Professional Documents
Culture Documents
TUGA
AS AKHIIR
D
DIDAKTI
IK METO
ODIK
Oleh
Hengki W
Wijaya, S.TP
S
(Peterr Wijayaa)
BAB I
PENDAHULUAN
karya-Nya kepada peserta didik, sehingga mampu memahami dan menghayatinya, (3)
Menghasilkan manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara
bertanggungjawab serta berakhlak mulia di tengah masyarakat yang pluralistik.
Selama ini pembelajaran PAK cenderung kearah pembahasan tematik teoritik
sehingga terkesan bahwa pengajaran PAK terdiri dari materi hafalan belaka. Padahal
Pendidikan Agama Kristen berbeda sekali dengan mata pelajaran lain karena
implikasi PAK berisikan ajaran doktrin Kristen, norma dan didikan yang berfungsi
memampukan peserta didik memahami kasih dan karya Allah dalam kehidupan
sehari-hari dan membantu peserta didik mentransformasikan nilai-nilai Kristiani
dalam kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan yang lain adalah motivasi belajar yang kurang dalam
mempelajari PAK karena adanya anggapan bahwa mata pelajaran PAK hanya untuk
memenuhi syarat kelulusan saja dan berfaedah sebagai informasi tentang alkitab dan
pengenalan tentang Allah Trinitas dan karya-Nya dan tidak dapat mengubah perilaku
dan karakter anak didik sebagaimana yang diharapkan setiap orang Kristen yaitu
serupa dengan gambar-Nya. Kecenderungan diatas dipengaruhi oleh cara guru
sejarah dalam memberikan materi pelajaran PAK yang monoton dan membosankan.
Pembelajaran PAK yang didominasi metode ceramah cenderung berorientasi
kepada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang
mengaitkan yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan
Kristiani dan pergumulan hidup sehari-hari. Hal ini akan memberikan dampak yang
tidak baik bagi siswa karena siswa belajar hanya untuk ulangan atau ujian, sehingga
pelajaran PAK dirasakan tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan oleh
siswa, yang pada akhirnya tidak tercapainya tujuan PAK pada siswa khususnya siswa
SMA yang nantinya diharapakan memiliki iman Kristiani yang kuat dan berakar
dalam Kristus untuk menghadapi tantangan dan pengaruh globalisasi yang semakin
menghimpit nilai-nilai Kristus.
Perilaku belajar yang kurang produktif dan pembelajaran yang berorientasi pada
terget penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka
pendek, tetapi gagal dalam membekali anak, memecahkan persoalan dalam kehidupan
jangka panjang. Inilah yang terjadi disekolah-sekolah, jika perilaku belajar yang
4
kurang produktif dan berorientasi pembelajaran pada penguasaan materi terjadi terus
menerus maka kualitas pendidikan akan semakin merosot (Nurhadi, 2003:1)
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak-anak
belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah, belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Paradigma
pembelajaran berubah menjadi bersifat dari teacher centered menjadi student
centered. Guru sedikit menjelaskan materi sedangkan siswa berusaha membuktikan
sendiri dari eksperimen yang difasilitasi oleh guru. Guru tidak lagi menjadi subyek
utama, yang membawakan materi bahan dan menentukan jalannya pengajaran. Ia
tetap menjadi subyek. Salah satu alternatif pembelajaran yang menggunakan
paradigma tersebut adalah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and
Learning yang disingkat CTL. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu
siswa mencapai tujuannya (Tim Depdiknas, 2002:2). Dengan kata lain, guru berperan
sebagai fasilitator, mentor, bahkan bapak/ibu rohani namun bukan sebagai sumber
ilmu pengetahuan satu-satunya dalam proses belajar mengajar yaitu memberikan
fasilitas kepada siswa, berupa strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa
untuk menemukan dan mengenal pribadi Allah Trinitas dan mengalami hubungan
yang indah dengan-Nya dan siap menjadi saksi Kristus bagi sesama dan memuliakan
Tuhan dalam kehidupannya.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan 7 (tujuh)
komponen utama pembelajaran efektif yaitu konstruktivisme (constructivisme),
bertanya (Questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modelling),refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya
(authentic assessment).
