunganpendidikan (cost benefit
analysis). Model ini merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan
analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan untuk
memutuskan danmemilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang
terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi.

B. Pendidikan dan Pertumbungan Ekonomi

Mungkinkah ada intervensi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi? Pendidikan


memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan ekonomi. Tyler (1977)
mengungkapkan bahwa pendidikan dapat meningkatkan produktivitas kerja seseorang,
yang kemudia akanmeningkatakan pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini
berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang bersangkutan, untuk
kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan
rendah. Sementara itu Jones (1984) melihat pendidikan sebagai alat untuk menyiapkan
tenaga kerja terdidik dan terlatih yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Jones melihat, bahwa pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk
menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi lebih siap latih dalam
pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, yang secara
langsung akan meningkatakan pendapatan nasional. Menurutnya, korelasi antara
pendidikan dengan pendapatan tampak lebih signifikan di negara yang sedang
membngun.

Sementra itu Vaizey (1962) melihat pendidikan menjdi sumber utama bakat-bakat
terampil dan terlatih. Pendidikan memegang peran penting dalam penyediddan tenaga
kerja. Ini harus menjadi dasar untuk perencanaan pendidikan, karena pranata ekonomi
membutuhkan tenaga-tenga terdidik dan terlatih. Permasalahan yang dihadapai adalah
jarang ada ekuivalensiyang kuat antara pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan
yang mengakibatkan munculnya pengangguran terdidik dant erlatih. Oleh karena itu,
pendidikan perlu mengantisipasi kebutuhan. Ia harus mampu memprediksi dan
mengantisipasi kualifikasi pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja. Prediksi
ketenagakerjaan sebagai dasar dalam perencanaan pendidikan harus mengikuti
pertumbuhan ekonomi yang ada kaitannya dengan kebijaksanaan sosial ekonomi dari
pemerintah.

Intervensi pendidikan terhadap ekonomi merupakan upaya penyiapan pelaku-pelaku


ekonomi dalam melasnakan fungsi-fungsi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Intervensi terhadap fungsi produksi berupa penyediaan tenaga kerja untuk berbagai
tingkatan yaitu top, midle, dan low management; atau secara ekstrim tenagra kerja
krah biru dan krah putih. Di samping tenaga kerja, juga pendidikan mengintervensi
produksi untuk penyediaan entrepreneur tangguh yang mampu mengambil resiko
dalam inovasi teknologi produksi. Bentuk intervensi lain yaitu menciptakan teknologi
baru dan menyiapkan orang-orang yang menggunakannya. Program-program
perluasan produksi melalui intensifikasi dan rasionalisasi merupakan salah satu wujud
nyata dari peran prangata pendidikan atas fungsi produksi ini. Intervensi terhadap
fungsi distribusi adalah melalui pengembangan research and development produk
yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat atau konsumen. Intervensi
terhadap fungsi konsumsi dilakukan melalui peningkatan produktivitas kerja yang
akan mendorong peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan ini akan
mendorong pada peningkatan fungsi konsusmsi, yang ditunjukan dengan
meningkatnya jumlah tabuhan yang berasal dari pendapatan yang disisihkan.
Tabungan ini akan menjadi investasi kapital yang tentunya akan lebih mempercepat
laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.

C. Pendidikan dan Pekerjaan

Ukuran yang paling populer dalam melihat kontribusi pendidikan terhadap


pertumbuhan ekonomi adalah mempertautkan antara pendidikan dengan pekerjaan.
Pemikiran ini didasarkan pada anggapan bahwa pendidikan merupakan human capital.
Pemikiran ini muncul pada era industrialisasi dalam masayarkaat modern. Argumen
ini memiliki dua sepek, yaitu:

1. Pendidikan merupakan suatu bentuk investasi nasional untuk meningkatkan


kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi modern,
dan

2. Investasi pendidikan diharapkan menghasilkan suatu peningkatan kesejahteraan


dan kesempatan yang lebih luas dalam kehidupan nyata.

