You are on page 1of 11

KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

26 04 2009
4 Votes
Dikompilasi oleh: Urip Santoso
Bukan saja sang anak, orang tua pun mempunyai kewajiban terhadap anak
yang harus ditunaikan. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud
aktualitas hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.
1. Anak mempunyai hak untuk hidup.
Allah berfirman:
‘Janganlah kamu membunuh anak anakmu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizqi kepadamu dan kepada mereka.’ ( QS. Al-An’am: 151)
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa orang tua mempunyai kewajiban agar
anak tetap bisa hidup betapapun susahnya kondisi ekonomi orang tua. Ayat itu juga
memberi jaminan kepada kita bahwa Allah pasti akan memberikan rizqi baik
kepada orang tua maupun sang anak, asalkan tentu saja berusaha.
2. Menyusui
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana
firman Allah yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS AI Baqarah:
233)
Allah berfirman, yang artinya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
lbunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah
payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS
Al Ahqaf 15).
Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Maksudnya,
adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih.”
Allah ta’ala berfirman; “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah tambah, dan menyapihnya dalamdua tahun…dst” . ( QS: 31;
14 ).
Air susu dalam beberapa hari kelahiran mempunyai beberapa kelebihan,
antara lain mengandung zat antibody yang sangat diperlukan oleh bayi. Bayi yang
memperoleh air susu jenis ini akan mempunyai daya kekebalan tubuh yang lebih
baik. Seorang ibu diwajibkan untuk menyusui anaknya sampai 2 tahun penuh,
kecuali ada alas an yang dapat diterima oleh hokum Islam. Menyusui anak sampai
dua tahun ini akan menumbuhkan pengaruh positif terhadap sang anak baik secara
fisik maupun secara jiwani.
2. Memberi Nama yang Baik
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya kewajiban orang
tua dalam memenuhi hak anak itu ada tiga, yakni: pertama, memberi nama yang
baik ketika lahir. Kedua, mendidiknya dengan al-Qur’an dan ketiga, mengawinkan
ketika menginjak dewasa.” Rasulullah saw diketahui telah memberi perhatian
yang sangat besar terhadap masalah nama. Kapan saja beliau menjumpai nama
yang tidak menarik (patut) dan tak berarti, beliau mengubahnya dan memilih
beberapa nama yang pantas. Beliau mengubah macam-macam nama laki-laki dan
perempuan. Seperti dalam hadits yang disampaikan oleh Aisyah ra, bahwa
Rasulullah saw biasa merubah nama-nama yang tidak baik. (HR. Tirmidzi).
Beliau sangat menyukai nama yang bagus. Bila memasuki kota yang baru,
beliau menanyakan namanya. Bila nama kota itu buruk, digantinya dengan yang
lebih baik. Beliau tidak membiarkan nama yang tak pantas dari sesuatu, seseorang,
sebuah kota atau suatu daerah. Seseorang yang semula bernama Ashiyah (yang
suka bermaksiat) diganti dengan Jamilah (cantik), Harb diganti dengan Salman
(damai), Syi’bul Dhalalah (kelompok sesat) diganti dengan Syi’bul Huda
(kelompok yang benar) dan Banu Mughawiyah (keturunan yang menipu) diganti
dengan Banu Rusydi (keturunan yang mendapat petunjuk) dan sebagainya (HR.
Abu Dawud dan ahli hadits lainAn-Nawawi, Al Azkar: 258)
Berkenaan dengan nama-nama yang bagus untuk anak, Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan
nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (HR.Abu Dawud)
Pemberian ‘nama yang baik’ bagi anak adalah awal dari sebuah upaya
pendidikan terhadap anak anak. Ada yang mengatakan; ‘apa arti sebuah nama’.
Ungkapan ini tidak selamanya benar. Islam mengajarkan bahwa nama bagi seorang
anak adalah sebuah do’a. Dengan memberi nama yang baik, diharapkan anak kita
berperilaku baik sesuai dengan namanya. Adapun setelah kita berusaha memberi
nama yang baik, dan telah mendidiknya dengan baik pula, namun anak kita tetap
tidak sesuai dengan yang kita inginkan, maka kita kembalikan kepada Allah s.w.t.
Nama yang baik dengan akhlaq yang baik, itulah yang kita harapkan. Nama yang
baik dengan akhlaq yang buruk, tidak kita harapkan. Apalagi nama yang buruk
dengan akhlaq yang buruk pula. Celaka berlipat ganda.
3. Mengaqiqahkan Anak
Menurut keterangan A. Hasaan ‘aqiqah adalah; ‘ menyembelih kambing untuk
(bayi) yang baru lahir, dicukur dan diberi nama anak itu, pada hari ketujuhnya.
Rasulullah s.a.w. bersabda; ‘Tiap tiap seorang anak tergadai dengan ‘aqiqahnya.
Disembelih (‘aqiqah) itu buat dia pada hari yang ketujuhnya dan di cukur serta
diberi nama dia.’ (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang empat dan
dishahihkan oleh At Tirmidzy, hadits dari Samurah ).
4. Mendidik anak
Pada suatu kesempatan, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kehadiran seorang
tamu lelaki yang mengadukan kenakalan anaknya, “Anakku ini sangat bandel.”
tuturnya kesal. Amirul Mukminin berkata, “Hai Fulan, apakah kamu tidak takut
kepada Allah karena berani melawan ayahmu dan tidak memenuhi hak ayahmu?”
Anak yang pintar ini menyela. “Hai Amirul Mukminin, apakah orang tua tidak
punya kewajiban memenuhi hak anak?”
Umar ra menjawab, “Ada tiga, yakni: pertama, memilihkan ibu yang baik, jangan
sampai kelak terhina akibat ibunya. Kedua, memilihkan nama yang baik. Ketiga,
mendidik mereka dengan al-Qur’an.”
Mendengar uraian dari Khalifah Umar ra anak tersebut menjawab, “Demi Allah,
ayahku tidak memilihkan ibu yang baik bagiku, akupun diberi nama “Kelelawar
Jantan”, sedang dia juga mengabaikan pendidikan Islam padaku. Bahkan walau
satu ayatpun aku tidak pernah diajari olehnya. Lalu Umar menoleh kepada ayahnya
seraya berkata, “Kau telah berbuat durhaka kepada anakmu, sebelum ia berani
kepadamu….”
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Dia
senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak
Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah (sekedar)
kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban
dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.

Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya,
sepertI (misalnya) mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja.
Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan
generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi
tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan
dan kejayaan.

Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-
anaknya: Menanamkan aqidah yang bersih, yang bersumber dari Kitab dan Sunnah
yang shahih.

Allah berfirman yang artinya:


Maka ketahuilah bahwa sesugguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan
Allah. (QS Muhammad: 19)

Rasulullah bersabda, yang artinya:


Dari Abul Abbas Abdullah bln Abbas, dia berkata: Pada suatu hari aku membonceng
di belakang Nabi, kemudian beliau berkata, ‘Wahai anak, Sesungguhnya aku
mengajarimu beberapa kalimat, yaitu: jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatiNya di hadpanmu. Apablla engkau meminta,
maka mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau mohon pertotongan, maka
mohonlah pertotongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat berkumpul
untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu
manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka
berkumpul untuk memberimu satu bahaya, niscaya mereka tidak akan bisa
membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-
pena telah diangkat dan tinta telah kering.” 3

Dan dalam riwayat lain (Beliau berkata),


“Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Perkenalkanlah
dirimu kepada Allah ketika kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat
kesulitan. Ketahuilah, apa apa yang (ditakdirkan) luput darimu, (maka) tidak akan
menimpamu. Dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu, ia tidak akan luput
darimu. Ketahuilah, bahwa pertolongan ada bersama kesabaran, kelapangan ada
bersama kesempitan, dan bersama kesusahan ada kemudahan.” 4

