You are on page 1of 20

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan


berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan
kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat
ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum
memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi
pendidikan.

Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai


kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang
terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang
memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-
individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang
akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis
dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin
segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai
keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang
memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan
mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis
dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang
sekular.

Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak


berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan.
Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya
dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata,
mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada
kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta
akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang
pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan
integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan
para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan


pendidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada
dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari
masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan
dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.

II. PEMBAHASAN

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56)

Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan
jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam
gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi
kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah
agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan
asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses
pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian
kepada Allah SWT semata.

Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah


bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan
ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa
seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan
dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan
yang tidak terjangkau dan tidak terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua
yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah
yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat,
zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang
lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh
ridho dari Allah SWT.

Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk


dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :

‫)طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة )رواه ابن عبد البر‬

“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan
perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)

‫)من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل ال حتى يرجع )رواه الترمذى‬

“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan
sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”.
(H.R. Turmudzi)

Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu


termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui
pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan
dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi.
Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam
hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada
tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai
kompleksitas yang ada.

Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua
fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai
makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi
tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut,
“…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…”
[Q.S Al-Baqarah(2): 30]. Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya
kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai
pemimpin dibumi Allah.

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan


nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni
memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu
membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.

Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama


berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada
Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa,
maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti,
pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang
beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi
imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama).

Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita
perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu;
itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits)
dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam
ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu
dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi
orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil
sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin,
penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.

2. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247


“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang
diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. al-Baqarah [2] : 247)

Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani
Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang
berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan
melaksanakan titah sebagai khalifah fil ardl.

Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah
mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut
sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu
hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah
Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan,
sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan
mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami lebih
berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi
kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”

Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah
SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil
pengertian bahwa seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala


negara.
2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya kekuatan umat dan
kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan.
3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran.
4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya untuk mengatasi
segala kesulitan yang tidak mungkin diatasinya sendiri kecuali dengan taufik dan
hidayah-Nya.

Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah memakmurkan


bumi jika manusia tersebut mempunyai 4 karakter diatas. Karakter-karakter tersebut
hanya bisa diperoleh dengan pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus.
Pendidikan jasmani akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh.
Pendidikan rohani akan menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak yang baik dan
ketaqwaan kepada Sang Kholik. Kedua jenis pendidikan ini saling terkait dan sama
pentingnya untuk menghasilkan manusia-manusia paripurna yang bisa mengemban
amanat sebagai khalifah. Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat
untuk menjadi raja (pemimpin) karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah
dipenuhi, maka mudahlah baginya untuk mendapatkan harta yang diperlukan sebab
Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan
misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi
dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep
dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup
multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan
manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka
membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah
pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu
untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat
hukum, dinamis, dan harmonis.

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26


“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu
hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing
mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk
memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau
Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya
diangkat menjadi pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya
angkatlah Musa itu sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita
sebagai penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia seorang
yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati
bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin mengangkatnya sebagai pembantu,
malah ia hendak mengawinkan putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya
Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi
sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik.

Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara
Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib
dan membantunya mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah
seorang pemuka agama dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah
seorang yang gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya.
Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan
Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan
Nabi Musa.

Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas,
demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf
A.S sebagai kepala badan logistik negara. “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap
dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] :
54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu kuat dan
dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas berat.

Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh
karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang
dipilih. Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas
pribadi dari orang yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan
orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi
yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih
bermakna. Diharapkan orang mukmin mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek
dan punya integritas pribadi tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju
kejayaan. Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan
mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu Hurairah R.A
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai
kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan
kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan
berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi
katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia
perbuat. Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).

1. Kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada
mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa
tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu
mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri
dengan Nabi Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan
lain kecuali jalan yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap
kepada Allah – sesudah Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama
yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan
innahu yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan, artinya “Allah telah menyatakan,
begitu pula para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi
Allah adalah Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya
kasrah, yaitu ‘innad diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya
benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat.

Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-
Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya
setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada
mereka dan kitab-kitab samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka
merasa dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam
perkara kebenaran. Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan
saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian
yang lain dengan menentangnya dalam semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun
benar. Terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat Allah yang telah
diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan
perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan menghukumnya akibat ia
menentang Kitab-Nya.

Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat Yahudi dan


Nasrani terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah hujjah dan penjelasan
datang pada mereka tentang kebenaran Islam. Walaupun mereka diberi akal dan
pengetahuan oleh Allah SWT, tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan
dengki terhadap Islam sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan
yang mereka peroleh digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka, seperti
dapat kita lihat di negara-negara yang mayoritas penduduknya Yahudi dan Nasrani.
Pengetahuan yang telah diperoleh untuk memperkaya diri, menyombongkan diri
bahkan saling berusaha menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam
segala bidang kehidupan. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering dari
makna serta membuat semakin kehilangan arah ke-ilahi-an dan miskin dimensi
transendental.

Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat
yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang
didapat dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim
yang lebih tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam.
Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat
Islam pada khususnya dan rahmatan lil alamin pada umumnya.

III. ANALISIS KRITIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai
atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam
tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
education). Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek
didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana
individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga
berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.

Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan


tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam
yang disampaikan beberapa tokoh adalah :

1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup
orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba
allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .
2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan
diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan
pada umumnya”.

3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral
refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan
Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”

4. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang


berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati
tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang
tinggi dan berpendirian teguh”.

Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik
sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Tafsir Ayat-Ayat tentang Keadilan

BAB I

PENDAHULUAN
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Latar Belakang

Pergaulan antar manusia tentunya pasti menimbulkan sebuah masalah. Ibarat


kata lidah saja tergigit apatah lagi suami istri. Begitu juga suami istri saja ada masalah,
apatah lagi antar masyarakat yang tidak ada hubungan tali kasih, tentunya dengan mudah
wujudnya sebuah permasalahan.

Fenomena ini sejak dulu memiliki jalan keluar, yaitu penyelesaian secara
hukum. Dalam sejarah, penetapan sebuah ketentuan hukum adalah melalui peradilan,
sama ada bentuknya itu secara formal seperti di peradilan yang diiktiraf negara, maupun
peradilan non formal seperti mediasi maupun abritase.

Penyelesaian secara hukum ini tentunya harus berdasarkan keadilan. Lebih-


lebih lagi adil merupakan hak azazi manusia. Bukan hanya filsafat modern yang
menetapkan itu, akan tetapi banyak sekali ayat dalam Alquran – sebagai sumber utama
muslim – mewajibkan menghukumi sesuatu perkara harus dengan adil.

Pemahaman adil dalam menghukumi ini tentunya memerlukan pentafsiran


yang valid, karena batasan adil sendiri masih sangat umum dan terdapat banyak versi.
Hanya dengan meneliti tafsir ahkam bagi ayat-ayat tentang adil sahaja yang dapat
menghasilkan konsep menghukumi dengan adil dalam Islam.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang
ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis
memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Menyampaikan amanat dan menghukum
dengan adil.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Perlakuan sama di dalam peradilan dan
persaksian.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Keadilan tidak hanya bagi orang Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Menyampaikan Amanat dan Menghukum dengan Adil

Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:


‫ل ِنِعّما‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ل ِإ‬
ِ ‫حُكُموا ِباْلَعْد‬
ْ ‫ن َت‬
ْ ‫س َأ‬
ِ ‫ن الّنا‬
َ ‫حَكْمُتْم َبْي‬
َ ‫ت ِإَلى َأْهِلَها َوِإَذا‬
ِ ‫لَماَنا‬
َْ ‫ن ُتَؤّدوا ا‬
ْ ‫ل َيْأُمُرُكْم َأ‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ِإ‬
‫صيًرا‬ ِ ‫سِميًعا َب‬َ ‫ن‬َ ‫ل َكا‬َّ ‫ن ا‬ّ ‫ظُكْم ِبِه ِإ‬
ُ ‫َيِع‬
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.

Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak
kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika
terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd
al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut.
Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut
dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Alî RA pun
menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka
‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--
[endif]-->

Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini
tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini
dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi “‫العبرة بعموم اللفظ ل‬
‫”بخصوص السبب‬.<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->
Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan
memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri
maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.<!--[if !supportFootnotes]--
>[3]<!--[endif]-->

Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi


perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri
adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika
bermuamalat, berjihad, dan nasihat.Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran
menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “‫حَكْمُتْم‬
َ”
adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashil “‫”أنتم‬. Ia memiliki
arti “‫ ”القضضضضاء‬yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna “‫ ”المنضضضع‬yaitu mencegah.
Contohnya: “ ‫ت َبْيَنُهْم‬
ُ ‫صْل‬
َ ‫ن اْلَقْوِم َف‬
َ ‫ت َبْي‬
ُ ‫حكَْم‬
َ ‫ك َو‬
َ ‫ن َذِل‬
ْ ‫ج ِم‬
ِ ‫خُرو‬
ُ ‫عَلى اْل‬
َ ‫لِفِه َفَلْم َيْقِدْر‬
َ‫خ‬ِ ‫ن‬
ْ ‫حكمت عليه بكذا إذا منعته ِم‬
‫حاِكٌم‬
َ ‫ ”َفَأَنا‬yang berarti: “aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya
dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku
menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah
seorang hakim”.Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih
dikenali dengan kata “‫ ”القضضضاء‬itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan
menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah “‫إنا‬
‫”أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الض‬.Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî, bahwa
kata “adil” di dalam ayat ini adalah “‫ ”إيصضضال الحضضق إلضضى صضضاحبه مضضن أقضضرب طريضضق‬yaitu
“memberikan hak kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat”.Keadilan adalah
merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib
ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak
merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari
Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka
dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga
hak-hak tersentuh ahlinya.Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di
lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
‫ظُكضْم‬
ُ ‫ي َيِع‬
ِ ‫شضضاِء َواْلُمْنَكضِر َواْلَبْغض‬
َ‫ح‬
ْ ‫ن اْلَف‬
ِ ‫عض‬
َ ‫ن َوِإيَتاِء ِذي اْلُقْرَبى َوَيْنَهضضى‬
ِ ‫سا‬
َ‫ح‬ْ‫ل‬
ِْ ‫ل َوا‬
ِ ‫ل َيْأُمُر ِباْلَعْد‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ِإ‬
‫َلَعّلُكْم َتَذّكُرون‬
Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad:
Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat,
kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan
kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->

B. Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian

Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 138 sebagai berikut:
ْ ‫ن ِإ‬
‫ن‬ َ ‫لْقَرِبي ض‬
َْ ‫ن َوا‬
ِ ‫س ضُكْم َأِو اْلَواِل ضَدْي‬
ِ ‫عَلضضى َأْنُف‬
َ ‫ل َوَلضْو‬
ِّ ‫شَهَداَء‬
ُ ‫ط‬ ِ‫س‬ ْ ‫ن ِباْلِق‬
َ ‫ن َآَمُنوا ُكوُنوا َقّواِمي‬ َ ‫َيا َأّيَها اّلِذي‬
َ‫ل َكان‬ َّ ‫ن ا‬ّ ‫ضوا َفِإ‬ُ ‫ن َتْلُووا َأْو ُتْعِر‬ ْ ‫ن َتْعِدُلوا َوِإ‬
ْ ‫ل َتّتِبُعوا اْلَهَوى َأ‬
َ ‫ل َأْوَلى ِبِهَما َف‬ُّ ‫غِنّيا َأْو َفِقيًرا َفا‬
َ ‫ن‬ ْ ‫َيُك‬
‫خِبيًرا‬
َ ‫ن‬ َ ‫ِبَما َتْعَمُلو‬
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini
diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu
fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan
orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya
kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.<!--[if !
supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->

Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “‫ ”القسط‬yang secara bahasa
memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara.<!--[if !
supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-
`A’râf ayat 29:
‫ن َكَمضضا َبضَدَأُكْم‬
َ ‫ن َلضُه الضّدي‬
َ ‫صضضي‬
ِ ‫خِل‬
ْ ‫عضضوُه ُم‬
ُ ‫جٍد َواْد‬
ِ ‫سض‬
ْ ‫ل َم‬
ّ ‫عْنضَد ُكض‬
ِ ‫جوَهُكْم‬
ُ ‫ط َوَأِقيُموا ُو‬
ِ‫س‬ْ ‫ل َأَمَر َرّبي ِباْلِق‬
ْ ‫ُق‬
َ ‫َتُعوُدو‬
‫ن‬
Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan".
dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang
dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian
pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang


mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan
yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke
kiri.<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]-->

Menurut Wahbah al-Zuhaylî, bahwa ayat ini menegaskan dua hal:<!--[if !


supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]-->

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Penekanan untuk sangat-sangat di dalam


menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam
peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang
muslim, tapi juga non muslim.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap


adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua
atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain.

