You are on page 1of 19

MAKALAH PENGANTAR ILMU PETERNAKAN

RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA

Nama : Salsabila Urfa Al-A’la


NPM : 200110100063
Kelas : FAPET B

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah. Bahwasanya saya telah dapat membuat


makalah ilmu peternakan walaupun tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang saya hadapi,
tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah SWT.

Walaupun demikian, sudah barang tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan
belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan saya. Oleh karena itu saran dan
kritik yang bersifat membangun dari semua pihak saya harapkan agar dalam pembuatan
makalah di waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.

Harapan saya semoga makalah ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Wabilahi Taufik walhidayah Wasalamualaikum wr.wb.

Salsabila Urfa Al-A’la


ABSTRAK
Pembangunan industri peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga komponen manajerial tersebut perlu bersinergi satu
dengan lainnya untuk membangun kelembagaan yang terstruktur baik guna mengoptimalkan
pemanfaatan berbagai sumber daya yang dimiliki dalam pengembangan sistem peternakan
harapan. Kebutuhan daging sapi dan susu sapi baru dapat dipenuhi melalui impor dalam jumlah
besar. Daging kambing, daging ayam dan telur dapat dikatakan telah berswasembada, hanya
sayang pakan ayam ras masih harus diimpor sekitar 3 juta ton per tahun. Trend konsumsi
kedepan akan terfokus pada daging sapi, daging ayam dan telur karena produk akhir dari ketiga
komponen tersebut bersifat harga murah, mudah diperoleh, tersebar sampai pedesaan dan
bergizi tinggi dan disukai masyarakat umum. Oleh karena itu restrukturisasi peternakan harus
fokus pada kelembagaan yang mampu untuk penyediaan benih/bibit yang cukup dan kontinu,
kecukupan dan kemudahan perolehan pakan dan obat-obatan serta pemasaran yang
menguntungkan para pelaku. Pengembangan kawasan industri peternakan dari hulu sampai hilir
akan merupakan pilihan utama untuk menggapai harapan.
PENDAHULUAN
Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
masyarakat dan swasta. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian
dan pengawasan terhadap ketersediaan produk peternakan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, bergizi, beragam dan merata. Sedang swasta dan masyarakat memiliki
kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan,
dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk ternak.
Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk saat ini yang mencapai 223 juta orang
dengan tingkat pertumbuhan populasi 1,01 persen per tahun (Ditjenak, 2006), merupakan target
pasar potensial yang ingin dibidik oleh banyak Negara produsen pangan di dunia termasuk
produk pangan peternakan. Dari ketiga macam produk pangan utama asal ternak, maka ada
beberapa komoditas yang telah mampu berswasembada dan ada juga yang sangat bergantung
pada ketersediaan melalui impor. Selayaknya Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan
pangan asal ternak sendiri dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk
peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan
dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung. Namun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di Indonesia masih belum
berhasil dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk rentan terhadap serangan penyakit
hewan berbahaya. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai kelemahan struktural dalam
sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari model
pengembangan dan kelembagaan yang tepat dan secara ekonomis menguntungkan dalam
penerapannya (Ilham, 2006). Dengan demikian semua sumber daya yang ada dapat
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menghasilkan produk peternakan dalam jumlah yang
cukup, berkualitas, harga terjangkau dan mampu bersaing dengan harga jual produk impor baik
di Indonesia maupun di luar negeri, dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para
peternak.
Ke depan, peternakan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan membangun SDM yang berkualitas melalui program ketahanan pangan
terutama dalam penyediaan bahan pangan protein hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal
(ASUH). Untuk tercapainya harapan tersebut, diperlukan kemampuan daya beli masyarakat di
satu sisi serta kemampuan untuk menyediakan dan mendistribusikan produk peternakan ke
seluruh wilayah nusantara sepanjang tahun. Untuk itu maka perlu dipahami keadaan peternakan
saat ini dan berusaha membangun suatu sistem yang mampu mengakomodir berbagai
kepentingan secara bijak dan menguntungkan bagi para pelaku dalam operasionalisasinya.
POTRET PETERNAKAN SEKARANG