Seorang anak terlahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah maka sesuatu yang
sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang
bersegera menanamkan agama yang mudah ini, serta menanamkan kecintaan tehadap
agama ini kepada anak-anaknya.
Beberapa tips. Banyak jalan dan cara untuk
mengajarkan perkara agama kepada anak,
diantaranya:
1. Engkau menghadiahkan untuknya sebuah buku tentang
Islam dan hukum
hukumnya dan engkau mendiskusikan isi buku tersebut
bersamanya.
2. Engkau menghadiahkan untuknya sebuah kaset dan engkau
minta dia untuk meringkaskan untukmu materi yang
dibawakan oleh penceramah.
3. Engkau membawanya untuk menghadiri pelajaran pelajaran
dan ceramah
ceramah yang disampaikan oleh para syaikh dan para
penuntut ilmu di masjid.
4. Engkau mempelajari sebuah kitab bersamanya, seperti
kitab "Riyadhush
Shalihin" atau Kitabut Tauhid.
5. Setiap Jum'at engkau sampaikan padanya materi khutbah
Jum'at dan engkau diskusikan dengannya.
6. Engkau menghubungkannya dengan teman yang shalihah dan
engkau membantunya untuk menghadiri majlis majlis dzikir
bersama mereka.
7. Jika memungkinkan, engkau membawanya ke pusat pusat
perkumpulan anak
yang ditangani kepengurusannya oleh anak yang shaleh.
8. Engkau membuat sebuah perpustakaan di dalam rumahmu
dan membuat
sekumpulan buku buku islami dan engkau mendorongnya untuk
menelaah/mempelajari dan membacanya.
9. Engkau mengkhususkan hadiah bulanan untuknya jika ia
dapat menghapal
beberapa surat atau ayat ayat Al Qur'an.
10. Engkau mendorongnya untuk mendengarkan siaran
pembacaan Al Qur'an.

5. Memberi makan dan keperluan lainnya

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warisanpun berkewajiban demikian. Rasulullah s.a.w. bersabda;

‘Cukup berdosa orang yang menyia nyiakan ( tanggung jawab) memberi makan
keluarganya.’ ( HR Abu Daud )./1100;247/33.

6. Memberi rizqi yang ‘thayyib’.


Rasulullah s.a.w. bersabda;

Dari Abu Rafi’ r.a., telah berkata; Telah bersabda Rasulullah s.a.w. ‘Kewajiban orang
tua terhadap anaknya adalah mengajarinya tulis baca, mengajarinya berenang dan
memanah, tidak memberinya rizqi kecuali rizqi yang baik.’ HR Al Hakim/Depag;51.
7. Mendidik anak tentang agama.
Rasulullah s.a.w. bersabda;

‘Tiap bayi dilahirkan dalam kadaan suci ( fithrah Islamy ) . Ayah dan Ibunyalah kelak
yang menjadikannya Yahudi, Nashrany, atau Majusyi. HR Bukhary.;1100;243/15.
Mendidik anak pada umunya baik laki laki maupun perempuan adalah kewajiban bagi
kedua orang tuanya. Dan mendidik anak perempuan mempunyai nilai tersendiri dari
pada mendidik anak laki laki. Boleh jadi karena mereka adalah calon Ibu rumah
tangga yang bakal menjadi ‘Madrasah’ pertama bagi anak anaknya’. Boleh jadi juga
karena kaum wanita mempunyai beberapa keitimewaan atau ke khassan tersendiri.,
sehingga di dalam Al Qur aan pun terdapat surat An Nisa, tetapi tidak ada surat ‘Ar
Rijal’. Wallaahu a’lam.
Rasulullah s.a.w. bersabda;

‘Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka
mereka akan menyebabkannya masuk sorga. ( HR Al Bukhary )/ 1100; 244/20.
Mengenai kekhassan kaum wanita, antara lain Rasulullah s.a.w. bersabda; ‘Wanita itu
bagaikan tulang rusuk. Apabila anda biarkan begitu saja, dia akan tetap bengkok.
Namun apabila anda luruskan sekaligus, dia akan patah’.

8. Mendidik anak untuk sholat.


9. menyediakan tempat tidur terpisah antara laki laki dan perempuan.
Islam mengejarkan ‘hijab’ sejak dini. Meskipun terhadap sesama Muhrim ,
Bila telah berusia tujuh tahun tempat tidur mereka harus dipisahkan.
Rasulullah s.a.w. bersabda;

‘Suruhlah anak anakmu sholat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika
mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka ( putra putri ).
Maksudnya, kewajiban mendidik anak untuk mengerjakan sholat dimulai setelah anak
berumur tujuh tahun. Bila telah berusia sepuluh tahun anak belum juga mau
mengerjakan sholat, boleh dipukul dengan pukulan ringan, yang mendidik, bukan
pukulan yang membekas atau menyakitkan.
10. Mendidi anak tentang adab yang baik.
Banyak anak terpelajar, namun sedikit anak yang ‘terdidik’. Banyak orang pandai,
namun sedikit orang yang taqwa’.
Islam mengutamakan pendidikan mental. ‘Taqwa itu ada disini’, kata Rasulullah
seraya menunjukkan kearah dadanya. Artinya hati manusia adalah sumber yang
menentukan baik buruknya perilaku seseorang. Nabi tidak menunjukkan kearah
‘kepalanya , tapi kerah dadanya.
11. Memberi pengajaran dengan pelajaran yang baik;
Berkata shahabat ‘Aly r.a.;

