You are on page 1of 24

Namun, muncul lagi diskusi mengenai keberadaan tipe sekolah yang

dianggap sebagai sekolah unggulan pada jenjang pendidikan manapun. Tipe


tersebut terdiri dari tiga :

• Tipe1
Tipe ini seperti yang diuraikan di atas, dimana sekolah menerima dan
menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki
prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar sekolah
tersebut tidak luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan
karena memilih input yang unggul, output yang dihasilkan juga unggul.
• Tipe 2

Sekolah dengan menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus


dengan SPP yang sangat tinggi. Konon, untuk sekolah dasar unggulan di
Parung, Bogor uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 7 juta. Mahal?
Nggak juga tuh, buktinya banyak orang-orang Indonesia yang sekolah di
sana. Tidak mahal menurut mereka dibandingkan biaya sekolah di luar
negeri, dan memang sekolah ini dibangun untuk membendung arus warga
negara Indonesia yang berbondong-bondong sekolah ke luar negeri.
Otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk
diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan
beberapa “jurus” pola belajar dengan membawa pendekatan teori tertentu
sebagai daya tariknya. Sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai
dengan apa yang dijanjikannya.

• Tipe 3

Sekolah unggul ini menekan pada iklim belajar yang positif di lingkungan
sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah
tersebut (input ) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang
bermutu tinggi.
Nah timbul pertanyaan dari saya pribadi soal ujian nasional yang dilaksanakan
kemarin, apakah memang benar evaluasi tersebut mampu menunjukkan
kemampuan anak secara terukur dan mampu menunjukkan prestasinya
tersebut?

Karena sekolah bisa dikatakan unggul dalam pencapaiannya. Ada beberapa


faktor yang harus dicapai bila sekolah tersebut bisa dikategorikan sekolah
unggul:

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional

Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman


yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah yang maju
namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah.

Penelitian Standfield, dkk (1987) selama 20 bulan di Sekolah Dasar Garvin


Missouri dan Gibbon (1986) di sekolah-sekolah negeri di Ohio selama tahun
ajaran 1982/1983, keduanya menemukan bahwa peran kepala sekolah yang
efektif dan profesional mampu mengangkat nama sekolah mereka sehingga
mampu memperbaiki prestasi akademik mereka.

2. Guru-guru yang tangguh dan profesional

Guru merupakan ujung tombak kegiatan sekolah karena berhadapan langsung


dengan siswa. Guru yang profesional mampu mewujudkan harapan-harapan
orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari di dalam kelas.

3. Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas

Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan sekolah.
Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan dilaksanakan secara bersama
oleh setiap elemen sekolah.

4. Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran


Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas
mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, di bawah pohon atau
di dalam gerbong kereta api -siapa yang sudah baca Toto Chan?- Yang jelas
lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang dapat memberikan
dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa

5. Jaringan organisasi yang baik

Jelas, organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan
menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus
berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum
Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan
kenyataan yang dialami guru di kelas.

6. Kurikulum yang jelas

Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang sentralistik dimana Diknas


membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan hanya memuat
20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan mengajar guru
dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga sentralistik
menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan budayanya.

Ada baiknya kemampuan membuat dan mengembangkan kurikulum disesuaikan


di tiap daerah bahkan sekolah. Pusat hanya membuat kisi-kisi materi yang akan
diujikan secara nasional. Sedang pada pelaksanaan pembelajaran diserahkan
kepada daerah dan tiap sekolah menyusun kurikulum dan target pencapaian
pembelajaran sendiri. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap
daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya.
Seperti misalnya sekolah di Kalimantan memiliki corak dan target pencapaian
mampu mengolah hasil hutan dan tambang juga potensi seni dan budaya
mampu dihasilkan sekolah-sekolah di Bali.
7. Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui
apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai

Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentivikasi dan dapat
terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang
diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.

8. Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.

Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam


kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan
pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses
yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah
sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam
mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin
sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah
Pada akhirnya sekolah unggulan adalah program bersama seluruh masyarakat,
yang tidak hanya dibebankan kepada pemerintah, sekolah dan orang tua secara
perorangan. Namun menjadi tanggung jawab bersama dalam peningkatan SDM
Indonesia.
Pustaka:
Characteristics of Effective Schools; CT Council of P&C Associations
(http://www.schoolparents.canberra.net.au/effective_schools)

EFFECTIVE SCHOOLS RESEARCH AND THE ROLE OF PROFESSIONAL


LEARNING COMMUNITIES; Terry McLaughlin, Assistant Superintendent,
Student Services San Bernardino County Superintendent of Schools
(http://www.fcoe.k12.ca.us/eduscrvc/spec_ed_docs%5CEffective%20Schools
%2010-04.ppt)

www.wordpress.com//Sekolah Unggulan « Teknologi Pendidikan.htm


Pengertian Self Efficacy

Menurut Bandura self Efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang


bahwa ia dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang
positif (Santrock, 2001). Sedangkan menurut Wilhite (1990) dalam tesis yang
berjudul Goal Orientantion, Self Efficacy dan Prestasi Belajar pada Siswa
Peserta dan Non Peserta Program Pengajaran Intensif di Sekolah oleh Retno
Wulansari tahun 2001, self efficacy adalah suatu keadaan dimana seseorang
yakin dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari usaha yang telah
dilakukan.

