You are on page 1of 10

B.

PROSES MIGRASI
PERADABAN AWAL MASYARAKAT DI DUNIA YANG BERPENGARUH
TERHADAP PERADABAN INDONESIA

BAB II

A. Proses Migrasi Ras Proto Melayu dan Deutro Melayu ke Kawasan Asia Teggara dan
Indonesia

Menurut pendapat para ahli, pada periode 40.000 tahun yang lalu jenis manusia purba
Meganthropus, Pithecanthropus dan jenis Homo telah mengalami kepunahan. Penghuni
kepulauan Indonesia kemudian bergeser ke manusia-manusia migran yang datang dari
berbagai wilayah di Asia dan Australia. Proses migrasi awal menunjukkan bahwa populasi-
populasi kepulauan Indonesia berasal dari bangsa Australo-Melanesia (Australoid) dan
Mongoloid (atau lebih khusus lagi adalah Mongoloid Selatan). Setelah itu datang lagi
gelombang migrasi kedua yaitu bangsa Austronesia (Melayu/Proto Melayu/Melayu Tua)
yang berasal dari Yunan (wilayah di propinsi Cina bagian Selatan). Migrasi mereka sendiri ke
kepulauan Indonesia berlangsung dalam dua gelombang.
Periode gelombang pertama terjadi pada sekitar tahun 1500 SM, melalui dua jalur utama.
Jalur pertama dari Yunan melewati Siam, Malaya dan Sumatera (jalur Barat dan Selatan).
Jalur kedua dari Yunan, Vietnam, Filipina kemudian masuk ke Indonesia melalui wilayah
Sulawesi (jalur Timur dan Utara). Dalam proses persebarannya mereka membawa
kebudayaan neolitikum dari pusatnya di Basson-Hoabinh, yang diantaranya adalah kapak
persegi dan kapak lonjong. Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa
Melayu Tua atau Proto Melayu misalnya suku Toraja dan Dayak.
Migrasi periode kedua dari bangsa Malayu (Deutro Melayu/Melayu Muda) terjadi pada
sekitar tahun 500 SM. Proses persebarannya melalui jalur daratan Asia kemudian
Semenanjung Malaya dan masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Kedatangan bangsa ini
sambil membawa pengaruh budaya logam dari Dongson, seperti nekara, moko, dan kapak
perunggu. Suku bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Melayu Muda
atau Deutero Melayu misalnya suku Jawa, Melayu, dan Bugis.

B. Pengaruh Budaya Hoa-Bihn / Bacson, dan Dongson Terhadap Perkembangan


Budaya Masyarakat Awal Kepulauan Indonesia

1. Pengaruh Budaya Hoa-Bihn Terhadap Perkembangan Budaya Masyarakat Awal


Kepulauan Indonesia
Budaya Hoabihn merupakan diantara budaya besar yang memiliki situs-situs temuan di
seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Budaya Hoabihn ini berkembang di Asia
Tenggara dalam kurun waktu antara 18.000 hingga 3.000-an tahun yang lalu. Istilah
“Hoabihn” sendiri mulai dipakai sejak tahun 1920-an untuk menyebut pada suatu industri alat
batu yang berasal dari jenis batu kerakal dengan ciri khas berupa pangkasan pada satu atau
dua sisi permukaannya.
Manusia pemilik budaya Hoabihn diperkirakan hidup pada kala Holosen. Pendahulu
Hoabinhian awalnya berada di Vietnam bagian Utara, Thailand bagian Selatan dan Malaysia.
Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan
Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri
pokok budaya Hoabihn ini antara lain:
• Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu
• Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai.
• Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi
batu.
• Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong,
segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang.
Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah
Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini.
Situs-situs Hoabihn di Sumatra secara khusus banyak ditemukan di daerah pedalaman pantai
Timur Laut Sumatra, tepatnya sekitar 130 km antara Lhokseumawe dan Medan. Sebagian
besar alat batu yang ditemukan adalah alat batu kerakal yang diserpih pada satu sisi dengan
bentuk lonjong atau bulat telur. Dibandingkan dengan budaya Hoabihn yang sesungguhnya,
pembuatan alat batu yang ditemukan di Sumatra ini dibuat dengan teknologi lebih sederhana.
Kebanyakan alat-alat batu tersebut ditemukan diantara atau terdapat dalam bukit sampah
kerang.
Ditinjau dari segi perekonomiannya, pendukung budaya Hoabihn lebih menekankan pada
aktivitas perburuan dan mengumpulkan makanan di daerah sekitar pantai dan daerah
pedalaman.