‘Ajarilah anak anakmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda
dengan zamanmu.’ (Depag;19).
12. Memberi pengajaran Al Quraan.
Rasulullah s.a.w. bersabda;’Sebaik baik kalian adalah barang siapa yang belajar Al
Qur aan dan mengajarkannya’.
Pengetahuan tentang Al Quraan harus lebih diutaman dari Ilmu ilmu yang lainnya.
Nabi s.a.w. bersabda; ‘Ilmu itu ada tiga macam. Selainnya adalah sekedar tambahan.
Adapun yang tiga macam itu ialah; Ilmu tentang ayat ayat ( Al Qur aan) yang
muhkamat, ilmu tentang Sunnah Nabi, dan ilmu tentang pembagian warits. ( HR Ibnu
Majah ).
13. Memberikan pendidikan dan pengajaran baca tulis .
Rasulullah s.a.w. bersabda;

Dari Abu Rafi’ r.a., telah berkata; Telah bersabda Rasulullah s.a.w. ‘Kewajiban orang
tua terhadap anaknya adalah mengajarinya tulis baca, mengajarinya berenang dan
memanah, tidak memberinya rizqi kecuali rizqi yang baik.’ HR Al Hakim/Depag;51.
14. Memberikan perawatan dan pendidikan kesehatan.
Rasulullah s.a.w. bersabda; ‘Jagalah kebersihan* dengan segala usaha yang mampu
kamu lakukan. Sesungguhnya Allah Ta’ala menegakkan Islam diatas prinsip
kebersihan. Dan tak akan masuk sorga kecuali orang yang memelihara kebersihan.’
( HR At Thabarany )/Depag; 57.
*Kebersihan adalah pangkal kesehatan. Mengajarkan kebersihan berarti secara tidak
langsung mengajarkan kesehatan.
15. Memberikan pengajaran ketrampilan.
Islam memberantas pengangguran. Salah satu penyebab adanya panganguran adalah
apabila seseorang tidak mempunyai ketrapilan tertentu. Bila dia punya ketrampilan
tertentu, paling tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna buat dirinya ataupun
orang lain.
Rasulullah s.a.w. bersabda; ‘Sebaik baik makanan adalah hasil usaha tangannya
sendiri’.
Dalam sabdanya yang lain beliau mengatakan;

‘Mengapa tidak kau ajarkan padanya ( anak itu ) menenun sebagaimana dia telah
diajarkan tulis baca?’ ( HR An- Nasai ) /Depag; 52.
Kalimat ‘menenun’ sebagai mewakili jenis jenis ketrampilan yang lain. Artinya tidak
terbatas pada menenun saja. Kerajinan tangan apapun selama bermanfa’at dan tidak
dilarang Agama adalah suatu hal yang ma’ruf.
( bersambung…Insya Allah).
16. Memberikan kepada anak tempat yang yang baik dalam hati orang tua.
Hilangkanlah rasa benci pada anak apa pun yang mereka lakukan, do’akan dia selalu,
agar menjadi anak yang sholeh, santunilah dengan lemah lembut, shobarlah
menghadapi perilakunya yang tidak baik, hadapi segalanya dengan penuh kearifan,
jangan mudah membentak apalagi memukul tanpa alasan, tempatkan dia dengan
ikhlash pada hati anda, belailah dengan penuh kasih sayang nasehati dengan santun.
Satukan hati kita dengan anak anak. Semoga Allah
menjadikan mereka ‘ waladun shoolihun yad’uu lahu’. Itulah harapan orang tua yang
baik.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ;