Produk Pangan Asal Ternak, Selera Konsumen dan Peluang Pasar

Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat penting dalam
memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga adalah komoditas ekonomi
yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii)
ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan (iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari
ruminansia besar dan ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal unggas
disumbangkan paling banyak oleh ayam broiler dan ayam kampung dan hanya sedikit dari itik
dan ayam petelur (ayam jantan dan betina afkir). Total sumbangan daging asal unggas mencapai
60,8 persen dari total daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Ditjenak, 2006).
Daging ayam merupakan daging termurah, harga terjangkau oleh masyarakat luas,
kualitasnya cukup baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta penyebarannya yang hampir
menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging unggas maka
Indonesia telah mencapai wasembada sejak tahun 1995 lalu. Perlu diingat bahwa permintaan
akan daging unggas akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup
signifikan (Tangenjaya dan Djajanegara, 2002).
Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Saat ini peluang ekspor cukup
sulit untuk dilaksanakan karena banyak negara telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri,
maka perlu dicari nilai lebih dari produk Indonesia agar mempunyai daya saing yang cukup
untuk menembus pasar ekspor (Badan Litbang Pertanian, 2005b; dan Kementerian Negara
Ristek-RI, 2006). Hal yang tidak kalah penting juga adalah lebih mengefisienkan proses
produksi agar daya saing produk dapat lebih ditingkatkan. Daging asal ruminansia besar paling
banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan
betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 persen dari total konsumsi daging nasional
(Ditjenak, 2006). Secara umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang
berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia belum berswasembada, bahkan
harus mengeluarkan devisa yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan
jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan
pendapatan (Talib, 2006). Daging asal ruminansia kecil mempunyai pasar yang sangat spesifik
tetapi juga membutuhkan jumlah ternak yang tidak sedikit. Kontribusi daging ruminansia kecil
pada konsumsi daging nasional sebesar 6 persen (Ditjenak, 2006).
Pasar potensial adalah berupa sate, gulai dan sop kambing (walaupun dagingnya berasal
dari kambing dan domba) dan pasar ternak hidup terbesar adalah untuk Ritual Hari Raya Idul
Adha. Dalam memenuhi kebutuhan pasar maka Indonesia telah berswasembada.
Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Untuk daging ruminansia kecil
sebenarnya pasar ekspor tersedia yaitu di Timur Tengah dimana daging tersebut merupakan
konsumsi harian masyarakat di sana dan untuk kebutuhan Ritual Idul Adha. Mengapa ekspor
belum bisa terlaksana dengan baik? Standar ekspor yang diinginkan sulit diperoleh dalam
jumlah yang cukup (Badan Litbang Pertanian, 2005a) karena system pemeliharaan masih dalam
skala kecil dan sangat beragam sedangkan kebutuhan ekspor dalam jumlah yang cukup besar
untuk setiap pengiriman maka pengumpulan ternak menjadi kurang ekonomis. Pasar dalam
negeri masih kurang kondusif bagi daging kambing/domba karena akan semakin tergeser oleh
daging ayam dan sapi, maka pengembangan ternak kambing dan domba sebaiknya berorientasi
ekspor melalui perbaikan bibit dan manajemen pemeliharaan. Daging asal ternak lain
didominasi oleh Babi (9%) (Ditjenak, 2006), dimana konsumennya hanya berkembang pada
masyarakat nonmuslim saja. Sedangkan kontribusi daging dari ternak lainnya seperti kuda,
kelinci dan rusa masih sangat terbatas. Indonesia telah berswasembada daging babi bahkan pada
daerah-daerah perbatasan merupakan komoditas ekspor yang cukup potensial.
Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah, dan hanya sedikit kontribusi
yang berasal dari kerbau yaitu hanya terdapat di lokasi tertentu saja yang budaya konsumsi susu
kerbau. Biasanya juga berlangsung hanya pada even tertentu. Sedangkan konsumsi susu
kambing lebih terbatas lagi hanya pada masyarakat yang mempercayai bahwa susu kambing
adalah obat berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan
lambung. Kebutuhan susu sapi dalam negeri baru terpenuhi 24 persen dari kebutuhan total,
sehingga masih sangat bergantung pada impor sebesar 76 persen. Walaupun demikian peluang
ekspor masih cukup terbuka, hal ini dapat dilihat dari keberhasilan beberapa perusahaan
mengekspor produk tersebut dengan jumlah yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 32 persen
(Ditjenak, 2006). kebutuhan susu sapi dalam negeri akan terus meningkat dari tahun ke tahun
akibat adanya kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan.
Telur, paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur dan merupakan sumber protein
hewani asal ternak termurah dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Telur
dalam jumlah terbatas juga disumbangkan oleh ayam kampung dan itik petelur. Telur ayam
kampung lebih banyak berfungsi sebagai obat (campuran jamu) dibandingkan dikonsumsi
secara langsung sebagaimana telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Demikian pula telur itik
lebih banyak digunakan untuk produk olahan pangan siap saji seperti martabak dan telur asin,
sedangkan konsumsi dengan hanya digoreng atau direbus masih kurang disukai karena agak
berbau anyir.