Ulama fiqh menuturkan beberapa perkara yang berkaitan dengan syahadah


bagi orang tua atau terhadap orang tua. Mereka berkata tidak ada khilaf di dalam
persaksian seorang anak terhadap orang tua. Perkara ini jelas diperbolehkan (diterima).
Walaupun persaksian itu merugikan orang tua, tidak lain ini demi kebaikan mereka. Ini
senada dengan ayat “‫!<”قوا أنفسضضكم وأهليكضضم نضضارا‬--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--
>.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->

Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan
pendapat. Menurut al-Zuhrî, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini
berdasarkan ayat “‫”كونوا قوامين بالقسط شهدآء ل‬. Lalu jelaslah dari manusia beberapa perkara
yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus ditinggal.
Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua, saudara,
suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha’î, al-Sya’bî, Syuraih, Mâlik, al-Tsaurî,
al-Syâfi’î, `Ibn Hanbal, `Abî Hanîfah, dan murid-muridnya.<!--[if !supportFootnotes]--
>[16]<!--[endif]-->

Sebagian kaum membenarkan persaksian setengah dari mereka terhadap


setengah yang lain ketika mereka itu adil. Ini diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khathâb
dam ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz, juga ditegaskan `Ishâq dan al-Muzanni. Imam al-Syâfi’I
membenarkan persaksian kedua mereka karena mereka berdua adalah orang lain (
‫)أجنبي‬.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]-->

Terdapat sebuah hadis riwayat Abû Daud seperti berikut:


ْ‫عضن‬َ ‫ب‬ ٍ ‫شضَعْي‬
ُ ‫ن‬ ِ ‫عْمِرو ْبض‬
َ ‫ن‬ ْ‫ع‬ َ ‫سى‬ َ ‫ن ُمو‬ ُ ‫ن ْب‬
ُ ‫سَلْيَما‬
ُ ‫حّدَثَنا‬َ ‫شٍد‬ ِ ‫ن َرا‬ ُ ‫حّمُد ْب‬
َ ‫حّدَثَنا ُم‬َ ‫عَمَر‬ ُ ‫ن‬ ُ ‫ص ْب‬ُ ‫حْف‬َ ‫حّدَثَنا‬
َ
‫عَلضضى‬
َ ‫خاِئَنضِة َوِذي اْلِغْمضِر‬
َ ‫ن َواْل‬
ِ ‫خضضاِئ‬
َ ‫شضَهاَدَة اْل‬
َ ‫سضّلَم َرّد‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬َ ‫سو‬ُ ‫ن َر‬ ّ ‫جّدِه َأ‬
َ ‫ن‬
ْ‫ع‬ َ ‫َأِبيِه‬
.‫جاَزَها ِلَغْيِرِهْم‬ َ ‫ت َوَأ‬ِ ‫ل اْلَبْي‬
ِ ‫لْه‬َِ ‫شَهاَدَة اْلَقاِنِع‬
َ ‫خيِه َوَرّد‬ِ ‫َأ‬

Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah
pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan
sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya.<!--[if !
supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->

Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8<!--[if !
supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]-->, Surah al-Hujjarât ayat 9<!--[if !
supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> juga memiliki tafsiran yang sama.

Menurut catatan Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî; Imam al-Syafi’i berkata tentang
persamaan hak dalam peradilan:<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]-->
‫ والجلضضوس بيضضن‬، ‫ فضضي الضضدخول عليضضه‬: ‫ينبغي للقاضي أن يسوي بين الخصمين في خمسة أشضضياء‬
‫ والحكم عليهما‬، ‫ والستماع منهما‬، ‫ والقبال عليهما‬، ‫يديه‬
Terjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara
kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke
hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar
dari keduanya, dan menghukumi keduanya.

Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan inilah yang dimaksud dari firman
Allah SWT “‫”وإذا حكمتضضم بيضضن النضضاس أن تحكمضضوا بالعضضدل‬.<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--
[endif]-->
C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam

Allah SWT berfirman dalam Surah al-Mâ`idah ayat 42 sebagai berikut:


