You are on page 1of 39

Outline Riset : Pengaruh Pajak Hotel Dan Pajak Restoran Terhadap Pendapatan Daerah

OO
Latar Belakang Masalah
L
Kemandirian pembangunan diperlukan baik ditingkat pusat maupun ditingkat
daerah. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi
maupun kabupaten/kota yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah
pusat dengan kebijaksanaannya. Kebijakan tentang keuangan daerah ditempuh oleh
pemerintah pusat agar pemerintah daerah mempunyai kemampuan membiayai
pembagunan daerahnya sesuai dengan prinsip daerah otonomi yang nyata.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang terfokus pada otonomi daerah dan
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka
pemerintah daerah diberi kekuasaan yang lebih besar untuk mengatur anggaran
daerahnya. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi yang maksimal pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan ibidang penerimaan daerah yang berorientasi pada
peningkatan kemampuan daerah untuk membiayai urusan rumah tangganya sendiri dan
diprioritaskan pada penggalian dana mobilisasi sumber-sumber daerah. Sumber
pendapatan daerah menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004 adalah (1) Pendapatan
Asli Daerah (PAD), terdiri dari (a) hasil pajak daerah, (b) hasil retribusi daerah, (c) hasil
perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, (d)
pendapatan asli daerah yang sah., (2) dana perimbangan, (3) pinjaman daerah, dan (4)
lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
sumber pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan oleh masing-masing
daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Tapi pada
kenyataannya kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap pendapatan dan belanja daerah
masih kecil. Selama ini dominasi sumbangan pemerintah pusat kepada daerah masih
besar. Oleh karenanya untuk mengurangi ketergantunga kepada pemerintah pusat,
pemerintah daerah perlu berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
salah satunya dengan penggalian potensi daerah. Pajak hotel dan Pajak Restoran menurut
Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2001 mempunyai pengertian sebagai berikut : 1)
Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat
menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan fasilitas lainnya dengan dipungut
bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak
yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.2) Restoran adalah tempat
menyantap makanan minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk
usaha jasa boga dan katering. Pemerintah perlu berupaya meningkatkan penerimaan
pajak Hiburan, serta pajak Hotel dan Restoran, agar penerimaan pemerintah terus
meningkat sehingga dapat mempelancar pembangunan. Di samping itu harus pula
dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam bidang keuangan daerah yang dikelola
secara efektif dan efesien. Dengan dasar pertimbangan ini, maka Pemerintah Kota Tegal
sebagai pelaksana pemerintahan di daerah secara aktif melakukan upaya pengembangan
sumber-sumber pendapatan daerah, khususnya mengenai pajak hotel dan pajak restoran.

Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh Pajak Hotel dan Pajak Restoran terhadap Pendapatan Daerah?
2. Variabel apakah yang berpengaruh paling dominan antara Pajak Hotel dan Pajak
Restoran terhadap Pendapatan Daerah?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan penelitianTujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui
a. Pengaruh Pajak Hotel dan Pajak Restoran terhadap Pendapatan Daerah.
b. Variabel yang berpengaruh paling dominan antara Pajak Hotel dan Pajak
Restoran terhadap Pendapatan Daerah.
2. Kegunaan PenelitianHasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis,
pemerintah daerah, dan fakultas sebagai berikut:
a. Bagi penulis, merupakan aplikasi hasil pembelajaran teoritis dan praktis
berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah
b. Bagi Pemerintah daerah dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk
pengambilan keputusan khususnya mengenai pendapatan asli daerah yang
diperoleh dari pajak hotel dan restoran.
c. Bagi masyarakat, sebagai salah satu referensi pengtahuan ekonomi khususnya
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan asli daerah

DAFTAR PUSTAKA
DD
K.J. Davey.1998, Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: UI-Press. Kesit Bambang
Prakosa., 2005. Pajak dan Retribusi Daerah Yogyakarta: UII Press. Edisi
RevisiM.Suparmoko,.1987., Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
BPFE, Resmi, Siti, 2003., Perpajakan, edisi pertama, hal 6-8, salemba empat,
Jakarta.Wirawan b. Ilyas, 2004, Hukum Pajak, edisi revisi, salemba empat, Jakarta.
Riduwan. 2004. Statistik untuk Lembaga & Instansi Pemerintah/Swasta.Penerbit Alfabeta
: Bandung.Setya Yuwana Sudikan. 2002. Penuntun Penyusunan Karya Ilmiah. Aneka
Ilmu : Semarang.

Pengaruh PDRB sub sektor hotel dan restoran terhadap penerimaan


pajak hotel dan restoran (Studi kasus pada Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan Kabupaten Bandung)
Show full item record