2. Pengaruh Budaya Dongson Terhadap Perkembangan Budaya Masyarakat Awal Kepulauan


Indonesia
Pengaruh kuat budaya Dongson terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan
Indonesia adalah dalam hal pembuatan barang dari logam, terutama adalah perunggu. Tradisi
pembuatan barang budaya dari perunggu di Vietnam (bagian Utara) sendiri dimulai pada
sekitar pertengahan milenium kedua sebelum masehi. Tradisi perunggu itu sendiri menurut
para arkeolog Vietnam berasal dari budaya masyarakat Dong Dau dan Go Mun. Bersama
dengan wilayah Muangthai (bagian tengah dan Timur Laut) kawasan ini memiliki bukti
paling awal tentang tradisi pembuatan perunggu di Asia Tenggara.
Jenis-jenis barang perunggu yang mereka hasilkan antara lain kapak corong (corong
merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya), ujung
tombak, sabit, mata panah, dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail dan aneka
bentuk gelang.
Pada tahun sekitar 300 SM, mulai muncul tradisi pembuatan nekara perunggu, penguburan
orang yang memiliki status sosial tinggi, dan kehadiran benda-benda besi untuk yang pertama
kalinya. Tradisi-tradisi Dongson inilah yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
kebudayaan masyarakat awal kelupauan Indonesia secara umum.
Banyak sekali daerah-daerah di kepulauan Indonesia darinya ditemukan benda-benada
budaya yang memiliki kesamaan corak dengan benda-benda atau barang tradisi Dongson.
Contohnya adalah nekara Heger tipe I. Paling tidak ada sekitar 56 nekara atau bagian-bagian
dari nekara yang tersebar di pulau Jawa, Sumatra dan Maluku Selatan. Diantara contoh
nekara yang penting dari Indonesia adalah nekara “Makalamau” dari pulau Sangeang, dekat
Sumbawa. Nekara “Makalamau” memiliki hiasan berupa gambar orang yang berpakaian
seragam menyerupai pakaian jaman dinasti Han di Cina atau Kushan (India Utara) atau
Satavahana (India Tengah). Nekara dari Kepulauan Kai berhiaskan gambar kijang dan adegan
perburuan macan. Nekara dari pulau Selayar bergambar gajah dan burung merak. Nekara dari
Bali mempunyai gambaran bentuk yang berbeda. Nekara dari Bali memiliki empat patung
katak pada bagian bidang pukulnya, dengan pola-pola hiasan yang tidak terpadu berupa
gambar prajurit dan motif perahu. Semua itu menunjukkan kesamaan dengan nekara-nekara
yang ditemukan di Vietnam, di wilayah, dimana budaya Dongson berkembang.
Tentang cara pembuatan jenis nekara itu, sejarawan Bernet Kempers memberi gambaran
tentang penggunaan teknik cetaknya. Awalnya lembaran lilin ditempelkan pada inti tanah liat
(menerupai bentuk nekara dan berfungsi sebagai cetakan bagian dalam), lalu dihias dengan
cap-cap dari tanah liat atau batu yang berhias perahu, orang dan lainna. Kemudian lembaran
lilin berhias tadi ditutup dengan tanah liat yang berfungsi sebagai cetakan bagian luar setelah
terlebih dulu diberi paku-paku yang berfungsi untuk menyatukan cetakan luar dan dalam.
Setelah itu dibakar sehingga lilinya meleleh keluar. Rongga yang ditinggalkan oleh lilin
kemudian diisi dengan cairan logam. Bernet Kempers menyebutnya sebagai teknik cetak cire
perdue (lilin hilang).
Disamping dibawa sendiri oleh orang-orang Dongson, banyak barang-barang logam dari
tradisi Dongson itu yang dikirim ke Indonesia sebagai barang hadiah yang diberikan pada
penguasa setempat sebagai lambang martabat raja dan kekuasaannya oleh para penguasa
politik dan agama di Vietnam. Akibat terjadinya pengenalan benda dan teknologi perunggu
dari Dongson (Vietnam) ke wilayah kepulauan Indonesia menyebabkan di beberapa daerah
kemudian muncul pusat-pusat pembuatan logam.

