You are on page 1of 13

Tinjauan Terhadap Peraturan Daerah (Perda) Syariah di

Kalimantan Selatan
Februari 10, 2008

Pendahuluan

Setelah diterapkannya otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-


undang (UU) No.22 Tahun 1999 sejak 01 Januari 2001yang kemudian diperbaharui dengan
UU No.32 Tahun 2004, Setiap daerah (propinsi, Kabupaten/kota) diberikan kewenangan
yang sangat besar untuk mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing.

Peluang yang diberikan oleh kebijakan otonomi daerah itu diterjemahkan beragam oleh
daerah. Salah satu “terjemah” yang dipakai adalah dengan membuat beragam Peraturan
daerah (Perda). Di beberapa daerah, termasuk di Kalimantan Selatan terdapat fenomena
pembuatan Perda yang menarik untuk dikaji secara akademik, khususnya dari perspektif
hukum tatanegara. Fenomena tersebut adalah munculnya banyak Perda yang mengatur
persoalan-persoalan terkait dengan keberagamaan seseorang dan/atau kelompok di
masyarakat, diantaranya adalah Perda Kabupaten Banjar No.4 tahun 2005 tentang Kewajiban
Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa/siswi SD/MI sederajatya dan Perda Kota
Banjarmasin No.6 Tahun 2004 tentang larangan Minuman Keras (Miras) di Kota
Banjarmasin. Perda-Perda demikian sering disebut sebagai Perda Syariah.

Munculnya perda-perda syariah demikian memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi
kalangan yang pro-perda syariah, lahirnya perda-perda demikian dianggap sebagai terobosan
untuk menjamin tertib masyarakat, baik dari sisi hubungan antar individu, maupun
keterjaminan “moral” individu tersebut di masyarakat. Bagi kalangan yang kontra dengan
perda ini, mereka mengargumenkan bahwa pembentukan perda syariah dinilai berlebihan,
bahkan ada yang menyatakannya secara terbuka bahwa perda-perda tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Tulisan ini mencoba melihat perda syariah tersebut dari kacamata hukum tatanegara. Dari
kajian hukum tatanegara terdapat hal prinsipil yang penting untuk dikaji seiring dengan
munculnya Perda Syariah ini. Hal tersebut terkait dengan pertanyaan : Apakah Perda Syariah
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah seiring dengan kebijakan
otonomi daerah?, serta sejauhmanakah pembentukan perda-perda syariah tersebut sesuai
dengan kaidah-kaidah dalam pembentukan peraturan perudang-undangan di Indonesia?

Persoalan-persoalan tersebut akan dilihat dengan menggunakan parameter dasar-dasar hukum


diberlakukannya otonomi daerah, serta hirarki peraturan perundang-undangan di Republik
Indonesia yang terdapat dalam Undang-undang Dasar RI 1945, UU No.22 Tahun 1999 jo UU
No.32 Tahun 2004, UU No. 10 Tahun 2004 dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya yang dapat dijadikan rujukan dalam tulisan ini.

Apa itu otonomi daerah ?

Indonesia adalah Negara yang menganut sistem Negara kesatuan (unitary) yang berbentuk
republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.

Otonomi daerah adalah kebijakan pemerintah republik Indonesia untuk mendistribusikan


kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Melalui otonomi daerah,
pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-
masing dalam berbagai hal, kecuali :

a. Politik luar negeri

b. Pertahanan

c. Keamanan

d. Politik luar negeri

e. Moneter dan Fiskal

f. Agama

Keenam bidang tersebut diatas merupakan kewenangan pemerintah pusat. Artinya selain
enam bidang tersebut berbagai kewenangan yang ada merupakan kewenangan pemerintah
daerah. Selanjutnya secara lebih terperinci Undang-undang (UU) No.32 Tahun 2004 juga
mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah daerah, yaitu antara provinsi dengan
kabupaten atau kota. Dalam pasal 13 UU No.32 Tahun 2004 ditegaskan tentang kewenangan
wajib pemerintahan propinsi, yaitu ;

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;


b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal (investasi) termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 14 UU ini juga diatur mengenai kewenangan wajib pemerintah kabupaten, yaitu
meliputi :
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal (investasi);

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Diluar kewenangan-kewenangan tersebut,terdapat beberapa kewenangan yang merupakan


kewenangan pemerintah pusat, namun dilimpahkan kepada pemerintah daerah, baik
pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota. Pelimpahan wewenang tersebut berdasarkan
UU No.32 Tahun 2004 dengan cara dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan.

