You are on page 1of 14

c 


  


 

c 

c 
 c  


Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan
udara dalam Ordonansi pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah
satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam konvensi Warsawa 1929, menyebut
pengangkut udara dengan istilah carrier, akan tetapi konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu
batasan atau definisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrier ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa definisi pengangkutan udara adalah orang atau badan
hukum yang mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat terbang
dan dengan menerima suatu imbalan. Pengangkutan udara diatur dengan undang-undang No 15 Tahun
1992 Tentang Penerbangan. Angkutan udara diadakan dengan perjanjian antara pihak pihak. Tiket
penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan dan
pembayaran biaya angkutan.

   c c  c  



   c 
c   

1. Hak dan Kewajiban Pihak Pengangkut Khususnya Pengangkut Udara

Timbulnya kewajiban antara kedua belah pihak dalam hal ini pemakai jasa angkutan dan pengusaha
angkutan udara adalah, didahului dengan adanya perjanjian yang dilakukan dan disetujui sebelumnya,
walaupun perjanjian yang disepakati bersama im bersifat standar dalam arti berasal dari pihak
pengusaha angkutan yang sudah dirumuskan sedemikian rupa sehingga para pemakai jasa tinggal
menyetujuinya baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Mengenai hak, dan kewajiban
pihak pengangkut ketentuannya sudah diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), selain itu
terdapat pula dalam ketentuan khusus lainnya den tidak menyimpang dari ketentuan undang-undang.
2.Hak pengangkut yang terdapat pula dalam Ordonansi Pengangkutan Udara antara lain adalah sebagai
berikut

1.? Di dalam pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa pengangkut berhak untuk meminta kepada
pengirim barang atau untuk membuat surat muatan udara.
2.? Di dalam pasal 9, disebutkan bahwa pengangkut berhak meminta kepada pengirim barang untuk
membuat surat muatan udara, jika ada beberapa barang.
3.? Pengangkut juga berhak menolak pengangkutan penumpang jika ternyata identitas penumpang
tidak jelas.
4.? Hak pengangkut yang dicantumkan dalam tiket penumpang yaitu hak untuk menyelenggarakan
angkutan kepada perusahaan pengangkutan lain, sertapengubah tempat-tempat
pemberhentian yang telah disetujui, semuanya tetap ada ditangan pengangkut udara.
5.? Hak untuk pembayaran kepada penumpang atau pengirim barang atas barang yang telah
diangkutnya serta mengadakan peraturan yang perlu untuk pengangkutan dalam batas-batas
yang dicantumkan Undang-undang.

3. Kewajiban pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah sebagai berikut :

1.? Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah muatan barang-barang
diterimanya ( Pasal 8 ayat 2 ).
2.? Bila pengangkut tidak mungkin melaksanakan perintah-perintah dari pengirim, pengangkut
harus segera memberitahukan Kepada pengirim ( Pasal 15 ayat 3 )

Sedangkan kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah :

1.? Mengangkut penumpang atau barang-barang ketempat tujuan yang telah ditentukan.
2.? Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.? Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.? Menjamin pengangkutan tepat pada, waktunya.
5.? Mentaati ketentuan-ketentuan penerbangan yang berlaku

4. Hak dan Kewajiban Pihak Pemakai Jasa

Adapun hak dari pemakai jasa angkutan penumpang udara pada umumnya adalah
1.? Penumpang atau pemakai jasa angkutan dapat naik pesawat terbang atau udara sampai ke
tujuan yang dikehendaki.
2.? Penumpang atau ahli waris dapat menuntut ganti rugi apabila is mendapat kerugian yang
diakibatkan kecelakaan pesawat terbang dalam penerbangan, dan kelalaian pengangkutan.

Sedangkan kewajiban pemakai jasa angkutan penumpang pada umumnya adalah sebagai berikut :

1.? Penumpang wajib membayar biaya angkutan udara atau tiket.


2.? Penumpang wajib memberitahu kepada pengangkut mengenai barang-barang yang dibawainya.
3.? Penumpang berkewajiban mentaati peraturan-peraturan pengangkutan udara serta syarat-
syarat perjanjian pengangkutan

D!  c
c  


Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana
perhubungan antar pulau yang tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga
berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di
Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan,
yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan
penumpang, barang dan bagasi.

