You are on page 1of 19

c 



   c

Dinamika Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)


(Antara Independensi dan Intervensi Politik)
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]

Abstraksi
Hukum Islam yang dalam penerapannya selalu berhadapan dengan normativitas dan
dinamika perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia dituntut untuk dapat mencari
bentuk agar dapat mengadopsi kedua kepentingan tersebut. Dalam kaitan ini, untuk
melihat dinamikanya secara integral dengan melihat produk hukum yang dihasilkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (fatwa) selama ini. Ketidak-sinkronan pertumbuhan antara
fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-
tindakan politik terhadap upaya penegakkan fungsi hukum tersebut.[3]Realitas sejarah
perjalanan hukum islam ternyata bahwa factor social budaya telah mempunyai pengaruh
penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukum islam, baik yang berbentuk
kitab fiqh, peraturan perundangan di negeri muslim, keputusan pengadilan, maupun
fatwa-fatwa ulama. Oleh karena itu maka yang disebut hukum islam itu pada kenyataan
sebenarnya adalah produk pemikiran hukum islam yang merupakan hasil interaksi antara
ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun al-Qur¶an dan Hadis
mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding dengan
jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi
kekosongan itu maka para ulama telah menggunkan akalnya dan hasilnya adalah produk
pemikiran hukum yang ada sekarang.

Key Word : Dinamika, Pemikiran Hukum Islam, Majelis Ulama Indonesia, Politik.
A. Pendahuluan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan 26
Juli 1975. Wadah ini dicetuskan dalam Musyawarah Nasional pertama Majelis Ulama se-
Indonesia di Jakarta. [4] Kata ³Ulama´ yang berasal dari bahasa Arab ini sebagai bentuk
jamak (plural) dari kata ³alim´ secara lughat berarti ³orang-orang yang mempunyai
pengetahuan´, atau dengan kata lain, ulama adalah ahli ilmu pengetahuan.[5]
Cita-cita pendirinya merupakan wadah musyawarah para ulama, umara (pemerintah), dan
cendikiawan Muslim. Visinya, menciptakan, ³Terciptanya kondisi kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan
potensi dan partisipasi umat Islam dan umat islam (izzu al-islam wa al-muslimin).[6]
Peranan ulama dalam dinamika bangsa di Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas
sekali, baik dalam kehidupan social maupun politik. Peranan para ulama dalam gerak
dinamika bangsa Indonesia ini dapat ditunjuk dalam beberapa peran, Pertama, sebagai
pembimbing rohani bangsa. Kedua, sebagai penampung dan perumus aspirasi
masyarakat. Ketiga, sebagai pemimpin dan pengarah gerakan masyarakat.[7]
Sejak berdirinya pada tahun 1975 sampai akhir tahun 1988 Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah mengeluarkan lebih dari 39 buah fatwa.[8] Selama kurun waktu 22 tahun
(1975 s,d. 1997) MUI telah mengeluarkan sebanyak 76 fatwa. Isi fatwa itu dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori, yakni ibadah, paham keagamaan, masalah social
kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penerapan status halal makanan
dan minuman.[9] Tetapi dalam kenyataan bermasyarakat hasil produk pemikiran hukum
islam Majelis Ulama Indonesia yang berbentuk sebuah fatwa, seringkali fatwa-fatwa
MUI itu menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Bahkan, menimbulkan
pertanyaan seperti: seberapa jauh fatwa-fatwa itu absah dari segi hukum islam dan factor-
faktor social politik ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu. Untuk melihat
realitas tersebut kita memerlukan pendekatan secara tekstual dan kontekstual.
Fatwa Sebagai Produk Hasil Pemikiran Hukum Islam (Ijtihad).

Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia selama ini sebagai hasil Ijtihad para ulama
Indonesia. Secara histories, munculnya teori ijtihad dalam islam adalah karena adanya
persentuhan antara ajaran Islam di satu pihak dan tuntutan realitas kehidupan manusia di
lain pihak. Teori ijtihad dalam hukum Islam menimbulkan dan merupakan permulaan
epistemologis hukum islam karena menyangkut persoalan wahyu dan akal.[10] Dengan
demikian, ijtihad sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khazanah Islam,
merupakan aktivitas daya nalar yang dilakukan para fuqaha¶ (para mujtahidin) dalam
menggali hukum Islam. Kegiatan ijtihad telah dimulai sejak masa Rasulullah dan akan
terus berlanjut sesuai dengan dinamika zaman.[11]
Ijtihad mempunyai pengertian upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi
untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha
seseorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuan menggali hukum yang
bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.[12]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh
juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam
sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu
persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui
tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali,
diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. Basis teori ini secara sistematis dan rinci
dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi.
Kajian utama dalam teori maqasid al-syari¶ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang
diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat.[13]Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan,
tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang
dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan
hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu¶amalah.
Untuk melihat tingkat keabsahan fatwa-fatwa MUI sebagai bentuk Ijtihad dari segi syar¶i
diperlukan pengamatan ushul al-fiqh terhadap proses perumusan fatwa-fatwa tersebut.
Secara teoritis MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran suatu fatwa ialah
setelah meneliti secara tuntas dasar-dasar atau argumen-argumen dari al-Qur¶an, hadis,
ijma¶, dan qiyas, dengan urutan seperti itu. Di dalam kenyataan prosedur itu tidak diikuti
secara konsisten. Ada fatwa yang langsung saja melihat hadis tanpa meninjau argumen
al-Qur¶an terlebih dahulu, ada pula yang langsung saja mengutip teks sesuatu kitab fiqh
tanpa melihat tiga sumber sebelumnya, bahkan ada pula fatwa yang tidak memberikan
argumen sama sekali dan langsung saja kepada pernyataan fatwa itu sendiri.[14]
Sementara itu harus dipegangi pula prinsip-prinsip istidlal dalam menetapkan hukum
yaitu; pertama, mengacu pada al-Qur¶an sebagai sumber utama (sumber dari segala
sumber dalam hukum Islam). Kedua, merujuk ke sunnah sebagai penjelas al-Qur¶an,
disamping sebagai penetap hukum manakala al-Qur¶an tidak menentukan hukumnya.
Ketiga, terhadap nash yang mengandung dalalah dhanniyah dilakukan ijtihad. Keempat,
dalam menghadapi dua atau beberapa dalil kekuatannya sama dan dhahirnya
bertentangan (ta¶rrud al-adilah), maka diambil jalan; a.) melakukan pengumpulan isi
kandungan dalil, sehingga dapat diamalkan semuanya. b) terhadap dalil al-Sunnah, dapat
dilakukan penelitian waktu wurudnya dan yang lebih dahulu dinasakh dengan yang
datang kemudian. c) apabila tidak dapat dikumpulkan dan tidak dapat dinyatakan adanya
nasakh mansukh, maka dilakukan tarjih.[15]
Selain itu, diperlukan pendekatan soiso-historis dalam penetapan hukum, menekankan
pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur¶an diturunkan, dalam rangka
menafsirkan pernyataan legal dan sosial-ekonomisnya.[16] Atau dengan kata lain,
memahami al-Qur¶an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikan
kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial kedalam
naungan tujuan-tujuan al-Qur¶an.[17]Sejatinya dalam penentuan produk hukum,
mempunyai fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari
kehidupan sosial masyarakat.[18]
Di dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada
prinsip-prinsip yang solid, tidak akan berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi
segala tatatanan yang qat¶iyah dan merupakan jati diri hukum agama Islam. Di antara
nilai-nilai dalam dimensi ini adalah yang dirumuskan dalam tujuan hukum Islam
(maqasid al-syari¶ah), yaitu kebahagiaan manusia, yang dapat dijabarkan dalam
kemaslahatan, kenikmatan, keadilan, dan rahmat.[19]