Perlu diingat bahwa permintaan akan telur ayam akan terus meningkat dari tahun ke
tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan dan akan menggeser telur-telur lainnya
sebagaimana trend yang ada sekarang (Tangenjaya dan Djayanegara, 2002; Badan Litbang
Pertanian, 2005b). Peluang ekspor telur unggas cukup sulit karena banyak negara yang telah
mencapai swasembada telur.
Karakteristik Peternakan di Indonesia

Peternakan Unggas
Peternakan unggas secara garis besar terbagi atas dua macam yaitu peternakan
komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional (non komersial). Hampir semua
peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan petelur) dan sebaliknya hampir semua
peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi
atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai
penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun dalam prakteknya sebagian besar
breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Di
samping itu hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang
(20.000 ekor) sangat bergantung pada bibit/benih dan saprodi dari perusahaan besar baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pasarnya adalah berhubungan langsung dengan para penampung di pasar-pasar
tradisional (pasar becek). Untuk peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem
inti-plasma mempunyai kewajiban untuk menjual pada perusahaan besar (inti) dengan harga
pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli.
Perkembangan ayam ras yang mampu membangun Indonesia untuk mencapai
swasembada daging ayam dan telur ayam dengan konsumen yang mencapai hampir seluruh
Wilayah Indonesia perlu dicermati dengan baik. Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk, telah
membangun suatu system tersendiri yang disetujui oleh para peternak karena mampu
memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah
satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan
peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan
berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang
siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan
keuntungan yang dianggap baik bagi peternak yang melakoninya. Sayangnya pakan untuk
unggas masih menjadi problema yang serius karena sebagian besar bahan pakan diperoleh
melalui impor dan tercatat pada tahun 2004 besaran impor untuk jagung (988 ribu ton), bungkil
kedelai (1,8 juta ton) dan tepung hewani (360 ribu ton) (Ditjenak, 2006).
Bahan-bahan tersebut merupakan bahan utama untuk formulasi pakan unggas. Sehingga
untuk menembus pasar impor dan persaingan dengan produk impor dalam pasar global maka
harus ada tindak lanjut untuk memenuhi kebutuhan pakan tersebut yang diharapkan dapat lebih
murah dari produk impor. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha komersial kecil menuju
kepada skala usaha komersial yang lebih besar adalah pada faktor modal usaha, akses pada
saprodi dan ketersediaan pasar dan bukan pada SDM.
Perkembangan ayam kampung mengambil arah yang berbeda dengan ayam ras,
peternak pembibit menseleksi ternaknya bukan ditujukan untuk produksi daging dan telur secara
optimal sebagaimana pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk menghasilkan bibit yang
spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau hobi seperti ayam pelung untuk suara
merdu, ayam bangkok untuk ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat
sedikit yang
mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga sulit bagi ayam
kampung untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur dan daging yang
banyak. Peternak budidaya pada ayam kampung lebih memfungsikan ayamnya sebagai
tabungan yang siap diuangkan setiap saat ketika membutuhkan dana kontan. Para peternak
pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga plasma nutfah yang andal. Mereka
membangun asosiasi pencinta ternak seperti HIPAPI (Himpunan Peternak Ayam Pelung) yang
sering mengadakan even-even kejuaraan dan kontes untuk kemerduan suara ternaknya