C. Budaya Logam di Indonesia

1. Situs-situs Peninggalan Budaya Perunggu di Indonesia


Situs-situs peninggalan budaya perunggu di Indonesia, tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Di Sumatra bagian Selatan (daerah Bangkinang dan Kerinci) ditemukan benda-
benda perunggu berupa aneka patung dalam ukuran kecil, cincin dan gelang-gelang. Gelang-
gelang tersebut kebanyakan ditemukan dalam kubur peti batu atau sarkofagus sebagai bekal
kubur. Selain di Sumatra situs-situs ditemukannya peninggalan budaya perunggu di Indonesia
antara lain terdapat di:
• Jawa Timur (daerah Lumajang) berupa nekara tipe Heger I, pisau belati atau pisau pendek
dengan mata pisau dari besi dan pegangan dari perunggu.
• Jawa Tengah (daerah Gunung Kidul, dekat Wonosari) berupa kapak, pahatan, pisau
bertangkai, cincin perunggu, dan manik-manik.
Sama seperti penemuan di Sumatra, semua temuan benda perunggu di Jawa ditemukan di
dlam kubur peti batu atau sarkofagus dan berfungsi sebagai bekal kubur bagi yang
meninggal.
• Jawa Barat, berupa kapak corong, cincin, mata tombak, kapak-kapak yang berkaitan dengan
benda upacara (candrasa)
• Sulawesi Selatan (Makasar) berupa bejana perunggu berbentuk pipih.
• Bali (daerah Pacung dekat Sembiran) berupa nekara Pejeng
• NTT berupa nekara bertipe Heger I
Di Indonesia, diantara benda-benda perunggu yang paling menarik perhatian adalah nekara.
Nekara adalah benda yang terbuat dari perunggu dengan bentuk seperti gendang (alat musik
tabuh tradisional Jawa). Terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian atas yang yang terdiri dari
bidang pukul datar, bagian tengah yang berbentuk silinder dan bagian bawah atau bagian kaki
yang melebar. Sebuah nekara biasanya dihiasi dengan berbagai ornamentasi dengan pola
seperti geometrik, gambar-gambar manusia dan binatang dan berbagai ornamentasi lainnya.
Dan diantara jenis nekara yang ditemukan, tipe Heger dan Pejeng adalah yang paling
terkenal. Terdapat juga jenis nekara yang ukurannya lebih kecil, yang disebut dengan Moko
atau Mako.