Menurut Dale Schunk self efficacy mempengaruhi siswa dalam memilih


kegiatannya. Siswa dengan self efficacy yang rendah mungkin menghindari
pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang,
sedangkan siswa dengan self efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang
besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

II.1.B Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Bandura (1997) dalam Tesis yang berjudul Goal Orientantion,


Self Efficacy dan Prestasi Belajar pada Siswa Peserta dan Non Peserta Program
Pengajaran Intensif di Sekolah oleh Retno Wulansari tahun 2001, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi self efficacy yaitu:

a. Pengalaman Keberhasilan (mastery experiences)

Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self efficacy


yang dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan self
efficacynya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang seseorang lebih
banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa
pengaruh terhadap peningkatan self efficacy. Akan tetapi, jika keberhasilan
tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil
perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan
self efficacynya.

b. Pengalaman Orang Lain (vicarious experiences)

Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan


individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self
efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self efficacy tersebut
didapat melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang
kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong
seseorang untuk melakukan modeling. Namun self efficacy yang didapat tidak
akan terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau
berbeda dengan model.

c. Persuasi Sosial (Social Persuation)

Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh


seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang
bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

d. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional states)

Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika


melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya
seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang
tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau
gangguan somatic lainnya. Self efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat stress dan kecemasan sebaliknya self efficacy yang rendah ditandai oleh
tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.
II.1 C Manfaat Self Efficacy

Sebagaimana dikatakan dalam tesis yang berjudul Goal Orientantion, Self


Efficacy dan Prestasi Belajar pada Siswa Peserta dan Non Peserta Program
Pengajaran Intensif di Sekolah oleh Retno Wulansari tahun 2001, bahwa ada
beberapa fungsi dari self efficacy yaitu :

a. Pilihan perilaku

Dengan adanya self efficacy yang dimiliki, individu akan menetapkan


tindakan apa yang akan ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk
mencapai tujuan yang diiinginkannya.

b. Pilihan karir

Self efficacy merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap


pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan
tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan memilih karir
tesebut.
c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan pada suatu tugas

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi biasanya akan


berusaha keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam
mengerjakan suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan
prasyarat. Sedangkan individu yang mempunyai self efficacy yang rendah
akan terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah
menyerah bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.

d. Kualitas usaha

Penggunaan strategi dalam memproses suatu tugas secara lebih


mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar memiliki hubungan yang
erat dengan self efficacy yang tinggi. Suatu penelitian dari Pintrich dan De
Groot menemukan bahwa siswa yang memiliki self efficacy tinggi
cenderung akan memperlihatkan penggunaan kognitif dan strategi belajar
yang lebih bervariasi.

Sebuah penelitian telah menemukan bahwa ada hubungan yang erat


antara self efficacy dan orientasi sasaran (goal orientasi). Self efficacy dan
achievement siswa meningkat saat mereka menetapkan tujuan yang
spesifik, untuk jangka pendek, dan menantang. Meminta siswa untuk
menetapkan tujuan jangka panjang adalah hal yang baik seperti: “Saya
ingin malanjutkan ke perguruan tinggi”, tetapi akan sangat lebih baik kalau
mereka juga membuat tujuan jangka pendek tentang apa yang harus
dilakukan seperti: “Saya harus mendapatka nilai A untuk tes matematika
yang akan datang”.

II.I.D Pengukuran Self Efficacy

Menurut Bandura (1977) sebagaimana dikatakan dalam tesis yang


berjudul Goal Orientantion, Self Efficacy dan Prestasi Belajar pada Siswa
Peserta dan Non Peserta Program Pengajaran Intensif di Sekolah oleh
Retno Wulansari tahun 2001, pengukuran self efficacy yang dimilki
seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu:

a. Magnitude, yaitu suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau


tindakan yang dapat ia lakukan

b. Strength, yaitu suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang
yang dapat ia wujudkan dalam meraih performa tertentu.

c. Generality, diartikan sebagai keleluasaan dari bentuk self efficacy yang


dimiliki seseorang untuk digunakan dalam situasi lain yang berbeda.
II.1.E Strategi untuk Meningkatkan Self Efficacy

Untuk meningkatkan self efficacy siswa, ada beberapa strategi


yang dapat kita lakukan (Stipek, 1996) yaitu :

a. Mengajarkan siswa suatu strategi khusus sehingga dapat


meningkatkan kemampuannya untuk fokus pada tugas-tugasnya.

