Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Walaupun demikian, sudah barang tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan
belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan saya. Oleh karena itu saran dan
kritik yang bersifat membangun dari semua pihak saya harapkan agar dalam pembuatan
makalah di waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.
Harapan saya semoga makalah ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat penting dalam
memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga adalah komoditas ekonomi
yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii)
ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan (iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari
ruminansia besar dan ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal unggas
disumbangkan paling banyak oleh ayam broiler dan ayam kampung dan hanya sedikit dari itik
dan ayam petelur (ayam jantan dan betina afkir). Total sumbangan daging asal unggas mencapai
60,8 persen dari total daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Ditjenak, 2006).
Daging ayam merupakan daging termurah, harga terjangkau oleh masyarakat luas,
kualitasnya cukup baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta penyebarannya yang hampir
menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging unggas maka
Indonesia telah mencapai wasembada sejak tahun 1995 lalu. Perlu diingat bahwa permintaan
akan daging unggas akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup
signifikan (Tangenjaya dan Djajanegara, 2002).
Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Saat ini peluang ekspor cukup
sulit untuk dilaksanakan karena banyak negara telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri,
maka perlu dicari nilai lebih dari produk Indonesia agar mempunyai daya saing yang cukup
untuk menembus pasar ekspor (Badan Litbang Pertanian, 2005b; dan Kementerian Negara
Ristek-RI, 2006). Hal yang tidak kalah penting juga adalah lebih mengefisienkan proses
produksi agar daya saing produk dapat lebih ditingkatkan. Daging asal ruminansia besar paling
banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan
betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 persen dari total konsumsi daging nasional
(Ditjenak, 2006). Secara umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang
berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia belum berswasembada, bahkan
harus mengeluarkan devisa yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan
jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan
pendapatan (Talib, 2006). Daging asal ruminansia kecil mempunyai pasar yang sangat spesifik
tetapi juga membutuhkan jumlah ternak yang tidak sedikit. Kontribusi daging ruminansia kecil
pada konsumsi daging nasional sebesar 6 persen (Ditjenak, 2006).
Pasar potensial adalah berupa sate, gulai dan sop kambing (walaupun dagingnya berasal
dari kambing dan domba) dan pasar ternak hidup terbesar adalah untuk Ritual Hari Raya Idul
Adha. Dalam memenuhi kebutuhan pasar maka Indonesia telah berswasembada.
Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Untuk daging ruminansia kecil
sebenarnya pasar ekspor tersedia yaitu di Timur Tengah dimana daging tersebut merupakan
konsumsi harian masyarakat di sana dan untuk kebutuhan Ritual Idul Adha. Mengapa ekspor
belum bisa terlaksana dengan baik? Standar ekspor yang diinginkan sulit diperoleh dalam
jumlah yang cukup (Badan Litbang Pertanian, 2005a) karena system pemeliharaan masih dalam
skala kecil dan sangat beragam sedangkan kebutuhan ekspor dalam jumlah yang cukup besar
untuk setiap pengiriman maka pengumpulan ternak menjadi kurang ekonomis. Pasar dalam
negeri masih kurang kondusif bagi daging kambing/domba karena akan semakin tergeser oleh
daging ayam dan sapi, maka pengembangan ternak kambing dan domba sebaiknya berorientasi
ekspor melalui perbaikan bibit dan manajemen pemeliharaan. Daging asal ternak lain
didominasi oleh Babi (9%) (Ditjenak, 2006), dimana konsumennya hanya berkembang pada
masyarakat nonmuslim saja. Sedangkan kontribusi daging dari ternak lainnya seperti kuda,
kelinci dan rusa masih sangat terbatas. Indonesia telah berswasembada daging babi bahkan pada
daerah-daerah perbatasan merupakan komoditas ekspor yang cukup potensial.
Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah, dan hanya sedikit kontribusi
yang berasal dari kerbau yaitu hanya terdapat di lokasi tertentu saja yang budaya konsumsi susu
kerbau. Biasanya juga berlangsung hanya pada even tertentu. Sedangkan konsumsi susu
kambing lebih terbatas lagi hanya pada masyarakat yang mempercayai bahwa susu kambing
adalah obat berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan
lambung. Kebutuhan susu sapi dalam negeri baru terpenuhi 24 persen dari kebutuhan total,
sehingga masih sangat bergantung pada impor sebesar 76 persen. Walaupun demikian peluang
ekspor masih cukup terbuka, hal ini dapat dilihat dari keberhasilan beberapa perusahaan
mengekspor produk tersebut dengan jumlah yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 32 persen
(Ditjenak, 2006). kebutuhan susu sapi dalam negeri akan terus meningkat dari tahun ke tahun
akibat adanya kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan.