Dekonsentrasi dapat dimaknai sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
perangakat pemerintahan pusat di daerah, seperti gubernur dan wakil pemerintah pusat
lainnya di daerah.

Dalam konsepsi hukum administrasi negara, pelimpahan wewenang demikian dikenal dengan
mandat, yaitu pelimpahan wewenang yang terjadi atas izin suatu organ kepada organ lain
agar organ tersebut menjalankan wewenang atas namanya.
Dalam mandat juga terdapat beberapa konsekwensi yuridis yang mengikutinya, yaitu ;

a. Perintah untuk melaksanakan


b. Kewenangan dapat dilaksanakan sewaktu-waktu oleh pemberi mandat
c. Tidak terjadi peralihan tanggungjawab,
d. Tidak harus berdasarkan Undang-undang,
e. Tidak harus tertulis.

Sedangkan yang dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana prasarana
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan.

Pada prinsipnya tidak terlalu ada perbedaan antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan
ini. Hanya saja dalam tugas pembantuan hal-hal tekhnis sudah diatur oleh pemerintah pusat,
sehingga kepala daerah hanya diserahi tugas teknisnya, beserta pertanggung jawabannya.

Kewenangan Pemda membuat Perda

Pemerintah daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk


membuat peraturan daerah (perda). Dalam pasal 1 UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Perda adalah peraturan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Secara terperinci Bab VI UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan tentang prosedur pembentukan
perda, materi muatan perda, asas yang harus terkandung dalam perda, termasuk sanksi yang
dapat dimuat dalam perda tersebut.

Pertama: Prosedur pembentukan perda. Perda dibentuk/ditetapkan oleh kepala daerah


setempat bersama dengan DPRD. Artinya perda yang dibuat di tingkat provinsi ditetapkan
oleh gubernur setempat bersama dengan DPRD provinsi, demikian pula di tingkat
kabupaten/kota. Usul pembentukan perda dapat dilakukan oleh kepala daerah sebagai kepala
eksekutif daerah dan oleh DPRD sebagai legislative daerah. Hal ini berlaku terhadap seluruh
usulan perda, kecuali rancangan perda mengenai APBD yang harus berasal dari kepala
daerah (eksekutif) saja. Dalam pembentukan perda, masukan dari masyarakat harus diberi
ruang, baik dalam proses awal pembentukannya, maupun pada saat perumusan terhadap
materi perda tersebut.

Kedua : Materi muatan perda disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki daerah sesuai
dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Perda berisikan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah.
Dalam konteks ini, materi perda ditafsirkan dari berisi rumusan lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan diatasnya. Selain itu, materi perda juga dapat memuat hal-hal yang
terkait dengan ciri khas daerah tersebut. Selain itu materi perda juga harus memuat beberapa
asas dalam pembentukan perda, yaitu ;

1. pengayoman;
2. kemanusiaan;
3. kebangsaan;
4. kekeluargaan;
5. kenusantaraan;
6. bhineka tunggal ika;
7. keadilan;
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Ketiga : Sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan di republik Indonesia yang
berada pada hirarki bawah, Perda dapat memuat ketentuan sanksi pidana dan denda yang
jenis sanksinya lebih ringan daripada sanksi yang dimuat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam ketentuan pasal 143 ayat (1), (2) dan (3) UU
No.32 Tahun 2004diatur mengenai sanksi yang dapat diatur dalam perda, yaitu :
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Keempat : Sebagai produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Prosuder
pembentukan, maupun materi Perda dilakukan melalui verifikasi oleh pemerintah pusat
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 145 UU No.32 Tahun 2004. Perda yang dianggap
melanggar kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden.
Selambat-lambatnya setelah 7 (tujuh) hari sejak dibatalkan, kepala daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda tersebut dan selanjutnya DPRD dan kepala daerah harus
mencabut perda tersebut.

