You are on page 1of 7

KEWARGANEGARAAN DAN KEIMIGRASIAN

STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL


PERKAWINAN CAMPURAN
d
i
s
u
s
u
n
oleh :
ANDREAS SITOHANG

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
UNTAN
2011
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi,
ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang
membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian
bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan
campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya
perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir
dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
 
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara
indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya
waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran,
terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya
sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
 
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah
demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan
tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai
dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.
 
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam
keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan
tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
 
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-
undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro
dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi
kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir
dari perkawinan campuran.
 
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU
kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan
campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti
adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan
orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
 
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini
terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”.
 
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2
KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada
kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu
lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
diwakili oleh orang lain.
 
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan
hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan
kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
 
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya
dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan
tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak
bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu
bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
 
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang
perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat
tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat
perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus
ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun
berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana
yang harus diikutinya.

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan
kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal
dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius
Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut
dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan
beradasarkan keturunan dari orang tersebut.

Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa
asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri
adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan.
Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.

Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan
bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride
adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang
yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-
orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).

Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa
kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.

Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal
di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh)
tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh
kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan
tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri,
tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan
untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah
berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan
Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih
dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara
Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari
negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk
suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat
diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal
diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara,
tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara
Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan
tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara
tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
 
KESIMPULAN
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh
orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam
UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya,
karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
 
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga
menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring
berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus
dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

PENOLOGI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN BUKAN PENJARA
Oleh: Rahardi Ramelan

Dipicu oleh kenyataan bahwa banyak narapidana yang meningal dunia didalam Lembaga
Pemasyarakatan (LP), akhir-akhir ini banyak dibicarakan berbagai masalah keadaan LP.
Berkembangnya produk perundangan untuk mengawal jalannya pembangunan, menimbulkan juga
beragamnya tindakan-tindakan yang bisa dipidanakan. Dalam pelaksanaan pidana ini, kita bersumber
pada UU Nomor 1 Tahun 1946, yang telah dikuatkan dengan UU Nomor 73 Tahun 1958, yang dikenal
dengan nama Wetboek van Straftrecht. Sejak tahun 1946 telah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau KUHP, serta telah mengalami perubahan dan pengembangan sesuai dengan dinamika
pembangunan hukum. Berbagai produk hukum baru telah membawa implikasi luas bagi mereka yang
terkena pidana dan harus menjalankan hukuman penjara. LP yang tadinya disebut penjara, bukan saja
dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh
pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba, serta penjudi dan bandar judi. Selain itu dengan
intesifnya penegakkan hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainnya, penghuni LP pun
makin beragam antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir,
pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni LP-pun damenjadi
sangat bervariatif, baik dari sisi usia, maupun panjangnya hukuman dari hanya 3 bulan, sampai hukuman
seumur hidup dan hukuman mati.
Spektrum penghuni LP yang sangat luas, baik dari kejahatan, latar belakang, profesionalisme, usia, dan
lamanya hukuman, menyebabkan pengelolaan LP-pun menjadi sangat kompleks dan memerlukan
penyesuaian ataupun perubahan.

Pemasyarakatan
Sistim kepenjaraan kita yang sebelumnya menganut berbagai perundangan warisan kolonial, yang jelas-
jelas tidak sesuai dengan UUD 1945, telah berangsur dirubah dan diperbaiki. Pemikiran baru mengenai
fungsi hukuman penjara, dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh
Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964, dan tercermin didalam Undang-undang Nomor 12 tahun
1995, tentang Pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas
dendam dan penjeraan telah dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
dimana sistem pembinaan bagi Narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan. Perubahan dari Rumah Panjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, bukan semata-
mata hanya secara fisik merubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting
menerapkan konsep pemasyarakatan. Disain fisik LP baru justru berbeda dengan konsep
pemasyarakatan. Perlu diresapkan yang disampaikan Hazairin dalam bukunya Tujuh Serangkai Tentang
Hukum: &&&.hidup dalam penjara walaupun dalam penjara yang super modern, adalah hidup yang
sangat menekan jiwa, pikiran dan hidup kepribadian.
Pertanyaannya adalah apakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang
Pemasyarakatan, dengan berbagai peraturan pelaksanaannya telah sesuai dengan pemikiran mulia
tahun 1964, dan pesan moral UUD 1945? Apalagi akhir-akhir ini, dengan makin dirasakannya
kesemrawutan baik sistem maupun proses peradilan kita, seperti suap, pemerasaan, kekerasan, mafia
peradilan, tebang pilih, dan intervensi politik, telah menimbulkan keraguan apakah mereka yang berada
di LP adalah yang benar-benar harus dipidana?

