You are on page 1of 28

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permintaan terhadap minyak bumi dan gas yang terus meningkat

mengharuskan pemerintah untuk membangun sistem pendistribusian yang efektif.

Pembangunan pipa bawah laut merupakan langkah yang tepat untuk mengurangi

biaya operasional distribusi material cair seperti minyak dan gas dari lokasi

pengeboran. Pengangkutan material tersebut dalam jumlah besar menggunakan

kapal akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Informasi mengenai kondisi

dasar laut sangat dibutuhkan untuk kegiatan pembangunan pipa bawah laut.

Untuk mendapatkan informasi mengenai dasar laut dibutuhkan survei batimetri.

Multibeam Sonar merupakan instrumen hidroakustik yang banyak digunakan

dalam survei batimetri. Hal ini disebabkan kemampuan instrumen tersebut dalam

melakukan pemindaian dasar laut dengan akurasi yang sangat tinggi dan cakupan

yang luas (Anderson, 2008).

Informasi yang didapatkan dari Multibeam Sonar berupa kedalaman dan

nilai backscattering yang dapat digunakan untuk mengetahui sebaran jenis

sedimen dasar laut (Manik, 2008). Nilai backscattering strength dapat dihitung

secara kuantitaif menggunakan rumus yang telah ada dengan memasukkan nilai

frekuensi untuk berbagai tipe dasar perairan. Sebaran jenis sedimen yang

dideteksi menggunakan Multibeam Sonar dapat berubah tergantung dari masukan

sedimen yang ada di sekitarnya. Pembangunan pipa bawah laut harus

memperhatikan topografi dan jenis sedimen dasar laut. Peletakan pipa pada

topografi yang salah dapat menyebabkan pipa patah. Menurut Bachri (1998)

1
2

diperlukan empat tahapan survei secara berurutan dalam melakukan pembangunan

pipa bawah laut, yaitu :

1. Survei pendahuluan (recconaissance survey)

2. Survei detail (detail investigation survey)

3. Survei konstruksi (construction survey)

4. Survei inspeksi (as built or inspection survey)

Pemanfaatan instrumen Multibeam Sonar dalam setiap survei yang

dilakukan mengacu kepada spesfikasi teknis International Hydrographic

Organization (IHO) untuk memenuhi standar ketelitian survei hidrografi. Koreksi

dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat, koreksi tersebut meliputi :

1. Koreksi pergerakan kapal

2. Koreksi penentuan koordinat

3. Koreksi cepat rambat suara di air

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan instrumen hidroakustik

Multibeam Sonar dalam interpretasi karakter fisik dasar laut (topografi dan jenis

sedimen dasar laut) sebagai informasi utama dalam kegiatan pembangunan pipa

bawah laut.
3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketentuan Teknik Survei Batimetri Untuk Kegiatan Peletakkan Pipa

Bawah Laut (S.44-IHO)

Survei batimetri merupakan suatu proses kegiatan pengukuran kedalaman

yang ditujukan untuk memperoleh suatu gambaran (model) dan bentuk

permukaan dasar perairan (seabed surface) (Yanto, 2007). Survei batimetri hanya

mendapatkan gambaran tentang bentuk dasar perairan tidak sampai dengan

kandungan materialnya ataupun biota yang hidup disana (Poerbandono, 1999).

Pengukuran kedalaman atau yang lebih dikenal sebagai kegiatan pemeruman

hanya dilakukan pada titik-titik kedalaman tertentu (titik sounding) yang dipilih

untuk mewakili wilayah yang akan dipetakan. Pencatatan waktu pada setiap titik

sounding juga harus dilakukan untuk dikoreksi terhadap kenaikan muka air laut

karena pengaruh pasang surut (Sasmita, 2008).

Publikasi khusus IHO No.44 edisi ke-4 bulan April tahun 1998

menyebutkan bahwa ketentuan teknik survei hidrografi yang secara khusus

diberlakukan untuk keperluan perencanaan peletakkan pipa gas di bawah laut

belum ada. Akan tetapi untuk keperluan praktis survei hidrografi yang dilakukan

berlandaskan kepada ketentuan teknik dari special publication No. 44 (S.44)-IHO.