Bagi kepala daerah dan DPRD yang merasa keberatan atas pembatalan perda dari pemerintah
pusat dapat mengajukan keberatan melalui Mahkamah Agung. Jika keberatan tersebut
diterima, maka perda tersebut diberlakukan kembali dengan terlebih dahulu dikeluarkan
Keputusan Presiden yang membatalkan Keputusan Presiden sebelumnya yang menyatakan
perda tersebut tidak berlaku. Apabila pemerintah pusat tidak mengeluarkan keputusan
presiden untuk membatalkan perda tersebut, maka perda tersebut dengan sendirinya
dinyatakan berlaku.

Kelima : Setelah perda dibuat dan dilaksanakan, masyarakat memiliki kesempatan untuk
malakukan “control” terhadap perda tersebut dengan melakukan review terhadapnya. Ada
dua mekanisme yang dapat digunakan public untuk melakukan review terhadap perda, yaitu
melalui Mahkamah Agung (judicial review) dan melalui pemerintah pusat (executive review).
Review yang diajukan ke Mahkamah Agung menuntut keaktifan dari masyarakat dan terbatas
hanya dalam waktu 180 hari sejak perda tersebut sejak perda tersebut diundangkan.
Sedangkan mekanisme review melalui Pemerintah Pusat c.q Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) dilaksanakan sebagai bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap produk
hukum pemerintah daerah sebagamana dijelaskan diatas. Kendati demikian publik dapat pro-
aktif meminta pemerintah pusat untuk menggunakan kewenangannya ini guna mengawasi
perda-perda yang dianggap bermasalah. Lebih rinci mengenai pengujian (review) terhadap
perda dapat dilihat dalam table berikut ;
Tabel

Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah

Kategori Mahkamah Agung Pemerintah Pusat


Jenis Review Judicial Review Executive Review
Bentuk review Permohonan keberatan  1. Pengawasan preventif
terhadap oleh pemerintah
pusat terhadap
RANPERDA yang
bermuatan APBD, pajak
dan retribusi daerah serta
tata ruang.
 2. Pengawasan represif
terhadap PERDA dari
pemerintah pusat
terhadap daerah dalam
pelaksanaan otonomi
daerah.

Lembaga yang Mahkamah Agung Departemen Dalam Negeri


melakukan review dibantu dengan:

 a. Departemen Keuangan
 b. Departemen PU
 c. Departemen Hukum
dan HAM

Sifat kewenangan Pasif à menunggu datangnya Aktif à melakukan pengawasan,


lembaga yang permohonan dari pemohon evaluasi terhadap seluruh perda
melakukan review yang dikeluarkan (pengawasan
represif)
Kapasitas lembaga Menyelesaikan sengketa peraturan Dalam rangka pengawasan dan
perundang-undangan yang timbul pembinaan terhadap pemerintah
dibawah undang-undang terhadap daerah
undang-undang (konflik norma)
Dasar hukum  a. Pasal 24A ayat (1) UUD  a. Pasal 114 ayat (1)
kewenangan 1945 sampai ayat (4) UU No
pengujian  b. Pasal 11 ayat (2) huruf b UU 22/1999 tentang Pemda
No. 4/2004 tentang Kekuasaan  b. Pasal 145 ayat (1), ayat
Kehakiman (2), ayat (3), dan ayat (4)
 c. Pasal 31 ayat (1) sampai ayat jo Pasal 136 ayat (4) jo
(5) UU No. 5/2004 tentang Pasal 218 ayat (1) huruf b
Mahkamah Agung UU No 32/2004 tentang
 d. Peraturan Mahkamah Agung Pemda
No. 1 Tahun 1999 yang sudah
diganti dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2004 tentang Hak Uji Materil

Standar pengujian  a. bertentangan dengan  a. bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan peraturan perundang-
yang lebih tinggi undangan yang lebih
 b. pembentukannya tidak tinggi
memenuhi ketentuan yang  b. bertentangan dengan
berlaku kepentingan umum

Lama waktu Permohonan Keberatan paling lambat  a. Perda disampaikan


review diajukan ke MA setelah 180 hari kepada Pemerintah paling
pengundangan Perda. Tetapi tidak lama 7 (tujuh) hari setelah
diatur berapa lama proses review harus ditetapkan
diselesaikan oleh MA.  b. Bila perda dibatalkan,
maka peraturan presiden
pembatalan harus sudah
ditetapkan paling lama 60
(emanpuluh) hari sejak
diterimanya perda