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran melahirkan ide kreativitas dan
inovasi baru ini yang melibatkan siswa peserta didik untuk mengekspresikan
kasihnya kepada Allah Trinitas dan mengsyukuri karya-Nya dengan pengabdian
melalui ibadah sebelum memulai proses belajar mengajar dan bersaksi kemudian
5
masuk dalam inti pembelajaran kontekstual yang akan dibahas lebih rinci pada isi
pembahasan model pembelajaran.
Selama ini pemikiran peserta didik dan orang tua siswa menganggap Pendidikan
Agama Kristen hanyalah syarat untuk lulus dan tidak berharap bahwa anaknya dapat
pula mengalami perubahan hidup setelah mengikuti mata pelajaran PAK ini tidak
hanya dalam komunitas gereja, keluarga atau melalui kegiatan-kegiatan rohani
lainnya. Melalui inovasi baru ini diharapkan merubah pemikiran konvensional
masyarakat tentang PAK di Sekolah Dasar. Anak SD atau seumur untuk tingkatan
Sekolah Minggu difokuskan sebagai awal pendidikan dasar untuk memiliki pondasi
yang kuat dalam iman dan pengenalan awal tentang Allah Trinitas. Hal ini akan
berdampak pada generasi pelanjut visi gereja dan harapan orang tua tentang anak
terdidik dalam Tuhan dalam hal ini tidak terlepas dari peranan Roh Kudus mendidik
dan memimpin baik guru dan anak didik (Ul 6:4-9; Ef 4:6; Ams 22:6; 2 Tim 3:16).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis dengan alasan
diatas memilih judul “ Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen di Sekolah Dasar melalui Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching
And Learning).
e. Laporan kepada orang tua bukan sekedar raport akan tetapi hasil karya siswa,
laporan praktikum dll.
Untuk memahami pembelajaran kontekstual maka ada kata kunci dalam
pembelajaran kontekstual yaitu :
a. Real World Learning, mengutamakan pengalaman nyata.
b. Berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis dan kreatif serta guru mengarahkan.
c. Pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata, serta
adanya perubahan perilaku dan pembentukan manusia.
d. Siswa praktek, bukan menghafal, learning bukan teaching, pendidikan bukan
pengajaran.
e. Memecahkan masalah dan berfikir tingkat tinggi.
f. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes.
Proses pembelajaran yang sesuai dengan situasi belajar saat ini adalah konsep
pendekatan kontekstual menurut pandangan teori belajar konstruktivistik, ini lebih
sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul
melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar bermakna
terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian
hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui
tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna. Paradigma
konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut paradigma
konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah,
mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal
prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran
lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi,
hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Hal yang lebih
penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi
bertolak dari data mentah dan sumber-umber primer (bukan hanya buku teks),
menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah
pembelajaran. Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian
“menirukan” suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru
informasi yang baru disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma
konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam
7
10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan
mengerjakan tugas-tugas.
11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran
yang beragam.
Para guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan
yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan
dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua
pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang
mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru
diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan
kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan
kritis. Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa
peranan guru tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan
pandangan konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan
hanya sebagai transmiter pembelajaran. Guru sebagai fasilitator akan memiliki
konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing.
Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam
pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.
Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang
materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan
masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah
strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif,
metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
Hubungan praktek pembelajaran kontekstual dalam penerapannya dalam
lingkungan kelas PAK sangat sesuai dengan strategi PAK dalam upaya untuk fungsi
kontrol moral bagi umat/masyarakat dalam memasuki era globalisasi yang sarat
dengan kejahatan dan dosa akibat arus informasi dan kemajuan teknologi yang
sedemikian cepat dapat diakses melalui internet dan perangkat komunikasi lainnya.
PAK sebagai bagian dari pilar gereja dimana aktivitas anak didik sepertiga waktu
dihabiskan di bangku sekolah dalam sehari. Oleh karena itu, Pendidikan Agama
Kristen sangat bermanfaat bagi pertumbuhan rohani anak didik dan sebagai ketopong
keselamatn menghadapi arus globalisasi jaman yang semakin jahat.
9
i. Cita-cita siswa
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu ditanamkan. Penanaman pemilikan dan
pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari
hal yang sederhana ke yang lebih sulit (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 239-247).