Seorang datang kepada Nabi s.a.w. dan bertanya; ‘Ya Rasulullah, apakah hak anakku
ini? Nabi s.a.w. menjawab;’ Kau memberinya nama yang baik, memberi adab yang
baik dan memberinya kedudukan yang baik ( dalam hatimu ) .
( HR At Tuusy )./1100;243/16.
17. Memberi kasih sayang.
Kecintaan orang tua kepada anak tidak cukup dengan hanya memberinya materi baik
berupa pakaian, makanan atau mainan dan sebagainya. Tapi yang lebih dari pada itu
adalah adanya perhatian dan rasa kasih sayang yang tulus dari kedua orang tua.
Rasulullah s.a.w. bersabda;
‘Bukanlah dari golongan kami yang tidak menyayangi yang lebih muda dan ( bukan
dari golongan kami ) orang yang tidak menghormati yang lebih tua.’
( HR At Tirmidzy ). Depag; 42

18. Menikahkannya
Bila sang buah hati telah memasuki usia siap nikah, maka nikahkanlah. Jangan
biarkan mereka terus tersesat dalam belantara kemaksiatan. Do’akan dan dorong
mereka untuk hidup berkeluarga, tak perlu menunggu memasuki usia senja. Bila
muncul rasa khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung beban berat kelurga,
Allah berjanji akan menutupinya seiring dengan usaha dan kerja keras yang
dilakukannya, sebagaimana firman-Nya, “Kawinkanlah anak-anak kamu (yang
belum kawin) dan orang-orang yang sudah waktunya kawin dari hamba-hambamu
yang laki-laki ataupun yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak
mampu, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerah-
Nya.” (QS. An-Nur:32)
Keselamatan iman jauh lebih layak diutamakan daripada kekhawatiran-
kekhawatiran yang sering menghantui kita. Rasulullah dalam hal ini bersabda,
“Ada tiga perkara yang tidak boleh dilambatkan, yaitu: shalat, apabila tiba
waktunya, jenazah apabila sudah datang dan ketiga, seorang perempuan apabila
sudah memperoleh (jodohnya) yang cocok.” (HR. Tirmidzi)

19. Mengarahkan anak

Orang tua wajib mengarahkan anak-anak, serta menekankan mereka untuk


memilih kawan, teman duduk maupun teman dekat yang baik. Hendaknya orang tua
menjelaskan kepada anak tentang manfaat di dunia dan di akhirat apabila duduk dan
bergaul dengan orang-orang shalih, dan bahaya duduk dengan orang-orang yang suka
melakukan kejelekan ataupun teman yang jelek. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 154)

Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mencari tahu setiap keadaan anak,
menanyakan tentang teman-temannya. Betapa banyak terjadi seorang anak yang jelek
mengajak teman-temannya untuk berbuat kemungkaran dan kerusakan, serta
menghiasi perbuatan jelek dan dosa di hadapan teman-temannya. Padahal anak kecil
seringkali meniru, suka menuruti keinginannya serta suka mencari pengalaman baru.
Oleh karena itu, orang tua hendaknya berupaya agar anak berteman dengan teman-
teman yang baik dan shalih, serta berasal dari keluarga yang baik. Di samping itu juga
berupaya untuk memuliakan teman-teman si anak agar mudah memberi bimbingan
dan arahan pada mereka dan mereka pun akan bersikap lembut di hadapan orang tua.
(Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 155)

Bila suatu ketika orang tua mendapati anaknya berbuat kejelekan dan kerusakan, tidak
mengapa orang tua berusaha mencari tahu tentang keadaan anaknya. Walaupun
dengan hal itu mereka terpaksa melakukan salah satu bentuk perbuatan tajassus
(mata-mata). Ini tentu saja dengan tujuan mencegah kejelekan dan kerusakan yang
terjadi, karena sesungguhnya Allah k tidak menyukai kerusakan. (Fiqh Tarbiyatil
Abna`, hal. 156)
Inilah kiranya sebuah kewajiban yang tak boleh dilupakan oleh setiap orang tua.
Hendaknya orang tua mengingat sebuah ucapan yang dituturkan oleh ‘Amr bin Qais
Al-Mala`I v:

“Sesungguhnya pemuda itu sedang tumbuh. Maka apabila dia lebih mengutamakan
untuk duduk bersama orang-orang yang berilmu, hampir-hampir bisa dikata dia akan
selamat. Namun bila dia cenderung pada selain mereka, hampir-hampir dia rusak
binasa.” (Dinukil dari Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, bab Hukmus
Salaf ‘alal Mar`i bi Qarinihi wa Mamsyahu no.517).

(Dikompilasi dari beberapa sumber di internet. Saya mohon maaf kepada yang
artikelnya saya kompilasi).