Waktu eksekusi Paling lama 90 (sembilanpuluh) hari Paling lama 7 (tujuh) hari setelah
setelah putusan yang mengabulkan ditetapkannya pembatalan perda,
permohonan keberatan perda, perda kepala daerah harus
harus dicabut oleh DPRD bersama menghentikan pelaksanaan perda,
kepala daerah. selanjutnya DPRD bersama
kepala daerah mencabut perda
tersebut
Bentuk hukum Putusan Mahkamah Agung Peraturan Presiden
pembatalan
Upaya Hukum Tidak dapat diajukan Peninjaun Mengajukan keberatan kepada
Kembali Mahkamah Agung

Sumber : Yance Arizona, Disparitas Pengujian Perda, Suatu Tinjauan Normatif dalam www.yancearizona.wordpress.com diakses pada 08
Januari 2008.

Perda dalam Hirarkhi Perundang-undangan RI

Perda sebagai salah satu produk hukum yang berlaku di Republik Indonesia (RI) memiliki
tempat dalam struktur hirarkhi perundang-undangan RI sebagaimana diatur dalam UU No.10
Tahun 2004 Tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 UU
tersebut ditegaskan jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu ;

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Secara hirarkhi, perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan paling bawah yang
disebutkan dalam UU No.10 tahun 2004 ini, kendati dalam rumusan pasal 7 ayat (3) UU
tersebut disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas
diakui keberadaannya dan mengikat secara hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya UU ini, maka terdapat
beberapa jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak termasuk dalam
hirarkhi perundang-undanga, seperti : Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan
Menteri dan beberapa jenis peraturan lainnya.

Implikasi yuridis dari tidak dimuatnya beberapa jenis peraturan diatas dalam UU 10 tahun
2004 adalah terjadinya ketidakjelasan kedudukan beberapa peraturan tersebut dalam hirarkhi
peraturan perundang-undangan RI. Jika perda merupakan jenis peraturan paling bawah yang
disebutkan oleh UU No.10 tahun 2004, maka bagaimana kedudukan perda dengan keputusan
presiden misalnya. Apakah keputusan presiden lebih tinggi daripada perda, atau sebaliknya.
Sebagai contoh sebuah Perda dapat dibatalkan oleh Keputusan Presiden karena dianggap
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Padahal
keputusan presiden tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam UU No.10 Tahun 2004.

Melihat Perda Syariah

Fenomena munculnya Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia satu mata rantai dengan
kemunculan otonomi daerah. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada daerah, baik
provinsi maupun kabupaten/kota dimanfaatkan oleh sebagian daerah untuk membuat perda
dengan maksud melindung, mempertahankan dan/atau menjaga berbagai karakteristik khas
daerahnya.

Bagi daerah-daerah yang mayoritas muslim, dimana antara agama Islam dan budaya
masyarakat setempat telah berjalan berbarengan, bahkan telah menyatu selama puluhan
bahkan ratusan tahun. Daerah-daerah demikian memprkarsai beberapa perda yang bernuansa
syariah, seperti perda tentang kewajiban khatam Al-Qur’an bagi anak usia SD/MI, Perda
tentang Ramadhan, Perda tentang Jumat khusu’ dan berbagai perda lainnya. Perda-perda
demikian populer disebut sebagai perda syariat Islam.

Perda Syariah saat ini setidaknya dilaksanakan di enam provinsi, 38 kabupaten dan 12 kota.
Pola pemberlakuan syariat Islam pun berbeda – beda seperti di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) yang menegaskan pelaksanaan hukum Islam, Perda syariat dibuat oleh
Pemerintah Provinsi yang mengacu kepada sebuah aturan induk, yaitu Perda Nomor 5 Tahun
2000 tentang Penegakan Syariah Islam dimana Perda ini dibuat berlaku bagi seluruh
kabupaten/kota .

Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, perda dibuat di tingkat provinsi secara umum
dengan harapan akan dikembangkan dan dijadikan aturan induk bagi pelaksanaan perda
serupa di kabupaten/kota. Beberapa kabupaten/kota di kedua provinsi itu sudah
memberlakukan aturan serupa.

Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Gorontalo, perda syariat dibuat di tingkat provinsi,
tetapi tidak diikuti pemerintah kabupaten/kota. Aturan yang diatur umumnya terkait dengan
pelarangan pelacuran dan peredaran minuman keras. Bentuk lain dari pemberlakuan Perda
syariat adalah perda dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota, tanpa ada aturan induk di tingkat
provinsi. Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Banjarmasin (Kalimantan
Selatan), dan Pamekasan (Madura, Jawa Timur) adalah beberapa pemerintah kabupaten
dan/atau kota yang melaksanakan Perda syariat walau provinsi induknya tak mengaturnya.

Propinsi Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk sekitar 3.345.784 jiwa yang tersebar di
13 (tigabelas) kabupaten/kota. Dimana 96% dari total penduduknya beragama Islam. Bukan
itu saja, Secara historis, Kalimantan Selatan adalah bekas wilayah kerajaan Banjar. Kerajaan
Banjar atau dikenal juga dengan nama kesultanan Banjar yang berdiri sejak 24 September
1526 sampai dengan 11 Juni 1860. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Negara Daha, beribukota di Daha (nagara) Kandangan. Kerajaan Negara Daha juga
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa, beribukota di Amuntai. Baik negara Daha,
maupun negara Dipa raja-rajanyanya memeluk agama Hindu.

Perpindahan raja Banjar dari agama Islam ke Hindu berawal dari adanya perpecahan di
kerajaan tersebut, Raja Badjarmasih bernama Sultan Suriansyah yang memimpin kerajaan
Banjar pada suatu ketika berebut tahta dengan pamannya yang bernama Pangeran
Tumenggung. Dalam perebutan tersebut, raja bandjarmasih meminta bantuan kepada Sultan
Demak dengan mengirimkan utusan bernama Patih Balit. Oleh Sultan Demak permohonan
tersebut dikabulkan dengan syarat sang raja harus memeluk agama Islam. Maka, mulai saat
itu, raja Banjar tersebut memeluk agama Islam dan diberi gelar Sunan Batu Abang. Sejak saat
itulah raja dan rakyat kerajaan Banjar memeluk agama Islam. Bahkan, ajaran Islam
berkembang sedimikian rupa di wilayah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya pemuda-
pemuda Banjar yang serius memperdalam ajaran agama ini, bahkan sampai ke Timur Tengah,
terutama Arab Saudi (yang dianggap sebagai sumber awal ajaran Islam). Beberapa ulama dari
Banjar bahkan tersohor ke penjuru negeri karena ilmu agama yang ia miliki. Sebut saja Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang terkenal dengan kitabnya “Sabilal Muhtadin”. Sampai
saat ini, masih banyak pemuda Banjar yang memperdalam ajaran Islam melalui berbagai
lembaga pendidikan formal, maupun non-formal, seperti pengajian-pengajian, pesantren, dan
berbagai lembaga pendidikan lainnya, baik di Kalimantan Selatan, maupun diluar Kalimantan
Selatan, termasuk ke luar negeri.

Gambaran diatas ingin menyatakan bahwa terdapat antusiasme yang tinggi oleh masyarakat
Kalimantan Selatan, sejak zaman kerajaan Banjar dahulu sampai dengan sekarang terhadap
ajaran Islam. Sehingga formalisasi ajaran Islam dalam produk perundang-undangan oleh
beberapa kalangan dianggap penting. Pasca otonomi daerah, peluang melakukan formalisasi
tersebut memungkinkan dalam bentuk Perda.

Kendati demikian, pembentukan perda syariah memerlukan analisis yang lebih holistik dari
kaca mata hukum, khususnya hukum tatanegara. Sebab perda merupakan produk hukum yang
harus tunduk dan patuh terhadap kaidah-kaidah pembuatan produk hukum dan tertib hukum
Indonesia.

Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa aspek untuk melihat sejauhmana perda-perda
syariah dapat diterima, atau bahkan bertentangan secara yuridis dilihat dari sudut pandang
hukum tata negara Indonesia.

Pertama : Dari sisi tertib hukum Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas, perda merupakan
jenis peraturan yang berada paling bawah sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004. Sehingga
secara yuridis terdapat konsekwensi secara formil, maupun materiil bahwa perda tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-
undang (UU). Dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masalah
agama merupakan domain pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Sehingga jika perda
syariah sama dengan perda yang mengatur perihal persoalan-persoalan agama, kendati
skopnya lokal, maka secara tertib hukum nasional ia dianggap bertentangan dan wajib
dinyatakan tidak berlaku.