Pengaruh PDRB sub sektor hotel dan restoran terhadap penerimaan pajak hotel
Title: dan restoran (Studi kasus pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Bandung)
Author: Afrelia, Lira Kharisma
Skripsi yang berjudul â Pengaruh PDRB sub sektor hotel dan restoran terhadap
penerimaan pajak hotel dan restoranâ (studi kasus pada Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan kabupaten Bandung) beranjak dari masalah yang sedang
dihadapi oleh Pemerintah Daerah kabupaten Bandung sekarang ini. Adapun
masalah tersebut adalah masalah lemahnya kemampuan pendapatan daerah
untuk menutupi biaya dalam melaksanakan belanja pembangunan daerah yang
setiap tahunnya semakin meningkat. Penelitian ini mencoba untuk melihat ada
tidaknya pengaruh PDRB sub sektor hotel dan restoran terhadap penerimaaan
pajak hotel dan restoran. Dengan menggunakan metode deskriptif, penulis
berusaha untuk memecahkan masalah melalui data yang dikumpulkan untuk
kemudian diolah, dianalisis, dan diproses lebih lanjut. Hipotesis yang diajukan
adalah terdapat pengaruh yang cukup besar antara PDRB sub sektor hotel dan
restoran terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran. Ini mengandung arti
bahwa antara PDRB sub sektor hotel dan restoran dengan penerimaan pajak
hotel dan restoran mempunyai hubungan yang searah. Pengujian hipotesis
tersebut menggunakan analisis regresi dan analisis korelasi. Pengujian dengan
analisis regresi ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara
PDRB sub sektor hotel dan restoran (independent variable) terhadap penerimaan
Abstract:
pajak hotel dan restoran (dependent variable). Hasil analisis regresi ini
menunjukkan nilai b atau koefisien regresi adalah 0,021 dan bertanda positif
yang berarti bahwa hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
bersifat searah. Artinya setiap perubahan atau kenaikan pada nilai variabel
independen maka akan berbanding lurus dengan perubahan atau kenaikan pada
variabel dependen. Pengujian dengan analisis korelasi ditunjukkan untuk
mengetahui kuat lemahnya hubungan variabel independen dengan variabel
dependen. Hasil analisis korelasi menunjukkan nilai r atau koefisien korelasi
adalah 0,991 artinya hubungan antara kedua variabel tersebut adalah kuat dan
bersifat searah. Dalam pengujian hipotesis penulis menggunakan statistik uji â
tâ . bila thitung lebih besar dari ttabel maka keputusan statistiknya Hoditolak
atau Hi diterima. Hasil pengujian hipotesis ini menunjukkan thitungsebesar
10,392 dan ttabel sebesar 4,303. artinya bahwa antara PDRB sub sektor hotel
dan restoran terdapat korelasi positif. Dengan demikian nilai thitung lebih besar
dari ttabel sehingga keputusan statistiknya adalah Ho ditolak atau H1 diterima,
maka hipotesis â Terdapat pengaruh yang cukup besar antara PDRB sub sektor
hotel dan restoran terhadap penerimaan pajak hotel dan restoranâ dapat
diterima.
URI: http://hdl.handle.net/10364/1001
Date: 2008-08
Putra – Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran dalam Meningkatkan PAD Kota
Bukittinggi
93
setiap tahunnya merupakan sumber pendapatan
daerah yang menyumbang cukup besar.
Tabel 5. Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran
Terhadap (PAD) Kota Bukittinggi
tahun 2001 - 2005
Tahun Kontribusi terhadap PAD (%)
2001 20,3
2002 18,4
2003 16,5
2004 18
2005 17,6
Sumber: diolah dari data Dispenda Kota
Bukittinggi.
Keberhasilan Dispenda untuk dapat
menggali penerimaan pajak ini jelas akan
meningkatkan kemampuan daerah untuk
membiayai pemerintahan sendiri sehingga
ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat dapat
dikurangi. Namun Pemerintah Daerah harus pula
memperhatikan agar pemungutan pajak ini
jangan sampai memberatkan masyarakat
sehingga akan dapat menghambat perkembangan
sektor pendukung pariwisata ini.
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Keberhasilan Penerimaan Pajak Hotel dan
Restoran
Keberhasilan yang dicapai oleh Dinas
Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi dalam
menggali potensi pajak hotel dan restoran
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain faktor
sumber daya manusia yang dimiliki, faktor
ketegasan kebijakan (aturan) Perda dan faktor
kepatuhan wajib pajak serta faktor sosial
ekonomi daerah.
a. Sumber Daya Manusia
Keberhasilan sebuah sebuah organisasi
akan sangat ditentukan oleh kemampuan sumber
daya manusia yang melaksanakan kegiatan
tersebut. Sumber daya yang dimaksud adalah
menyangkut jumlah maupun kualitasnya. Jika
hanya dengan jumlah yang banyak, namun tidak
memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan
belum tentu dapat mencapai tujuan dari
organisasi tersebut. Dengan jumlah yang sedikit
meskipun memiliki kualitas yang baik juga akan
menghambat pelaksanan kegiatan. Dengan kata
lain antara jumlah sumber daya manusia
berhubungan simetris dengan kualitas SDM itu
sendiri untuk mencapai kinerja yang memuaskan.
Kualitas sumber daya manusia ini
menyangkut aspek pendidikan yang sesuai
dengan bidang tugas dan keahlian yang dimiliki.
Jika dilihat pada Dinas Pendapatan Daerah Kota
Bukittinggi jumlah aparatur yang dimiliki cukup
memadai yaitu berjumlah 50 orang. Para aparatur
yang bertugas di Dispenda ini memiliki
pendidikan yang cukup baik dan bidang ilmu
mereka umumnya juga berkaitan erat dengan
bidang tugas mereka di Dispenda. Para aparatur
di Dispenda ini umumnya memiliki latar
belakang pendidikan bidang ekonomi baik
sarjana, Akademi maupun SMEA.
Tabel 6. Jumlah PNS di Dispenda Kota
Bukittinggi berdasarkan Tingkat
Pendidikan
No Pendidikan Jumlah
1 S2 1
2 S1 19
3 Akademi 10
4 SLTA/SMEA 17
5 SLTP 1
Jumlah 50
Sumber: Dispenda Kota Bukittinggi
Meskipun aparatur di Dispenda ini
memiliki latar belakang pendidikan ekonomi
namun masih perlu peningkatan kualitas SDM
terutama untuk khusus perpajakan baik itu
melalui kursus dan Diklat. Demikian juga dengan
PNS yang masih memiliki pendidikan SLTA/
SMEA perlu untuk mendorong mereka untuk
melanjutkan pendidikan sehingga kemampuan
mereka benar-benar dapat mendukung pelaksaan
Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98
94
tugas Dispenda secara efektif. Kualitas dan
keahlian aparatur ini sangat mempengaruhi
keberhasilan Dispenda untuk meningkatkan
capaian penerimaan dari sektor pajak.
b. Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan dari wajib pajak merupakan
salah satu faktor yang sangat penting
mempengaruhi pencapaian pelaksaan kebijakan
perpajakan. Kepatuhan dan kerjasama dari wajib
pajak akan mempermudah penggalian potensi
pendapatan daerah. Namun yang sering terjadi
adalah wajib pajak seringkali tidak menyadari
kewajiban mereka membayar pajak bahkan
banyak yang tidak bersedia membayar.
Di Kota Bukittinggi meskipun data
memperlihatkan bahwa capaian realisasi pajak
hotel dan restoran bisa melebihi target, namun
sebenarnya potensi ini masih dapat dioptimalkan.
Kepatuhan wajib pajak belum optimal. Dari data
dilapangan untuk pemungutan pajak rumah
makan dengan memakai sistem bill tetap juga
mengalami kendala. Masih banyak pengelola
rumah makan yang tidak bersedia memberikan
bill kepada konsumennya, meskipun sebenarnya
pajak dibebankan kepada konsumen. Akan tetapi
bagi pelanggan yang dari luar daerah diberikan
bill. Jikalau, peraturan dijalankan secara
maksimal maka tentu penerimaan dari pajak ini
akan lebih optimal.
Masalah ketepatan waktu dalam
membayar pajak juga masih mengalami
permasalahan. Masih banyak wajib pajak yang
tidak membayar tepat pada waktu yang telah
ditetapkan Perda yaitu paling lambat tanggal 15
setiap bulannya. Namun masih banyak para wajib
pajak yang enggan membayarkan bahkan sengaja
tidak membayar. Pelanggaran ini dalam aturan
Perda No. 12 ataupun Perda No. 13 dapat
diberikan sanksi. Namun menurut petugas
dispenda pemberian sanksi ini belum
dilaksanakan sepenuhnya, sehingga wajib pajak
tidak terlalu khawatir jika mereka belum
membayar atau menunggak.
Alasan wajib pajak menolak untuk
membayarnya seperti persoalan ketidaksesuaian
tarif pajak, yang dari sisi wajib pajak sering
dianggap memberatkan mereka. Perda No. 13
tentang pajak restoran/ rumah makan menetapkan
bahwa besarnya pajak yang dikenakan kepada
masyarakat adalah 10 % dari omset. Tarif pajak
sebesar 10 % ini bagian sebagian wajib pajak
dianggap memberatkan mereka sehingga