b. Memandu siswa dalam menetapkan tujuan, khususnya dalam membuat


tujuan jangka pendek setelah mereka mebuat tujuan jangka panjang.

c.Memberikan reward untuk performa siswa


d. Mengkombinasikan strategi training dengan menekankan pada tujuan
dan memberi feedback pada siswa tentang hasil pembelajarannya.

e. Memberikan support atau dukungan pada siswa. Dukungan yang positif


dapat berasal dari guru seperti pernyataan “kamu dapat melakukan ini”,
orang tua dan peers.

f. Meyakinkan bahwa siswa tidak terlalu aroused dan cemas karena hal itu
justru akan menurunkan self efficacy siswa.
g. Menyediakan siswa model yang bersifat positif seperti adult dan peer.
Karakteristik tertentu dari model dapat meningkatkan self efficacy siswa.
Modelling efektif untuk meningkatkan self efficacy khususnya ketika siswa
mengobservasi keberhasilan teman peer nya yang sebenarnya
mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka.

II.2 Motivasi

II.2.A Pengertian dan Manfaat Motivasi

Motivasi adalah keadaan internal yang menyebabkan kita


bertindak, mendorong kita pada arah tertentu, dan menjaga kita tetap
bekerja pada aktivitas tertentu (Elliott dkk, 2000). Motivasi merupakan
konstruk psikologi penting yang mempengaruhi pembelajaran dan
performa dalam empat cara yaiti :

a. Motivasi meningkatkan energi individu dan level aktivitasnya (Pintrich,


Marx, & Boyle, 1993)
b. Motivasi mengarahkan individu menuju tujuan tertentu ( Eclcles &
Wigfield, 1985)
c. Motivasi menaikkan inisiatif dari aktivitas tertentu dan ketekunan dalam
aktivitas tersebut (Stipek, 1998)
d. Motivasi mempengaruhi strategi pembelajaran dan proses kognitif dari
usaha seseorang (Dweck & Elliot, 1983).

Aspek lain yang sering dibicarakan adalah mengenai motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik atau Motivasi orientasi internal berarti bahwa
siswa menunjukkan hasrat untuk belajar tanpa kebutuhan dorongan dari
luar dirnya. Apabila respon siswa merujuk pada dorongan dari luar maka
dikatakan bahwa ia memiliki motivasi ekstrinsik. Tujuan jangka panjang
yang diinginkan oleh kebanyakan orang tua dan pendidik adalah melihat
siswa mengembangkan dirinya sehingga memiliki motivasi intrinsik dalam
belajar.

Ada beberapa perspektif dari motivasi, diantaranya adalah perspektif


behavioral. Perspektif ini menekankan tentang pentingnya motivasi
ekstrinsik dalam achievement. Menurut perspektif ini, rewards dan
punishment eksternal merupakan kunci yang menentukan motivasi siswa.
Hal itu disebabkan karena insentif merupakan suatu stimulus atau event
baik positif maupun negatif yang dapat memotivasi tingkah laku siswa.
II.2.B Teori-teori motivasi

1. Hierarki Kebutuhan Maslow

Konsep paling terkenal dari Abraham Maslow (1987) adalah self-


actualization, yang berarti bahwa kita menggunakan kemampuan
kita sampai batas akhir potensi kita. Apabila kita dapat meyakinkan
siswa bahwa mereka akan dan dapat memenuhi janji mereka,
maka saat itu mereka sedang berada pada jalur menuju self
actualization. Self actualization merupakan konsep pertumbuhan,
siswa bergerak menuju tujuan setelah memenuhi kebutuhan
dasarnya. Pertumbuhan menuju self actualization mensyaratkan
kepuasan akan hierarki kebutuhan. Lima dasar kebutuhan dalam
teori hierarki kebutuhan Maslow adalah :

1. Kebutuhan fisiologis seperti lapar, tidur dan lain-lain. Sebagai


contoh, siswa yang tidak sarapan sebelum kegiatan bealjar
mengajar sulit untuk berkonsentrasi di kelas
2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu bebas dari rasa takut dan
kecemasan (T) tinggi.
3. Kebutuhan akan rasa cinta dan kepemilikan, merujuk pada
kebutuhan akan keluarga dan teman.
4. Kebutuhan akan harga diri, mencakup reaksi orang lain
terhadap diri kita sebagai individu dan pandanagn kita terhadap
diri sendiri.
5. Kebutuhan akan self actualization