Kedua : Dilihat dari sisi materi perda. Materi/muatan yang diatur oleh perda-perda syariah
akan menentukan bertentangan atau tidaknya perda tersebut secara yuridis. Materi perda yang
memuat persoalan agama jelas bertentangan dengan tertib hukum nasional, sebab bukan
merupakan wewenang pemerintah daerah untuk mengaturnya. Kendati materi perda yang
dianggap bermuatan agama masih dapat diperdebatkan. Sebagai contoh Perda Kabupaten
Banjar tentang kewajiban khatam Al-Qur’an masih mengandung perdebatan, apakah
kewajiban khatan Al-Quran merupakan ranah agama, atau dapat ditarik menjadi ranah
pendidikan. Sebab di Kalimantan Selatan terdapat kultur pendidikan, dimana anak-anak usia
SD berkewajiban (secara budaya) untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Hal ini terkait dengan
budaya dan tradisi masyarakat Banjar yang dekat dengan budaya baca (termasuk tulis) Al-
Qur’an. Jika perda demikian muatannya didekati dari sisi pendidikan, maka perda demikian
tidaklah bertentangan secara yuridis.

Hal ini berbeda dengan perda syariah yang murni mengatur tentang persoalan agama dan
bersifat privat, seperti Perda Jum’at khusu’. Perda ini memuat tentang larangan membuat
“keributan” pada saat sholat jum’at dilaksanakan dengan tujuan agar orang yang
melaksanakan sholat jum’at dapat dengan khusu’ melaksanakan ibadahnya. Persoalan khusu’
adalah persoalan keagamaan dan sifatnya sangat privat. Hanya sang individu yang dapat
merasakan khusu’ atau tidaknya pada saat ia beriadah. Sangat aneh, jika persoalan khusu’ ini
ditarik oleh pemerintah daerah menjadi kewenangannya. Dari persfektif ini, materi perda
yang merupakan wilayah agama dan bersifat privat dapat dinyatakan bertentangan secara
yuridis. Terlebih hukum (hukum positif) bertujuan untuk mengatur hubungan manusia
dengan manusia semata, hubungan manusia dengan Tuhan tidak menjadi domain hukum
positif.

Ketiga : Dilihat dari sisi legal drafting, adanya pencantuman sumber hukum perda berupa Al-
Qur’an dan Al-Hadist tidak konkruen dengan produk hukum Indonesia yang bukan negara
agama. Pencantuman kedua sumber hukum tersebut membuat perda-perda syariah “cacat”
dilihat dari sisi tata cara penyusunan produk hukum (legal drafting), termasuk perda.

Keempat : Dari sisi penerapan sanksi, sebuah perda hanya diperkenankan menerapkan sanksi
administratif dan sanksi pidana, serta denda dalam batasan tertentu. Sanksi pidana misalnya
tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan penjara, sedangkan sanksi berupa denda maksimal
sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dijelaskan diatas. Jika terdapat
perda yang menerapkan sngsi di luar sanksi tersebut, termasuk sanksi-sanksi yang terdapat
dalam hukum Islam untuk perbuatan tertentu.

Kelima : Dari aspek etika-moral hukum (law in ethic), pembuatan perda syariah harus dilihat
secara proporsional, terutama latar belakang dan kondisi pada saat perda syariah itu dibuat.
Sebagai contoh, di beberapa daerah beberapa perda yang mendesak untuk dibuat justeru di
kesampingkan dan mendahulukan pembuatan perda-perda syariah. Perda yang berkaitan
dengan pelayanan pubik, perda anti korupsi dan berbagai perda lain yang seharusnya menjadi
prioritas tidak dikerjakan. Dalam kontek demikian, secara etika hukum, pembentukan perda
syariah mengundang tanda tanya besar. Terlebih di banyak kasus, pembuatan perda syariah
dibuat pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pembuatan perda syariah
dapat dimaknai sebagai cara penarikan simpati publik kepada penguasa dan diharapkan dari
simpati itu akan muncul dukungan kembali untuk menjadikan penguasa yang ada
(incombent) duduk kembali di kursi kekuasaannya. Dalam konteks ini, kekuasaan cenderung
disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek sang penguasa (power tends to corrupts,
absolute power corrupts absolutely).