2. Teknik Pembuatan Berbagai Benda Peninggalan Perunggu di Indonesia


Pada periode tradisi pengecoran logam, besi dan perunggu kemungkinan besar dikenal dalam
waktu yang bersamaan. Pada periode ini manusia telah mampu membuat alat-alat penunjang
kehidupan mereka dari perunggu. Daerah asal kebudayaan ini adalah di Indo-Cina. Masuk ke
Indonesia pada sekitar tahun 500 SM. Di Indonesia, benda-benda hasil peninggalan zaman
perunggu diantaranya adalah nekara, jenis kapak, bejana, senjata, arca dan perhiasan. Situs-
situs ditemukannya peninggalan perunggu meliputi Jawa, Bali, Selayar, Luang, Roti dan Leti.
Ada dua teknik pembuatan barang-barang dari perunggu. Teknik pertama adalah yang
dikenal dengan teknik setangkup atau bivalve, dan teknik kedua adalah teknik cetakan lilin (a
cire perdue).
Pertama, teknik bivalve
Teknik cetakan ini menggunakan dua cetakan dengan bentuk sesuai benda yang diinginkan
yang dapat ditangkupkan. Cetakan diberi lubang pada bagian atasnya dan dari lubang tersebut
kemudian dituangkan cairan logam. Bila sudah dingin, cetakan baru dibuka.
Kedua, teknik cetakan lilin
Teknik cetakan lilin menggunakan bentuk bendanya yang terlebih dahulu dibuat dari lilin
yang berisis tanah liat sebagai intinya. Bentuk lilin dihias menurut keperluan dengan berbagai
pola hias. Bentuk lilin yang sudah lengkap kemudian dibungkus dengan tanah liat. Pada
bagian atas dan bawah diberi lubang. Dari lubang bagian atas kemudian dituangkan cairan
perunggu dan dari lubang di bawah
mengalir lelehan lilin. Bila cairan perunggu yang dituang sudah dingin, cetakan dipecah
untuk mengambil bendanya yang sudah jadi. Cetakan seperti ini hanya dapat digunakan
sekali saja.
Disamping tradisi pembuatan alat-alat perunggu manusia pada periode ini sudah mampu
melebur bijih-bijih besi dalam bentuk alat-alat yang sesuai dengan keinginan dan
kegunaannya. Benda-benda besi yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain berupa mata
kapak, berbagai jenis pisau dalam berbagai ukuran, mata sabit yang berbentuk melingkar,
tajak, mata tombak, gelang-gelang besi dan sebagainya. Disamping perunggu dan besi, emas
juga telah dimanfaatkan utamanya untuk membuat perhiasan dan benda-benda persembahan
kubur.