Telur, paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur dan merupakan sumber protein
hewani asal ternak termurah dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Telur
dalam jumlah terbatas juga disumbangkan oleh ayam kampung dan itik petelur. Telur ayam
kampung lebih banyak berfungsi sebagai obat (campuran jamu) dibandingkan dikonsumsi
secara langsung sebagaimana telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Demikian pula telur itik
lebih banyak digunakan untuk produk olahan pangan siap saji seperti martabak dan telur asin,
sedangkan konsumsi dengan hanya digoreng atau direbus masih kurang disukai karena agak
berbau anyir.
Perlu diingat bahwa permintaan akan telur ayam akan terus meningkat dari tahun ke
tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan dan akan menggeser telur-telur lainnya
sebagaimana trend yang ada sekarang (Tangenjaya dan Djayanegara, 2002; Badan Litbang
Pertanian, 2005b). Peluang ekspor telur unggas cukup sulit karena banyak negara yang telah
mencapai swasembada telur.
Karakteristik Peternakan di Indonesia
Peternakan Unggas
Peternakan unggas secara garis besar terbagi atas dua macam yaitu peternakan
komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional (non komersial). Hampir semua
peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan petelur) dan sebaliknya hampir semua
peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi
atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai
penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun dalam prakteknya sebagian besar
breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Di
samping itu hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang
(20.000 ekor) sangat bergantung pada bibit/benih dan saprodi dari perusahaan besar baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pasarnya adalah berhubungan langsung dengan para penampung di pasar-pasar
tradisional (pasar becek). Untuk peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem
inti-plasma mempunyai kewajiban untuk menjual pada perusahaan besar (inti) dengan harga
pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli.
Perkembangan ayam ras yang mampu membangun Indonesia untuk mencapai
swasembada daging ayam dan telur ayam dengan konsumen yang mencapai hampir seluruh
Wilayah Indonesia perlu dicermati dengan baik. Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk, telah
membangun suatu system tersendiri yang disetujui oleh para peternak karena mampu
memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah
satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan
peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan
berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang
siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan
keuntungan yang dianggap baik bagi peternak yang melakoninya. Sayangnya pakan untuk
unggas masih menjadi problema yang serius karena sebagian besar bahan pakan diperoleh
melalui impor dan tercatat pada tahun 2004 besaran impor untuk jagung (988 ribu ton), bungkil
kedelai (1,8 juta ton) dan tepung hewani (360 ribu ton) (Ditjenak, 2006).
Bahan-bahan tersebut merupakan bahan utama untuk formulasi pakan unggas. Sehingga
untuk menembus pasar impor dan persaingan dengan produk impor dalam pasar global maka
harus ada tindak lanjut untuk memenuhi kebutuhan pakan tersebut yang diharapkan dapat lebih
murah dari produk impor. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha komersial kecil menuju
kepada skala usaha komersial yang lebih besar adalah pada faktor modal usaha, akses pada
saprodi dan ketersediaan pasar dan bukan pada SDM.
Perkembangan ayam kampung mengambil arah yang berbeda dengan ayam ras,
peternak pembibit menseleksi ternaknya bukan ditujukan untuk produksi daging dan telur secara
optimal sebagaimana pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk menghasilkan bibit yang
spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau hobi seperti ayam pelung untuk suara
merdu, ayam bangkok untuk ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat
sedikit yang
mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga sulit bagi ayam
kampung untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur dan daging yang
banyak. Peternak budidaya pada ayam kampung lebih memfungsikan ayamnya sebagai
tabungan yang siap diuangkan setiap saat ketika membutuhkan dana kontan. Para peternak
pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga plasma nutfah yang andal. Mereka
membangun asosiasi pencinta ternak seperti HIPAPI (Himpunan Peternak Ayam Pelung) yang
sering mengadakan even-even kejuaraan dan kontes untuk kemerduan suara ternaknya