Latar Belakang Sosial Politik Fatwa MUI

Dari segi isinya, selain pertimbangan-pertimbangan murni keagamaan, ternyata ada


beberapa faktor sosial dan politik yang ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI
dalam bentuk dan bunyinya. Pertama, ialah faktor keinginan MUI untuk turut menunjang
kebijakan pemerintah. Fatwa tentang pembudidayaan kodok adalah contoh kuat dalam
hal ini, di mana MUI mengharamkan hukum memakan kodok tetapi menghalalkan
pembudidayaan yang ketika itu sedang digalakkan pemerintahan. [20]
Selain fatwa itu dipandang melakukan talfiq (karena mengambil pendapat mazhab Syafi¶i
untuk keharaman memakannya dan mazhab Maliki untuk kehalalan pembudidayaannya),
oleh banyak pihak fatwa itu juga dipandang tidak mempunyai integritas karena seolah-
olah biar saja orang lain yang memakan kodok itu asalkan kita sendiri tidak memakannya
bahkan mendapatkan uang daripadanya. Begitulah kuatnya pengaruh keinginan untuk
turut mendukung kebijakan pemerintah itu dalam fatwa tersebut. Independensi kekuasaan
MUI dalam mengeluarkan fatwa merupakan salah satu hal yang amat penting di dalam
penetapannya sebagai sebuah Ijtihadi. Tetapi yang terjadi antara idealisme dan
realitasnya perlu adanya sebuah independensi, ditandai oleh adanya kehendak bagi
kemandirian eksistensi MUI agar bekerja secara tidak memihak dan bebas dari intervensi
politik.[21]
Dalam situasi pemerintah yang secara fungsional terdapat berbagai kelemahan, maka
peran MUI dapat menjadi sandaran dan pelipis ketidakpuasan Umat Islam terhadap peran
pemerintah. MUI pada masa orde baru, terutama ketika Majelis Fatwa dipegang oleh
Prof. Dr. H. Ibrahim Musen, maka fatwa-fatwa hukum Islam kebanyakan dikeluarkan
untuk melancarkan program pemerintah. Tidak terlalu banyak peran fatwa MUI yang
dapat memberikan kepuasan bagi Umat Islam. Kasus Porkas tahun 1988 merupakan
kasus nasional menjadi bukti bagaimana pemerintah orde baru tidak mau menerima
apresiasi umat Islam. Setelah desakan kuat mat Islam, akhirnya Porkas dimusnahkan
selain tertekan 1992.[22]
Faktor untuk mendukung kebijakan pemerintahan ini lah yang membuat MUI belum bisa
independen dalam mengeluarkan Ijtihad. Karena itulah, Buya Hamka menggambarkan
bahwa jika tidak bekerja sungguh-sungguh MUI akan menghadapi berbagai kesulitan.
Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah
dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti
kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api.
Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas
kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23] Kalau kita lihat di dalam aspek
politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan penghidupan yang
diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus
diperjuangkan.[24]