Ketentuan teknik tersebut merupakan standar internasional untuk survei hidrografi

yang memberikan spesifikasi minimum dalam pengumpulan data yang akurat dan

tepat untuk keselamatan navigasi para pelaut. Ketentuan tersebut meskipun dibuat

untuk keselamatan navigasi para pelaut akan tetapi dapat digunakan sebagai acuan

3
4

dalam memandu bagi pengumpulan data dan perhitungan faktor-faktor yang perlu

diperhatikan pada peletakkan pipa bawah laut. Ketentuan tersebut, yaitu :

1. Skala Survei dan Kerapatan Pemeruman

Skala survei digunakan untuk menentukan resolusi dari peta batimetri

yang dihasilkan. Penentuan skala survei harus disesuaikan dengan waktu,

tujuan survei, dan dana yang tersedia.

2. Penentuan Posisi

Posisi survei direferensikan terhadap sistem geosentris dengan World

Geodetic System 84 (WGS-84). Apabila posisi direferensikan terhadap

posisi geodetik lokal maka posisi tersebut harus dikaitkan terhadap WGS

84.

3. Pengukuran Kedalaman

Kedalaman yang diukur harus disurutkan terhadap chart datum, yaitu

dengan memperhitungkan tinggi pasang surut. Ketelitian kedalaman air

diartikan sebagai ketelitian kedalaman yang disurutkan. Semua kesalahan

harus diperhitungkan sehingga diperoleh total kesalahan perambatan

(Total Propagated Error). TPE merupakan akumulasi yang terdiri dari

beberapa kesalahan, yaitu :

a. Kesalahan sistem pengukuran dan kesalahan kecepatan suara

b. Kesalahan pemodelan dan pengukuran pasang surut

c. Kesalahan pemrosesan data

4. Pengamatan Pasang Surut

Pelaksanaan pengamatan pasang surut dimaksudkan untuk mereduksi

pengaruh pasang surut pada saat pemeruman dan sebagai bahasan mengenai data
5

ramalan pasang surut yang dilakukan tidak kurang dari 29 hari. Hal ini

dimaksudkan untuk mendapatkan data batimetri yang akurat dan dapat digunakan

pada masa mendatang.

2.2 Syarat Teknis dan Mekanisme Peletakkan Pipa Bawah Laut

Uji berlabuh jangkar (Anchorage Drop Test) dilakukan sebelum

pelaksanaan kegiatan pemendaman pipa. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

dengan pasti jenis dasar perairan di lokasi instalasi pipa bawah laut dan sebagai

dasar penentuan kedalaman pemendaman pipa di dasar perairan (Natural Seabed).

Berikut merupakan ketentuan kedalaman penempatan jalur pipa bawah laut :

1. Pipa dipendam sedalam 3 meter di dasar laut untuk kedalaman 0 – 3 meter

dari MSL (Mean Sea Level).

2. Pipa dipendam sedalam 2 meter di dasar laut untuk kedalaman 10 – 28

meter dari MSL.

3. Pipa langsung diletakkan diatas dasar laut untuk kedalaman lebih dari 28

meter dari MSL.

4. Pelaksanaan pemendaman harus terhindar dari lokasi pemendaman yang

telah dilakukan sebelumnya dan telah diumumkan secra resmi sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Langkah awal penentuan jalur pipa bawah laut adalah dengan melakukan

pembahasan terhadap peta batimetri yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan

penggambaran memanjang dari jalur pipa yang akan dibuat dengan melakukan

penghitungan jarak mendatar di permukaan bumi fisik antara dua titik

kedalaman pada jalur pipa yang direncanakan. Penentuan kedalaman


6

pemendaman pipa bawah laut sesuai aturan pemerintah, yaitu (d(syarat pendam))

dihitung berdasarkan kedalaman MSL. Kedalaman pemendaman pipa

didapatkan dari penyesuaian chart datum (d) ke MSL ( dMSL) dengan

menambahkan nilai muka surutan (Zo) Berikut merupakan persamaan yang

digunakan dalam penentuan kedalaman pemendaman pipa bawah laut :

dMSL = d + CD (2.1)

dpipa = dMSL + d(syarat pendam) (2.2)

Nilai dpipa yang didapatkan selanjutnya digunakan untuk perhitungan faktor

reduksi jarak mendatar (fr) pada permukaan bumi fisik sebagai komponen

tinggi terhadap MSL (h).