2). Faktor dari luar
Faktor dari luar yaitu faktor yang mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar yang
berasal dari luar diri anak/ siswa yang belajar. Faktor ini meliputi :
a. Guru sebagi pembina siswa belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Sebagai pendidik, guru memusatkan
perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan semangat belajar
yang merupakan wujud emansipasi siswa. Sebagai pengajar, guru bertugas
mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah.
b. Prasarana dan sarana pembelajaran
Prasarana pembelajaran meliputi: gedung sekolah, ruang belajar, ruang ibadah,
lapangan olah raga, ruang kesenian, dan peralatan olahraga. Sarana pembelajaran
meliputi: buku pelajaran, buku bacaan, fasilitas laboratorium sekolah, dan berbagai
media pengajaran yang lain.
c. Kebijaksanaan penilaian
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Hasil belajar dinilai dengan ukuran-
ukuran guru, tingkat sekolah, dan tingkat nasional. Keputusan hasil belajar
merupakan puncak harapan siswa. Oleh karena itu, sekolah dan guru diharapkan
berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan hasil belajar siswa.
d. Lingkungan sosial siswa di sekolah
Siswa-siswa di sekolah membentuk suatu lingkungan pergaulan yang dikenal
dengan lingkungan sosial siswa. Dalam lingkungan tersebut, ditemukan adanya
kedudukan dan peran sehingga di dalamnya terjadi pergaulan, seperti hubungan
akrab, kerjasama, kompetisi, konflik dan perkelahian.
e. Kurikulum sekolah
Adanya perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah bagi guru dan siswa.
Bagi Guru, perlu adanya perubahan pembelajaran. Bagi siswa, perlu mempelajari
cara-cara belajar, buku pelajaran, dan sumber belajar yang baru (Dimyati dan
Mudjiono, 1999 : 247-254).
12
BAB II
URAIAN MATERI
Belajar meengandung arti bahwa siswa aktif melakukan kegiatan beelajar sesuaii
tujjuan yang diiharapkan. Di
D tingkat seekolah dasarr keberhasilaan belajar siiswa hamperr
selluruhnya terrletak pada usaha
u guru uuntuk memaahami prosess belajar sisw
wa. Menurutt
Esstiningsih (22004) pada umumnya
u pproses belajaar mengajarr terdiri atass 3 kejadiann
yaang meliputi yaitu input, proses dan ooutput siswaa setelah belaajar.
dirinya dan bergelut dengan ide-ide, sehingga proses belajar dapat mengubah otak,
perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi
pengetahuan dan keterampilan seseorang.
b. Transfer Belajar
Siswa belajar dan mengalami sendiri, bukan pemberian orang lain, pengetahuan
diperluas dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit. Siswa tahu untuk apa ia
belajar dan bagaimana ia menggunakannya.
c. Siswa sebagai pembelajar
Kecenderungan manusia untuk belajar dalam bidang tertentu, belajar dengan cepat
hal-hal baru. Strategi belajar sangat penting, karena anak dengan mudah
mempelajari sesuatu yang baru.
d. Pentingnya lingkungan belajar
Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Adapun
hal-hal yang terkait dengan lingkungan belajar adalah:
1). Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan
pengetahuan baru mereka dengan mementingkan strategi belajar daripada
hasilnya.
2). Umpan balik sangat penting bagi siswa, yang berasal dari proses
penilaian yang sebenarnya (assessment).
3). Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu
penting.
Menurut Nurhadi (2002: 10) bahwa pendekatan pembelajaran
kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu
sebagai berikut :
a. Konstruktivisme (Constructivisme)
Konstruktivisme (Constructivisme) merupakan landasan berfikir atau filosofi
pendekatan kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusi sedikit demi
sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas (sempit) dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan member makna melalui pengalaman nyata. Oleh karena itu
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
16
e. Pemodelan (Modelling)
Pemodelan PAK adalah komponen pembelajaran yang maksudnya dalam
pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru.
Model itu bisa berupa cara memainkan alat musik, cara menyanyikan lagu rohani
dalam vocal grup. Atau guru memberi contoh melakukan sesuatu misalnya
berkhotbah. Dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.
Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model, model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi
contoh temannya cara bersikap seperti teladan yang diajarkan Tuhan Yesus. Model
juga dapat didatangkan dari luar. Contoh penerapan modeling dalam kelas :
a) Guru sejarah memberi contoh bukti-bukti sejarah melalui gambar dan peta
tentang keberadaan agama Kristen.
b) Guru seni mendemonstrasikan penggunaan biola dan piano untuk mendukung
pelayanan rohani
c) Guru agama menunjukkan ilustrasi atau cerita tentang kepahlawanan Daud, dan
cerita nabi-nabi dalam alkitab.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari ataupun berfikir ke
belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan. Siswa mengendapkan apa yang
baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada akhir pembelajaran guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa :
a) Pertanyaan langsung tentang hal yang didiskusikan dan yang dijelaskan hari itu.
b) catatan atau buku jurnal di buku siswa.
c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.
d) diskusi
e) hasil karya.
g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
Kemajuan belajar siswa dinilai dari proses, bukan melulu hasil dan dengan berbagai
cara. Tes hanya salah satunya, itulah hakekat dari penilaian yang sebenarnya.
Penilaian authentic menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa,
19
penilaian tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain. Karakteristik
Authentic Assessment :
1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
2) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif.
3) Yang diukur ketrampilan dan performens, bukan mengingat fakta.
4) Berkesinambungan
5) Terintegrasi
6) Dapat digunakan sebagai feedback.
Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa PAK yaitu
melalui: proyek, PR, kuis, presentasi, demonstrasi, laporan, hasil tes tulis, karya
tulis dan perubahan karakter. Intinya dengan Authentic Assessment, pertanyaan
yang ingin dijawab adalah “apakah anak-anak belajar”, bukan “apa yang sdah
diketahui?”. Jadi siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu
dari hasil ulangan tulis.
Menurut Nurhadi (2002: 10) bahwa suatu kelas dikatakan menggunakan
pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL), jika menerapkan ketujuh komponen
belajar aktif dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak sulit.
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang
bagaimanapun keadaannya. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kelas cukup
mudah. Secara garis besar langkahnya sebagai berikut :
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri
pengetahuan dan ketrampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan ‘Masyarakat Belajar’ (belajar dengan kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
20
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian materi metode pembelajaran dan studi referensi maka dapat
disimpulkan yaitu:
1. Pengembangan model pembelajaran berbasis kontekstual memberikan dampak
positif pada potensi siswa sebagai pusat pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif
dan guru sebagai fasilitator, manager dan mentor yang dapat memotivasi belajar dan
prestasi serta kompetensi siswa dan mampu memotivasi untuk tertarik mempelajari
Pendidikan Agama Kristen.
2. Berdasarkan kajian, penelitian dan makalah yang ada maka pengembangan model
pembelajaran melalui pendekatan kontekstual menunjukkan hasil belajar yang
signifikan yang lebih baik daripada model pembelajaran konvensional baik secara
kuantitatif dan kualitatif pada siswa mata pelajaran apapun.
3. Pengembangan model pembelajaran berbasis kontekstual akan memberikan
kontribusi positif untuk peningkatan hasil belajar siswa PAK dan membantu misi
gereja untuk menghasilkan generasi penerus yang mengasihi Tuhan dan itu adalah
impian semua orang termasuk orang tua, gereja dan masyarakat.
4. Kepada guru bidang studi PAK sebaiknya mulai mengembangkan model
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dalam rangka menimbulkan motivasi
belajar PAK dan pengembangan karakter Kristiani yang nantinya akan berpengaruh
terhadap hasil belajar PAK siswa.
5. Dalam model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa diharapkan dapat
mengembangkan dan menggunakan kemampuan masing-masing dalam mengkaitkan
antara materi pelajaran PAK dengan mengamalkan dalam kehidupan nyata sehari-
hari, karena jika siswa pasif dalam pendekatan kontekstual ini proses pembelajaran
tidak akan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Setiap Firman Tuhan yang dibaca,
didengar dan dipelajari pada akhirnya harus dilaksanakan sebagai anak-anak Tuhan.
24
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I . PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Judul ............................................................................................ 1
B. Konsep Pengembangan Pembelajaran ................................................................ 4
C. Pengembangan Model Pembelajaran .................................................................. 8
26
Oleh
Hengki W
Wijaya, S.TP
S
KOLAH TINGGI
SEK T THEOLOOGIA JA
AFFRAY
MAK KASSAR
R
2010
28