keuntungan yang mereka peroleh menjadi sangat
sedikit. Selain masalah ketidaksesuaian laporan
wajib pajak dengan data yang sebenarnya.
Persoalan ini terjadi untuk rumah makan yang
menggunakan sistem penetapan. Para wajib pajak
melaporkan omset mereka jauh dibawah omset
riil mereka. Sehingga akan berpengaruh pada
penghitungan besarnya jumlah pajak yang harus
mereka bayarkan.
Tetapi ini memang menjadi kendala
umum dalam bidang perpajakan di Indosesia.
Karena peraturan perundang-undangan
perpajakan Indonesia menggunakan sistem self
assessment, sistem ini memberikan kepercayaan
dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk
menghitung dan membayar sendiri pajak yang
terhutang. Jadi keberhasilan sistem perpajakan
seperti ini memang sangat ditentukan oleh
kepatuhan dari wajib pajak.
c. Faktor Ketegasan Kebijakan (Aturan)
Masalah yang muncul dalam pelaksanan
Perda No. 12 dan Perda 13 lebih sering terjadi
karena faktor kurangnya kepatuhan wajib pajak.
Permasalahan ini akan dapat diatasi jika aturan
yang mengatur memiliki ketegasan yang jelas
dan aparat konsisten dalam melaksanakan aturan
tersebut. Mekanisme penghitungan, pembayaran
dan sanksi terhadap pelanggaran harus tegas.
Jika kita lihat isi dari Perda 12 tentang
pajak hotel dan Perda No. 13 tentang pajak
Putra – Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran dalam Meningkatkan PAD Kota
Bukittinggi
95
restoran/ rumah makan sebenarnya mekanisme
pajak baik dari perhitungan, pembayaran hingga
sanksi sudah diatur. Dalam kedua perda ini
penghitungan dan penetapan pajak berdasarkan
kepada SPTPSD yang diisi oleh wajib pajak dan
Walikota akan menetapkan pajak terutang dengan
menerbitkan SKPD. Apabila SKPS tidak atau
kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama
tanggal 15 setiap bulan berikutnya, maka
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2 % sebulan dan ditagih dengan
menerbitkan STPD.
Karena dasar perhitungan pajak adalah
SPTPD yang diisi oleh wajib pajak maka masih
banyak ditemukan wajib pajak yang enggan
mengisinya. Perda No. 12 sendiri sebenarnya
telah mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang
melanggar seperti ini. Dalam pasal 12 ayat 3
dikatakan bahwa apabila SPTPD tidak
disampaikan dalam jangka waktu yang
ditentukan dan telah ditegur secara lisan,
dikenakan sanski administrasi sebanyak 2 persen.
Sedangkan untuk wajib pajak yang tidak mengisi
SPTPD maka pajak terhutang dihitung secara
jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 25 % sebulan dari pokok pajak
ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2 % sebulan dihitung dari pajak yang
kurang atau terlambat dibayarkan sejak saat
terutangnya pajak.
Selain itu Perda ini juga mengatur
ketentuan pidana bagi wajib pajak yang
melanggar. Wajib pajak yang dengan sengaja
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan negara dapat
dipidana dengan pidana penjara 2 tahun atau
denda paling banyak paling banyak 4 kali jumlah
pajak yang terhutang. Wajib pajak yang
melanggar ketentuan pajak yang diatur dalam
perda ini setelah 3 kali berturut-turut maka
walikota akan mencabut izin dan menutup hotel
atau retoran/ rumah makan yang bersangkutan
tanpa adanya putusan pengadilan. Aturan sanksi
terhadap pelanggaran ini dapat dikatakan sudah
sangat jelas, namum persoalannya dalam
implementasi belum dilaksanakan secara optimal.
Dengan belum dilaksanakannya aturan
dari Perda ini secara tegas membuat subyek pajak
yang melanggar tidak takut yang berimplikasi
pada rendahnya kepatuhan wajib pajak tersebut.
Pemerintah sebagai lembaga penyelenggara
pemerintahan sebenarnya mempunyai hak
memaksa untuk pelaksanaan sebuah kebijakan
dengan syarat memiliki aturan yang jelas.
d. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah
Pengaruh kondisi perekonomian akan
sangat berpengaruh terhadap sektor perdagangan
dan jasa. Kondisi ekonomi daerah akan
mempengaruhi omset dari suatu usaha baik itu
barang maupun jasa. Karena omset menunjukkan
kemampuan suatu perusahan dalam melakukan
penjualan barang atau jasa yang diproduksinya.
Omset ini akan dipengaruhi daya beli konsumen
sementara daya beli konsumen dipengaruhi oleh
perkembangan perekonomian.
Sektor perhotelan dan restoran
merupakan usaha jasa yang menyediakan
pelayanan dalam bentuk penginapan, kamar
maupun hiburan dan pelayanan jasa makanan
dan minuman. Jelas bahwa sektor ini akan sangat
ditentukan oleh daya beli konsumennya. Karena
itu dalam penetapan tarif pajak baik pajak hotel
maupun pajak restoran perlu memperhatikan
kondisi ekonomi masyarakat.
Kondisi perekonomian Kota Bukittinggi
sedikit berpengaruh terhadap sektor perhotelan,
terbukti jumlah hotel non bintang menurun dari
50 buah pada tahun 2000 menjadi 40 tahun 2004.
Namun kondisi perekonomian tidak terlalau
berpengaruh kepada usaha besar karena data
Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98
96
memperlihatkan ketika hotel non bintang
menurun sebaliknya hotel berbintang mengalami
kenaikan dari 7 buah pada tahun 2000 menjadi 9
buah pada tahun 2004. Hal yang sama juga
terjadi pada sektor restoran/ rumah makan.
Rumah makan yang menggunakan sistem billing
menurun dari 21 buah tahun 2004 menjadi 18
buah pada tahun 2005. Dampak perekonomian
yang tidak stabil sangat berpengaruh kepada
rumah makan dengan skala kecil. Seringkali
terjadi perubahan data di Dispenda megenai
jumlah wajib pajak untuk rumah makan karena
banyaknya rumah makan yang tutup dan
kemudian ada yang baru buka. Mengatasi
masalah ini Dispenda Kota Bukittinggi selalu
melakukan pendataan secara rutin dalam 3 bulan
sekali untuk rumah makan/ restoran. Kondisi
ekonomi mempengaruhi jumlah omset yang
dilaporkan oleh wajib pajak kepada pemerintah.
Memang ada hubungan yang sangat erat
antara kondisi ekonomi dengan penerimaan pajak
hotel maupun restoran. Misalnya jika tingkat
hunian hotel tinggi tentu saja jumlah bill yang
diterima oleh pemerintah daerah sebagai pajak
juga tinggi dan sebaliknya. Demikian juga untuk
sektor restoran/ rumah makan jika perekonomian
baik maka daya beli masyarakat akan tinggi dan
tentunya omset dari restoran /rumah makan akan
tinggi pula, sehingga akan mempengaruhi jumlah
pajak yang diterima dari sektor ini. Dengan kata
lain ada hubungan positif antara kondisi
perekonomian dengan penerimaan pajak hotel
dan pajak restoran/ rumah makan.
Kesimpulan
Secara keseluruhan dari data yang
didapat di lapangan terlihat bahwa pajak hotel
dan restoran/ rumah makan di Kota Bukittinggi
memiliki potensi yang cukup besar. Penerimaan
dari sektor pajak hotel dan restoran ini
memberikan kontribusi terhadap PAD Kota
Bukittinggi berkisar antara 17–20 % tiap
tahunnya. Dispenda Kota Bukittinggi pun
memiliki kinerja yang cukup baik dalam
menggali potensi penerimaan dari sektor pajak
hotel dan restoran ini terbukti dari kemampuan
Dispenda mencapai target realisasi dan bahkan
cenderung melebihi target.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan Dispenda Kota Bukittinggi dalam
menggali potensi pajak hotel dan restoran ini
yaitu sumber daya manusia yang dimiliki,
kepatuhan wajib pajak, ketegasan kebijakan/
aturan pajak serta kondisi sosial ekonomi daerah.
Namun dari keberhasilan tersebut
Dispenda masih menyadari bahwa potensi ini
belum tergali secara optimal karena diperkirakan
masih bisa ditingkatkan penerimaan pajak ini
dengan syarat adanya kepatuhan dari wajib pajak
untuk melaporkan omset mereka secara jujur.
Kepatuhan wajib pajak ini menjadi kendala
utama dalam mengoptimalkan penerimaan dari
sektor pajak hotel dan restoran. Karena peraturan
perundang-undangan perpajakan Indonesia
menggunakan sistem self assessment, sistem ini
memberikan kepercayaan dan tanggungjawab
kepada wajib pajak untuk menghitung dan
membayar sendiri pajak yang terhutang. Dari
kendala yang dihadapi ini seharusnya pemerintah
daerah dalam hal ini Dispenda melakukan
sosialisasi yang berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib
pajak.
Daftar Pustaka
Afadlal (ed), 2003, Dinamika Birokrasi Lokal Era
Otonomi Daerah, Pusat Penelitian Politik
LIPI, Jakarta.
Bakar, Abu, 2002, Kebijaksanaan Pemerintah Kota/
Kabupaten dalam Meningkatkan
Penerimaan Pajak Daerah, dalam Abdul
Halim, Manajemen Keuangan Daerah,
UPP AMP YKPN, Yogyakarta. hal; 144

Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98


92
Kecenderungannya target capaian pungutan pajak
akan lebih mudah didapat dari pemungutan yang
menggunakan sistem bill. Persoalannya selain
ketidaksesuaian laporan omset oleh pemilik
restoran atau rumah makan juga terjadi karena
seringnya terjadi perubahan jumlah wajib pajak.
Restoran/ rumah makan yang tutup juga
mempengaruhi perhitungan dan capaian
perolehan pajak.
Tabel 3. Rekapitulasi Pajak Hotel dan
Restoran Kota Bukittinggi sampai
dengan Bulan Juli 2006
No Jenis
Pendapatan
Target Realisasi
1 Pajak Hotel
Hotel
Berbintang IV
1.300.000.000 996.321.731
Hotel
Berbintang III
210.000.000 181.550.647
Hotel
Berbintang II
220.000.000 167.233.560
Hotel
Berbintang I
150.000.000 67.137.505
Hotel Melati 400.000.000 323.335.923
Pondok
Wisata
6.840.000 2.466.300
2 Pajak Restoran
Rumah makan
sistem bill
879.974.000 594.321.830
Rumah makan
sistem
penetapan
80.708.000 51.114.469
Total 3.058.522.000 2.383.481.965
Sumber: diolah dari data Dispenda Kota
Bukittinggi.
Dari pengalaman selama ini Dinas
Pendapatan Kota Bukittinggi memiliki kinerja
yang cukup baik dalam pencapaian realisasi
pendapatan dari sektor pajak hotel dan restoran.
Tingkat realisasi perolehan pajak selalu dapat
mencapai target bahkan cendrung melebihi
target. Meskipun tidak dipungkiri bahwa dalam
pelaksanaan masih ditemukan berbagai kendala.
Tabel 4. Target dan Realisasi Pajak Hotel dan
Restoran tahun 2001-2005
Pajak Hotel
Tahun Target Realisasi %
Realisasi
2001 1.555.000.000 1.854.959.965 119,29
2002 2.176.685.387 2.250.040.895 103,37
2003 1.650.000.000 91.923.019.129 116,55
2004 1.727.094.240 2.339.759.959 135,47
2005 2.073.963.741 2.302.458.518 111,02
Pajak Restoran
2001 - - -
2002 - - -
2003 706.400.000 720.018.061 101,93
2004 761.407.644 778.665.808 102,27
2005 901.576.146 971.931.702 107,80
Sumber: Dispenda Kota Bukittinggi
Faktor kreativitas dan konsistensi
terhadap aturan dalam pemungutan pajak sangat
mempengaruhi perolehan capaian ini. Sosialisasi
Perda merupakan faktor yang sangat penting
untuk menumbuhkan kesadaran wajib pajak
dalam membayar pajak. Dinas Pendapatan Kota
Bukitinggi dalam mensosialisasikan Perda No. 12
dan Perda No. 13 ini melakukan beberapa
langkah. Pertama melalui penyuluhan langsung
oleh petugas pajak kepada para wajib pajak.
Penyuluhan langsung ini dilakukan di lapangan
atau dengan mengadakan pertemuan dengan
wajib pajak. Kedua dengan memberikan brosur
yang berisikan ketentuan perda tersebut kepada
wajib pajak. Untuk merangsang para wajib pajak
membayar pajak Dinas Pendapatan Kota
Bukittinggi juga mengadakan undian untuk Bill
yang dilakukan dua kali dalam setahun.
Meskipun berbagai kendala muncul,
keberhasilan Dispenda Kota Bukittinggi untuk
mencapai target pendapatan dari sektor pajak
hotel dan restoran ini dapat dikatakan sangat
baik. Capaian kinerja ini sangat berpengaruh
kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika
dilihat dari besarnya pendapatan asli daerah yang
di peroleh Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
secara keseluruhan pajak hotel dan restoran