Gambar 1. Kedalaman Pipa Bawah Laut (Yanto, 2007)

Jarak antara dua titik kedalaman pada bidang mendatar dihitung

menggunakan persamaan jarak berikut ini (Yanto, 2007) :

 2
Dij  E ij  N ij
2
 1 2
(2.3)
7

Keterangan :

Dij = Jarak antara dua titik kedalaman

Eij = Selilsih absis antara dua titik

N ij = Selisih ordinat antara dua titik

Panjang jalur pipa yang dibuat dihitung menggunakan metode

penjumlahan jarak miring antar dua ttik kedalaman pada penampang memanjang

yang terbentuk. Perhitungan jalur peletakkan pipa dilakukan setelah didapatkan

kedudukan pipa yang aman, efektif dan efisien. Perhitungan panjang jalur pipa

dihitung menggunakan persamaan berikut :

 
1

   S ij  h pipa (2.4)
2 2 2

Keterangan :

∑ = Jumlah panjang pipa

∆hpipa = Selisih antara dua titik kedalaman

Sij = Jarak antar dua titik kedalaman pada bumi fisik

2.3 Prinsip Kerja Multibeam Sonar

Multibeam sonar merupakan instrumen hidroakustik yang menggunakan

prinsip yang sama dengan single beam namun perbedaanya terletak pada jumlah

beam yang dipancarkannya lebih dari satu dalam satu kali pancar. Berbeda

dengan Side Scan Sonar pola pancaran yang dimiliki multibeam sonar melebar

dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam memancarkan satu pulsa suara

dan memiliki penerimanya masing-masing. Saat kapal bergerak hasil sapuan


8

multibeam tersebut menghasilkan suatu luasan area permukaan dasar laut

(Moustier, 2005).

Transduser yang terdapat di dalam multibeam sonar terdiri dari

serangkaian element transduser yang memancarkan pulsa suara dalam sudut yang

berbeda. Biasanya hanya satu beam yang ditransmisikan tetapi menghasilkan

banyak pantulan energi dari masing-masing pulsa suara yang ditransmisikan.

Kemampuan setiap element transduser menerima kembali pulsa suara yang

dipantulkan tergantung kepada metode kalibrasi terhadap gerak kapal yang

diterapkan (Hammerstad, 2000).

Multibeam sonar memiliki ketelitian yang sangat baik dalam pengukuran

kedalaman. Kedalaman diukur melalui cepat rambat gelombang akustik yang

dipancarkan sampai diterima kembali dibagi dengan dua kali waktu yang

dibutuhkan dalam perambatan (Gambar 2).

Gambar 2. Geometri Waktu Transduser (Djunarsjah, 2005)

Sehingga pengukuran kedalaman oleh MBS dapat dirumuskan sebagai berikut :


9

h  1 .v.t (2.5)
2

Keterangan : h = kedalaman (m)

v = cepat rambat gelombang akustik

∆t = selang waktu gelombang yang ditransmisikan dengan diterima

kembali

Kedalaman hasil pengukuran yang didapatkan tetap harus dikoreksi dari

berbagai kesalahan yang mungkin terjadi. Kesalahan tersebut dapat berasal dari

kecepatan gelombang suara, pasang surut, kecepatan kapal, sistem pengukuran,

offset dan posisi kapal (PPDKK BAKOSURTANAL, 2004). Berdasarkan S-44

IHO (International Hydrographyc Organisation) batas toleransi kesalahan

ketelitian kedalaman (σ) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.6.

   a 2  (bxd ) 2 (2.6)

Keterangan :