Peternakan Ruminansia Besar


Pada peternakan ruminansia besar, para peternak juga terbagi atas peternak komersial
dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional. Peternak komersial (yang memelihara >
1.000 ekor/peternak per tahun) terdiri atas peternak penggemukan (feeder) dan peternak
pembibitan (breeder). Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak sapi bakalan
melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial
tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri, terutama karena alasan nilai ekonomis.
Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhir-akhir ini berkembang peternakan
sumber bibit (sebenarnya sumber bakalan). Peternak breeder murni belum ada di sini, yang ada
adalah peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk
menghasilkan keturunan (Badan Litbang Pertanian, 2005c). Sapi-sapi betina tersebut diseleksi
dengan seksama akan sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak
betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak Pemda untuk dikembangkan dan
digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua
produk tersebut, baik sapi penggemukan maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat
prospektif.
Pertanyaannya adalah mungkinkah model usaha perbibitan seperti ini dapat
dikembangkan pada sapi lokal ?
Peternak tradisional juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam skala usaha
yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai peternak sapi kereman
karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong cukup lama yaitu lebih dari 6
bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi bakalan lebih tepat disebut sebagai peternak
budidaya karena praktek seleksi untuk peningkatan produktivitas belum ada dan memang tidak
tepat untuk
dilaksanakan karena skala pemilikan yang kecil (1–5 ekor/peternak). Sistem peternakan yang
dikembangkan dalam berbagai model pengembangan, yang akhir-akhir ini lebih berkembang
adalah sistem kandang komunal dalam suatu kawasan peternakan di mana para peternak yang
berdekatan membangun kandang berkapasitas > 50 ekor induk sapi dalam suatu areal dan semua
peternak mengandangkan ternaknya di sana (Talib, 2007). Keuntungannya adalah pelayanan
akan lebih mudah dan efisien termasuk servis perkawinan dan obatobatan. Ada berbagai model
yang dikembangkan tetapi semuanya dengan karakteristik masing-masing. Kelemahan
mendasar tetap ada yaitu petani belum mampu meningkatkan jumlah pemilikan karena
keterbatasan SDM dalam
keluarga, sehingga jika sapi mencapai jumlah yang melebihi kemampuan maka jumlahnya harus
dikurangi. Disinilah sumber sapi bakalan potensial yang dapat dijaring atau dikembangkan
dengan pemberian tambahan sumber daya permodalan melalui perbankan.
Para peternak mengenal sapi-sapi yang dianggap unggul berdasarkan pengalaman
menurut tanda-tanda kualitatif. Untuk sapi dan kerbau yang ditujukan untuk kebutuhan
entertainment dan ritual maka pemahaman keunggulan adalah berdasarkan pada warisan
pengetahuan tradisional yang kadangkala berlawanan dengan kebutuhan untuk produksi daging.
Misalnya, untuk Tedong Bonga (kerbau di Tanah Toraja) yang penting adalah corak belang
hitam putih yang memenuhi syarat, jika tidak memenuhi syarat walaupun bagus perdagingannya
mempunyai harga jual yang lebih murah. Contoh lainnya adalah sapi Madura dimana yang
dipentingkan adalah kemampuan menarik beban dan kecepatan berlari yaitu tulang besar dan
kerampingan otot. Praktek yang diterapkan para peternak tradisional pada sapi dan kerbau
miliknya adalah untuk produksi daging, maka ternak jantan yang paling cepat tumbuh akan
paling cepat juga masuk ke pasar konsumen untuk menjadi ternak konsumsi. Tentunya ternak
tersebut adalah ternak jantan terbaik yang dimilikinya, sedangkan ternak betina yang
dipelihara/dipertahankan adalah ternak-ternak yang diyakini akan dapat dengan mudah menjadi
bunting dan melahirkan serta mempunyai kemampuan merawat anaknya dengan baik. Oleh
karenanya masuknya program IB menggunakan semen sapi impor membuat peternak memiliki
jalan pintas untuk mempercepat pertumbuhan ternak yang dihasilkan dan merupakan jalan
pintas yang disukai yaitu melalui persilangan dengan sapi Eropa (Bos taurus). Berdasarkan
pengalaman mereka maka sapi F1 yang terbaik adalah jika disilangkan dengan Simmental atau
Limousin (Badan Litbang Pertanian, 2005c).
Keterbatasan pengembangan usaha dari peternak dengan skala usaha kecil tradisional
menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah pada akses mendapatkan saprodi dan pada
keterbatasan SDM keluarga yang dimiliki. Dengan demikian jika jumlah sapi yang dimiliki
petani tersebut meningkat maka harus ada ternak sapinya yang dikeluarkan. Umumnya
pengeluaran ternak dimulai dari sapi jantan yang paling cepat tumbuh mencapai bobot potong,
kemudian sapi betina dengan jarak kelahiran yang paling panjang dan berikutnya (sapi-sapi
betina inilah yang dikenal sebagai ”pemotongan ternak betina produktif”). Dengan pemahaman
seperti ini maka jelas aturan pelarangan pemotongan sapi betina produktif tidak cukup jika
hanya berupa peraturan, tetapi harus menyediakan jalan keluar terbaik bagi peternak agar
peraturan tersebut dapat berjalan efektif.
Pada peternakan sapi perah, hampir semua peternak berorientasi pada
keuntungan. Pada perusahaan peternakan besar (> 200 ekor) biasanya mempunyai usaha dari
hulu sampai hilir, sedangkan pada peternak kecil (3–10 ekor/peternak) umumnya bergabung
dalam wadah Koperasi Peternak Susu (KPS). KPS menyediakan saprodi (pakan konsentrat,
pelayanan keswan dan pelayanan reproduksi seperti IB dan pemeriksaan kebuntingan) dan
menampung semua hasil susu yang diproduksi anggotanya. KPS kemudian menjual susu yang
dikumpulkan
dalam bentuk susu segar langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Karena ketergantungan
pasar sebagai satu-satunya pembeli yang bisa diharapkan, maka dalam penentuan harga peran
IPS sangat dominan. Umumnya harga susu yang dibeli IPS relatif rendah jika dibandingkan
dengan biaya produksi susu. Pasokan bibit sapi perah untuk peternak KPS berasal dari pasar,
baik berupa sapi dara siap kawin maupun sapi dara bunting. Sapi-sapi ini diusahakan oleh
sekelompok peternak ”rearing” yang lebih dikenal sebagai ”bengkel sapi”.
Para peternak tersebut membesarkan pedet-pedet betina ataupun mengembalikan
kondisi pedet-pedet pasca-sapih sampai siap kawin ataupun bunting. Di sinipun sifat-sifat
kualitatif dari sapi-sapi betina yang diyakini akan berproduksi tinggi sangat berperan dalam
menentukan harga jual. Para peternak ini juga melakukan rearing pada pedet jantan untuk
mempercepat pencapaian bobot potong. Pada peternakan besar, sapi bibit diperoleh melalui
impor atau membeli pada peternakan besar lainnya, mereka hampir tidak pernah menjaring sapi
bibit dari peternakan tradisional atau pasar lokal dengan alasan utamanya adalah kesehatan.
Peternakan sapi perah khusus pembibit (breeder) belum ada, sehingga untuk sementara
pemerintah berkewajiban menyediakan bibit/benih untuk mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas sapi-sapi perah yang ada.
Dalam hal ini pemerintah menyediakan BIB Singosari dan BIB Lembang yang bersifat
nasional dan BIB-Daerah yang banyak tumbuh akhir-akhir ini. Ternyata dalam
perkembangannya balai-balai inseminasi tersebut mampu menyediakan bibit/benih sapi potong
dan sapi perah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.