Perpaduan tersebut menentukan karakteristik dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu


mata rantai dari tatanan perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan
pengangkutan tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut dan udara saling
terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan perhubungan nasional dan
internasional dan menyediakan fasilitas transit penumpang untuk tempat tujuan tertentu.

 c " 


#
$ c  
%#c&' ()*)+(,,

Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn
hal pengangkutan penumpang adalah pasal 24 ayat (1) yang berbunyi :

͞Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada
tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada
hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan
suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang͟.

Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1.? Adanya kecelakaan yang terjadi,


2.? Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
3.? Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan
yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang

Sedangkan menurut Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan, pasal yang mengatur
tentang tanggung jawab diatur dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :

͞Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas

1.? Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut.


2.? Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
3.? Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut
merupakan kesalahan pengangkut

c
 -+c
 - c  

 -c -

Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-
ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :

1. Prinsip cresumption of Liability

Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada
penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat
membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.

Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip
ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara yang berbunyi ͞Pengangkut
tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang
dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau
bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu͟

Prinsip ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut seolah-olah harus
atau selalu bertanggung jawab apabila teradi kerugian pada penumpang.

2. Prinsip Limitation of Liability

Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas
sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan,
Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi
dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan
Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat (1),
yaitu :

͟Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap fiapʹtiap penumpang atau
terhadap keluarganya yang, disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah
dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500,-). Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka
jumlah uang pokok, yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas͟.

Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab
sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan, apabila

- Ada kesalahan berat dari pengangkut

- Ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan kerugian

Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. apabila Pengangkut telah mengambil semua
tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin
mengambil tindakan yang disebut diatas. Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian,
handling pesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.

!c  c   c 


Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29
ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab
yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12 500,- per penumpang.
Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini
adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si
mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan,
pasal ini berbunyi ͞Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian
yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan

penumpang, bagasi dan barang͟.

Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal
tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan
dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.

Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula
tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi
Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29
avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal
setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.

Pasal 36 berbunyi ͞Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu
dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba,
atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.

Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan
yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase,
kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara
didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang
terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk
yang keliru.

 
c ." /c  #" 
 + 

#"#(0())1

Pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2002 dunia penerbangan Indonesia kembali mengalami musibah, kali
ini maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-
421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan , Desa Serenan, Juwiring, Kabupaten Klaten. Dalam
kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu pramugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja
selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang
sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rezak bersama enam kru lainnya serta 51 penumpangnya
tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.

 c
 c 

 -c -

Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.
Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat pengangkutan yang paling aman adalah
pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu kereta api dan yang paling banyak menimbulkan kecelakaan
adalah mobil. Suatu kenyataan bahwa dalam sejarah penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh
tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang terjadi di negeri kita yaitu kecelakaan pesawat udara
yang menimpa Garuda Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo.

Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut udara
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang,
sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang menimbulkan kerugian pada
diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara. Ada tiga pinsip tanggung jawab pengangkut
dalam hukum, pengangkutan menurut Saefullah Wiradipraja (1989), yaitu :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan rfault liability). Menurut prinsip ini setiap
pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang
ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan
pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut.
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga rpresumption of liability). Menurut prinsip ini
pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan
yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan ͞tidak bersalah͟ adalah tidak
melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau periristiwa
yang menimbulkan kerugian tidak dapat dihindari.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip ini pengangkut harus
bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut, pengangkut tidak
dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan
kerugian itu.

Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka undang-
undang pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan asuransi bertanggung
jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi karena
berdasarkan atas praduga, maka pengangkut melalui perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari
tanggung jawab apabila ia mendapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah rabsence of fault). Jika
dihubungkan dengan kasus kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak pengangkut udara
(PT. Garuda) melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang
dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab apabila la dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 di
sungai Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut (PT.Garuda).

Dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa pengangkut tidak
bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua orang yang dipekerjakan olehnya
berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk
menghindarkan kerugian atau bahwa tak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan
tersebut. Sedangkan pada Pasal 24 dan 25 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa
pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya penumpang
dan sebagai akibat dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi atau barang, tanpa dengan tegas
menetapkan dasar dari tanggung jawab ini.
Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan menyatakan
bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah
apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena kecelakaan selama dalam pengangkutan
udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat
udara. Menurut penulis, maka pada kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda
Boeing 737 di sungai Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus bertanggung jawab terhadap
korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 tersebut di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk. PT Garuda dapat
menjatuhkan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Dan setelah
menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian untuk menyelidiki
kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu
muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang
telah diperjanjikannya.

c
$   2 'c -
 -c
 c 


Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing
737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara diberikan
melalui proses sebagai berikut :

1. Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada
korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti
ruginya adalah

a. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian data-data
identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.

b. Mengajukan segala alat bukti :

- Tiket atau bukti pembayaran tiket.

- Surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara tersebut dalam perawatan.
- Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.

- Akta kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu, disertai
penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli waris dan besarnya bagian-
bagian.

- Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang ditanggungnya.

c. Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian
pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau cacat
tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya
orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat
udara itu.

d. Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan diberikan,
tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak
bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.

e. Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT. Garuda siap
untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran dan jangka
waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang
maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap
tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.

2. Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT. Garuda
mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi
adalah :

a. Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri.

b. Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan
oleh pengadilan (telah dibicarakan pada ͞Prosedur pengajuan claim ganti rugi͟).
c. Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak untuk
dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus diberikan PT. Garuda,
cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.

d. Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda mengenai
data atau identitasnya.

e. Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.

f. Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan
tersebut.

Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan
langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi
kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara
mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari
pengadilan.

 

"c.

Pada dasarnya apabila terjadi kecelakaan pesawat udara, maka ada dua kemungkinan yang akan timbul
terhadap penumpang pesawat udara yaitu :

1.? Penumpang tetap hidup dan mengalami luka-luka atau cacat, atau
2.? Penumpang meninggal dunia atau tewas

" '    


 3  - +- 
  - 
 
- +- 
  
  - - -  
3 

a. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara yang masih hidup akan tetapi mengalami luka-luka luar
ataupun dalam pada tubuh atau cacat, maka pihak yang berhak rnendapat ganti rugi adalah penumpang
itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa pihak pengangkut udara atau perusahaan penerbangan
bertanggung jawab atas kerugian sehingga akibat dari luka-luka atau cacat yang diderita oleh seorang
pengangkut udara tersebut dan terjadi di dalam pesawat udara. Hal ini berdasarkan Pasal 24 ayat 1
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1938-100.

b. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tewas atau meninggal dunia rnaka pihak yang berhak
untuk mendapatkan ganti rugi bila sudah ada, atau anak-anaknya bila sudah punya atau orang tuanya.
Dasar hukumnya adalah Pasal 24 ayat 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun 1939-100

Akan tetapi untuk menghindari penuntutan hak dari pihak yang sebenarnya tidak berhak maka dibuat
kriteria dan persyaratan bagi pihakʹ pihak yang hendak menuntut ganti rugi sebagai berikut :

a. Bagi penumpang yang mash hidup clan meng daml luka-luka atau cacat pada tubuhnya -iarus
membuktikan bahwa luka-luka atau cacat tersebut adalah akiba, dari kecelakaan pesawat uclara. Untuk
hal itu diperlukan pemeriksaan dari dokter yang menentukan apakF.h luka-ILI͛I'\a atau cacat pada tubuh
penumpang benar ada setelah terjadinya kecelakaan pesawat udara sebagai akibat dari kecelakaan
tersebut ataukah luka-luka dan cacat tubuh ini U-jlah ada sebelum penumpang naik pesawat tersebut,
diperlukan pula keterangan kesehatan penumpang pada saat penumpang diperiksa sebelum naik ke
pesawat dan keterangan tersebut di dapat dari dokter pribadi.

b. Bila penumpang yang tewas atau meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, maka para ahli
waris atau orang yang menjadi tanggungan tersebut yang berhak untuk mendapatkan ganti rugi.