2. Weiner and Attributions About Sucess or Failure.


Attributions theory didasarkan pada tiga asumsi dasar (Petri,
1991) yaitu :
a. Ability (kemampuan) : Atribusi terhadap kesuksesan dan
kegagalan memiliki implikasi penting dalam mengajar
sejak asumsi siswa tentang kemampuan mereka
berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Ketika siswa
memiliki sejarah kegagalan, mereka sering
mengasumsikan bahwa mereka memang kurang
mampu. Studii Schunk (1989) tentang hubungan antara
self efficacy dan pembelajaran, melaporkan bahwa siswa
yang memasuki ruangan kelas dengan kemampuan dan
pengalaman yang mempengaruhi self-efficacy mereka
terhadap initial learning. Ketika berhasil, sense siswa
terhadap self-efficacy meningkat dan pada gilirannya
akan meningkatkan motivasi
b. Effort (usaha) : Weiner (1990b) menemukan bahwa
siswa biasanya tidak mengetahui tentang bagaimana
sulitnya mereka berusaha untuk sukses. Siswa
mengetahui usaha mereka dengan cara mencari tahu
sebaik apa mereka dalam tugas partikular.
c. Luck : Siswa yang memiliki kepercayaan yang rendah
terhadap atribut kemampuan mereka, mereka akan
menganggap kesuksesan sebagai hasil dari
keberuntungan
d. Task Difficulty : Biasanya dinilai dariperforma yang lain
pada tugas tersebut. Apabila banyak yang berhasil,
maka tugas dirasa mudah dan sebaliknya.

3. Operant Conditioning oleh Skinner


Merujuk pada B. F. Skinner (1971), tingkah laku dibentuk dan
dipelihara oleh konsekuensinya. Konsekuensi dari tingkah laku
sebelumnya mempengaruhi siswa. Tidak ada komponen motivasi
internal atau motivasi intrinsik secara mayor dalam proses tersebut.
Apabila siswa mengumpulkan reinforcement untuk tingkah laku
tertentu, mereka cenderung mengulangnya disertai kekuatan.
Apabila tidak, siswa cenderung kehilangan minat dan performa
mereka memburuk. Hal ini membuktikan bahwa positive
reinforcement merupakan jawaban paling tepat. Siswa diberikan
reward ketika memberikan respon yang tepat dan tidak dihukum
ketika memberikan respon yang tidak tepat. Siswa tersebut akan
merasa bebas dan senang ketika berada di dalam dan di luar
situasi belajar mengajar karena mereka telah menciptakan pola
tingkah laku yan menghasilkan kesuksesan, hubungan yang
menyenangkan dengan orang lain, dan hasil yang pantas diterima.

Skinner menyatakan bahwa memberitahu siswa bahwa mereka


tidak mengetahui sesuatu tidak memberikan motivasi sedikitpun
kepada mereka. Sebaliknya, memberikan materi dalam jumlah kecil
dengan segera memberikan positive reinforcement kepada mereka.
Metode Reinforcement lebih tepat digunakan ketika siswanya
mengalami kecemasan tinggi mengenai pembelajaran, motivasi
rendah, atau memiliki sejarah kegagalan akademis.

II.2.C Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Siswa

Beberapa hal yang mempengaruhi motivasi siswa adalah :

1. Kecemasan

Kecemasan adalah sensasi tidak menyenangkan yang sering


dialami sebagai perasaan kekhawatiran dan iritabilitas umum yang
disertai restlessness, fatigue, dan bermacam-macam simptom
somatis seperti sakit kepala dan sakit perut (Chess & Hassibi,
1978, p. 241).
Sejak perhatian kita secara primer mengacu pada. kecemasan, kita
harus menyadari bahwa motivasi intens dan ekstrim yang
menghasilkan kecemasan tinggi memiliki efek negatif pada
performa. Motivasi sedang merupakan tingkat yang diinginkan
dalam mempelajari tugas kompleks. Yorkes-Dodson law adalah
prinsip yang menyatakan bahwa motivasi ideal akan menurun
secara intens ketika kesulitan tugas meningkat.

2. Rasa keingintahuan (curiousity) dan minat

Tingkah laku curious sering digambarkan dengan istilah lain seperti


exploratory, manipulative, atau aktif yang kurang lebih memiliki arti
yang sama dengan tingkah laku curious itu. Menurut Loewenstein
(1994), curiousity adalah hal kognitif berdasarkan emosi yang
muncul ketika siswa menyadari bahwa ada diskrepansi atau konflik
antara apa yang ia percayai benar tentang dunia dan apa yang
sebenarnya terjadi.
Minat kurang lebih sama dan berkaitan dengan curiousity. Minat
adalah karakteristik yang dipertahankan yang diekspresikan oleh
hubungan antara belajar dan aktivitas atau objek partikular (Deci,
1992).

3. Locus of Control

Locus of control adalah penyebab dari suatu tingkah laku,


beberapa orang mempercayai suatu hal disebabkan oleh sesuatu
yang ada dalam diri mereka, ada pula yang mempercayai hal itu
akibat sesuatu yang ada di luar diri mereka. Individu yang
mengatribusikan penyebab tingkah laku adalah factor-faktor di luar
diri mereka disebut individu dengan locus of control external, dan
sebaliknya apabila berasal dari dalam diri sendiri disebut locus of
control internal .