Peternakan Ruminansia Kecil


Pada peternakan ruminansia kecil, pola pemeliharaan hampir serupa dengan
pemeliharaan pada sapi potong dan kerbau yaitu pada peternak tradisional. Peternak komersial
seperti pada peternakan sapi belum ada, yang banyak berperan adalah para pedagang
pengumpul ketika kebutuhan untuk pasokan Hari Raya Idhul Adha semakin mendesak. Para
pedagang ini mencari kambing dan domba dari berbagai daerah sumber bibit/bakalan. Pada
peternak pembibit, seleksi yang dilakukan lebih ditujukan untuk tujuan hiburan seperti pada
Domba Garut adalah untuk menghasilkan domba aduan yang unggul, dan para peternak juga
membentuk asosiasi peternak domba garut. Seleksi untuk menghasilkan daging yang banyak
belum ada di peternak, walaupun ketika menjual ternak yang tidak layak untuk aduan adalah
melihat taksiran bobot badan. Pada peternak ruminansia kecil belum ada koperasi yang
mewadahi, baik untuk ternak potong maupun untuk ternak perah (kambing perah). Demikian
pula pengembangan peternakan secara perorangan ke arah komersial masih kurang didukung
oleh pasar lokal yang ada. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha kecil tradisional
menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah akses pada saprodi, SDM keluarga yang
dimiliki dan pasar.
KELEMAHAN PETERNAKAN DI INDONESIA
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal yang merupakan kelemahan pada sistem
peternakan di Indonesia, untuk dijadikan titik awal perubahan struktur peternakan berdasarkan
komoditas dengan model usaha serta kelembagaan yang diharapkan potensial untuk dibentuk.