Sebagai ilustrasi, menginkatkan tingkat pendidikan pekerja berpenghasilan rendah


akan memberikan tiga pengaruh positif, yaitu:

1. Meningkatkan produktivitas kerja dan konsekuensinya terhadap pendapatan

2. Meningkatakan suplai tenaga kerja dengan keahlian tinggi dan konsekuensinya


terhadap rendahnya gaji mereka, dan

3. Menciptakan kekurangan pekerja berkeahlian rendah dengan konsekuensi


mengingkatkan gaji pekerja golongan ini.
Pendidikan dan
Konflik Sosial
Ditulis oleh Elly Retnaningrum
Penulis: Dra. Hj. Elly Retnaningrum, M.Pd. (dosen tetap pada Universitas
Langlangbuana di Bandung).

Abstrak: Sebagian dari akar permasalahan dari konflik sosial adalah kondisi sosial-
ekonomi-politik, tingkat pendidikan, tingkat pendalaman agama, terbentuknya
mentalitas dan moralitas yang dilandasi ketidakdewasaan perilaku sosial psikologis,
lingkungan yang ada dalam masyarakat itu sendiri kurang kondusif. Kondisi yang
digambarkan tersebut menggiring ke arah perlunya mempedulikan persoalan
moralitas secara lebih serius. Ini mengimplikasikan perlunya pembenahan yang serius
pada wilayah moral. Salah satu aspek yang subtansial adalah pengenalan dan
penanaman nilai-nilai kebenaran dan kesalahan atau kebaikan dan keburukan yang
terdapat dalam suatu tindakan. Dan ini bisa dilakukan melalui pendidikan, baik di
keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Kata Kunci: Konflik sosial, pendidikan dalam keluarga.

Pertentangan antar kelompok masyarakat telah menjurus pada gejala-gejala


disintegrasi bangsa, yang berujung pada bentrokan fisik dengan atau tanpa senjata.
Ini telah menjadi 'cara pemecahan masalah' bagi sebagian masyarakat di negeri yang
sesungguhnya sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan serta persatuan dan
kesatuan bangsa.

Konflik sosial yang telah mengorbankan nyawa dan harta benda seperti yang terjadi
di Ambon, Sambas, atau "perang" antarpelajar di Bogor belakangan ini telah
menorehkan guratan luka psikologis-sosial dalam lintasan sejarah peradaban
masyarakat Indonesia pasca Orde Baru, yang hingga saat ini nampaknya masih belum
beranjak dari masa transisi. Ini sungguh ironis terjadi dalam masyarakat yang
berfalsafah hidup Pancasila. Maraknya konflik sosial yang terjadi mengisyaratkan
adanya sesuatu yang salah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yang
apabila dirunut lebih lanjut akan bermuara pada kegagalan praksis pendidikan dalam
masyarakat.

Tatkala kerusuhan bermunculan di pelbagai kawasan nusantara ini, dari perspektif


pendidikan selalu terlontar pertanyaan: adakah kaitan antara pelbagai pertentangan
antarkelompok masyarakat itu-- baik yang bernuansa SARA maupun tidak-- dengan
tingkat pendidikan masyarakat? Mengapa sebagian masyarakat mudah sekali tersulut
isu-isu yang tidak tidak dapat dijamin kesahihannya? Apakah ini bertemali erat
dengan tingkat pendidikan masyarakat?

Rasanya memang kita sulit untuk percaya semua itu dapat terjadi. Bukankah
kegiatan-kegiatan yang sifatnya spiritual dapat dikatakan marak dan frekuensinya
cukup tinggi? Apabila dilihat secara sepintas, bukankah jumlah orang yang
menjalankan perintah agamanya masing-masing relatif lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan yang tidak? Apakah kegiatan spiritual yang selama ini marak
tidak lebih dari seremonial ritual tanpa pendalaman hakikat? Tidak mudah memang
menjawab sederet pertanyaan tersebut. Tapi setidaknya kita dapat mengkaji
kemungkinan yang memicu kejadian-kejadian yang mencoreng muka bangsa
Indonesia di mata dunia internasional itu.