Faktor yang kedua yang mempengaruhi fatwa-fatwa MUI, yaitu keinginan untuk
menjawab tantangan perkembangan zaman modern. Faktor ini sebagai usaha MUI untuk
menjawab tantangan tersebut, tetapi disisi yang lain menyebabkan fatwa-fatwa yang
independen itu jatuh sama dengan keinginan pemerintah. Faktor ketiga, menyangkut soal
hubungan antar agama, atau lebih tepatnya adalah faktor keinginan untuk memelihara
aqidah umat Islam dari segi kuantitas.[25]
Upaya untuk memosisikan MUI sebagai wadah ulama, cendekiawan, dan zu'ama yang
independen, terasa tidak mudah, karena berbagai impitan persoalan dan keterbatasan
yang melingkupinya.Sebenarnya, upaya menjaga independensi MUI bukan tidak pernah
dilakukan. Prof Hamka adalah saksi sejarah dari upaya itu, ketika harus memilih mundur
dari jabatannya sebagai ketua umum MUI waktu itu akibat fatwa "perayaan natal" yang
dikeluarkan berbeda dengan sikap dan kepentingan pemerintah.Atas dasar
pengalamannya, Prof Hamka mengibaratkan MUI sebagai "kue bika", dipanasi dari
bawah karena masyarakat berharap banyak terhadap peran MUI, sementara dari atas
pemerintah juga "memanasi" dengan berbagai program dan kebijakannya yang sering
kontroversial, tetapi harus "dipaksakan" dengan membebani MUI untuk
mendukungnya.[26]
Bukti kedua adalah ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya Ajino Moto saat
dalam produksinya dicampuri zat tertentu yang berasal dari babi (sekarang sudah kembali
kepada semula, dan dinyatakan halal). Ketika itu, fatwa tersebut berbeda dengan
pernyataan presiden Gus Dur.[27]
Secara kelembagaan MUI mendapat dukungan penuh pemerintah, dalam hal ini tampak
sekali kontribusi dari Departemen Agama (DEPAG). Bukti dukungan itu dengan
diberikannya salah satu ruangan di Masjid Istiqlal, masjid yang dibangun pemerintah
pada jaman Soekarno untuk kantor MUI. Begitu pula dengan kucuran dana-dana rutin
dari pemerintah, seperti Dana Abadi Umat (DAU) dan dana-dana lain seperti yang pernah
disinyalir mantan Presiden Abdurrahman Wahid.[28]
Menurut sebuah sumber, konon MUI juga tidak tertutup menerima sokongan dari
kelompok pengusaha. Sokongan-sokongan dana kepada MUI ini beberapa kali justru
memancing persoalan di masyarakat karena dampak dari kucuran dana itu sendiri yang
melahirkan bias keputusan maupun fatwa di masyarakat. Salah saatu bukti adanya
keinginan MUI mendapatkan dana dari pemerintah, Majalah Gatra, April 2005
menampilkan Menteri Agama Maftuh Basyuni menjelang penyelenggaraan Kongres
Umat Islam II di Jakarta mengeluh atas permohonan Din Syamsuddin (sebelum menjabat
Ketua Umum PP Muhammadiyah) yang meminta dana dari pemerintah dengan alasan
untuk kepentingan umat Islam.[29]
Dari realitas yang mempengaruhi fatwa MUI, kita bisa melihat bahwa hukum sebagai
produk politik. Di kalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan
kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das
sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa
perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Penulis seperti Roscue Pound
telah lama berbicara ´law as a tool of social engineering´. Sebagai keiginan tentu saja
wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi
kepentingan masyarakatnya akan menjadi lebih relevan. Tetapi kaum realis seperti
Savigny mengatakan bahwa ³hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakatnya´. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent variable
atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya.[30]
Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pelopor perubahan pemimpin masyarakat dalam mengubah system social dan di dalam
melaksanakan hal itu langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan
perubahan.[31]