Peternakan Unggas (baca: Ayam Ras)


Kelemahan sistem peternakan unggas adalah (a) besarnya jumlah pakan yang harus
diimpor baik sebagai sumber energi maupun untuk sumber protein yaitu jagung, bungkil kedelai
dan tepung hewani. Kebutuhan ketiga bahan tersebut dengan populasi yang ada sekarang sekitar
3 juta ton. (b) Dapatkah kebutuhan tersebut yang merupakan pasar bahan baku pakan dipenuhi
dari dalam negeri sendiri dengan catatan yang dapat meningkatkan efisiensi produksi produk
unggas? (c) Ayam kampung yang merupakan sumber uang kontan bagi masyarakat pedesaan
belum diketahui ke arah mana pengembangannya? Apakah untuk entertainment ataukan untuk
produksi?

Peternakan Ruminansia Besar


Kelemahan pada ruminansia besar antara lain adalah: (a) Untuk sapi potong,
kelemahannya adalah ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar
(+ setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu meningkat dari tahun ketahun (PPSKI, 2007), (b)
Untuk sapi perah, ketergantungan terhadap susu impor dalam jumlah besar yang juga selalu
meningkat dari tahun ketahun, (c) peternakan sapi potong untuk sumber bibit/bakalan sapi
impor jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada.
Dampaknya, pengadaan bakalan sapi potong maupun calon induk sapi perah dari dalam negeri
dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai tempat yang
membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi impor menjadi lebih ekonomis,
(d) akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan
maupun perbibitan skala kecil (10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit untuk diperoleh,
(e) keterbatasan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari
pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit sekali untuk
meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina usia produktif terpaksa
harus menjadi ternak konsumsi. Jalan keluarnya adalah memudahkan akses permodalan bagi
peternak untuk pengadaan pakan lengkap yang terjangkau oleh peternak dan penggunaannya
dalam proses produksi memberikan keuntungan yang cukup sehingga peternak terpacu untuk
meningkatkan skala usaha mereka.