Akar permasalahan

Mencermati pelbagai konflik sosial yang merebak belakangan ini, beberapa asumsi
dapat diketengahkan untuk lebih memahami akar permasalahannya. Pertama, kondisi
sosial-ekonomi-politik yang sudah menjurus pada chaos telah membentuk sikap dan
perilaku masyarakat yang sulit diduga. Apalagi ada pihak-pihak tertentu yang
"mengobok-obok" dengan memancing di air keruh memanfaatkan situasi sesuai
dengan kepentingan primordialnya, baik kepentingan yang berhubungan dengan karir
atau petualangan politik maupun sekadar keuntungan ekonomi.

Kedua, tingkat pendidikan sebagian masyarakat yang kurang menyebabkan mudah


sekali tersulut isu-isu yang tidak bertanggung jawab dan provokasi-provokasi (baik
yang terorganisir maupun yang spontan) dari pihak-pihak yang memanfaatkan situasi
untuk memecah belah dan mengambil keuntungan politis dari situasi itu.

Ketiga, tingkat pendalaman agama yang lebih mengutamakan dimensi ritual


seremonial telah menyebabkan kurang terinternalisasikannya nilai-nilai keagamaan
dalam pribadi kolektif masyarakat. Lebih jauh, kondisi ini mengakibatkan munculnya
fanatisme berlebihan atau justru fanatisme semu yang seolah-olah membela
kepentingan agama tetapi sesungguhnya yang dibela adalah kepentingan diri sendiri
yang jauh dari ajaran agama.

Keempat, ketiga kondisi tersebut pada gilirannya menggiring ke arah terbentuknya


mentalitas dan moralitas yang dilandasi ketidakdewasaan perilaku sosial psikologis.
Misalnya, masyarakat mudah sekali menghujat kesalahan orang lain hanya
berdasarkan isu-isu bahwa tokoh yang bersangkutan adalah figur yang memang layak
dihujat. Hanya karena isu yang tidak jelas bisa menyulut gerakan massa yang
menjurus pada perilaku destruktif yang merongrong kamtibmas, menghilangkan
nyawa orang lain, merusak fasilitas umum, dan semacamnya. Ini mengisyaratkan
perlunya penelusuran akar permasalahan yang mendasari peristiwa-peristiwa sejenis,
yang setiap saat dapat muncul dimana saja dan kapan saja.

Kelima, lingkungan yang ada dalam masyarakat itu sendiri kurang kondusif untuk
memberikan ajaran moral kepada individu-individu yang menjadi anggotanya.
Mengendurnya kontrol sosial serta langkanya figur yang dapat dijadikan panutan
perilaku yang berlandaskan pada kebenaran agaknya dapat dijadikan sebagai salah
satu alasan untuk lebih mempedulikan pendidikan moral, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, serta masyarakat.

Antisipasi

Kondisi yang digambarkan tersebut menggiring ke arah perlunya mempedulikan


persoalan moralitas secara lebih serius. Ini mengimplikasikan perlunya pembenahan
yang serius pada wilayah moral. Salah satu aspek yang subtansial adalah pengenalan
dan penanaman nilai-nilai kebenaran dan kesalahan atau kebaikan dan keburukan
yang terdapat dalam suatu tindakan.

Sejalan dengan perubahan yang sangat cepat dalam pelbagai dimensi kehidupan
belakangan ini, yang tidak jarang memunculkan konflik kepentingan dan konflik
sosial dalam arti luas, maka penguatan landasan moral menjadi kebutuhan utama.
Dan yang lebih mendasar, memupuk keberanian untuk mengutarakan kebenaran dan
mengulurkan tangan pada yang membutuhkan pertolongan agaknya perlu menjadi
prioritas. Hal ini mengingat telah tergerusnya nilai-nilai kebenaran dengan pelbagai
pertimbangan lain yang menyebabkan adanya ketakutan untuk menyuarakan
kebenaran itu. Akibat lebih jauh adalah keengganan mengulurkan bantuan karena
telah tumpulnya rasa solidaritas sosial serempak dengan makin mengedepannya
pertimbangan untung-rugi.