4. Learned Helplessness

Learned helplessness adalah reaksi beberapa individu yang


berupa frustasi dan secara mudah menyerah setelah kegagalan
yang berulang-ulang (Seligman, 1975). Tiga komponen dari
learned helplessness memiliki kegunaan particular untuk kelas
yaitu :

a. Kegagalan untuk memulai tindakan berarti bahwa siswa yang


memiliki pengalaman learned helplessness cenderung untuk
tidak mencoba mempelajari materi baru.
b. Kegagalan dalam belajar berarti bahwa walaupun arah baru
diberikan kepada siswa tersebut, mereka tidak memepelajari
apapun dari hal itu.
c. Masalah emosional sepertinya menyertai learned helplessness.
Frustrasi, depresi dan rasa tidak kompeten muncul secara
berkala.

II.2.D Strategi untuk Meningkatkan Motivasi

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan


motivasi siswa, yaitu:

a. menyediakan model yang kompeten yang dapat memotivasi mereka untuk


belajar.
b. Menciptakan atmosfer yang menantang dan tingkat harapan yang tinggi
c. Mengkomunukasikan pada siSwa bahwa mereka akan menerima
dukungan akademik dan emosional.
d. Mendorong motivasi intrinsik siswa untuk belajar
e. Bekerja sama dengan siswa untuk membantu mereka menetapkan tujuan
dan rencana serta memonitor perkembangannya
f. Menyeleksi tugas-tugas pembelajaran yang merangsang ketertarikan dan
keingintahuan siswa.
g. Menggunakan teknologi secara efektif.

II.3 Self Esteem

Self esteem merupakan evaluasi secara menyeluruh dari dimensi diri. Self
esteem juga mengacu pada harga diri atau self image dan merefleksikan
kepercayaan diri serta kepuasan individu terhadap diri mereka.
Sebuah penelitian menemukan bahwa setidaknya ada 4 strategi untuk
meningkatkan self esteem siswa, yaitu:

a. Mengidentifikasi penyebab rendahnya self esteem dan area-area


kompeten dalam diri

b. Memberikan dukungan sosial dan emosional

Roger mengatakan bahwa penyebab utama individu mempunyai self esteem


yang rendah adalah karena mereka tidak diberikan dukungan sosial dan
emosional yang cukup. Dukungan sosial dan emosional dapat membuat
suatu perubahan besar dalam membantu siswa untuk menilai lebih diri
mereka.
c. Membantu siswa untuk berprestasi.

Prestasi dapat meningkatkan self esteem siswa dan Galskin meningkatkan


self esteem siswa dengan cara meningkatkan kemampuan akademik mereka.

d. Mengembangkan kemampuan coping skill siswa. Saat siswa menghadapi


suatu masalah dan mengatasinya, bukan nya menghindari, maka hal itu akan
meningkatkan self esteem mereka.

II.4 MODELING

Proses belajar dengan modeling meliputi observasi terhadap pola-pola


tingkah laku, yang kemudian diikuti dengan perfoma atau tingkah laku yang
serupa. Model yang diobservasi adalah seseorang atau representasi dari
sebuah pola respon (Wittig, 1981:51).
Beberapa nama lain dari modeling yaitu:

1. Obsevational learning

Pembalajaran ini ditekankan pada atensi yang dilakukan observer terhadap


pola tingkah laku yang dilakukan oleh model.
2. Social learning
Pembelajaran ini ditekankan pada hubungan interpersonal yang terjadi antara
observer dengan model.
3. Vicarious learning
Pembelajaran ini ditekankan pada konsekuensi yang terjadi pada model yang
diobservasi oleh observer, sehingga membantu observer untuk menentukan
apakah tingkah laku diikuti atau tidak.
Pembelajaran dengan modeling terdiri dari empat bantuk atau jenis, yaitu:
1. Berdasarkan bentuk materi
a. Sensory modeling
Sensory modeling adalah proses pembelajaran modeling dimana materi
diberikan secara sensoris.
b. Verbal modeling
Verbal modeling adalah proses pembelajaran modeling dimana materi
diberikan secara verbal atau deskriptif.
2. Berdasarkan kontak antara observer dengan model
a. Live modeling
Live modeling adalah proses pembelajaran modeling dimana model hadir
dalam situasi yang bersamaan dengan observer atau terjadi kontak langsung
antara model dengan observer.
b. Symbolic modeling
Symbolic modeling adalah proses pembelajaran modeling dimana model
tidak hadir dalam situasi yang bersamaan dengan observer atau tidak terjadi
kontak antara model dengan observer.