Pendahuluan
Sebagai negara kesatuan, Indonesia
mempunyai fungsi dalam membangun
masyarakat adil dan makmur sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945 alinia
keempat. Dengan demikian, segenap potensi dan
sumber daya pembangunan yang ada harus
dialokasikan secara efektif dan efisien melalui
suatu proses kemajuan dan perbaikan secara
terus-menerus yang disebut pembangunan.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral
dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat baik moril
maupun materil.
Untuk pembangunan tersebut dibutuhkan
dana yang cukup besar. Hal ini juga sebagai
penentu sukses tidaknya daerah dalam
melaksanakan otonomi daerah sebagaimana
amanah yang tertuang dalam Undang-undang No.
32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 Tahun
2004. Dari kedua undang-undang tersebut, daerah
memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri
yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan
menggunakan prinsip kemandirian dalam
menjalankan proses pembangunannya.
Lebih lanjut, prinsip-prisnsip yang
terkandung dalam Undang-undang Nomor 33
tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat
dan daerah telah memberi arah kepada pemberian
dukungan pemerintah, baik Pemerintah Pusat,
selanjutnya disebut Pemerintah, terhadap
Pemerintah Daerah dalam hal melaksanakan
pembangunan yang disertai oleh kejelasan
mengenai pembiayaan dan sumber-sumber
pendapatan daerah. Peluang yang dimaksud
adalah bahwa Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan luas atas segala urusan terkait
dengan pembangunan daerah, dan yang menjadi
perhatian daerah adalah keleluasaan untuk
mengelola urusan keuangan sendiri. Dalam hal
ini daerah juga dituntut untuk mampu mencari
Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98
86
pendapatan sendiri untuk keberlanjutan
pembangunan di daerah masing-masing.
Untuk mendukung tanggung jawab yang
dilimpahkan, Pemerintah Daerah memerlukan
sumber pembiayaan fiskal. Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa daerah
diberikan hak untuk mendapatkan sumber
keuangan yang antara lain: berupa kepastian
tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai
dengan urusan pemerintah yang diserahkan,
untuk tujuan tersebut Pemerintah Daerah harus
memiliki kekuatan untuk menggali potensi
sumber-sumber PAD dan Pemerintah harus
mentransfer sebagai pendapatan dan atau
membagi sebagian pendapatan pajaknya dengan
Pemerintah Daerah. Untuk itu kehadiran Undang-
Undang No. 33 Tahun 2004 menguatkan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang
menerangkan tentang prinsip-prinsip kebijakan
perimbangan keuangan secara jelas (Penjelasan
UU No. 32/2004. Halaman 130-220). Undang-
Undang No. 33 Tahun 2004 menjelaskan
kapasitas fiskal daerah merupakan sumbersumber
pembiayaan pembangunan di daerah dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kapasitas
fiskal merupakan sumber pendanaan daerah yang
bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Perimbangan.
Salah satu fenomena yang mencolok dari
hubungan antara sistem Pemerintah Daerah
dengan pembangunan adalah ketergantungan
Pemerintah Daerah yang tinggi terhadap
Pemerintah. Hampir semua provinsi dan
Kabupaten/ Kota memiliki ketergantungan fiskal
mencapai 70 % - 80 % terhadap transfer dana
perimbangan dari pusat.
Tabel 1. Komposisi Peneriman Pemerintah
Daerah : 1999/2000 -2001
1999/00
(100%)
2000
(%)
2001
(%)
Propinsi 100.00 100.00 100.00
PAD 37.22 32.30 32.23
Dana Bagi
Hasil
18.66 15.94 25.89
DAU/DAU 44.12 51.76 41.88
Kabupaten/
Kota
100.00 100.00 100.00
PAD 10.31 9.04 4.99
Dana Bagi
Hasil
12.39 11.31 22.43
DAU/DAK 77.30 79.65 72.58
Sumber : Departemen Keuangan Tahun 2003
Melihat tabel yang dikemukakan di atas,
menurut Kuncoro (2003: 519-562).
Ketergantungan fiskal terlihat jelas pada relatif
rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
dominannya transfer dari pusat. Adalah ironis,
meskipun undang-undang telah menggarisbawahi
titik berat otonomi daerah adalah kabupaten dan
kota, namun justru Kabupaten dan Kota lah yang
mengalami tingkat ketergantungan yang lebih
tinggi dibanding propinsi.
Pengaruh relatif rendahnya Pendapatan
Asli daerah dan dominannya transfer dari pusat
seperti ini menjadi kendala dalam pemberdayaan
kesanggupan pemerintah daerah dalam mengurus
persoalan pembangunan daerah dengan keinginan
masyarakat lokal. Hal ini tentu saja menyebabkan
adanya kecenderungan yang memberangus
pelaksanaan prinsip-prinsip Otonomi Daerah
sendiri dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Untuk itu cara yang tepat untuk mengurangi
komposisi Dana Perimbangan yang nyaris 80%
dari total sumber penerimaan daerah harus
ditekan melalui peningkatan PAD, salah satunya
yaitu optimalisasi pengelolaan keuangan daerah.
Pengelolaan sumber-sumber penerimaan
keuangan daerah berasal dari berbagai macam
sektor, baik sektor riil maupun sektor fisik, yaitu
pertanian, perdagangan, industri, perhotelan dan
restoran, air bersih, listrik dan gas, angkutan dan
komunikasi, dan sumber penerimaan lainnya
yang signifikan dan sesuai dengan karakteristik
daerah.
Putra – Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran dalam Meningkatkan PAD Kota
Bukittinggi
87
Dalam Undang-Undang No.33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, pajak dan retribusi daerah merupakan
sumber pendapatan daerah disamping
penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat
berupa subsidi / bantuan dan bagi hasil pajak dan
bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut
diharapkan menjadi sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah, serta meningkatkan dan
memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu perlu dikembangkan
optimalisasi dalam penggalian potensi pajak
daerah sebagai salah satu penerimaan daerah
yang memberi kontibusi besar dalam APBD
propinsi dan APBD kota/ kabupaten. Peningkatan
pendapatan ini biasanya tidak selalu identik
dengan peningkatan tarif pajak dan tarif retribusi,
langkah optimalisasi yang lebih damai adalah
melalui perluasan dari konstitusi yang telah ada
melalui pembentukan Perda (Peraturan Daerah)
yang bertujuan untuk memperbaiki sistem
perpajakan daerah.
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut
pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan
Daerah dan pembangunan Daerah (UU No. 34
Tahun 2000, pasal 1 ayat 6). Pajak daerah dalam
hal ini adalah pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah, antara lain Pajak Hotel dan
Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak
Kendaraan Bermotor. (Penjelasan UU No. 34
tahun 2000). Pajak Bumi dan Bangunan sebagai
salah satu sumber penerimaan daerah yang telah
diserahkan kepada Pemerintah Daerah meskipun
statusnya masih pajak negara, akan tetapi
penerimaannya sebagian besar telah diserahkan
kepada Pemerintah Daerah.
Peningkatan pendapatan daerah melalui
pertimbangan potensi yang dimiliki daerah perlu
mendapatkan perhatian yang khusus. Pemerintah
Daerah harus mampu menggali potensi sumbersumber
pendapatan asli daerah untuk membiayai
sektor-sektor pembangunan demi kemandirian
daerah. Masing-masing Kabupaten/ kota
memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga
pemerintah daerah seharus memiliki cara-cara
tersendiri untuk mengoptimalkan potensi
tersebut. Kota Bukittinggi yang merupakan salah
satu kota di Sumatera Barat yang memiliki
potensi yang berbeda dengan kabupaten/kota
lainnya yaitu sebagai kota sentra bisnis dan
perdagangan, industri, pendidikan, jasa,
pariwisata, kesehatan dan juga sebagai shuttle
down city. Didukung oleh letak dan kondisi
geografis kota yang sangat strategis dan
didukung oleh alam yang penuh dengan
panorama yang menjadi wisata alam, berada pada
jalur perdagangan Jawa-Sumatera dan termasuk
salah satu kota cukup besar yang berada di lintas
Sumatera, maka kebijakan-kebijakan strategis
diambil pun menyentuh sektor-sektor yang
penting dan strategis tersebut.
Salah satu sektor yang memiliki
kontribusi besar dari tahun ke tahun adalah pajak
daerah, yang salah satu sumbernya berasal dari
pajak hotel dan restoran. Bila kita lihat Kota
Bukittinggi merupakan pusat pariwisata di
Sumatera Barat dengan perkembangan hotel dan
restoran yang sangat pesat. Perkembangan
jumlah hotel dan restoran ini seharusnya menjadi
potensi sangat bagus bagi peningkatan
Pendapatan Asli Daerah dalam rangka
mengurangi ketergantungan fiskal daerah. Hal ini
terefleksi dalam peningkatan dan stabilitas
realisasi pajak hotel dan restoran ini dari tahun ke
tahun.
Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98
88
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah
Penerapan desentralisasi sebagai wujud
dari otonomi daerah juga menimbulkan
permasalahan dalam pembagian keuangan antara
pusat dan daerah. Berdasarkan UU No 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan keuangan antara
pusat dan pemerintah daerah, menggunakan
sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan dan efisien
dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi. Dana perimbangan merupakan
sumber pendapatan daerah yang bersumber dari
pendapatan APBN untuk mendukung
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah.
Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut
terdiri dari; (1) Bagian daerah dari penerimaan
pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber
daya alam seperti kehutanan, perikanan,
pertambangan, minyak dan gas bumi. (2) Dana
Alokasi Umum, dengan tujuan pemerataan,
dengan memperhatikan potensi daerah, luas
daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk dan
tingkat pendapatan di daerah sehingga perbedaan
antara daerah yang maju dengan daerah yang
belum berkembang dapat diperkecil, (3) Dana
Alokasi Khusus, berguna untuk membentu
membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah
(PP No.104 Tahun 2000). Perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah yang ideal adalah apabila
setiap tingkat pemerintahan dapat independen
dibidang keuangan untuk membiayai tugas dan
wewenang masing-masing (Mahfud Sidik; 2000).
Hal ini subsidi atau bantuan dari pemerintah
pusat yang selama ini sebagai sumber utama
dalam APBD, mulai dikurangi kontribusinya
sehingga yang menjadi sumber utama APBD
adalah pendapatan daerah itu sendiri.
Pendapatan Asli Daerah Sebagai Sumber
APBD
Pendapatan daerah adalah hak dari
pemerintah daerah yang diakui sebagai nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun yang
bersangkutan (UU No. 32 Tahun 2004). PAD
bertujuan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah.
Menurut pasal 6 Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 sumber-sumber pendapatan asli daerah
meliputi;
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan daerah lainnya yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah
Untuk mencapai kemandirian daerah,
pemerintah daerah harus memiliki kemampuan
untuk menggali potensi daerahnya. Potensi
pendapatan Asli daerah adalah kekuatan yang ada
di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah
penerimaan PAD. Untuk mengetahui potensi
sumber-sumber PAD dibutuhkan pengetahuan
tentang analisis perkembangan berapa variabel
yang dapat dikendalikan dan tidak dapat
dikendalikan yang dapat mempengaruhi kekuatan
sumber-sumber penerimaan PAD. Beberapa
variabel yang perlu dianalisa untuk mengetahui
potensi sumber-sumber PAD menurut
Simanjuntak dalam abdul Halim (2002:97)
adalah:
a. Kondisi awal suatu daerah, keadaan struktur
ekonomi dan sosial suatu daerah sangatlah
menentukan besar kecilnya keinginan
pemerintah untuk menetapkan pungutan. Serta
kemampuan untuk membayar segala
pungutan-pungutan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Kondisi awal suatu daerah
Putra – Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran dalam Meningkatkan PAD Kota
Bukittinggi
89
yang perlu diperhatikan seperti komposisi
industri yang ada di daerah, struktur sosial
politik dan institusional serta berbagai
kelompok masyarakat yang relatif memiliki
kekuatan, kemampuan atau kecakapan
administratif, kejujuran dan integritas dari
semua cabang-cabang perpajakan pemerintah,
dan tingkat ketimpangan dalam distribusi
pendapatan.
b. Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan
ekstensifikasi penerimaan PAD, kegiatan ini
merupakan upaya memperluas cakupan
penerimaan PAD. Ada 3 hal penting yang
harus diperhatikan dalam usaha peningkatan
cakupan ini yaitu; (1) Menambah objek dan
subjek pajak atau retribusi, (2) meningkatkan
besarnya penetapan, dan (3) mengurangi
tunggakan.
c. Pertumbuhan Penduduk, jika jumlah
penduduk meningkat maka pendapatan yang
dapat pungut akan meningkat.
d. Tingkat Inflasi, inflasi akan meningkatkan
penerimaan PAD yang penetapannya
didasarkan pada omzet penjualan misalnya,
pajak hotel dan restoran.
e. Penyesuaian tarif, peningkatan pendapatan
sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian
tarif yang perlu mempertimbangkan laju
inflasi. Kegagalan untuk menyesuaikan tarif
dengan laju inflasi akan menghambat
peningkatan PAD.
f. Sumber pendapatan baru, adanya kegiatan
usaha baru dapat mengakibatkan pertambahan
sumber pajak atau retribusi yang telah ada.
Pajak Sebagai Sumber Pendapatan
Daerah
Pengertian pajak menurut Rochmad
Soemitro dalam Mardiasmo (2000) adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan UU yang
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa
timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Sedangkan Soeparman
Soemahamidjaja mendefinisikan pajak sebagai
iuran wajib, berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan normanorma
hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai
berikut;
a. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak
memungut pajak adalah negara, iuran tersebut
berupa uang bukan barang.
b. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut
dengan ketentuan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal balik secara individual dari
negara yang secara langsung dapat
ditunjukkan.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara yakni pengeluaran yang bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Pajak daerah menurut Undang-undang
No. 34 Tahun 2000 pasal 1 ayat 6 adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah. Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pemungutan pajak daerah oleh pemerintah kota/
kabupaten kepada masyarakat pada dasarnya
bertujuan untuk membiayai penyelenggaraan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan
pembinaan kemasyarakatan dalam upaya
meningkatkan taraf hidup masyarakat (Abu
Bakar dalam Abdul Halim; 2000: 144). Pajak
Spirit Publik Vol. 5, No. 1, April 2009 Hal. 85 - 98
90
daerah digolongkan ke dalam 2 kategori menurut
tingkat pemerintahan daerah yaitu Pajak Propinsi
dan pajak Kabupaten/Kota. Sesuai dengan
Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang
pajak daerah dan restribusi daerah, jenis pajak
propinsi terdiri dari; (1) pajak kendaraan
bermotor dan kendaraan di atas air, (2) biaya
balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di
atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan
bermotor, (4) pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Sedangkan jenis pajak kabupaten/ kota terdiri
dari; (1) pajak hotel (2) pajak restoran (3) pajak
hiburan, (4) pajak reklame (5) pajak penerangan
jalan (6) pajak pengambilan bahan galian
golongan C (7) pajak parkir.
Ada beberapa indikator yang biasa
digunakan dalam menilai pajak dan retribusi
daerah yaitu; (1) hasil yaitu memadai tidaknya
hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan
berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan
mudah tidaknya memperkiranya hasil pajak
tersebut, perbandingan hasil pajak dengan biaya
pungut, elastisitas hasil pajak terhadap invalasi
dan pertambahan pendapatan. (2) Keadilan
(equity), dalam hal ini dasar pajak dan kewajiban
membayarnya harus jelas dan tidak sewenangwenang,
pajak harus adil secara horizontal
artinya beban pajak harus sama antara berbagai
kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan
ekonomi yang sama, adil secara vertikal artinya
beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh
kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih
besar. (3) efiseiensi ekonomi, pajak atau retribusi
daerah hendaknya mendorong penggunaan
sumber daya secara efisien dan efektif dalam
kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai
pilihan konsumen dan produsen menjadi salah
arah, dan memperkecil beban lebih pajak. (4)
kemampuan melaksanakan, pajak harus dapat
dilaksanakan baik dari aspek politik maupun
administratif. (5) kecocokan sebagai sumber
penerimaan daerah.
Pajak Hotel dan Restoran Sebagai
Penyumbang PAD bagi Kota Bukittinggi
Untuk mencapai kemandirian daerah,
pemerintah daerah harus memiliki kemampuan
untuk menggali potensi daerahnya. Potensi
pendapatan asli daerah adalah kekuatan yang ada
di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah
penerimaan PAD. Pemerintah daerah harus
mampu mengenali dan mengelola potensi daerah
yang mereka miliki. Kejelian pemerintah daerah
untuk mencari dan mengenali potensi daerahnya
akan sangat berpengaruh kepada kapasitas daerah
untuk mencari sumber-sumber pendapatan guna
memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tanggung
jawabnya. Sampai saat ini sektor pajak
merupakan sektor yang masih menjadi sumber
utama pendapatan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
nampaknya sudah mulai bergerak untuk mencari
dan menggali potensi sumber pendapatan daerah
yang memang potensial. Kota Bukittinggi
sebagai kota wisata jelas merupakan potensi yang
sangat besar bagi pemerintah daerah untuk
meningkatkan pendapatan daerah. Perkembangan
sektor pariwisata di Kota Bukittinggi memiliki
dampak positif bagi perkembangan sektor lain
disekitarnya seperti pertumbuhan hotel dan
restoran yang semakin meningkat. Sektor ini
merupakan salah satu sumber bagi pendapatan
daerah berupa pajak yang secara yuridis
tercantum dalam undang-undang. Peningkatan
penerimaan daerah ini tidak selalu identik dengan
peningkatan tarif pajak dan retribusi. Salah satu
upaya optimalisasi penerimaan daerah ini adalah
dengan membentuk peraturan daerah yang
Putra – Optimalisasi Pajak Hotel dan Restoran dalam Meningkatkan PAD Kota
Bukittinggi
91
bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan
daerah.
1. Optimalisasi Penerimaan Pajak Hotel dan
Restoran di Kota Bukittinggi
Untuk menggali potensi sektor hotel dan
restoran ini Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
telah mengaturnya dalam Peraturan Daerah No.
12 Tahun 2004 tentang pajak Hotel dan Peraturan
Daerah No. 13 Tahun 2004 tentang Pajak
Restoran dan Rumah Makan. Implementasi
kedua perda ini baik Perda No 12 maupun Perda
No.13 telah dilaksanakan oleh pemerintah Kota
Bukittinggi melalui Dinas Pendapatan Daerah
Kota sebagai lembaga pelaksana teknis.
Dilihat dari kuantitas jelas pajak hotel
dan restoran di Kota Bukittinggi merupakan
potensi yang besar jika semua pihak yang terkait
dengan sektor pajak ini dapat bekerjasama
dengan baik.
Tabel 2. Jumlah Hotel dan Restoran/ Rumah
Makan di Kota Bukittinggi
No Klasifikasi Jumlah
1 Hotel Berbintang 8
2 Hotel Melati 48
3 Restoran/ Rumah Makan
Besar
18
4 Rumah makan sedang/ kecil 164
Sumber: Dispenda Kota Bukittinggi, 2006
Untuk menggali potensi ini pemerintah
Kota Bukittinggi telah mengatur dalam Perda No.
12 tentang Pajak Hotel dan Perda No. 13 Tentang
Pajak Restoran. Kedua Perda ini mengatur
tentang besarnya tarif pajak serta sanksi-sanksi
yang diberikan bagi yang melanggar ketentuan
tersebut. Tarif pajak (tax rate) adalah angka atau
prosentase yang digunakan untuk menghitung
jumlah pajak atau jumlah pajak terutang. Perda
No. 12 dan Perda No.13 menetapkan besarnya
pajak adalah 10 % dari jumlah omset atau
pembayaran pelayanan.
Dalam penentuan jumlah pajak ini
banyak faktor yang dipertimbangkan oleh
pemerintah antara lain faktor ekonomi sosial
maupun politik. Untuk menentukan besarnya tarif
pajak ini Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi
menggunakan dua sistem sekaligus. Pertama
adalah billing sistem yaitu sistem pemungutan
pajak yang menggunakan daftar harga jasa atau
layanan yang dibuat dan diisi oleh wajib pajak.
Sistem ini digunakan untuk pemungutan pajak
hotel dan pajak restoran/ rumah makan yang
dikategorikan restoran/ rumah makan besar.
Dalam sistem billing ini besarnya pajak
dimasukkan pada kwitansi atau bon yang
diberikan kepada konsumen. Artinya pajak
dibebankan kepada konsumen secara langsung
ketika terjadi transaksi. Kedua sistem penetapan,
besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh wajib
pajak ditetapkan 10 % dari omset penjualan.
Sistem penetapan ini digunakan untuk memungut
pajak restoran / rumah makan yang dikategorikan
sedang/kecil. Pada sistem penetapan ini pajak
yang harus dibayarkan dan dibebankan kepada
pengusaha/pemilik restoran/rumah makan.
Penentuan besarnya pajak dengan sistem
penetapan ini sangat tergantung kepada
kerjasama pemilik/pengusaha restoran atau
rumah makan untuk melaporkan omset yang
mereka kepada petugas pendataan pajak. Namun
dalam pelaksanaannya seringkali jumlah omset
yang dilaporkan wajib pajak tidak sesuai dengan
omset yang sebenarnya. Seringkali pengusaha/
pemilik restoran/ rumah makan punya dua
laporan. Laporan keuangan untuk Pemerintah
laporan dengan jumlah keuangan yang tidak
besar tetapi juga memiliki laporan internal lain
yang jumlahnya lebih besar. Sehingga petugas
sulit untuk melacaknya.
Masalah ini berpengaruh terhadap
capaian dari target pendapatan yang sebelumnya
telah dibuat oleh Dinas Pendapatan.