Mengenai hal tersebut harus diputuskan oleh pengadilan dengan memperlihatkan fatwa waris. Dan
ketentuan limitatif ini maka dinyatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menuntut ganti rugi
selain ketiga golongan ahli waris berikut ini

1.? Isteri atau suami dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan memperlihatkan
akta perkawinan dan kartu keluarga.
2.? Anak dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan rnemperlihatkan akta lahir
dan kartu keluarga.
3.? Orang tua dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan memperlihatkan akta
lahir dan kartu keluarga.
Tetapi mengenai ͞orang tua͛ ini ada ketentuan tambahan bahwa orang tua yang mempunyai
penghasilan sendiri tidak dapat menuntut ganti rugi, sedangkan suami atau Isterl dan anak-anaknya
dapat menuntut ganti rugi meskipun mereka mernpunyai penghasilan sendiri.

Adapun satu pihak yang walaupun la menderita luka-luka atau cacat tubuh maupun tewas atau
meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, akan tetapi ia atau ahli waris yang ditanggungnya
tidak berhak untuk menuntut ganti rugi, ialah penumpang gelap (yang tidak memiliki tiket yang sah).
Dalam hal ini pengangkut udara berhak untuk tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang
dideritanya, sebab ia tidak terikat pada perjanjian pengangkutan udara tersebut sehingga segala risiko
harus ditanggungnya sendiri.

Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang diberikan PT. Garuda Indonesia kepada penumpang akibat
kecelakaan pesawat udara disesuaikan dengan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 496/KMK/017/1997, yaitu

1.? 1.Rp. 40.000.00O3- dalam hal penumpang meninggal dunia.


2.? 2. Rp. 20.000.000 ʹ dalam hal penumpang mendapat cacat tetap.
3.? 3. Rp. 20.000.000,- biaya perawatan dan pengobatan dokter.

Besarnya ganti rugi yang ditetapkan di atas hanyalah merupakan batas maksimum dari besarnya ganti
rugi yang harus diberikan Sedangkan untuk batas ini minimumnya berdasarkan kebijaksanaan
perusahaan penerbangan atau ditetapkan dari putusan pengadilan kasus per kasus. Besarnya ganti rugi
yang ditetapkan tersebut menggantikan besarnya ganti rugi yang ditetapkan dalam Ordonansi
Pengangkutan Udara (OPU) pada Pasal 30 ayat 1 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan nilai yang
sekarang ini.

Besarnya ganti rugi dapat diberikan dengan berbagai cara, yaitu :

1.? Pembayaran ganti rugi secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama.
2.? Pembayaran ganti rugi secara berkala sesuai kesepakatan bersama dengan jangka waktu yang
telah ditentukan.
3.? Pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang diperlukan dalam masa
pengobatan secara berkala (Khusus bagi penumpang yang masih hidup dan menderita luka-luka
atau cacat tubuh yang sedang dalam perawatan).
Mengenai penumpang yang masih hidup akan tetapi luka-luka atau cacat pada tubuhnya, maka
pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biayanya sebagai berikut :

1.? Penghasilan yang karena kecelakaan ini tidak dapat diperoleh.


2.? Perawatan dan pengobatan.
3.? Pembedahan plastik.
4.? Ongkos-ongkos lain yang berkaitan dengan perawatan yang bersangkutan.

Mengenai ͞Pembedahan plastik͟ itu harus didasarkan pada per-timbangan dokter, apakah perlu
dilakukan atau tidaknya. Dalam hal ketidakpuasan mengenai besarnya ganti rugi ini, maka dapat
mengajukan tuntutan ke pengadilan sehingga diperoleh putusan dari pengadilan atas Jumlah ganti rugi
yang harus disetului kedua belah pihak.

Berdasarkan hal di atas asuransi dipandang memegang peranan penting untuk mengatasi risiko yang
mungkin terjadi dalam bidang penerbangan dimana bahwa risiko yang dihadapi dalam penerbangan
semakin dirasakan kebutuhannya untuk diasuransikan, kebutuhan akan perlindungan atau ganti
kerugian Seandainya kecelakaan sungguhsungguh terjadi semakin dirasakan sebagai suatu kepentingan
bagi beberapa pihak yaitu pihak pemilik pesawat udara atau pengangkut, penumpang, atau pemilik
barang, serta pihak yang berkepentingan lainnya Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa lembaga
asuransi memberikan suatu peranan yang cukup besar dalam pengembangan kegiatan angkutan udara,
hal itu disebabkan dengan menutup asuransi yang berkepentingan merasa memiliki suatu jaminan
apabila resiko yang dihadapi menjadi kenyataan berupa kerugian.

You might also like