σ : ketelitian kedalaman

a : konstanta kesalahan kedalaman, yaitu jumlah dari semua

konstanta kesalahan

b : faktor pengganti kesalahan kedalaman lain

d : kedalaman (meter)

bxd : Kesalahan kedalaman lain, jumlah semua kesalahan

2.4 Kalibrasi Multibeam Sonar


10

Setiap data yang didapatkan dari sounding yang dilakukan harus melalui

tahapan kalibrasi terhadap dinamika laut. Kalibrasi meupakan tahapan yang

dilakukan untuk memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam

instrumen yang bersangkutan. Kalibrasi diperlukan untuk menentukan kualitas

multibeam sonar yang digunakan. Proses kalibrasi yang dilakukan meliputi

proses roll, pitch, gyro dan cepat rambat akustik, kalibrasi offset statik dan uji

keseimbangan kapal (Mann, 1996).

Kalibrasi offset statik merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk

melakukan penyesuaian jarak dari sensor-sensor yang digunakan terhadap

centerline dari kapal dan transduser. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa

komponen, yaitu kapal (antena GPS kapal), transduser, kompas giro dan MRU.

Gambar 3. Offset Statik (Mann,1996)

Uji keseimbangan meliputi beberapa tahapan kalibrasi, yaitu kalibrasi

pitch, roll, time delay dan profil cepat rambat akustik. Serangkaian kalibrasi

tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perubahan posisi kapal yang

disebabkan dinamika laut yang terjadi pada saat pengambilan data dilakukan.
11

2.4.1 Kalibrasi Pitch

Pitch diukur dari dua pasang titik kapal dalam menentukan kedalaman

terhadap suatu kemiringan pada dua kecepatan yang berbeda (Sasmita, 2008).

Kalibrasi pitch dilakukan dengan tujuan mencari besarnya nilai koefisien koreksi

pitch dan time delay sehingga kedalaman yang terukur menjadi akurat. Kalibrasi

ini dilakukan dengan cara membuat satu garis sapuan multibeam dengan memilih

dasar laut yang memiliki kemiringan. Pengambilan data pada garis ini dilakukan

sebanyak dua kali secara bolak-balik dengan kecepatan yang sama, setelah itu

pengambilan data dilakukan lagi dengan kecepatan setengah dari kecepatan

pertama dan kedua. Pada kedua garis ini dibuat satu koridor untuk mendapatkan

nilai koefisien pitch (KONGSBERG MARITIME, 2005).

Gerakan pitch mempengaruhi perubahan posisi rotasi kapal pada sumbu y.

Gerakan ini dipengaruhi oleh dinamika pergerakan air laut. Sudut rotasi pitch

bernilai positif apabila posisi haluan kapal (sisi depan kapal) berada diatas

permukaan air (Aritonang, 2010). Hal penting dari kalibrasi pitch, yaitu

pergantian jalur sepanjang sumbu y sebanding terhadap kedalaman air sehingga

peningkatan kedalaman air maka nilai kalibrasi akan semakin kecil (Sasmita,

2008). Dengan mengasumsikan kapal melintasi lajur yang sama, arah yang

berlawanan, kedangkalan yang bergradien tajam dan kecepatan yang sama maka

koreksi pitch offset (sudut pancaran) dirumuskan sebagai berikut (Mann, 1996) :

d / 2
d  tan 1   (2.7)
 z 

Keterangan :
12

d : pitch offset

Z : kedalaman

d : jarak terjal pengukuran 1 dan 2

Gambar 4. Kalibrasi Pitch Offset (Mann, 1996)

2.4.2 Kalibrasi Waktu Tunggu

Pengambilan data pemeruman yang dilakukan MBES memiliki perbedaan

waktu dengan DGPS. Perbedaan ini menyebabkan adanya keterlambatan pada

DGPS. Kalibrasi waktu tunggu atau yang lebih dikenal sebagai kalibrasi time

delay digunakan untuk melakukan koreksi terhadap keterlambatan DGPS. Time

delay umumnya bernilai antara 0.2-1 s dan kondisi ini menyebabkan kesalahan

pada posisi yang dipengaruhi oleh kecepatan kapal. Time delay dikatakan akurat

apabila dapat dideteksi hingga 10-50 ms (Handbook of Offshore Survey, 2006).

Gambar 5 memperlihatkan kalibrasi time delay secara empiris yang dipengaruhi

oleh kecepatan kapal dan slope.