Peternakan Ruminansia Kecil


Melihat trend konsumsi yang ada maka konsumsi daging kambing dan domba dalam
negeri hanya berlangsung dengan lonjakan sporadis hanya dibutuhkan dalam waktu-waktu
tertentu saja, sedangkan konsumsi harian akan terus terdesak oleh daging sapi dan daging ayam.
Dengan demikian, kalaupun mau ditingkatkan maka yang harus dikembangkan adalah
peternakan skala komersial untuk membidik pasar impor.
MODEL PETERNAKAN UNTUK MENGGAPAI HASIL TERBAIK
Dari uraian terdahulu maka pengembangan peternakan Indonesia ke depan harus didasarkan
pada:
a. Pengadaan sumber pakan yang cukup, baik untuk sumber protein maupun energi, untuk
kebutuhan peningkatan populasi unggas dalam hal ini adalah ayam ras. Hal ini disebabkan
karena ayam ras adalah produsen telur dan daging segar sebagai sumber protein hewani
termurah, harga terjangkau dan jaringan pemasaran yang telah mencapai perdesaan.
b. Pengadaan sumber pakan hijauan dan konsentrat atau pakan lengkap bagi sapi potong yang
jumlahnya akan terus ditingkatkan. Pasar daging sapi walaupun saat ini masih terus tertekan
oleh daging ayam, tetapi akan bertahan pada tahapan tertentu yang sulit digeser oleh daging
ayam. Daging sapi merupakan bahan utama pembuatan bakso, sebagai produk protein hewani
dengan harga murah, terjangkau masyarakat dengan jaringan pasar yang mencapai pedesaan.
c. Sumber bibit atau DOC bagi ayam sampai saat ini akan cukup tersedia karena didukung oleh
pihak swasta bermodal kuat dan merupakan pengusaha lintas negara. Tetapi untuk sapi potong
perlu dibangun suatu sistem pembibitan sapi lokal atau ex-impor yang secara bertahap akan
meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia.
d. Susu yang dihasilkan oleh sapi perah dalam sistem pemasarannya di Indonesia dalam
penentuan harga didominasi oleh IPS, demikian pula jaringan pemasaran dikuasai oleh IPS.
Oleh karena itu, prioritas penanggulangannya adalah kelembagaan pasar yang lebih adil dan
bijaksana (fairness policy).
e. Penjaringan sapi bakalan dari peternak tradisional dapat diperankan oleh swasta untuk
dikembangkan pada wilayah sumber pakan di atas. Demikian pula penjaringan sapi induk
produktif yang berlebih dari peternak tradisional dapat dijaring oleh swasta tersebut. Cara
lainnya adalah dengan memudahkan para peternak tradisional untuk akses terhadap modal baik
yang berasal dari perbankan atau sumber lain agar mereka dapat berkembang menjadi peternak
komersial. Diharapkan para peternak tradisional juga dapat meningkatkan efisiensi proses
produksi dalam menghasilkan sapi bakalan maupun sapi bibit di peternakannya. Dari kelima
butir tersebut maka fokus pengembangan peternakan masa depan di Indonesia seharusnya hanya
bertumpu pada dua komoditas utama yaitu ayam ras dan sapi potong. Sumber pakan utama
ternak ayam yang perlu dikembangkan adalah membangun perkebunan jagung dan kedelai skala
besar pada hamparan lahan kering yang sangat luas di Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan
agar efisiensi ekonomis dapat ditingkatkan untuk antisipasi persaingan pasar global lintas
negara. Sumber pakan utama sapi potong berupa hijauan cukup banyak tersedia hanya perlu
ditata berdasarkan kawasan agar dapat memudahkan sistem panen. Hijauan tersebut dapat
berupa rumput pastura (alam), rumput budidaya, lahan sawah/pasang surut, kebun sawit, kebun
tebu, kebun jagung dan kedelai. Salah satu jalan pintas untuk meningkatkan efisiensi adalah
mendekatkan ternak dengan sumber pakannya. Maka berbagai pilihan model pengembangan
dapat diterapkan di sini.
Model (1) Integrasi jagung-kedelai dengan ayam ras dan sapi potong di perkebunan jagung-
kedelai. Perkebunan menghasilkan biji jagung dan kedelai untuk konsumsi ayam dan
penggemukan sapi, jerami jagung dan jerami kedelai dapat digunakan untuk pakan sapi.
Kotoran ternak dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan jagung dan kedelai agar
berkualitas bagus ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos
pada perkebunan.
Model (2) Integrasi padi dengan ayam ras dan sapi potong di lahan sawah/pasang surut. Lahan
akan menghasilkan beras, dedak dan sekam, serta jerami padi. Dedak dan jerami untuk
konsumsi ternak, sekam untuk alas kandang. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai biogas
untuk pengeringan padi agar berkualitas bagus ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas
dapat digunakan untuk kompos pada lahan tanam.
Model (3) Integrasi sapi pada perkebunan sawit. Perkebunan dan industri perkebunan
menghasilkan daun, pelepah dan tandan sawit serta limbah sawit yang merupakan pakan sapi.
Kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk pada lahan perkebunan.
Model (4) Integrasi sapi dengan perkebunan tebu. Perkebunan tebu dan industri gula akan
menghasilkan pucuk tebu, ampas tebu dan tetes yang semuanya dapat dimakan sapi, sedangkan