Pemidanaan
LP adalah muara dari proses peradilan. Pentahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh
beberapa institusi yang terpisah dan independen, harus diartikan agar tercipta proses check and balance
dalam pelaksanaannya. Tetapi kenyataannya proses check and balance sekarang ini tidak berjalan
semestinya. Ketidak jelasan proses peradilan dan politik menyebabkan sebagian penghuni LP bukanlah
mereka yang seharusnya menjalani hukuman, dan akhirnya menjadi beban LP. Minimalnya anggaran
menyebabkan setiap tempat penahanan berusaha untuk mendapatkan penghuni jelas, untuk bisa
membiayai keperluan institusinya dan menjadikan mereka sebagai sumber pendanaan. Terpidana bukan
saja berada di LP, tetapi juga berada di tahanan Kejaksaan Agung dan Kepolisian, disisi lain LP juga
dijejali dengan tahanan baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Keadaan demikian makin
memperparah keadaan di LP, dan semakin menjauhkan LP dari cita-cita sebagai lembaga
pemasyarakatan.
Keterbatasan anggaran menjadikan sebutan hotel pordeo hanya tinggal istilah, hampir semua proses
ada ongkosnya. Pembangunan LP baru, walaupun kelihatan modern, sudah jauh meninggalkan konsep
lembaga pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan haruslah diartikan bukan hanya dari segi fisiknya
belaka, melainkan juga dari sisi pembinaannya secara utuh. Hak-hak narapidana sesuai dengan
perundangan dan peraturan yang ada perlu ditinjau kembali pelaksanaannya, agar sesuai dengan
falsafah dan konsep pemasyarakatan yang kita anut.
Dalam menjalankan proses reintegrasi sosial, narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan CMK
(Cuti Mengunjungi Keluarga), Asimilasi, PB (Pembebasan Bersyarat), dan CMB (Cuti Menjelang Bebas),
tetapi kenyataannya proses dan administrasi mendapatkan hak-hak tersebut ruwet, serta memakan
waktu dan ongkos. Sehingga pelaksanaannya terhambat, misalnya di LP Cipinang dalam dua tahun
terakhir ini hampir tidak ada yang menjalankan hak asimilasi. Untuk terpidana kasus-kasus tertentu, hak-
hak narapidana seperti diatas termasuk remisi, telah dikebiri lagi dengan keluarnya PP 28/2006, tanggal
28 Juli 2006.
Langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memperbaiki keadaan LP, adalah
mengurangi huniannya. Pertama - memberikan segera hak PB dan CMB pada waktunya, tanpa prosedur
yang berbelit-belit dan tanpa ongkos. Menghilangkan berbagai peraturan yang justru mempersulit
pemberian hak tersebut. Kedua segera memberlakukan hukuman berupa kerja sosial, bagi terpidana
dibawah 6 bulan, yang sudah dsejak 6 bulan yang lalu idengung-dengungkan oleh Menteri Hukum dan
HAM. Ketiga meninjau kembali seluruh PP, Kepres, Kepmen sampai Surat Edaran Dirjen
Pemasyarakatan, agar tidak bertentangan dengan UU 12 tahun 1995. Keempat mengevaluasi kembali
disain dari LP baru.

Penulis adalah mantan narapidana, Juru Bicara NAP! Narapidana Indonesia


Dimuat di Harian Kompas tgl. 19 Mei 2007

You might also like