13

Gambar 5. Kalibrasi Time Delay (Mann, 1996)

Persamaan yang digunakan untuk menghitung kalibrasi waktu tunggu (time delay)

adalah :

 d 
dt  tan 1   (2.8)
 (Vh  Vt ) 

Keterangan :

dt = Time delay

d = slope pada pengukuran 1 dan 2

Vh = kecepatan kapal tinggi

Vt = kecepatan kapal rendah

2.4.3 Kalibrasi Roll

Kalibrasi ini digunakan untuk mengoreksi gerakan oleng kapal pada arah

sumbu x. Kalibrasi terhadap gerakan roll sangat diperlukan karena pengaruhnya

yang sangat besar pada wilayah laut dalam. Untuk melakukan kalibrasi roll, harus
14

memenuhi beberapa persyaratan, yaitu kapal melintasi jalur yang sama dengan

arah yang berlawanan, melintasi dasar laut dengan relief datar, menggunakan

kecepatan yang sama dan pancaran terluar yang overlap digunakan untuk koreksi

(Sasmita, 2008).

Gambar 6. Kalibrasi roll (Mann, 1996)

Offset roll dapat diperkirakan untuk sudut kecil kurang dari 3 derajat

menggunakan persamaan berikut (Mann, 1996) :

 y (2.9)
  tan 1  
x

Keterangan :

 = offset roll

x = panjang jalur (m)

y = kedalaman (m)

2.4.4 Kalibrasi Cepat Rambat Gelombang Suara (SVP Calibration)


15

Kecepatan suara merupakan faktor yang sangat penting dalam survei

batimetri. Hal ini disebabkan kecepatan suara dalam air memiliki nilai yang tidak

selalu sama untuk setiap wilayah sehingga langkah awal untuk melakukan

pemetaan dasar laut (Marine mapping) adalah melakukan perhitungan terhadap

kecepatan suara di wilayah tersebut. Pengambilan data kecepatan suara dapat

dilakukan menggunakan CTD.

Kapal melewati jalur survei (minimal sebanyak dua kali) dengan relief

dasar laut yang relatif datar kemudian pada masing-masing titik dilakukan

pengambilan data salinitas, suhu, tekanan dan kecepatan suara menggunakan CTD

(Sasmita, 2008). Data kecepatan suara yang didapatkan dimasukkan kedalam

sistem yang digunakan untuk perekaman data. Tujuan dari pengambilan data

kecepatan suara ini adalah untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang suara

yang akurat, sehingga akan dihasilkan nilai kedalaman yang akurat (Hasanudin,

2009). Gambar 7 memperlihatkan contoh kecepatan suara yang diperoleh

menggunakan CTD.
16

Gambar 7. Profil kecepatan suara dalam air (BEYER et al, 2005)

2.5 Sistem Koordinat Kapal

Sistem penentuan posisi kapal menggunakan DGPS (Differential Global

Positioning System) dengan metode Real Time Differential GPS (RTDGPS) yang

digunakan untuk objek yang bergerak. Alat yang digunakan dalam sistem ini,

yaitu DGPS C-Nav. RTDGPS merupakan sistem penentuan posisi real time

secara differential menggunakan data pseudorange. Untuk merealisasikan data

yang real time maka monitor stasiun mengirimkan koreksi differensial ke kapal

secara real time menggunakan sistem komunikasi data (Poerbandono dan

Djunarsjah, 2005). Sistem koordinat pada kapal digambarkan menggunakan

sistem tegak lurus yang dibentuk oleh sumbu X, Y dan Z (Gambar 8)


17

Gambar 8. Sistem koordinat Kartesian Kapal-Sistem Koordinat Referensi

(Hydrographic Survey, 2004 dalam Sasmita, 2008)

Untuk membuat sistem koordinat transduser relatif terhadap posisi kapal,

pusat sistem koordinat kapal adalah salib sumbu antara arah kapal (heading)

sebagai sumbu X, serta arah tegak lurus ke arah dasar laut sebagai sumbu Z

(Gambar 9).