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN PAJAK


DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA
Submitted by superadmin on Thu, 12/25/2008 - 20:11

* Skripsi Ekonomi Pembangunan

ABSTRAKSI
Salah satu sumber pembiayaan yang utama bagi pelaksanaan pembangunan, khususnya
di daerah ialah penerimaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Komponen
utama dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah Pajak, Retribusi, Hasil laba Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), Penerimaan-penerimaan lain yang sah dan sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta yang terbesar
diperoleh dari Penerimaan Pajak daerah.
Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis Regresi. Analisis ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan antara variabel dependent dengan variabel independent, sehingga dapat
ditarik kesimpulan yang mengarah pada tujuan. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS, DISPENDA DKI Jakarta
dan sumber-sumber yang lainnya.
Selama periode analisis, bahwa secara bersama-sama pertumbuhan ekonomi, Tingkat
inflasi, Jumlah wajib pajak, Dummy reformasi perpajakan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Penerimaan Pajak daerah DKI Jakarta. Pengujian secara sendiri-
sendiri (per variabel), Pertumbuhan ekonomi dan Jumlah Wajib Pajak berpengaruh
Positif dan signifikan terhadap Penerimaan Pajak daerah DKI Jakarta, untuk Tingkat
Inflasi, tidak berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak daerah DKI Jakarta.
Untuk variable reformasi perpajakan tidak berpengaruh sgnifikan terhadap penerimaan
pajak daerah DKI Jakarta.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Runtuhnya ekonomi Indonesia sekarang ini yang gejalanya sudah terlihat sejak
terpuruknya nilai rupiah sebelum krisis moneter petengahan tahun 1997 adalah akibat
sentralisme kekuasaan termasuk kekuasaan dalam membuat keputusan ekonomi. Dengan
berbagai keputusan ekonomi yang terpusat melalui bermacam-macam Inpres, Keppres
dan perarturan pemerintah itu disedotlah berbagai macam hasil kekayaan alam dan
pendapatan asli dari daerah ke pusat sehingga menimbulkan ketidakpuasan daerah
terhadap pemerintah pusat. Hal tersebut terjadi di bawah kekuasaan rezim orde baru yang
di pimpin oleh suharto, sifat-sifat penyelengaraan Negara tersebut mirip atau semodel
dengan Negara komunis yang tergabung dalam blok timur.
Dengan jatuhnya soeharto pada pertengahan tahun 1998 dimulailah babak baru untuk
menata kembaliindonesia dengan masa depan yang lebih baik.Di masa mendatang pasca
soeharto sentralisme tidak boleh lagi ada baik dalam bidang politik, ekonomi,sosial dan
budaya. Setelah runtuhnya soeharto yang di gantikan oleh presiden Habibie, setelah
menjabat kurang dari satu tahun presiden habibie mulai membuat perombakan di segala
bidang seperti halnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
otonomi daerah dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan pusat dan daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang sudah
diberlakukan mulai bulan Januari tahun 2001 yang lalu menyatakan bahwa pemerintah
daerah hanya terdiri dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota tidak ada
lagi daerah kotamadya. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak dikenal
lagi pembagian daerah sebagai daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dengan telah
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tersebut maka daerah-daerah yang ada di
Indonesia harus membiayai pembangunan daerahnya masing-masing tanpa
menghandalkan subsidi dari pemerintah pusat lagi. Hal ini yang sering disebut peralihan
dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Peralihan sistem sentralisasi
menjadi sistem desentralisasi ini mengharuskan pemerintah daerah harus meningkatkan
pendapatan daerahnya.
Kebijakan keuangan daerah selama ini dilaksanakan dengan meningkatkan kemampuan
pembiayaan pemerintah daerah terutama yang bersumber dari pajak dan retribusi.
Dengan meningkatnya penerimaan daerah, selain akan memperbaiki struktur pembiayaan
daerah, juga akan memperkecil peranan sumber pembiayaan baik yang berasal dari
pemerintah pusat atau pinjaman dari luar negeri. Untuk lebih meningkatkan kemandirian
dalam membiayai kegiatan di daerah, maka akan terus ditingkatkan perolehan pendapatan
dari pajak melalui upaya mengefisiensikan pemungutan dari setiap pajak dan retribusi
dengan mempertimbangkan potensi yang seharusnya dapat dicapai.
Pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, pendapatan
daerah yang berasal dari pembagian PAD, dana perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pinjaman daerah, dan lainnya yang merupakan
PAD yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan dan merupakan pendapatan daerah
yang sah. PAD itu sendiri terdiri dari pajak dan retribusi daerah, keuntungan perusahaan
milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan PAD yang lain. PAD yang terbesar
berasal dari pajak daerah yang dipungut dari masyarakat berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang berlaku pada pemerintah daerah, kemudian PAD yang lain adalah
retribusi daerah.
Sesuai dengan prinsip dalam kebijakan ekonomi daerah yang mengedepankan
kemandirian daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan tugas dan kewenangannya,
maka akan terus diupayakan agar PAD menjadi andalan dalam APBD DKI Jakarta.
Secara umum ada empat komponen pendapatan dalam PAD yaitu dari pajak daerah,
retribusi daerah, laba BUMD dan pendapatan dinas-dinas daerah. Dari keempat
komponen tersebut, komponen pajak daerah merupakan sumber pendapatan yang paling
utama. Pada beberapa tahun belakangan ini sumber dari pajak daerah mengalami
peningkatan. Beberapa jenis pajak daerah yang secara potensi mampu memberikan
kontribusi cukup besar adalah pajak biaya balik nama/kendaraan bermotor; pajak
kendaraan bermotor; pajak hotel dan restoran; pajak reklame; pajak hiburan dan pajak
penerangan jalan. Secara keseluruhan jenis pajak ini memberi kontribusi terhadap PAD
DKI Jakarta.
Perekonomian DKI Jakarta pada tahun 2003 tumbuh sebesar 4,39 persen, angka ini lebih
tinggi dibanding keadaan tahun lalu yang tumbuh 3,99 persen. Sektor-sektor yang
menunjukkan pertumbuhan tinggi pada periode tersebut adalah sektor pengangkutan dan
komunikasi (5,79 persen), sektor listrik, gas dan air bersih (6,21 persen) dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran (5,04 persen).
Pada sektor industri, kelompok semen dan barang galian bukan logam memberikan
pertumbuhan terbesar (7,33 persen), disusul oleh kelompok industri pupuk, kimia, dan
barang dari karet (sekitar 6,37 persen). Sementara pada sektor perdagangan, hotel dan
restoran, subsektor restoran tumbuh sebesar 5,04 persen. Pada sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, subsektor bank tumbuh sebesar 4,29 persen.

Tabel 1.1.
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 1993
Menurut Lapangan Usaha
1999-2003
(juta rupiah)

No.

Lapangan Usaha

1999
2000

2001

2002*)

2003*)
1.

Pertanian

116.867

115.742

113.408

111.151

106.568
2.

Industri Pengolahan (Tanpa Migas)

12.391.061

12.875.191

13.320.467

13.756.925

14.172.353
3.

Listrik, Gas dan air bersih

1.161.177

1.245.846

1.299.449

1.366.260

1.451.095
4.

Bangunan

6.404.740

6.535.392

6.639.223

6.834.029

7.068.436
5.

Perdagangan, Hotel dan Restoran

13.550.295

14.166.037

14.799.488

15.549.392

16.333.551
6.

Pengangkutan dan Komunikasi

5.402.572

5.736.012

6.047.202

6.391.477

6.761.689
7.

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

12.681.994

13.285.022
13.740.441

14.245.887

14.921.969
8.

Jasa-jasa

5.506.518

5.735.176

5.908.579

6.083.709

6.347.039

Produk Domestik Regional Bruto

57.215.223

59.694.418

61.868.256

64.338.830

67.162.700

Sumber: BPS Propinsi DKI Jakarta


*) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
Tabel 1.2.
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan menurut
Lapangan Usaha
(1999-2003)

No.

Lapangan Usaha

1999
2000

2001

2002*)

2003*)
1.

Pertanian

11,33

-0,96

-2,02

-1,99

-4,12
2.

Industri Pengolahan (Tanpa Migas)

2,63

3,91

3,46

3,28

3,02
3.

Listrik, Gas dan air bersih

5,25

7,29

4,30

5,14
6,21
4.

Bangunan

-2,80

2,04

1,59

2,93

3,43
5.

Perdagangan, Hotel dan Restoran

0,62

4,54

4,47

5,07

5,04
6.

Pengangkutan dan Komunikasi

2,17

6,17

5,43

5,69

5,79
7.

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

-6,17
4,75

3,43

3,68

4,75
8.

Jasa-jasa

5,09

4,15

3,02

2,96

4,33
Produk Domestik Regional Bruto

-0,29

4,33

3,64

3,99

4,39

Sumber: BPS Propinsi DKI Jakarta


*) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
Dalam hal ini pajak bagi pemerintah daerah berperan sebagai sumber pendapatan
(budgetary function) yang utama dan juga sebagai alat pengatur (regulatory function).
Pajak sebagai pendapatan daerah terbesar digunakan untuk membiayai kegiatan
pemerintah daerah seperti: pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi
pemerintah, membangun dan memperbaiki infrastruktur, menyediakan fasilitas
pendidikan dan kesehatan, membiayai anggota polisi, dan membiayai kegiatan
pemerintah daerah dalam menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dihasilkan oleh
swasta.
Berangkat dari hal tersebut maka dalam studi ini akan mengamati seberapa besar
pengaruh reformasi terhadap Penerimaan Pajak Daerah. Termasuk diantaranya
memasukkan beberapa variabel yang berhubungan dengan Penerimaan Pajak Daerah.
Oleh karena itu permasalahan yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini
dengan mengambil judul “ PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP
PENERIMAAN PAJAK DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA”.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi daerah berpengaruh secara signifikan dan


positif terhadap penerimaan pajak daerah?
2. Apakah variabel tingkat inflasi berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap
penerimaan pajak daerah?
3. Apakah variabel jumlah wajib pajak berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap penerimaan pajak daerah?
4. Apakah variabel dummy(sebelum dan sesudah reformasi perpajakan) mempengaruhi
penerimaan pajak daerah ?
5. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi dan jumlah wajib pajak dan
variable dummy(reformasi perpajakan) yang diuji secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen?