Untuk mengantisipasi kondisi itu, di lingkungan keluarga para orang tua dan orang
dewasa perlu memfungsikan dirinya untuk memupuk keberanian anak dengan
mengkondisikannya pada situasi yang memungkinkan anak mengemukakan
pendapatnya tanpa kendala hirarki yang berlebihan. Selain itu, perlu juga dibiasakan
untuk secara langsung mempraktikkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial. Ini bisa
diperkuat di sekolah. Fungsi guru dalam konteks ini adalah sebagai pendidik moral
bagi murid-muridnya agar dapat berpihak pada kebenaran dan keharmonisan hidup
antarsesama.

Demikianlah, secara langsung maupun tidak langsung, lingkungan pendidikan


membentuk perilaku peserta didik untuk melakukan sosialisasi di masyarakat agar
dapat meminimalkan atau bahkan meniadakan terjadinya konflik sosial. Guru terlibat
dalam kegiatan pengajaran yang secara erat berkaitan dengan penanaman nilai-nilai
moral yang sesuai dengan standar perilaku yang umum diakui sebagai kebenaran.
Standar ini dapat diajarkan dan dipelajari dalam pelbagai situasi, tidak saja dalam
situasi pengajaran yang formal. Dalam situasi sehari-hari, banyak sekali standar
perilaku yang dapat dijadikan sebagai pelajaran moral bagi siapa saja. Hal-hal apa
saja yang dilakukan oleh seseorang tatkala menghadapi situasi tertentu pada
hakikatnya sudah merupakan pertimbangan moral yang paling mendasar.

Berbagai tindak penyimpangan, kekerasan, dan pemaksaan kehendak dari satu pihak
ke pihak lain, serta konflik sosial pada umumnya menunjukkan adanya persoalan
moralitas yang cukup serius. Kondisi seperti ini mengisyaratkan belum maksimalnya
fungsi keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai moral.
Untuk itu, pembenahan yang mendasar pada cara-cara dan juga materi pendidikan
moral dalam lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan kebutuhan mendesak
yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengantisipasi perilaku masyarakat
yang menyimpang dari nilai-nilai moral.

Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa praksis pendidikan amat menentukan


dalam pembemntukan perilaku masyarakat. Ia sekaligus dapat dipergunakan sebagai
instrumen untuk mengembangkan nilai moral dan etika sosial yang selaras dengan
tuntutan perkembangan peradaban tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai religi dan
nilai-nilai kemasyarakatan.

Manakala praksis pendidikan (tidak hanya di sekolah) dapat difungsikan untuk


penanaman nilai moral yang menghargai keberadaan orang lain dapat diwujudkan
dan etika sosial yang mengedepankan kewajiban dan tanggung jawab manusia selaku
manusia yang saling mengasihi dapat terbina maka prasangka etnis, agama, dan ras
dapat dihindarkan. Ini mengisyaratkan bahwa melalui pendidikan yang baik dapat
dibentuk manusia-manusia yang setia pada rel moralitas religius yang dijadikan
sebagai sandaran setiap perilaku serta tidak mudah terhasut desas-desus sehingga
mengakibatkan konflik sosial.
MODEL BELAJAR DAN PEMBELAJARAN BERORIENTASI
KOMPETENSI SISWA
Ditulis oleh Erman S. Ar.
Drs. H. Erman Suherman, M.Pd. adalah dosen tetap pada FPMIPA Universitas
Pendidikan Indonesia di Bandung

Abstrak: Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan


siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat
berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap
kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan
siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan
membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di
atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan
menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas
bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang
bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar
dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.

Kata Kunci: model belajar, model pembelajaran, potensi siswa, kompetensi, life skill,
suasana belajar

A. Pendahuluan

Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum


2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh
pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah,
masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada
RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap
menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori.
Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa
penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan
yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah
menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan
RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di
kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru
memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga
memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai
insan mandiri.

Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas,
mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi.
Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah,
kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas
tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena
penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk
membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku
pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas
pemebelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya
adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah
paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud.
Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat
pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula menjadi aktif.

Tulisan sederhana ini sengaja dibuat untuk para guru, yang saya hormati dan saya
banggakan, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan, semoga dengan sajian
sederhana ini dapat dijadikan bekal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
proses dan hasil pembelajaran, sehingga kualitas amal sholehnya melalui profesi guru
menjadi meningkat pula. Tulisan ini membahas tentang kompetensi siswa sesuai
tuntutan kurikulum untuk sekedar mengingatkan, model-model belajar agar
memahami benar bagaimana siswa belajar yang efektif, dan model pembelajaran yang
bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, materi, fasilitas,
dan guru itu sendiri.

B. Kompetensi Siswa

Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya
setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah
memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan
memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia
telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya,
yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat
pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia
dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi,
kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan
memahami.

Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah
kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi,
investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi,
kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang
mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi
aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian
yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi
kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional
(akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap
sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan
afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi,
dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu
sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita
semua.

C. Model-model Belajar

Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa belajar?
Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan pelaksanaan
pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan
mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal,
dan tidak sebaliknya.

Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai cara-gaya
belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya
sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami
model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita semua) dapat membelajarkan
siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.

Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:

1. Peta Pikiran

Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi


melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk
hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu
sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau
dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara
fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng,
Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula
kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan
terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar
penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan /
menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat
narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.

Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran
Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta
pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta
pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural)
adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya
berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat
catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang
dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya
jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian
konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan
pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif,
di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal
itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta
konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.

Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat


memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan
kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi.
Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan
untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang
mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk
peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau
bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.

2. Kecerdasan Ganda

Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan,


terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional
pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan
bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi
kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan
mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal
kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru
minasy-syaithon).

Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi
ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif,
misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan
menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang
Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas
otak kanan.

Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis,
sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik.
Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak,
intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting
untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu
sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40%
dipengaruhi oleh hal lainnya.

Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga,
yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan
dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya
berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir,
ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman
individu karena keyakinan beragama ini.

Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti


dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-
communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective,
Logic-thinking-reasoning.

3. Metakognitif

Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran


berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu
aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir
dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998)
mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan
pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.

Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel


meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman,
manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas
metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.

Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif,
strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler
berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan
regulasi.

Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat


unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya
kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran
semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak
hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

4. Komunikasi

Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan
fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan
mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk
kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang
berkpribadian negatif.

Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan,
bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460
komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya.
Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh
keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh
komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama
kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia
tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas.
Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya
dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti
pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran,
menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang
memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan
memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.

Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative
seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat.
Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain
dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan
untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan
memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh,
dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung
berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.

5. Kebermaknaan Belajar

Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar
bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus
dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar,
mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).

Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar
mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-
pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan
melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan,
mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908)
mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru
jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran
membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri
handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga
mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi
tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.

Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan


bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan
membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%,
mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar
dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.

Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan


pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan
mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan
daily life (kontekstual).

6. Konstruksivisme

Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong


(encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur,
menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan
persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-
siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan),
melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.

Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam
belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya
dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur
materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi
menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan
siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang
satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas
guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan
pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai
karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari
aktivitas pembelajaran.

Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang
pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah
aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan.
Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan
konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal,
keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi,
koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).

7. Prinsip Belajar Aktif

Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar
secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan
untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan.
Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan
belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari
kegiatan.

Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas,
maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar
dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat
berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini
bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab,
sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri.

Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro
mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik),
empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas
kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran
dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik,
konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.

D. Model-model Pembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan
pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam
prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling
tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model
pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan
ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan
alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian
yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks
(prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk
melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).

Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang
penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab
bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu,
belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling
berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu
dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari
hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-
masing.

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara


berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep,
menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok
kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa
heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta
tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.

Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk


kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya
jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan
siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan
disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana
menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual
adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan
mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model
lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-
tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi,
membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri,
generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok
atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi,
investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism
(membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis),
reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama
proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa,
penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan
berbagai cara).

3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan


pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of
mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma,
aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan
vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan
mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-


aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal
ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi
(pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam
penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)

Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan
dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung.
Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan
terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan
metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)

Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini


melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang
kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah
suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan
agar siswa dap[at berpikir optimal.

Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi,


induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan
inkuiri

6. Problem Solving

Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum
dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan
cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah:
sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual
mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi,
mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

7. Problem Posing

Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan masalah
dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian
yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar,
identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-
pertanyaan.

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)

Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang


menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya
juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan
orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing,
keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan
metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban
siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai
jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses
daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan
ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar,
diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir
siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit
demi sedikit dilepas mandiri).

Sintaknya adlaha menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan


catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting

Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan


serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses
berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan
pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu
konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru
tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa
secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak
bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses
tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa
dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan
disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum,
dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan
lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia
sedang belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)

Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai


dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan
aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti
menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti
menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning

Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus


memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan
memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif
dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.

Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara


pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan
LKSD-modul, membaca-merangkum.

12. SAVI

Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah


memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah
kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di
mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa
belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,
argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang
bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati,
menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga;
dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan
berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih
menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan,
mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

13. TGT (Teams Games Tournament)

Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap
kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok
bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia
kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana
diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu
dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran.
Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.

Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan,


atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport.
Sintaknya adalah sebagai berikut:

a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi


pokok materi dan \mekanisme kegiatan

b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja
ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa
dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X
ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang
duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.

c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu


soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk
jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih
dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor
turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada
tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan
(gelar) superior, very good, good, medium.

d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-


keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen
sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja
turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi
oleh siswa dengan gelar yang sama.

e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor
individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)

Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan


memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah
potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah
tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan
kinesthetic.

15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)

Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada
Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan
cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
16. TAI (Team Assisted Individualy)

Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok
(BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah
pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima
bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan
imposisi-intruksi.

Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan
berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh
siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling
berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes
formatif.

17. STAD (Student Teams Achievement Division)

STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan,
buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara
kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual
dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan
individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)

NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan,
buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan
materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai
dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama)
kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama
sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat
skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw

Model p[embeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti


berikut ini. Pengarahan, iformasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan
ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam
kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap
kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama
sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial
pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)

Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan
materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan
cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis
individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan
reward.

21. GI (Group Investigation)

Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan
orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi
proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan
jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah,
banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi,
presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan
berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)

Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah
dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis
heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi
perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi

23. CPS (Creative Problem Solving)

Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui
teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan
suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi
bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih,
mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi,
presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)

Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak,


mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan
presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah:
informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi,
melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)

Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan
pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa
bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk
menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal,
kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)

Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide
untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E)
mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)

Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif
siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-
cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-
menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana,
darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan
cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas
bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)

SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu
aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual
yang relevan.

29. MID (Meaningful Instructionnal Design)

Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan


efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-
konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait
dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction
melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi
konsep

30. KUASAI

Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir
untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan
(mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan
kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui
refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)

CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan


tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan
menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan
bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1
untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk
certain.

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)

DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan
pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan
dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah
tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah
tersebut.

Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi,


analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah
penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal,
mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi,
mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama,
menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)

DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan


pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok.
Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)

Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara
koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang,
guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa
bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan)
terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil
kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)

IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar
(Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang
bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya
adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar,
separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang
berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar
berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

36. Tari Bambu

Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi


informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur.
Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan
pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan
kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan
kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan
pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya
pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi

Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian


materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan
materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di
depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate

Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok


kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh
masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu
kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara
bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola
perlu.