Gambar 9. Diagram Kapal (Kongsberg, 2006)

Posisi transduser ditentukan melalui hasil pengukuran yang dilakukan oleh

sensor antena GPS terhadap transduser yang diikatkan di kapal. Berdasarkan

sistem koordinat yang digunakan, maka gerak kapal dinyatakan sebagai gerak

rotasi begitu juga dengan titik-titik kedalaman yang diperoleh dari hasil

pengukuran instrumen MBES.

2.6 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut

Dasar laut memiliki sebaran sedimen yang berbeda untuk setiap wilayah.

Sedimen merupakan partikel-partikel yang berasal dari pembongkaran batu-


18

batuan dan potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari organisme laut yang telah

mengalami berbagai proses fisika, kimia dan biologi didasar laut dalam jangka

waktu tertentu (Hutabarat dan Stewart, 2000). Informasi mengenai jenis sedimen

di dasar laut penting untuk mengetahui organisme bentik yang terdapat disana

selain itu untuk mengetahui tingkat kekokohan sedimen tersebut dalam menahan

beban dalam rekayasa peletakkan pipa bawah laut. Sedimen diklasifikasikan

berdasarkan ukuran butir (grain size), tekstur dan porositas. Wentworth (1922)

mengklasifikasikan jenis sedimen berdasarkan ukurannya menjadi 6 jenis (Tabel

1).

Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Berdasarkan Ukuran Butiran

Nama Partikel Ukuran Sedimen Nama Batu


Bongkah/Boulder >256 mm Gravel Konglomerat dan
Kerakal/Cobble 64-256 mm Gravel
Breksi berdasarkan
Kerikil/Pebble 2-64 mm Gravel
kebundaran
partikel
Pasir/Sand 1/16-2 mm Sand Sandstone
Lanau/Silt 1/256-1/16 mm Silt Batu lanau
Lempung/Clay <1/256 mm Clay Batu lempung
19

Klasifikasi sedimen dasar laut selain berdasarkan ukuran butiran juga

dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi pengendapan sedimen tersebut. Chester

(1993) mengklasifikasikan sedimen menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Nearshore sediment. Endapan sedimen sebagian besar berada di dasar

laut yang dipengaruhi kuat oleh kedekatannya dengan daratan. Hal

tersebut mengakibatkan kondisi fisika, kimia dan biologi dalam

sedimen ini bervariasi.

2. Deep sea sediment. Endapan sedimen sebagian besar mengendap di

laut dalam diatas 500 m. Jauhnya dari daratan, reaksi antara

komponen terlarut dalam kolom perairan serta adanya biomassa

khusus yang mendominasi lingkungan tersebut menyebabkan jenis

sedimen di wilayah ini memiliki sifat yang khusus.

2.7 Klasifikasi Dasar Laut

Multibeam sonar memiliki kemampuan untuk membedakan dasar laut

menggunakan nilai pantulan backscattering strength. Sedimen yang keras akan

memantulkan nilai backscatter yang tinggi yang dipengaruhi oleh tingkat

kekerasan dan kekasaran dasar tersebut. Nilai dari backscatter selain tergantung

dari tipe dasar perairan (khususnya kekasaran dan kekerasan) tetapi tergantung

juga dari parameter alat (frekuensi dan transduser beamwidth) (Burczynski 2002).

Sudut datang dari multibeam sonar lebih besar dari 25o maka backscatter dasar

perairan dapat dihitung menggunakan persamaan Lambert berikut ini :


20

BS  BS 0  20 log cos   (2.10)

Backscatter adalah pantulan kembali dari sinyal suara yang ditransmisikan

dan mengenai objek ataupun dasar laut. Analisis terhadap amplitude dari

gelombang suara yang kembali (backscatter) memungkinkan untuk mengekstrak

informasi mengenai struktur dan kekerasan dari dasar laut, yang digunakan untuk

identifikasi jenis substrat dasar laut. Sinyal kuat yang kembali menunjukkan

permukaan yang keras (rock, gravel) dan sinyal yang lemah menunjukkan

permukaan yang lebih halus (silt, mud) (Gambar 10).