Arah Kebijakan Pendapatan Daerah


Friday, 07 August 2009 00:49

Pendapatan Daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat
dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, komponen Pendapatan Daerah terdiri dari:

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan Yang
Sah. Adapun jenis PAD terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan
Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, serta Lain-Lain
Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. Sedangkan jenis Dana Perimbangan terdiri dari Bagi
Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Perorangan; Bagi Hasil Sumber Daya Alam
(SDA), serta Dana Alokasi Umum. Berdasarkan proyeksi indikator makro ekonomi dan
realisasi pendapatan daerah selama 5 tahun terakhir, maka proyeksi pendapatan daerah
dalam 5 tahun ke depan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Proyeksi Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008-2013

(Milyar Rupiah)
Komponen TAHUN
Pendapatan
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012 2013
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1.
PENDAPATAN 10.381,54 11.487,37 12.806,60 14.226,96 15.729,22 17.374,76
ASLI DAERAH
A. Pajak Daerah 8.484,27 9.347,26 10.400,89 11.521,70 12.681,20 13.941,48
B. Retribusi
363,57 384,64 400,16 415,68 433,42 450,04
Daerah
C. Laba Usaha
170,97 207,91 250,02 297,95 352,79 415,24
Daerah
D. Lain-Lain
1.362,73 1.547,56 1.755,53 1.991,63 2.261,81 2.568,00
PAD Yang Sah

2. DANA
PERIMBANGA 8.380,00 9.253,34 10.373,39 11.493,44 12.607,11 13.923,26
N
A. Bagi Hasil
8.150,00 9.010,56 10.124,22 11.237,89 12.351,55 13.667,70
Pajak
B. Bagi Hasil
230,00 242,78 249,17 255,56 255,56 255,56
Bukan Pajak

3. LAIN-LAIN
PENDAPATAN 29,99 408,87 463,81 526,19 597,57 678,47
YANG SAH

PENDAPATAN 18.791,53 21.149,57 23.643,80 26.246,59 28.933,89 31.976,49


Secara umum, kebijakan pendapatan daerah meliputi :
1. Mengoptimalkan peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari sumber-
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan;
2. Meningkatkan efisiensi pengelolaan APBD dari sisi pendapatan;
3. Meningkatkan sumber pendapatan daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
PAD dan Bagi Hasil Pajak yang lebih rasional dan proporsional.
1. Pendapatan Asli Daerah
Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Komponen PAD terdiri dari Pajak
Daerah, Retribusi Daerah dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tarif Pajak Daerah diatur
sebagai berikut :
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5%;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10%;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
20%;
e. Pajak Hotel 10%;
f. Pajak Restoran 10%;
g. Pajak Hiburan 35%;
h. Pajak Reklame 25%;
i. Pajak Penerangan Jalan 10%;
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20%;
k. Pajak Parkir 20%.
Sementara itu, retribusi daerah terdiri dari tiga kelompok besar yaitu Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.Pendapatan Asli Daerah
(PAD) akan tetap diupayakan menjadi sumber utama, karena selama 5 tahun terakhir
kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah rata-rata lebih dari 55%.
Untuk itu arah kebijakan Pendapatan Daerah lebih di fokuskan pada upaya untuk
meningkatkan setiap komponen PAD. Beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan
menurunnya Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB). Hal itu disebabkan oleh:
a. Semakin banyaknya pemilik kendaraan bermotor yang tinggal di luar
Jakarta, meskipun mereka sebenarnya bekerja di Jakarta.
b. Adanya upaya Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan layanan angkutan
umum massal (busway, kereta api, monorail, dll) yang berdampak pada
berkurangnya kepemilikan kendaraan pribadi.
Oleh sebab itu, akan diupayakan untuk intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber
PAD lain, antara lain : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame dan lain-lain.
Kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Menetapkan sumber pendapatan daerah unggulan yang bersifat elastis
terhadap perkembangan basis pungutannya dan less distortive terhadap
perekonomian. Karena PKB dan BBN-KB akan berkurang, meskipun
kontribusinya besar maka perlu dilakukan optimalisasi pajak lain, yakni
Pajak Hotel dan Pajak Restoran, serta pengupayaan pemungutan pajak
atas sewa ruang tak hanya di hotel tetapi juga di apartemen.
b. Optimalisasi pajak dan retribusi daerah melalui langkah-langkah intesifikasi
dan ekstensifikasi, yakni :
1) Intensifikasi pajak dan retribusi daerah terutama ditujukan untuk
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan memperkuat basis
pajak/retribusi yang ada. Secara umum, proses ini meliputi:
2) Penyederhanaan dan modernisasi (komputerisasi atau elektronisasi)
sistem perpajakan dan retribusi daerah seperti electronic road
pricing atau elektronisasi transaksi-transaksi di hotel untuk
meningkatkan compliance, menurunkan administrative dan
compliance cost, serta mengurangi kontak langsung wajib
pajak/retribusi dengan aparat;
3) Penyempurnaan landasan hukum serta law enforcement bagi
pengenaan pajak dan retribusi;
4) Sosialisasi dan pemberian penyuluhan yang memadai kepada
masyarakat mengenai ketentuan pajak dan retribusi daerah;
5) Peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan
pendapatan daerah;
6) Peningkatan koordinasi dan kerja sama antar unit satuan kerja terkait;
7) Peningkatan kualitas aparat pajak/retribusi daerah;
a) Ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah terutama ditujukan
untuk memperluas basis pajak/retribusi. Proses ini meliputi:
(1) Updating data basis pajak daerah serta optimalisasi
pemanfaatan data perpajakan yang bersangkutan;
(2) Pengkajian penerapan jenis retribusi baru;
(3) Optimalisasi penyerapan penerimaan dari basis pajak
PBB yang sewaktu-waktu akan dikedaerahkan.
b) Menciptakan pendapatan daerah yang bersifat efisien (netral)
dengan meminimalisir terjadinya efek distortif dari
pengenaan pajak atau retribusi daerah terhadap investasi dan
perekonomian keseluruhan. Upaya ini dapat dilakukan
melalui :
(1) Pengkajian cost-benefit dari setiap jenis pungutan baru
yang akan diterapkan.
(2) Pengkajian ulang atau evaluasi berkala atas dampak
ekonomi dari setiap pungutan yang ada.
(3) Penghapusan beberapa jenis pungutan daerah yang
terlalu bersifat distortif bagi perekonomian.
(4) Mendesain ulang sistem tarif maupun administratif dari
beberapa pungutan sehingga lebih efisien secara
ekonomi dan efektif.
c) Meningkatkan kontribusi BUMD dengan upaya pengelolaan
BUMD secara efisien dan efektif, melalui perbaikan
manajemen, pembentukan subholding baru dan
kemungkinan penciptaan Holding Company dan
peningkatan profesionalisme BUMD, serta memperkuat
permodalan BUMD.
d) Menghapuskan retribusi yang memberatkan masyarakat kecil,
namun tidak seimbang antara besarnya upaya untuk
memungut dengan manfaat retribusi; antara lain:
pemakaman dan penguburan mayat, retribusi tempat
pelelangan ikan, dan retribusi tempat pendaratan kapal
(dermaga).
2. Dana Perimbangan
Berdasarkan pengalaman tahun 2008, Pemerintah Provinsi tidak memperoleh pendapatan
yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU). Oleh sebab itu, sumber dana perimbangan
pada 5 tahun ke depan diharapkan dari optimalisasi Bagi Hasil Pajak maupun Bukan
Pajak. Optimalisasi Bagi Hasil Pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sedangkan Bagi Hasil Bukan Pajak bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA) Sektor
Perikanan, Sumber Daya Alam (SDA) Sektor Minyak Bumi dan Sumber Daya Alam
(SDA) Sektor Gas Alam.
Karena Dana Perimbangan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, maka
yang perlu diupayakan oleh Pemerintah Provinsi, antara lain :
a. Perbaikan pencatatan basis pajak, misalnya dasar penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) yang dijadikan landasan pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan.
b. Mendorong Pemerintah Pusat untuk melakukan penilaian secara individual
terhadap objek tertentu yang potensial
c. Mengusulkan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyesuaikan Daftar
Biaya Komponen Bangunan secara periodik dalam rangka penentuan
besarnya NJOP bangunan
d. Membantu pelaksanaan penyisiran (canvassing) objek pajak orang pribadi
dalam negeri guna meningkatkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh)
e. Memfasilitasi peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam
melakukan percepatan balik nama atas kepemilikan apartemen,
pertokoan dan perkantoran dalam rangka meningkatkan penerimaan
BPHTB.
3. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Upaya yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi adalah koordinasi dengan Pemerintah
Pusat untuk memperoleh Bantuan Dana Kontinjensi/Penyeimbang dan hibah.

Sumber : Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah Tahun 2007 - 2012

Last Updated ( Friday, 07 August 2009 03:36 )

You might also like