Realitas keulamaan di Indonesia, kepemimpinan Ulama lebih dipersepsikan sebagai


kepemimpinan ´karismatik´ atau kepemimpinan ³tradisional´.[32] Dengan
kepemimpinan tersebut diharapkan mampu untuk melakukan rekayasa sosial.
Konteks perubahan social yang semakin komleks, fungsi ulama diperlukan untuk
melakukan penataan ulang atas nilai-nilai dan norma-norma yang telah goncamh di satu
pihak, dan pihak lain memberikan arahan dan penjelasan kepada masyarakat dalam
kerangka norma apa yang harus mereka pegangi.[33]
Memang di dalam kenyataan hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik
yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan
hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
bersaingan.
Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dengan
spesifikasi yang pertama, konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter akan
melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistis. Kedua, konfigurasi
politik otoriter dan non demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
ortodoks/konservatif/elitis.[34]
Hukum Islam mencakup peraturan gerak semesta alam, dari Macrocosmos sampai
dengan micro-cosmos. Sehingga aspek hukum Islam mencakup segi nilai dan tujuan
hukum sesuai dengan kriteria dan pedoman Allah Yang Maha Sempurna.[35]
Gagasan Ibrahim Hosen tentang kewenangan pemerintah dalam persoalan hukum islam,
Ibrahim Hosen mengungkapkan bahwa pemerintah diberi kewenangan untuk membatasi
makna umum dari nash dan membatasi kemutlakan kata-kata yang Muthlaq. Gagasan ini
kelihatannya diilhami oleh kaidah ´ ϑϼΨϟ΍ ϊϓήϳ ϢϛΎΤϟ΍ ϢϜΣ´ (Keputusan hakim dapat
menghilangkan perbedaan pendapat.[36] Kalau melihat kerangka fiqih, secara historis
fiqih merupakan produk sejarah panjang umat manusia yang dilanggengkan oleh lembaga
keulamaan dan seringkali juga rezim kekuasaan.[37]
Strukturisasi ideologi dan kebijakan politik pada masa Orde Baru melakukan usaha
penyerapan tokoh dan pimpinan Islam serta ulama ke dalam kekuasaan birokrasi melalui
organisasi-organisasi sosial politik dan organisasi keagamaan di samping Partai. Melalui
Majelis Ulama hampir seluru elite santri ditempatkan di bawah kontrol pemerintah.[38]
Daftar Pustaka
Abidin, Zaenal. Pelanggeng Pragmatisme Religius, Http://www.icrp-online.org
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
Ahmad, Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta,
Gema Insani Press,1999
Alfatih, M. Suryadilaga,dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005)
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, ( Jakarta :
Lantabaora Press, 2005)
Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta, Gama Media,
1999
___________. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
Mubarok, Jalil. Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2005)
Mudzhar,H.M.Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta, Titian Ilahi Press,1998
Mu¶allim, Amir. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001
Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam
Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994)
Rofiq, Ahmad. Fatwa MUI yang Mengayomi, Suara Merdeka 25 Juli 2005
Salam, Abd. Arif. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian
Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta, LESFI, 2003
Sodik, Mochamad. Mencairkan Kebaikan Fikih: Membaca KHI dab CLD KHI bersama
Musdah Mulia, Jurnal Asy-Syir¶ah Vol. 38 No.II, Th.2004,
Thontowi, Jawahir. Islam, Politik, dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002)
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
[3] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,(Yogyakarta: Gama
Media, 1999) hal 3
[4] Abidin, Zaenal. Pelanggeng Pragmatisme Religius, Http://www.icrp-online.org
[5] Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, ( Jakarta :
Lantabaora Press, 2005), hal 223
[6] Abidin, Zaenal., Ibid.
[7] Hasan, Muhammad Tholhah., hal 232-233
[8] Mudzhar,H.M.Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press,1998) hal 133
[9] Abidin, Zaenal., Ibid
[10] Mu¶allim, Amir. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII
Press,2001) hal 3
[11] Salam, Abd. Arif. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita:
Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: LESFI,2003), hal 15
[12] Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal 567
[13] Ibid, Hal 4
[14] Mudzhar,H.M.Atho., hal 134
[15] Salam, Abd. Arif., hal 21
[16] Alfatih, M. Suryadilaga,dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hal
142
[17] Ibid.
[18] Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 37
[19] Ahmad, Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press,1999), hal 54
[20] Mudzhar,H.M.Atho., hal 137-138
[21] Ibid.
[22] Thontowi, Jawahir. Islam, Politik, dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002),
hal 19
[23] Mahfud, Moh.MD., hal 259
[24] Ahmad, Amrullah,dkk., hal 141
[25] Mudzhar,H.M.Atho., hal 141
[26] Rofiq, Ahmad. Fatwa MUI yang Mengayomi, Suara Merdeka 25 Juli 2005
[27] Ibid.
[28] Abidin, Zaenal., Ibid
[29] Ibid.
[30] Mahfud, Moh.MD., hal 71
[31] Ali, Zainuddin., hal 38
[32] Hasan, Muhammad Tholhah., hal 22
[33] Ibid., hal 242
[34]Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,
1999), hal 154-155
[35] Ahmad, Amrullah., hal 144
[36] Mubarok, Jalil. Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2005)
[37] Sodik, Mochamad. Mencairkan Kebaikan Fikih: Membaca KHI dab CLD KHI
bersama Musdah Mulia, Jurnal Asy-Syir¶ah Vol. 38 No.II, Th.2004, hal 194
[38] Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam
Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal 41
Diposkan oleh Islamic Studies di 23.56
Label: Dinamika, fatwa, MUI

http://jurnalpamel.blogspot.com/2008/09/dinamika-fatwa-mui.html
Fatwa tentang Arah
Kiblat

Selasa, 23 Maret 2010 13:08


Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai
konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin
(22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu,
MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih,
dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musala agar mengarah ke kiblat.

Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi
Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH
Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin
Yakub, MA.

Diktum Fatwa

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama,
tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1)
Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka¶bah adalah menghadap ke bangunan
Ka¶bah (ainul ka¶bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka¶bah
adalah arah Ka¶bah (jihat al-Ka¶bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka¶bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap kea rah
barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di


Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah barat, tidak perlu diubah, dibongkar,
dan sebagainya. (ws)

Terakhir Diperbaharui ( Sabtu, 27 Maret 2010 07:22 )


ccc !"#c$"%!&!&

? 

http://ardansirodjuddin.wordpress.com/2008/08/15/fatwa-haram-majlis-ulama-indonesia-
mui-tentang-rokok/

Sebagai seorang guru yang harus mengajar jam pertama, saya selalu disibukkan dengan
persiapan untuk mengajar pada pagi hari. Suatu rutinitas yang selalu saya jalani dari hari
ke hari. Saya terbiasa sarapan pagi sambil ditemani Televisi yang menayangkan berita
pagi. Satu berita yang menarik perhatian saya bukan lagi kasus BLBI yang melebar
kemana-mana atau kasus Ryan pembunuh berantai yang mulai kadaluarsa. Berita pagi itu
yang menarik perhatian saya adalah rencana Majlis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa haram untuk merokok. Selama ini MUI hanya mengeluarkan fatwa
makruh bagi perokok. Saya coba mengulas berita ini dari segi kesehatan bukan agama.
Ketika saya mengantar istri berobat ke Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
(BP4) di Jalan KH. Achmad Dahlan No. 39 Semarang, saya mendapatkan penjelasan
panjang lebar tentang pengaruh rokok terhadap kesehatan. Pengaruh asap rokok terhadap
kesehatan antara lain :

1.Y Merokok memperlemah Paru-paru

Orang yang terbiasa merokok kemungkinan mengalami sesak nafas, menderita


TBC dan bronkhitis lebih besar dibandingkan dengan yang bukan perokok

2.Y Merokok Mengganggu Aliran Darah

Stroke, serangan jantung dan pembusukan jaringan (gangren) merupakan akibat


terganggunya aliran darah
3.Y Merokok meningkatkan impotensi dan infertilitas

Orang yang setiap hari menghabiskan berbatang-batang rokok akan mengalami


peningkatan terjadinya impotensi dan infertitilitas (kemandunlan)

4.Y Merokok meningkatkan resiko kanker

Merokok meningkatkan kemungkinan untuk menderita semua jenis kanker


terutama kanker paru-paru. kanker mulut, kanker lambung dan kanker
tenggorokan

5.Y Merokok merupakan masalah bagi kesehatan wanita

Wanita hamil yang terkena asap rokok memiliki resiko yang lebih besar untuk
mengalami keguguran, melahirkan bayi prematur (tidak cukup bulan) ataupun
melahirkan bayi dengan badan lahir rendah

6.Y Merokok merupakan masalah kesehatan keluarga

Anak-anak yang terkena asap rokok lebih sering menderita sesak nafas, alergi,
asma, bronkhitis, dan infeksi telinga. Selain itu asap rokok juga menyebabkan
adanya hambatan perkembangan otak dan gangguan belajar.

Berdasarkan paparan bahaya akibat rokok di atas, berhenti merokok adalah satu hal yang
paling penting untuk meningkatkan derajat kesahatan diri dan keluarga. Untuk itu, fatwa
haram MUI tentang rokok patut kita tunggu.

Entry filed under: Lingkungan. Tags: Akibat rokok, Fatwa haram rokok, pengaruh rokok
thd kesehatan.




MUI Ralat Fatwa Arah Kiblat


Salat

Rabu, 14 Juli 2010 10:01


 '  ( - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meralat fatwa No 03 Tahun
2010 tentang Kiblat. Arah kiblat yang sebelumnya disebutkan menghadap barat
kini telah direvisi menjadi ke arah barat laut.