3. Situs-situs Peninggalan Budaya Besi di Indonesia


Berbeda dengan benda perunggu, penemuan benda besi di Indonesia sangat terbatas
jumlahnya. Kebanyakan benda-benda besi ini ditemukan dalam kubur batu atau kubur
langsung sebagai benda bekal kubur. Diantara situs-situs ditemukannya benda-benda besi ini
antara lain adalah di Wonosari (tepatnya dalam peti kubur batu di daerah Gunung Kidul,
Jawa Tengah), Besuki, Tuban, Madiun dan Pacitan (semuanya ada di Jawa Timur).
Manusia purba merupakan terminologi yang digunakan untuk manusia yang hidup pada
masa lampau dan dibuktikan dengan temuan-temuan fosil tulang manusia di situs-situs
prasejarah. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan temuan-temuan
fosil manusia purba. Di awali dengan temuan spektakuler fosil atap tengkorak (cranial)
dan tulang paha (femur) manusia di bantaran Sungai Bengawan Solo (Jawa) pada tahun
1891-1892 oleh Eugene Dubois, seorang dokter tentara pemerintah kolonial Belanda
yang tertarik dengan kajian palaeoanthropology di Indonesia. Semenjak berita temuan
tersebut dipublikasikan dengan nama spesies Pithecanthropus erectus (manusia kera
yang berjalan tegak), banyak para ahli yang melakukan penelitian mengenai manusia
purba dan menemukan fragmen-fragmen fosil manusia purba lainnya serta sisa-sisa
kebudayaannya di Indonesia.
Ernest Heakle dan Thomas Huxley berasumsi, jika ingin mencari fosil manusia
purba maka pergilah ke kawasan katulistiwa (Heakle menyarankan ke Asia; Huxley
menyarankan ke Afrika). Asumsi itu berdasarkan pemahaman bahwa, pada saat terjadi
fluktuasi jaman glassial-interglassial di muka bumi pada periode pleistocen telah
mengakibatkan terjadikan ketidakseimbangan ekosistem. Terjadi kepunahan pada
beberapa spesies makhluk hidup di sebagian wilayah muka bumi yang merupakan
sumber makanan bagi makhluk hidup yang lain, sehingga yang tidak mampu bertahan
akan musnah dengan sendirinya. Pembekuan dan pencairan permukaan air laut pada
jaman glassial-interglassial terjadi hanya di wilayah Utara dan Selatan bumi. Sementara
di kawasan garis katulistiwa terjadi pluvial-interpluvial (tidak mengalami pembekuan dan
pencairan permukaan air laut, hanya terjadi penaikan dan penurunan tinggi permukaan
air laut dengan iklim kering dan lembab). Kondisi yang demikian mengakibatkan
kawasan katulistiwa tetap mampu menjadi tempat hidup bagi spesies flora dan fauna.
Dengan demikian, logika yang berkaitan dengan asumsi Heakle dan Huxley adalah
manusia purba yang hidup di luar kawasan katulistiwa dan terancam kepunahan akibat
ketidakseimbangan ekosistem pada jaman glassial-interglassial, melakukan migrasi ke
kawasan yang memungkinkan masih menyediakan berbagai sumber makanan. Migrasi
yang dilakukan adalah melakukan perjalanan ke wilayah katulistiwa.
Seiring dengan perkembangan penelitian di bidang palaeoanthropology, asumsi
Heakle dan Huxley terbukti dengan banyak ditemukannya situs-situs prasejarah tempat
ditemukannya fosil manusia purba di Asia dan Afrika. Berdasarkan penelitaian yang
dilakukan mulai akhir abad XIX hingga XX, Asia memiliki situs-situs manusia purba
antara lain Sangiran, Pacitan (Indonesia), Gua Tabon (Filipina), dan Gua Kepah
(Malaysia); Afrika memiliki situs-situs manusia purba antara lain Olduvai Gorge
(Tanzania), Bantaran Sungai Omo (Ethiopia), dan Danau Turkana (Kenya).
Situs Sangiran Dome
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas ± 48 km2 yang berbentuk
seolah seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan Sangiran
Dome. Terletak di wilayah administrasi Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah,
Sangiran berada ± 15 km ke arah Utara kota Surakarta. Situs Sangiran merupakan
salah satu situs manusia purba yang sangat berperan penting dalam perkembangan
penelitian di bidang palaeoanthropology di Indonesia. Pada tahun 1934 penelitian yang
dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang menemukan beberapa alat sepih yang
terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan
permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun
di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah
tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar
yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa
aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode
pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan
Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro).
Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut berasosiasi
dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan
Ngandong. Konversi tingkatan lapisan tanah/formasi periode situs Sangiran menurut von
Koenigswald dapat digambarkan sebagai berikut.
Periode Lapisan Temuan Fosil
Teknologi Geologi Manusia Fauna
Atas Notopuro Ngandong
Palaeolithi
Pleistocen Tengah Kabuh Trinil
c
Bawah Pucangan Jetis
Secara umum situs-situs arkeologi diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu situs
hominid (ciri-ciri banyak ditemukan fosil manusia dan fauna) dan situs artefak (ciri-ciri
banyak ditemukan perkakas atau hasil budaya fisik manusia masa lampau). Di
Indonesia, situs Sangiran, situs Trinil, dan situs Kedungbrubus adalah contoh beberapa
situs hominid; sedangkan situs Kali Baksoka, situs Kali Ogan, dan Cabenge adalah
contoh beberapa situs atrtefak.
Sangiran Dome Sebagai Tempat Hunian dan Ruang Subsistensi Manusia Purba
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur
tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah
katulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan
migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian
kawasan sangiran pada kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi
bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat
sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala
pleistocen. Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk
m,endapatkan sumber kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai
pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau
old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat
hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak
perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
A. Temuan Fosil Manusia Purba dan Fauna di Situs Sangiran Dome
Sejak ditemukannya Pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois, mulai tahun
1936-1978 telah dilakukan penelitian tentang manusia purba di situs Sangiran dome
dan berhasil menemukan fragmen-fragmen fosil manusia purba yang diberi kode
penomoran S1a - S28. Bila dibandingkan dengan situs-situs hominid lainnya di
Indonesia seperti situs Tirinil, situs Ngandong, situs Kedungbrubus, dan situs Wajak,
situs Sangiran merupakan situs hominid terbesar berdasarkan jumlah temuannya. Bisa
dikatakan bahwa, hambir 60% temuan fragmen fosil manusia purba di Indonesia
ditemukan di situs Sangiran. Temuan-temuan fosil tersebut berada pada lapisan
Pucngan, lapisan Kabuh, dan lapisan Notopuro. Jenis spesies manusia purba yang
ditemukan di Sangiran disamakan dengan jenis Pithecanthropus. Keseluruhan temuan
spesies tersebut secara garis besar berdasarkan karakter fisik dibedakan menjadi tiga,
yaitu:

 Pithecanthropus archaic ditemukan di lapisan Pucangan (pleistocen bawah)


berumur ± 1,7 - 0,8 juta tahun yang lalu.

 Pithecanthropus classic ditemukan di lapisan Kabuh (pleistocen tengah) berumur


± 0,8 - 0,4 juta tahun yang lalu.
 Pithecanthropus progressive ditemukan di lapisan Notopuro (pleistocen atas)
berumur ± 0,4 - 0,1 juta tahun yang lalu.
Jenis-jenis fauna yang ditemukan di situs Sangiran Dome berasal dari migrasi
fauna Asia daratan ke Indonesia yang terjadi pada jaman glassial-interglassial melalui
“jembatan darat” dataran Sunda. Bukti adanya migrasi fauna tersebut, yaitu
ditemukannya fosil-fosil hewan pada lapisan Jetis dan lapisan Trinil yang mempunyai
karakter “Sino-Malaya” (karakter fauna yang hidup di Cina dan Semenanjuung Malaya)
misalnya wauwau, gibbon, beruang Malaya, dan stegodon (gajah); dan “Siva-Malaya”
(karakter fauna yang hidup di India dan Semenanjuung Malaya) misalnya leptobos
(lembu purba), hippopotamus (kuda nil), dan epimachairodus (sejenis harimau).
Pada tahun 1907-1908 L. Selenka melakukan ekskavasi di tempat penemuan
species Pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois. Penelitian tersebut tidak satupun
menemukan fosil manusia purba, tetapi justru banyak menemukan fosil-fosil berbagai
fauna. Jenis-jenis hewan yang diperkirakan pernah hidup di masing-masing lapisan
antara lain adalah:

 Lapisan Jetis ditemukan fragmen fosil leptobos (lembu purba), hippopotamus


namadicus (kuda nil), cervus zwaani (sejenis rusa), stegodon trigonocephalus
(gajah) dan epimachairodus zwierzykii (sejenis harimau).

 Lapisan Trinil ditemukan fragmen fosil stegodon trigonocephalus (gajah), cervus


hippelaphus (sejenis rusa), felis palaeojavanica (sejenis harimau), dan bubalus
palaeokarabau (sejenis banteng).