‫عْنُه ضْم‬
َ ‫ض‬
ْ ‫ن ُتْعضِر‬
ْ ‫عْنُه ضْم َوِإ‬
َ ‫ض‬
ْ ‫حُكْم َبْيَنُه ضْم َأْو َأعْضِر‬ْ ‫ك َفا‬ َ ‫جاُءو‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ت َفِإ‬
ِ ‫ح‬
ْ‫س‬ّ ‫ن ِلل‬
َ ‫ب َأّكاُلو‬ ِ ‫ن ِلْلَكِذ‬
َ ‫عو‬
ُ ‫سّما‬
َ
َ ‫طي‬
‫ن‬ ِ‫س‬
ِ ‫ب اْلُمْق‬
ّ ‫ح‬
ِ ‫ل ُي‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ط ِإ‬ ِ‫س‬ ْ ‫حُكْم َبْيَنُهْم ِباْلِق‬ْ ‫ت َفا‬
َ ‫حَكْم‬
َ ‫ن‬ ْ ‫شْيًئا َوِإ‬
َ ‫ك‬َ ‫ضّرو‬ ُ ‫ن َي‬
ْ ‫َفَل‬
Terjemahan: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi
mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara
mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil,
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari
kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan
suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya
terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan
barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang
Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya menegakkan pada apa yang
mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu
penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli
fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan
penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah “‫ت‬
ِ ‫ح‬
ْ‫س‬
ّ ‫ن ِلل‬
َ ‫ب َأّكاُلو‬
ِ ‫ن ِلْلَكِذ‬
َ ‫عو‬
ُ ‫سّما‬
َ ”. Ada
suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan pada Taurat yang
membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT: “‫وأخذهم الربوا وقد نهوا‬
‫”عنه‬.<!--[if !supportFootnotes]-->[23]<!--[endif]-->

Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî; ayat ini menunjukkan kaum Yahudi


menghukumi Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi menghukumi mereka dengan apa
yang ada di dalam kitab Taurat. Maka ketika ada “‫ ”أهل الذمة‬mengangkat permasalahan
kepada imam, maka jika yang mereka angkat itu berupa kezaliman seperti membunuh
dan lain-lain yang berhubungan dengan tindak pidana, maka imam harus menghukumi di
antara mereka dan melarang mereka menghukumi sendiri tanpa ada perbedaan pendapat
ulama.<!--[if !supportFootnotes]-->[24]<!--[endif]-->
Seumpama bukan berupa tindak pidana, maka imam diperkenankan memilih
sama ada menghukumi atau tidak menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. ini
berdasarkan ayat “‫عْنُهْم‬
َ ‫ض‬
ْ ‫عِر‬
ْ ‫حُكْم َبْيَنُهْم َأْو َأ‬
ْ ‫ك َفا‬
َ ‫جاُءو‬
َ ‫ن‬
ْ ‫”َفِإ‬. Menurut Imam al-Syafi’I tidak boleh
menghukumi mereka bagi masalah hudud. Sedangkan menurut Abû Hanîfah tetap
menghukumi mereka dalam keadaan apa pun itu. ini berdasarkan ayat “‫وأن احكم بينهم بما‬
‫!<”أنضضضضزل الضضضض‬--[if !supportFootnotes]-->[25]<!--[endif]-->.<!--[if !supportFootnotes]--
>[26]<!--[endif]-->

Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkîm) di dalam Islam.
Menurut Imam al-Syafi’I, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia
adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke
pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum.Selain dari
itu, ayat “‫ ”سضضضمعون للكضضضذب أكلضضضون للسضضضحت‬ini menunjukkan banyaknya orang Yahudi
mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka makan harta haram seperti suap
dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan.Suap
diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan.
Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫لعن ال الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما – رواه أحمد في مسنده عن ثوبان وهضضو‬
. ‫حديث صحيح‬

Apabila hakim – yang disuap – seumpama menghukum terhadap penyuap dengan


apa yang hak, maka ia adalah fasiq, karena menerima suap untuk menghukumi
sesuai yang diingini. Seumpama dia sampai menghukum dengan kebatilan, maka
ia adalah fasiq juga, dikarenakan dia mengambil suap dan menghukum dengan
kebatilan.Suap juga kadangkala terjadi pada selain menghukumi dan peradilan,
semisal seseorang menyuap hakim agar dia menghilangkan kezaliman yang terjadi
terhadapnya. Maka suap ini adalah yang diharamkan terhadap penerimanya dan
tidak diharamkan terhadap pemberinya, seperti apa yang dikatakan hasan: “‫ل بأس أن‬
‫”يدفع الرجل مضضن مضضاله مضضا يصضضون بضضه عرضضضه‬. Ketika adanya `Ibn Mas’ûd berada di Etopia,
beliau menyuap dengan dua dinar lalu berkata: “dosa hanya terhadap penerima
bukan pemberi

You might also like