Kemana Menyekolahkan Anak ? : Tanggung


Jawab Pendidikan Anak Dan Keutamaan Ilmu
Dienul Islam
Diposkan oleh Go Internation Jumat, 27 Maret 2009 1 komentar
HUKUM MENUNTUT ILMU
Setelah kita memahami makna ilmu dan berbagai macam pembagiannya, perlu pula
kita mengetahui hukum menuntutnya. Mempelajari hukum sesuatu sangatlah penting,
karena berakibat baik atau buruk bagi setiap mukallaf yang melakukan perbuatan atau
meninggalkannya. Menurut kami –Wallahu a’lam- setelah menelaah beberapa kitab,
maka dapat kami simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu sebagai berikut.

Menuntut Ilmu Syari’at Islam


1). Menuntut ilmu syar’i yang berkenaan dengan kewajiban menjalankan ibadah bagi
setiap mukallaf –seperti tahuid- dan yang berhubungan dengan ibadah sehari-hari –
semisal wudhu, shalat, dan lainnya-, maka hukumnya fardhu ‘ain, karena syarat
diterimanya ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan Sunnah, tentunya cara
memperolehnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagaimana keterangan surat
Al-Baqarah : 286

Menuntut ilmu syar’i ini pun tidak semuanya harus dipelajari segera dalam waktu
yang sama, karena ada amal ibadah yang diwajibkan untuk orang yang mampu saja,
seperti mengeluarkan zakat, haji, dan lainnya, maka saat akan menjalankan ibadah
tersebut hendaknya mempelajari ilmunya. Sebagaimana keterangan Ibnu Utsaimin
rahimahullah dan lainnya.

2). Menuntut ilmu syar’i yang hukumnya fardhu kifayah ; Maksudnya bukan setiap
orang muslim harus mengilmuinya, akan tetapi diwajibkan bagi ahlinya seperti
membahas ilmu ushul dan furu’nya dan juga yang berkenaan dengan ijtihadiyyah.

Karena pentingnya kewajiban menuntut ilmu dien, maka sampai dalam kondisi
perang pun hendaknya ada yang tafaqquh fiddin.

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya” [At-Taubah : 122]

Menuntut Ilmu Duniawi


1). Hukumnya tidaklah wajib ‘ain untuk setiap kaum muslimin, karena tidak ada dalil
yang mewajibkannya, dan karena istilah ilmu di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah
apabila muthlaq maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at Islam, bukan ilmu
duniawi.

2). Kadang kala wajib kifayah pada saat tertentu, seperti ketika akan memasuki medan
pertempuran dan lainnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dapat kami simpulkan bahwa ilmu syar’i
adalah ilmu yang terpuji, sungguh mulia bagi yang menuntutnya. Akan tetapi, saya
tidak mengingkari ilmu lain yang berfaedah, namun ilmu selain syar’i ini berfaedah
apabila memiliki dua hal : (1). Jika membantu taat kepada Allah Azza wa Jalla, dan
(2). Bila menolong agama Allah dan berfaedah untuk kaum muslimin. Bahkan kadang
kala ilmu ini wajib dipelajari apabila masuk di dalam firman-Nya.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang..” [Al-Anfal : 60] [Kiatbul Ilmi
oleh Ibnu Utsaimin hal. 13-14]

3). Jika ilmu itu menuju kepada kejahatan maka haram menuntutnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun ilmu selain syar’i boleh jadi sebagai
wasilah menuju kepada kebaikan atau jalan menuju kepada kejahatan, maka
hukumnya sesuai dengan jalan yang menuju kepadanya” [Kitabul Ilmi oleh Ibnu
Utsaimin hal. 14]

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN ANAK


Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan manusia pada umumnya lahir
karena pernikahan laki-laki dan perempuan, dan anak yang lahir dalam keadaan
fithrah, bersih dari dosa. Anak itu ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla menjadi
shalih atau maksiat karena pendidikan.

Ketahuilah bahwa sebelum anak bergaul dengan orang lain, terlebih dahulu bergaul
dengan orang tuanya, karena itu Allah Azza wa Jalla mengamanatkan pendidikan
anak ini kepada kedua orang tuanya.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalan dirimu dan keluargamu dari api
neraka…” [At-Tahrim : 66]

Dan juga firman-Nya.