Karakteristik model mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap


keefektifan pembelajaran dengan modeling. Beberapa karakteristik model
tersebut adalah:
1. Model similarity
Bukti penelitian mengindikasikan bahwa semakin mirip karakteristik yang
dimiliki model dengan observer, semakin memungkinkan terjadinya
pembelajaran dengan modeling. Karakteristik seperti jenis kelamin, usia, latar
belakang, dan hobi dapat digunakan untuk menentukan kesamaan.
2. Model status
Penelitian juga mengindikasikan bahwa model dengan status yang lebih
tinggi dari observer lebih memungkinkan untuk diikuti atau observer akan
lebih mengimitasikan tingkah laku subjek tersebut. Status dapat merupakan
hasil dari posisi dan peran yang dimiliki model. Posisi mengacu pada jabatan
di pekerjaan atau fungsi yang dimiliki model berdasarkan jabatannya
tersebut. Sedangkan peran mengacu pada tingkah laku aktual dari model
dalam di dalam posisinya.
3. Model standards
Observer akan cenderung mengikuti tingkah laku model sesuai dengan
standar tingkah laku atau tingkat keberhasilan tingkah laku yang dimiliki oleh
model. Beberapa modeling mungkin mencakup standar dari self-
reinforcement atau standar moral.

Teori sosial kognitif dari Bandura mempunyai relevansi untuk motivasi dan
self-directed learning. Siswa yang datang ke sekolah biasanya akan
cenderung mengikuti pengaruh yang kuat di sekolah dengan tidak
memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, tapi dengan memberikan
contoh untuk apa yang harus diikuti oleh mereka. Guru harus menjadi model
sebanyak mungkin bagi siswa karena tingkah laku mereka dapat memotivasi
siswa dengan kuat untuk tingkah laku siswa.

II.5 Persuasi
Persuasi adalah proses menciptakan state of identification antara sumber dan
obyek penerima (receiver) yang dihasilkan dari penggunaan symbol-simbol
verbal dan atau visual (Larson, 2004). Proses persuasi meliputi 5 tahap
berikut:
1. Atensi (Attension). Jika obyek persuasi (persuadee) tidak menaruh
perhatian pada pesan yang akan disampaikan, maka persuasi tidak akan
berhasil dilakukan.
2. Komprehensi (Comprehension). Jika persuadee tidak mengerti atau
memahami pesan yang disampaikan, maka persuasi tidak akan berhasil
dilakukan.
3. Penerimaan (Acceptance). Jika persuadee menolak isi dari pesan tersebut
setelah memperhatikan dan memahaminya, maka persuasi tidak akan
berhasil dilakukan.
4. Retensi (Retension). Persuadee harus menunda tingkah lakunya untuk
beberapa waktu setelah ketiga tahap di atas dilakukan. Mereka harus
mengingat kembali pesannya sampai waktunya tepat untuk melakukan
tingkah laku seperti yang diharapkan.
5. Tindakan (Action). Orang bertingkah laku secara logis dan konsisten
dengan argumen orang yang mempersuasi (persuader).
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi diterima atau ditolaknya
sebuah pesan persuasi:
1. Efek dari sumber persuasi (Source Effect). Faktor yang mempengaruhi
penerimaan persuasi terdiri dari 2 hal:
a. Kredibilitas Keterpercayaan dari persuader
b. Keatraktifan dari persuader terhadap persuadee
2. Efek Pesan (Message effects).Menurut seorang Psikolog yang bernama F.
H. Lund (1925), bukti-bukti yang dianggap paling penting harus dihadirkan di
awal (primacy effect) dibandingkan di akhir (Recency effect). Motivasi juga
memainkan peranan penting dalam memproses sebuah informasi. Urutan
dari isi pesan menimbulkan sedikit perbedaan pada pesan yang
membutuhkan kognisi yang tinggi untuk memprosesnya. Ada perbedaan
substansi pada pesan yang diberikan pada orang-orang yang tidak
termotivasi untuk memproses informasi. Sebuah studi menyatakan bahwa
opini seseorang dapat berhasil diubah/dipersuasi jika informasi yang
diinginkan oleh persuadee dihadirkan lebih dahulu, sebelum informasi yang
tidak terlalu diinginkan.
Seseorang membutuhkan alasan yang kuat sebelum memutuskan untuk
mengubah sikap, kepercayaan, dan keputusannya sesuai dengan pesan
yang disampaikan melalui proses persuasi. Walaupun persuader adalah
seseorang yang sangat berkompeten, tetapi orang masih membutuhkan
suatu bukti tambahan untuk meyakinkan keputusan mereka untuk berubah.
Bukti yang dapat diberikan kepada persuadee dapat berupa:
1. Bukti statistik. Bukti statistic dapat mempersuasi dengan baik ketika
tampilannya sederhana dan mudah untuk dimengerti.
2. Naratif dan anekdot. Naratif membuat pesan yang disampaikan mudah
untuk diingat.
3. Testimoni. Orang akan lebih memperhatikan seorang persuader yang
hanya menggunakan perasaan dan opininya sendiri. Hal inilah yang
mendasari mengapa testimony.dari seseorang akan sangat berharga. Tentu
saja, persuasi akan lebih berhasil jika menghadirkan orang yang dianggap
berkompeten untuk menceritakan prestasi seseorang, produk atau ide
tertentu.
4. Bukti visual. Demonstrasi aktual dari produk tidak selalu mungkin
dilakukan, tetapi persuader dapat mengembangkan berbagai macam bukti
visual (seperti grafik ) untuk membantu persuadee mengerti permasalahan.
Grafik haruslah simple karena jika terlalu kompleks akan membingungkan.
Selain itu bukti visual haruslah menonjol, misalnya dapat menggunakan
gambar.
5. Perbandingan dan Kontras. Komparasi dapat membuat persuadee melihat
perbedaan antara 2 sisi dari masalah atau antara 2 kasus.
6. Analogi, penggunaan analogi dapat efektif, tetapi juga beresiko. Oleh
karena itu, pemilihan analogi haruslah hati-hati.
Social Learning Theory
Bandura menyatakan bahwa respon seseorang dalam menyikapi interaksi
antara perasaanya (internal state) dan Social reinforcement yang tercermin
dalam tingkah lakunya terhadap orang lain. Reinfocers berasal dari dua
sumber. Pertama adalah informasi eksternal, baik yang berasal dari
pengalaman sendiri maupun orang lain, dan yang kedua adalah reinfocer
yang dikembangkan subyek sendiri di dalam dirinya (internal), contohnya
adalah konsep diri.
Salah satu sumber reinfocers eksternal menurut Bandura adalah berasal dari
Role model, seperti figure olahragawan, pebisnis yang sukses, pemimpin
spiritual, dan lain-lain. Beberapa model ini mempengaruhi kita melalui media
massa dan dapat mempersuasi banyak orang untuk berperilaku sama
dengan apa yang mereka lakukan .