kotoran sapi dapat digunakan untuk biogas dan pupuk. Model-model integrasi butir 1-4 dapat
dibangun oleh swasta secara mandiri maupun dalam sistem inti-plasma dengan penerapan
fairness policy dalam berbagi keuntungan dan risiko secara proporsional.
Model (5) Peternakan sapi di padang rumput dengan sistem penggembalaan maupun cut and
carry yang hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan terbuka yang memang sudah ditetapkan
statusnya sebagai lahan peternakan. Tanpa adanya penetapan status lahan maka pasti akan
hilang.
Model (6) Peternakan sapi di kandang komunal atau pada kawasan peternakan yang sesuai
dengan kondisi setempat. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaanya, sangat diharapkan agar
lahanlahan yang digunakan untuk usaha tersebut status lahannya adalah memang untuk lahan
sawah, untuk lahan perkebunan jagung-kedelai, untuk lahan perkebunan sawit, untuk lahan
perkebunan tebu dan untuk lahan penggembalaan/peternakan. Dengan adanya penetapan lahan
tersebut maka pengontrolan terhadap biosekuriti ternak akan lebih mudah ditangani sehingga
kalau ada out-break penyakit akan lebih mudah untuk ditangani.
PENUTUP
Penelitian dan pengembangan peternakan sangat penting perannya dalam upaya
meningkatkan produktivtas ternak baik secara intensifikasi maupun secara ekstensifikasi. Di
samping itu penelitian juga berperan dalam pengembangan peternakan di lahan marjinal yang
berpotensi menjadi kantong ternak baru di masa depan ataupun dalam pengembangan
peternakan di luar lingkungan aslinya. Dukungan teknologi budidaya antara lain meliputi
kegiatan
(i) Pemuliaan ternak secara konvensional dan atau aplikasi bioteknologi untuk pengembangan
breed baru ;
(ii) Pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu;
(iii) Pengembangan teknologi produksi pakan ternak ;
(iv) Pengembangan teknologi produksi ternak ;
(v) Pengembangan teknologi integrasi ternak-tanaman pangan/perkebunan;
(vi) Pemetaan kesesuaian lahan untuk komoditas peternakan pada lahan-lahan marjinal.
Sedangkan dukungan kebijakan diperlukan untuk mendorong perkembangan
usaha peternakan, antara lain adalah :
(i) Penciptaan suasana kondusif agar usaha dapat bersaing dengan pasar global secara lebih adil
melalui kebijakan tarif maupun non-tarif (SPS), sehingga terhindar dari ancaman produk ilegal,
tidak ASUH atau barang dumping,
(ii) Penyediaan sarana dan prasarana yang mampu memperlancar arus barang input maupun
output, serta pengurangan berbagai pungutan atau kemudahan dalam hal perijinan,
(iii) Perlindungan investasi masyarakat atau swasta dari ancaman pencurian, penjarahan dan
kejadian lain yang merugikan,
(iv) Perlindungan ternak dari pengurasan dan ancaman penyakit berbahaya, penyakit eksotik
maupun zoonosis seperti AI, rucellosis, SE, Anthrax, PMK, BSE, dan
(v) Penyediaan dukungan modal yang memadai dan kompetitif, informasi, inovasi teknologi,
dan kelembagaan
DAFTAR PUSTAKA
• Badan Litbang Pertanian. 2005a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kambing
Domba. Badan Litbang Pertanian Deptan
• Badan Litbang Pertanian. 2005b. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas.
Badan Litbang Pertanian Deptan.
• Badan Litbang Pertanian. 2005c. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi.
Badan
• Litbang Pertanian Deptan.
• Ditjenak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2006. Statistik Peternakan Tahun 2005.
Ditjenak, Jakarta.
• HIPAPI. 2006. Ayam Pelung. Himpunan Peternak Ayam Pelung, Bandung.
Ilham, N. 2006. Analisa sosial ekonomi dalam rangka pencapaian swasembada daging
2010. Paper dipresentasikan pada whorkshop ”Strategi pencapaian kecukupan daging
2010”, Juli 2006, Bogor. Direktorat Ruminansia, Ditjenak, Jakarta. Unpublished.
• Kementerian Negara Ristek-RI. 2006. Buku Putih : Penelitian Pengembangan dan
Penerapan IPTEK Bidang Pangan Tahun 2005 – 2025. Kementerian Negara Ristek-RI,
Jakarta.
• PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia). 2007. Kesiapan Peternak
dan
Industri Peternakan dalam Pelaksanaan PKD (Program Kecukupan Daging) 2010.
• Paper disampaikan dalam Pertemuan ”Sumbangan ISPI pada PKD 2010”, Januari
2007”. Sekretaris Ditjenak, Jakarta. Unpublished.
• Talib, C. 2006. Langkah strategis untuk pencapaian swasembada daging sapi pada
tahun
2010. Paper dipresentasikan pada whorkshop ”Strategi pencapaian kecukupan daging
2010”, Juli 2006, Bogor. Direktorat Ruminansia, Ditjenak, Jakarta.
Unpublished.
• Talib.C. 2007. Model Pengembangan Kawasan Agribinis Sapi Potong. Paper
dipresentasikan dalam workshop ”Pembangunan Agribisnis Sapi Potong dalam
menunjang PKD (Program Kecukupan Daging) 2010”.Bogor, Januari 2007. Pusat
Penelitian Pengembangan Peternakan, Bogor.
• Tangenjaya, B. dan A. Djajanegara. 2002. Peternakan Indonesia tahun 2020: Suatu Visi.
Agriculture and Rural Development Strategy Study, ADB – 3843.

You might also like