Gambar 10. Prinsip Pengukuran Backscattering Strength Menggunakan

Multibeam Sonar (Kagesten, 2008)


21

Hambur balik dari multibeam memiliki cakupan daerah dan tingkat detail

yang lebih baik dibandingkan dengan singlebeam, tetapi proses pengolahan

datanya lebih kompleks. Sinyal backscatter bervariasi bergantung pada geometri

beam, kedalaman dan komposisi penyusun dasar perairan. Kelebihan lain yang

dimiliki multibeam adalah kemampuannya untuk mengcover hampir seluruh jalur

survei sehingga waktu yang digunakan lebih efisien.

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Februari

sampai dengan April 2011 disekitar wilayah Selat Sunda. Lokasi merupakan

salah satu wilayah potensial yang banyak dilalui jalur pelayaran nasional maupun

internasional. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Badan

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pemilihan lokasi didasarkan pada

adanya pipa bawah laut yang diletakkan di lokasi tersebut. Data diperoleh
22

menggunakan instrumen hidroakustik multibeam tipe Sea Beam 1050D yang

terpasang pada kapal riset Baruna Jaya IV milik Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi.

Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi

Keluatan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi

Kelautan, Institut Pertanian Bogor. GPS memiliki peranan yang sangat penting

untuk menentukan lokasi peletakkan pipa bawah laut yang sebelumnya telah

terpasang. Gambar 11 merupakan peta lokasi penelitian yang terletak di daerah

Tanjung Priok Provinsi DKI Jakarta.

22
23

3.2 Pengambilan Data Akustik

Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen

multibeam tipe Sea Beam 1050D. Kapal yang digunakan untuk kegiatan

perekaman data pemeruman ini adalah Kapal Baruna Jaya IV milik Badan

Pengkajian dan Penerapan teknologi.

Alat yang digunakan pada tahap pemrosesan data akustik dapat dilihat

pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Perangkat Keras dan Lunak


24

Perangkat Keras Perangkat Lunak

MBSystem

Personal Computer (PC) Microsoft Excel


Matlab R2008b
ArcView GIS 3.2

3.3 Pemrosesan Data

Data multibeam sonar yang didapat diproses beberapa tahap untuk

mendapatkan informasi mengenai jenis sedimen dan peta batimetri yang akurat.

Informasi yang didapatkan dari instrumen multibeam tipe Sea Beam 1050D

berupa nilai backscattering dari dasar perairan, koordinat dan kedalaman. Nilai

Amplitudo digunakan untuk mengklasifikasikan dasar perairan sementara nilai

kedalaman digunakan untuk membuat peta batimetri yang akurat. Data yang

didapatkan sebelumnya dikalibrasi terhadap beberapa pergerakan kapal seperti

kalibrasi pitch, roll, positioning delay, kalibrasi SVP, kalibrasi yaw dan kalibrasi

terhadap kompas gyro.

Proses selanjutnya setelah data terkalibrasi, yaitu data kemudian diekstrak

kedalam bentuk ASCII untuk kemudian diproses pada perangkat lunak Microsoft

excel. Perangkat lunak ini digunakan untuk memisahkan data hasil pemeruman

sehingga koordinat dan nilai backscattering saja yang digunakan. Pemrosesan

data selanjutnya, yaitu visualisasi profil batimetri dari dasar laut secara 2 dimensi

dan 3 dimensi pada Matlab. Setelah profil batimetri didapatkan selanjutnya

dilakukan proses pencocokan nilai backscattering dari multibeam echosounder


25

dengan data hasil coring. Hal ini dilakukan untuk mengklasifikasikan jenis

sedimen dasar laut di lokasi peletakkan pipa.

Overlay antara nilai backscattering dengan data coring kemudian diplotkan

pada perangkat lunak ArcView GIS 3.2. Pencocokan antara peta batimetri dan

klasifikasi dasar laut dilakukan untuk menentukan lokasi peletakkan pipa yang

tepat. Berikut merupakan diagram alir pemrosesan data akustik (Gambar 12).