II.6 Perbedaan Sosioekonomi


Sosioeconomic Status (SES) adalah kedudukan umum social dan ekonomi
seseorang dalam masyarakat (meliputi pendapatan keluarga, pekerjaan dan
level pendidikan). SES sebuah keluarga (apakah itu SES tinggi, sedang atau
rendah) memberikan arti kedudukan mereka dalam masyarakat atau
seberapa fleksibel mereka dalam kehidupan dan apa yang mereka beli.
Seberapa besar pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan politik,
kesempatan pendidikan yang dapat mereka tawarkan pada anak mereka,
dan lain-lain.
Siswa dengan SES rendah ada bermacam-maca kelompok (Sidel, 1996).
Diantaranya ada yang berasal dari keluarga yang mampu memenuhi
kebutuhan dasar mereka (seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal) tapi
tidak mempunyai uang untuk bermewah-mewah. Kelompok yang lain bahkan
hidup di kehidupan miskin yang sangat ekstrim, dan kelompok ini mempunyai
resiko yang lebih untuk mengalami kegagalan akademik dan dalam
kebutuhan akan perhatian dan dukungan (support).
Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi dalam prestasi yang rendah
dari siswa dengan SES rendah. Siswa yang hanya memiliki 1-2 faktor yang
mempengaruhinya masih bisa berprestasi dengan baik di sekolah. Namun
siswa yang menghadapi banyak faktor yang mempengaruhi SES-nya
mempunyai resiko yang besar untuk mengalami kegagalan akademik. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
1. poor nutrition. Nutirisi yang buruk dapat mempengaruhi prestasi sekolah
baik secara langsung maupun tidak langsung (Byrnes, 2001;
Sigman&Whaley, 1998; R. A. Thompson&Nelson, 2001). Pengajar
seharusnya dapat mengambil langkah-langkah penting untuk memastikan
para siswa tersebut terpenuhi gizinya. Contohnya pengajar harus
memastikan bahwa semua siswa bisa mendapatkan makanan bergizi secara
murah atau gratis dari program yang telah diselenggarakan oleh sekolah
(Ormrod, 2006).
2. inadequate housing (Tempat tinggal yang kurang memadai)
3. emotion stress (Tekanan emosional, seperti depresi, cemas, dll)
4. gaps in background knowledge (jurang perbedaan tentang pengetahuan
awal)
5. less parental involvement in school activities and homework (Kurangnya
keikutsertaan orangtua dalam aktivitas sekolah dan pekerjaan rumah)
6. lower-quality school (Kualitas sekolah yang rendah), etc.(Omrod, 2006)
Penelitian memberikan guru alasan untuk optimis kepada siswa dengan latar
belakang pendapatan yang rendah mampu berprestasi tinggi jika guru juga
berkomitmen untuk membantu mereka dan memberikan mereka program
akademik yang kuat dan mendukung usaha belajar mereka.
Konsep self efficacy yang diharapkan oleh bandura (snow, 1992) menyatakan
bahwa prasyrat untk berhasil adalah mengkombinasikan kemampuan dengan
keyakinan dalam diri. Keyakinan disini menyatakan besarny keyakinan yang
dimiliki seseorang untuk melaksanakan yang dibutuhkan secara berhasil.
Semakin besar keyakinan yang dimiliki, semakin besar kemungkinanny untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Kemampuan merupakan perkiraan individu
mengenai kemampuan yang dimilikinya berdasarkan keberhasilkannya pada
waktu2 lampau (sense of mastery). Semakin sering mhssw mengalami
keberhasilan dalam setiap hal yang dilakukan, semakin baik perkiraan tersebut.
SE mempengaruhi penyeleksian dan ketekunan dalam melakukan sesuatu