"Untuk Indonesia secara umum kiblat menghadap ke barat laut, bukan barat, ini
sekaligus merevisi fatwa kita yang tempo hari," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa
Ma'ruf Amin saat berbincang dengan detikcom, Rabu (14/7/2010).
MUI pun menghimbau agar semua wilayah di Indonesia harus menyesuaikan arah
kiblat sesuai dengan ralat dari fatwa sebelumnya.
"Indonesia itu letaknya tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah
kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut," terangnya.
Fatwa yang diralat tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret
2010 lalu. Adapun diktum fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat
disebutkan
1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Kabah adalah menghadap ke
bangunan Kabah (ainul ka¶bah).
2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Kabah adalah arah Kabah
(jihat al-Ka¶bah).
3. Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Kabah/Mekkah, maka
kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=249:mui-
ralat-fatwa-arah-kiblat-salat


c) *& + c , & + 

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sopar RA, menyebutkan bahwa
fatwa MUI nomor 3 tahun 2010 tentang Arah Kiblat Masjid di Indonesia ternyata
keliru.

³Setelah melalui kajian dengan beberapa pakar ilmu falak dan astronomi, arah
yang ditentukan MUI justru menghadap ke Afrika, Somalia Selatan, Kenya, dan
Tanzania,´ ucap Sopar dalam Seminar Arah Kiblat dan Penentuan Waktu Shalat
di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang pada Selasa kemarin.

Menurut Sopar, MUI sudah merevisi fatwa itu. Tapi, belum disebar ke masyarakat
karena masih berupa draft. Dalam waktu dekat, setelah ditandatangani ketua,
revisi fatwa itu akan segera disebarkan ke masyarakat.

Sopar juga menambahkan, melencengnya arah kiblat tidak dipengaruhi oleh


pergeseran lempeng bumi akibat gempa. Alasanya, rentang pergeseran antara
Indonesia dengan titik kiblat itu sebesar 140 sentimeter. Jika pergeseran hanya 7
sentimeter itu tidak ada artinya. "Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa bergeser
sesuai rentang itu," jelas Sopar.

Sebelumnya, pada tanggal 22 Maret 2010, MUI melangsungkan jumpa pers soal
Fatwa MUI nomor 3 Tahun 2010 tentang Kiblat. Ada tiga diktum dalam fatwa
tersebut: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka¶bah adalah menghadap
ke bangunan Ka¶bah (ainul ka¶bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak
dapat melihat Ka¶bah adalah arah Ka¶bah (jihat al-Ka¶bah). (3). Letak georafis
Indonesia yang berada di bagian timur Ka¶bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam
Indonesia adalah menghadap ke arah barat.

Diktum ketiga itulah yang mengalami koreksi. Secara geografis, letak Indonesia
tidak persis berada di sebelah timur Makkah. Arah kiblat masjid yang benar
adalah menghadap ke barat laut dengan kemiringan yang bervariasi, sesuai
dengan letak geografis. Jadi, bukan ke arah barat seperti yang disebutkan dalam
diktum fatwa tersebut. Mnh/tempo

Rabu, 14/07/2010 09:47 WIB | email | print | share

V  ( -+ ,

Y Din Syamsuddin Akhirnya Terpilih Secara Aklamasi


Rabu, 07/07/2010 13:25 WIB
Y Surat Mujahidah Palestina untuk Muslimah di Indonesia
Selasa, 06/07/2010 11:53 WIB
Y Din Syamasuddin Memimpin Muhammadiyah Lagi?
Selasa, 06/07/2010 11:52 WIB
Y Di Gaza, Listrik Hanya Menyala 4 Jam Dalam Sehari
Jumat, 02/07/2010 14:02 WIB
Y Politisi PKS Misbakhun Menjalani Sidang Perdana
Rabu, 30/06/2010 13:21 WIB
Y Mer-C: Kalau SBY Cerdas, Dia akan Dukung Penuh Relawan untuk Gaza
Kamis, 24/06/2010 17:07 WIB
Y Putra Indonesia Raih Anugerah Buku Karya Terbaik di Malaysia
Selasa, 22/06/2010 14:04 WIB

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/mui-fatwa-arah-kiblat-mui-ternyata-
keliru.htm

You might also like