Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56)
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan
jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam
gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi
kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah
agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan
asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses
pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian
kepada Allah SWT semata.
)طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة )رواه ابن عبد البر
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan
perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)
)من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل ال حتى يرجع )رواه الترمذى
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan
sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”.
(H.R. Turmudzi)
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua
fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai
makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi
tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut,
“…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…”
[Q.S Al-Baqarah(2): 30]. Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya
kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai
pemimpin dibumi Allah.
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita
perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu;
itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits)
dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam
ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu
dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi
orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil
sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin,
penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani
Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang
berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan
melaksanakan titah sebagai khalifah fil ardl.
Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah
mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut
sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu
hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah
Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan,
sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan
mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami lebih
berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi
kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”
Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah
SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil
pengertian bahwa seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan
misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi
dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep
dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup
multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan
manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka
membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah
pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu
untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat
hukum, dinamis, dan harmonis.
Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu
hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing
mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk
memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau
Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya
diangkat menjadi pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya
angkatlah Musa itu sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita
sebagai penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia seorang
yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati
bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin mengangkatnya sebagai pembantu,
malah ia hendak mengawinkan putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya
Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi
sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik.
Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara
Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib
dan membantunya mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah
seorang pemuka agama dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah
seorang yang gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya.
Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan
Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan
Nabi Musa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas,
demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf
A.S sebagai kepala badan logistik negara. “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap
dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] :
54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu kuat dan
dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas berat.
Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh
karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang
dipilih. Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas
pribadi dari orang yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan
orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi
yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih
bermakna. Diharapkan orang mukmin mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek
dan punya integritas pribadi tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju
kejayaan. Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan
mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu Hurairah R.A
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai
kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan
kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan
berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi
katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia
perbuat. Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada
mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa
tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu
mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri
dengan Nabi Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan
lain kecuali jalan yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap
kepada Allah – sesudah Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama
yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan
innahu yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan, artinya “Allah telah menyatakan,
begitu pula para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi
Allah adalah Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya
kasrah, yaitu ‘innad diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya
benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat.
Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-
Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya
setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada
mereka dan kitab-kitab samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka
merasa dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam
perkara kebenaran. Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan
saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian
yang lain dengan menentangnya dalam semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun
benar. Terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat Allah yang telah
diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan
perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan menghukumnya akibat ia
menentang Kitab-Nya.
Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat
yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang
didapat dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim
yang lebih tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam.
Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat
Islam pada khususnya dan rahmatan lil alamin pada umumnya.
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai
atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam
tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
education). Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek
didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana
individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga
berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup
orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba
allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .
2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan
diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan
pada umumnya”.
3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral
refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan
Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik
sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Tafsir Ayat-Ayat tentang Keadilan
BAB I
PENDAHULUAN
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Latar Belakang
Fenomena ini sejak dulu memiliki jalan keluar, yaitu penyelesaian secara
hukum. Dalam sejarah, penetapan sebuah ketentuan hukum adalah melalui peradilan,
sama ada bentuknya itu secara formal seperti di peradilan yang diiktiraf negara, maupun
peradilan non formal seperti mediasi maupun abritase.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang
ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis
memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Menyampaikan amanat dan menghukum
dengan adil.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Perlakuan sama di dalam peradilan dan
persaksian.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Keadilan tidak hanya bagi orang Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak
kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika
terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd
al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut.
Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut
dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Alî RA pun
menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka
‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--
[endif]-->
Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini
tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini
dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi “العبرة بعموم اللفظ ل
”بخصوص السبب.<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->
Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan
memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri
maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.<!--[if !supportFootnotes]--
>[3]<!--[endif]-->
Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad:
Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat,
kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan
kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->
Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 138 sebagai berikut:
ْ ن ِإ
ن َ لْقَرِبي ض
َْ ن َوا
ِ س ضُكْم َأِو اْلَواِل ضَدْي
ِ عَلضضى َأْنُف
َ ل َوَلضْو
ِّ شَهَداَء
ُ ط ِس ْ ن ِباْلِق
َ ن َآَمُنوا ُكوُنوا َقّواِمي َ َيا َأّيَها اّلِذي
َل َكان َّ ن اّ ضوا َفِإُ ن َتْلُووا َأْو ُتْعِر ْ ن َتْعِدُلوا َوِإ
ْ ل َتّتِبُعوا اْلَهَوى َأ
َ ل َأْوَلى ِبِهَما َفُّ غِنّيا َأْو َفِقيًرا َفا
َ ن ْ َيُك
خِبيًرا
َ ن َ ِبَما َتْعَمُلو
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini
diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu
fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan
orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya
kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.<!--[if !
supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->
Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “ ”القسطyang secara bahasa
memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara.<!--[if !
supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-
`A’râf ayat 29:
ن َكَمضضا َبضَدَأُكْم
َ ن َلضُه الضّدي
َ صضضي
ِ خِل
ْ عضضوُه ُم
ُ جٍد َواْد
ِ سض
ْ ل َم
ّ عْنضَد ُكض
ِ جوَهُكْم
ُ ط َوَأِقيُموا ُو
ِسْ ل َأَمَر َرّبي ِباْلِق
ْ ُق
َ َتُعوُدو
ن
Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan".
dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian
pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan
pendapat. Menurut al-Zuhrî, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini
berdasarkan ayat “”كونوا قوامين بالقسط شهدآء ل. Lalu jelaslah dari manusia beberapa perkara
yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus ditinggal.
Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua, saudara,
suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha’î, al-Sya’bî, Syuraih, Mâlik, al-Tsaurî,
al-Syâfi’î, `Ibn Hanbal, `Abî Hanîfah, dan murid-muridnya.<!--[if !supportFootnotes]--
>[16]<!--[endif]-->
Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah
pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan
sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya.<!--[if !
supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8<!--[if !
supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]-->, Surah al-Hujjarât ayat 9<!--[if !
supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> juga memiliki tafsiran yang sama.
Menurut catatan Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî; Imam al-Syafi’i berkata tentang
persamaan hak dalam peradilan:<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]-->
والجلضضوس بيضضن، فضضي الضضدخول عليضضه: ينبغي للقاضي أن يسوي بين الخصمين في خمسة أشضضياء
والحكم عليهما، والستماع منهما، والقبال عليهما، يديه
Terjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara
kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke
hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar
dari keduanya, dan menghukumi keduanya.
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan inilah yang dimaksud dari firman
Allah SWT “”وإذا حكمتضضم بيضضن النضضاس أن تحكمضضوا بالعضضدل.<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--
[endif]-->
C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam
Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari
kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan
suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya
terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan
barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang
Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya menegakkan pada apa yang
mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu
penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli
fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan
penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah “ت
ِ ح
ْس
ّ ن ِلل
َ ب َأّكاُلو
ِ ن ِلْلَكِذ
َ عو
ُ سّما
َ ”. Ada
suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan pada Taurat yang
membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT: “وأخذهم الربوا وقد نهوا
”عنه.<!--[if !supportFootnotes]-->[23]<!--[endif]-->
Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkîm) di dalam Islam.
Menurut Imam al-Syafi’I, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia
adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke
pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum.Selain dari
itu, ayat “ ”سضضضمعون للكضضضذب أكلضضضون للسضضضحتini menunjukkan banyaknya orang Yahudi
mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka makan harta haram seperti suap
dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan.Suap
diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan.
Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لعن ال الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما – رواه أحمد في مسنده عن ثوبان وهضضو
. حديث صحيح