39. Role Playing

Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran,
menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan
kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan
scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan
oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.

40. Talking Stick

Suintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa
mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan
tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari
guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan
seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

41. Snowball Throwing

Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok,


pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja
kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain,
kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi

42. Student Facilitator and Explaining

Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa


mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi,
refleksi.

43. Course Review Horay

Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk


pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke
dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya
nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban
benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya,
pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

44. Demostration

Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau
eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum
materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk
siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan
dan evaluasi, refleksi.

45. Explicit Instruction

Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-


prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi
kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural,
membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan
dan evaluasi, refleksi.

46. Scramble

Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban
dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan
kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk
jawaban yang cocok.

47. Pair Checks

Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan


temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan
dan evaluasi, refleksi.

48. Make-A Match

Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi
jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha
menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya
siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk
badak berikutnya pembelaarn seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi,
refleksi.

49. Mind Mapping

Pembelajara ni sangat cocok untuk mereviu pengetahuan awal siswa. Sintaknya


adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk
menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi
kelompok, siswa membuat ksimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

50. Examples Non Examples


Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi,
sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati
sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok,
bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.

51. Picture and Picture

Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan


dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru
mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi
bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

52. Cooperative Script

Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa
mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang
dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53. LAPS-Heuristik

Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bertisfat tuntunan dalam rangaka solusi
masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa
masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana
sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan
pengecekan.

54. Improve

Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning,


Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication,
Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa
latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.

55. Generatif

Basi gneratif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan


ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman,
evaluasi, dan refleksi

56. Circuit Learning

Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan


dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar
kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta
konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

57. Complette Sentence

Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan


blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi,
siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan
berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi,
presentasi.

58. Concept Sentence

Proseduirnya adalah poenyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok


heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok
membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.

59. Time Token

Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan
sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya
adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan
pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan
pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

60. Take and Give

Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu
dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan
kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan
mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya
kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain
secara bergantian, evaluasi dan refleksi

61. Superitem

Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-
bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah
ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat,
berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi
informasi, integrasi, dan hipotesis.

62. Hibrid

Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara
siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-
inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

63. Treffinger

Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks:


keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses
rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-
kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.
64. Kumon

Pembelajarn dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan


menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan,
tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan
untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

65. Quantum

Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni.


Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif,
dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua
mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi
quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa,
namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-
komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan
reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m =
massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan
komunikasi + dengan aktivitas optimal.

E. Penutup

Kehidupan akan terasa indah ap[abila ada variasi, sebaliknya akan terasa
membosankan jika segalanya monoton tak berubah. Perubahan kea rah perbaikan
adalah tuntutan alamiah yang menjadi kebutuhan setiap insane dalam setiap
kehidupan.

Manusia telah dibekali akal dan rasa untuk berkreasi, menciptakan inovasi, agar
segalanya berubah ke arah yang lebih baik dengan ikhtiar mulai dari diri sendiri.
Begitu pulal dalam pembelajaran, penciptaan suasan kondusif perlu dilakukan, karena
unsur rasa dalam berpikir selalu turut serta dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu
penciptaan suasana kondusif perlu dilakukan sehingga dalam belajar siswa tidak lagi
merasa cemas, tidak lagi takut dalam berpartisipasi, tidak lagi dirasakan sebagai
kewajiban, melainkan memnjadi kesadaran dan kebutuhan, dalam suasana perasaan
yang nyaman dan menyenangkan.

Salah satu cara untuk menciptakan suasan yang nyaman dan menyenangkan sert
terhndar dari kevbiosanan adalah dengan memahami dan melaksanakan model belajar
yang dilakukan siswa, komunikasi positif yang efektif, dan model pembelajaran yang
inovatif. Semoga.

Daftar Pustaka

Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.

Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith


Cowan University.

Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin
Books.

Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.

De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.

Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning,


CTL). Jakarta.:Depdiknas.

Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: JICA-FPMIPA.

Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New
York: Basic Bools.

Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

You might also like