(liebert&spiegler, 1982). Pada tk penyelesaiannya, se yg dimiliki berpengaruh thd
pemilihan kegiatan. Mksdnya adalah individu cenderung u memilih situasi yang
diyakini dapt diatasi drpd situasi yg sifatnya mengncm kemampuannya. Individu
tdk akan memilih kegiatan yang dpt menurunkan se yg dimiliki.
Se tdk hanya mempengaruhipemilihan situasi dan kegiatan yang akan dilakukan,
tetapi melalui harapan akan keberhasilan atas situasi yang dihadapi dapat
berpengaruh terhadp usaha yang dilakukan. Harapan akan keberhasilan
menentukan seberapa besar usaha yang diberikan dan seberapa akan bertahan
dalam menghadapi rintangan dan pengalaman yang menyakitkan. Semkn kuat
se yang dimiliki, semakin aktif usaha yang dilakukan.
Individu dengan se yang tinggi akan mentapkan tujuan yang lebih tinggi dan
tidak gentar menghadapi kegagalan. Kegagalan dianggap sebagai sebagi
kurangnya usahayang dilakukan, oleh krn itu mereka dapat bertahan lebih lama
dalam menghadapi kesulitan. Indvidu yang memiliki se yang rendah, akan
menghindari semua tugas dan menyerah dgn mudah ketika masalah
muncul.mereka cenderung menganggap kegagalan sebagai kurangnya
kemampuan yang dimiliki (Bandura, 1993,1997; Zimmerman, 1995)
Berdasarkan uraian di atas, berarti mahasiswa yang memiliki self eff yang tinggi
akanmelakukan usaha yang lebih dan memiliki daya tahan terhadap
permasalahn yang timbul. Usaha dan daya tahan ini dapat membantu
mahasiswa untuk melakukan penyesuain terhadap bidang studinya. Untuk dapat
melakukan penyesuaian terhadp bdg studi, mhasswa harusmelakukan semua
tuntutan akademis. Tuntutan akademis dapat dipenuhi oleh mhsswa apabila mau
berusaha dan tidak cepat menyerah ketika menghadapisuatu masalah.
Kriteria pertama dari mahasiswa yg berhasil memenuhi tuntutan akademis
adalah mendapatkan pengetahuan dri ilmu yang dipelajari. Pengetahuan yang
diperolh tergantung pada hasil ujian yang diikuti mahasiswa. Ketika seseorang
mau berusaha untuk mempelajari suatu mata kuliah dgn sungguh2 maka nilai
yang diperoleh tidak akan mengecewakan dirinya. Jadi ada usaha yang adekuat
dari mhsswa yang bersangkutan. Usaha yang dilakukan tersebut menunjukkan
seseorang yang memiliki se tinggi.
Demikian pula dengan kriteria kedua, yaitu menerapkan berbagai fakta, teori,
dan prinsip yang sudah dipelajari untuk menyelesaikan setiap permasalahan
yang mngkn muncul dalam kehidupannya. Mahasiswa tidak akan biasa
menerapkan ilmu yang sudah dipelajari dengan baik apabila penguasaannya
terhadap ilmu tersebut kurang. Untuk dapat menguasai dgn baik, mahasiswa
harus belajar sungguh2 dan berusaha untuk memehami setiap teori yang
dipelajari dgn benar. Kembali diperlukan suatu usaha dan ketekunan u mencapai
kriteria ini. Ketekunan danusaha merupakan efek langsung dr keyakinan dan
kemampuan yg dimiliki mhsswa dalammelakukan sesuatu.

Untuk tergerak memperoleh nilai secara optimal,menerapkan pengetahuan,


menguasai materi pelajaran dan kelulusan,mahasiswa harus belajar dengan
sungguh2, seperti menggunakan fasilitas perpustakaan untuk mnecari bahan2
atau literatur lain yang dapat memmbantu pemahaman mereka, membaca
terlebihdahulku sebelum kuliah dan mengukang kembalui materi opelajaran yang
ddpt. Rajin membaca, atau berdiskusi dgn teman2nya. Proses motyivasi
merupakan penggerak untuk bertindak. Usaha dan ketekunan

You might also like