Raw Data Kalibrasi Batimetri

Kalibrasi Posisi Kapal

Kalibrasi Raw Data Kalibrasi Koordinat Kapal

Kalibrasi SVP

Pemrosesan Data Terkalibrasi

Plot Batimetri
Plot Data

Plot Backscattering

Batimetri
Griding Data
Amplitudo
Backscattering
Peta Batimetri
Peta Hasil Griding Peta Klasifikasi
Dasar Perairan

Lokasi Peletakkan
Pipa

Plot Data

Pengklasan Nilai
Backscattering
Griding Data

Data Backscattering
26

Gambar 12. Diagram Alir Pemrosesan Data

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J. T., D.V. Holliday, R. Kloser, D.G. Reid, and Y. Simrad. 2008.
Acoustic Seabed Classification: Current Practice and Future Directions.-
ICES Journal Of Marine Science, 65: 1004-1011.

Aritonang, F.M.L. 2010. Pengukuran Kedalaman dan Klasifikasi Dasar Laut


Menggunakan Instrumen Sea Beam 1050 D Multibeam Sonar. Skripsi [Tidak
Dipublikasikan]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.

Bachri, S. 1989. Offshore Pipeline Survey. Departement of Surveying


Engineering. University of New Brunswick. New Brunswick.

BEYER, A. R. RATHLAU and H.W. SCHENKE. 2005. Multibeam bathymetry


of the Hakon Mosby Mud Volcano. Marine Geophysical Research 26:61-75
27

Burczynski, J. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc.


www.BioSonics.com. [8 Januari 2010].

Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London.

Djunarsjah, E. 2005. Diktat Hidrografi II. Institut Teknologi Bandung.

Hammerstad E. 2000. Backscattering and Seabed Image Reflectivity. EM


Technical Note. http://www.kongsberg.com [15 Januari 2010].

Hasanudin, M. 2009. Pemetaan Dasar Laut Menggunakan Multibeam


Echosounder. Oseana.34(1): 1-8

Hutabarat S dan M. E.Stewart. 2000. Pengantar Oseanografi. UI – Press. Jakarta.

IHO. 1998. Special Publication 44. International Hydrography Bureau. Monaco.

IHO. 2008. Standards For Hydrographic Surveys. International Hydrographic


Bureau. Monaco.

Kagesten G. 2008. Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A


Multibeam Echosounder. Department of Earth Science, Gothenburg
University. 38 pp.

Manik, H. M. 2008. Deteksi dan Kuantifikasi Bottom Acoustic Backscattering


Strength dengan Instrumen Echo Sounder, h 67-68. Prosiding Seminar
Instrumentasi berbasis Fisika 2008, 28 agustus 2008, Bandung, Indonesia.
Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi Fisika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.

Mann, Robert and Godin, André. 1996. Field Procedures for the Calibration of
Shallow Water Multibeam Echo-Sounding Systems. Canadian Hydrographic
Conference, Canada.

Moustier, De. 2005. Course Multybeam Sonar Method. Publication Data, Inggris.

Poerbandono. 1999. Hidrografi Dasar. Jurusan Teknik Geodesi. Institut


Teknologi Bandung.

Poerbandono dan Djunarsjah, E. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama.


Bandung.

[PPDKK BAKOSURTANAL] Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan


Kedirgantaraan . 2004. Norma Pedoman Prosedur Standar dan Spesifikasi
survei Hidrografi.
http://www.bakosurtanal.go.id/upl_file/tutorial/survei_hidrografi.doc.
[22 Januari 2011].
28

Sasmita, D.K. 2008. Aplikasi Multibeam Echosounder System (MBES) untuk


Keperluan Batimetrik. Tugas Akhir [Tidak Dipublikasikan]. Program Studi
Teknik Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung.

Wentworth CK. 1922. A Scale of Grade And Class Terms For Clastic Sediments.
Journal of Geology 30: 377–392.

Yanto, H. 2007. Pemanfaatan Informasi Batimetri Untuk Keperluan Peletakkan


Pipa Bawah Laut. Tugas Akhir [Tidak Dipublikasikan]. Program Studi
Teknik Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung.

___________. 2005. www.kongsberg.com. Maritime International, Horten.

[22 Januari 2011].

___________. 2006. www.kongsberg.com. Maritime International, Horten.

[22 Januari 2011]

You might also like