 Lapisan Ngandong ditemukan fragmen fosil stegodon trigonocephalus (gajah),


cervus hippelaphus, cervus janvanicus (sejenis rusa), felis tigris, felis
palaeojavanica (sejenis harimau), rhinoceros sondaicus (sejenis kuda), dan
bubalus palaeokarabau (sejenis banteng).
B. Temuan perkakas di Situs Sangiran Dome
Perkakas batu yang ditemukan di situs Sangiran Dome berupa alat-alat serpih
bilah (flakes). Penemuan serpih bilah pertama kali oleh G.H.R. von Koenigswald pada
tahun 1934 diasumsikan terletak pada lapisan Kabuh (pleistocen tengah). Namun dalam
penelitian lanjutan pada tahun 1938 yang dilakukan Teihard de Cardin, Helmut de Terra,
dan Hallam L. Movius mengindikasikan temuan-temuan serpih bilah yang terletak di
lapisan Notopuro (pleistocen atas) di atas endapan lapisan Kabuh. Penelitian
selanjutnya yang dilakukan oleh Tim Puslit Arkenas(Indonesia) bekerja sama dengan
Museum National d’Histoire Naturelle (Perancis) berhasil menemukan konsentrasi
serpih bilah pada lapisan Grenzbank (lapisan konglomerat yang membatasi lapisan
Pucangan dan lapisan Kabuh). Penelitian yang semakin intensif dilakukan di situs
Sangiran Dome berhasil menemukan perkakas lain selain serpih bilah, antara lain
polyedric (bola batu) dalam jumlah besar, kapak perimbas, kapak penetak, kapak
pembelah, dan perkutor yang ‘sophisticated’.

Afrika memberikan informasi tentang kemungkinan rute migrasi dan


praktek perburuan manusia purba periode zaman batu pertengahan
dan akhir, sekitar 150 ribu dan 10 ribu tahun yang lalu.
Peneliti dari universitas Oxford menemukan bukti baru dari sebuah lembah
danau di Botswana. Daerah tersebut dalam periode tertentu pernah kering dan
menjadi lebih berair.
Mereka telah mendokumentasikan ribuan peralatan batu dari dasar danau, yang
membuka bagaimana manusia di Afrika beradptasi terhadap beberapa
perubahan iklim di periode yang bertepatan dengan zaman es terakhir di Eropa.
Peneliti dari school of Geography and Eniroment di Universitas Oxford meneliti
lembah sungai yang sekarang mengering di danau Makgadikgadi di gurun
Kalahari, yang memiliki luas 66 ribu kilometer persegi atau seluas danau Victoria
pada saat ini.
Penelitian mereka didorong oleh penemuan peralatan batu terbesar di dasar
danau. Walaupun penemuan pertama terjadi pada tahun 90an, penemuan
keempat belum dilaporkan secara ilmiah sampai sekarang.
Empat kapak batu besar berukuran panjang 30 centimeter dan tidak diketahui
usianya ditemukan di kolam danau.
Yang sama menakjubkannya adalah dasar danau yang mengering tersebut
merupakan tempat yang sama dengan ditemukannya ribuan peralatan dan
serpihan zaman batu lainnya.
Professor David Thomas pimpinan dari School of Geography and the
Environment di universitas Oxford mengatakan: banyak peralatan yang
ditemukan dari dasar danau yang mengering, namun bukan di pinggirannya
yang mengasumsikan bahwa hanya menarik bagi manusia saat masih dipenuhi
air.
Professor Thomas mengatakan kondisi alam dari selatan Afrika biasanya tidak
terlihat oleh arkeologi. Yang mengherankan adalah kami menemukan artefak
dari zaman batu pertengahan tersebar di areal luas dari danau.
Banyak arkeolog yakin jika danau di gurun Sahara, Afrika Utara punya peranan
penting dalam teori ekspansi manusia keluar dari Afrika. Penelitian baru ini
merupakan yang pertama kali menjadi fokus penelitian ilmiah di danau
Botswana di selatan Afrika. Hal ini dapat menghadirkan bukti baru yang dapat
mendukung teori migrasi dan ekspansi dari Afrika.
Professor Thomas dan Dr Burrough merencanakan penelitian lebih lanjut tentang
bagaiman danau tersebut terbentuk. Penelitian tersebut akan dimulai pada
tahun 2010 dan akan meneliti kemungkinan keterkaitan antara danau dan
sungai Zambezi.[ito]

You might also like