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” [Asy-Syu’ara :


214]

Disebutkan di dalam riwayat yang shahih bahwa tatkala turun ayat ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil sanak kerabat dan keluarganya, bahkan
beliau naik ke bukit Shafa memanggil khalayak ramai agar masing-masing
menyelamatkan dirinya dari api neraka.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda.

“Tidaklah seorang anak lahir melainkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang
tualah yang menjadikannya, menasranikannya, dan yang memajusikannya,
sebagaimana binatang melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu
menganggap hidung, telinga, dan anggota binatang terpotong” [HR Muslim : 4803]

Dalil diatas menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab dan yang paling utama atas
pendidikan anak adalah orang tua, terutama pendidikan aqidah yang menyelamatkan
manusia dari api neraka. Dan yang penting lagi, dalil diatas tidak menyinggung
sedikitpun bahwa ilmu dunia lebih penting daripada ilmu syariat Islam. Dalil ini
hendaknya menjadi pegangan orang tua pada saat menyekolahkan anaknya ketika
dirinya berhalangan mendidiknya.

Karena pentingnya pendidikan anak ini, sampai umur dewasa pun orang tua
hendaknya tetap memperhatikan pendidikan anaknya, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengetuk pintu rumah
sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan putrinya Fathimah Radhiyallahu
‘anha sambil menanyakan sudahkah mereka berdua menunaikan shalat? [HR Bukhari
1059 bersumber dari sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu]

Demikian juga para pengajar hendaknya memahami ajaran Islam yang benar sehingga
tidak mengajarkan kepada anak didiknya ilmu duniawi yang merusak dien dan akhlak,
karena semua tindakan akan dihisab pada hari kiamat.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda.

“Kalian semua adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas yang
dipimpin” [HR Bukhari 844]

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU DIENUL ISLAM


Menuntut ilmu syar’i tidaklah sama dengan menuntut ilmu duniawi, karena ilmu
syar’i bersumber dari wahyu Ilahi, pasti benar dan bermanfaat, baik di dunia dan
akhirat kelak. Ilmu Islam bagaikan pelita yang menerangi ahlinya untuk membedakan
yang haq dan yang batil, yang sunnah dan yang bid’ah dan pengantar menuju ke
surga. Berbeda dengan ilmu hasil pikir manusia, belum tentu membawa kebahagiaan
hidup.

Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan keutamaan menuntut ilmu dienul Islam


sebagai berikut.

1). Ilmu dien adalah warisan para nabi. Mereka tidaklah mewariskan kepada umat
melainkan mewariskan ilmu wahyu Allah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud : 3157
2) Ilmu dien itu kekal, tidak musnah, akan mengikuti ahlinya sampai meninggal
dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : 3084

3). Ilmu dien itu tidak sulit menjaganya, karena tempatnya di hati, tidak
membutuhkan peti atau kunci, bahkan ilmu itu yang menjaga dirinya, berbeda dengan
harta benda, pemiliknya harus menjaganya.

4). Ahli ilmu dien memperoleh syuhada di atas yang haq, lihat surat Ali-Imran ; 18

5). Ahli ilmu dien termasuk waliyul amri yang wajib ditaati, lihat surat An-Nisaa : 59

6). Ahli ilmu dien penegak kebenaran sampai hari kiamat, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam. Bersabda.

“Dan senantiasa umat ini penegak hukum Allah, tidaklah membahayakan kepada
mereka orang yang menyelisihinya sampai datang keputusan Allah pada hari kiamat”
[HR Bukhari : 69 bersumber dari sahabat Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu]

7). Ahli ilmu dien diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. Lihat surat Al-
Mujadilah : 11 [Kitabul Ilmu oleh Ibnu Utsaimin hal. 18-22]

Keutamaan menuntut ilmu syar’i sengaja kami bahas, agar orang tua tidak ragu lagi
menyekolahkan anaknya kepada pesantren Salafi yang dikelola sedemikian rupa
kurikulumnya dan diseleksi pengajarnya, dengan biaya yang bisa dijangkau, insya
Allah akan mengantarkan anak menjadi ahli ibadah kepada Allah, birrul walidain
(berbakti kepada kedua orang tua), dan menjadi da’i pembela kebenaran –bi-
idznillah-, yang kelak orang tua akan memetik pahalanya walaupun telah meninggal
dunia.

You might also like