Hal lain yang juga harus mendapat perhatian dalam koridor etika-moral hukum dalam
pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk perda adalah sejauhmana
terbentuknya pelbagai peraturan tersebut dapat menciptakan tertib hukum nasional yang
bermuara pada tertib masyarakat secara luas. Munculnya peraturan yang identik dengan
kepentingan kalangan tertentu, lambat laun akan menimbulkan sintemen dari kalangan lain.
Dalam kacamata ke-Indonesia-an, antusiasme sebagian daerah yang mayoritas penduduknya
muslim untuk membentuk perda-perda syariah akan menimbulkan sintemen kalangan non-
muslim untuk membentu peraturan serupa di daerah-daerah yang menjadi basisnya. Jika
fenomena ini terus berlanjut, maka kedepan yang menonjol adalah peraturan-peraturan
berbasis kepentingan kelompok tertentu, sehingga peraturan yang mejunjung tinggi
persamaan di depan hukum lambat laut akan tersingkirkan. Hal ini bukan tidak mungkin akan
menimbulkan disintegrasi hukum nasional yang merupakan awal mula lahirnya disintegrasi
bangsa.

Tabel

Parameter Penilaian Perda Syariah dari sisi Yuridis Ketatanegaraan

No Parameter Penilaian Permasalahan Krusial


1 Tertib Hukum Nasional  Diaturnya persoalan-persoalan
terkait wilayah agama yang
seharusnya menjadi domain
pemerintah pusat berdasarkan
UU No.32 Tahun 2004

 Perda secara hirarkhi berada


dibawah UU, sehingga ia tidak
boleh bertentangan dengan UU
(vide UU No.10 Tahun 2004)
2 Materi/Muatan Perda  Perda syariah mengatur masalah
agama, bukan domain
pengaturan melalui perda

 Perda syariah yang mengatur


hubungan manusia dengan
Tuhan. Hukum positif
mengatur hubungan manusia
dengan manusia.
3 Legal Drafting  Pencantuman sumber hukum
perda berupa Al-Qur’an dan
Al-Hadist
4 Sanksi  Tidak boleh menerapkan sanksi
pidana dan/atau denda melebihi
ketentuan dalam UU No.32
tahun 2004

 Penerapan sanksi diluar yang


diatur dalam UU No.32 tahun
2004 tidak dibenarkan,
termasuk sanksi-sanksi yang
sesuai dengan hukum Islam
(syariah)
5 Etika-Moral Hukum  Prioritas pembentukan perda

 Latar belakang pembentukan


perda

Sumber : diolah dari analisis penulis

Penutup

Perda syariah dengan berbagai varian nama yang melekat padanya tidak dapat serta merta
dikatakan baik atau bahkan cacat hukum, begitupula tidak dapat begitu saja dikatakan
sejalan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada
parameter yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian itu. Melalui parameter-
parameter tersebut diharapkan akan menghasilkan tesis yang objektif dan proporsional
dalam melihat perda-perda syariah dimaksud sebagai bagian dari peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia.

Makalah ini dipersiapkan sebagai salah satu makalah yang akan disajikan pada Seminar Serantau “Perkembangan Islam di Borneo” yang
diselenggarakan oleh Universiti Tekhnologi Mara (UiTM) Kota Samarahan, Kuching, Sarawak, Malaysia pada tanggal 27-28 Pebruari 2008.

*Tenaga Pengajar Bagian Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sedang menempuh studi pada
Centre of Postgraduate Institute National University of Malaysia (Universiti Kebangsaan Malaysia) dalam kajian Constitutional Law
(Hukum Tatanegara). Alamat korespondesi melalui email : rechtolog@yahoo.com

Perda tersebut berisi larangan menjual, mendistribusikan, menyimpan, mempromosikan dan mengkonsumsi miras ini diidentikkan dengan
Perda syariah, karena pelarangan minum khamar (minuman keras) terdapat dalam ajaran Islam. Sebelumnya terdapat Perda Provinsi Kalsel
bernomor 1 Tahun 2000 tentang Larangan minuman beralkohol yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Pasalnya, perda itu dianggap
bertentangan dengan PP Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah
dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, serta Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan pengendalian
minuman beralkohol. diakses dari www.zfikri.wordpress.com pada 09 Pebruari 2008.

Salah satu diskursus tentang Perda Syariah di Kota Banjarmasin dapat dilihat dalam Mukhtar Sarman, Mencari Kebenaran Menuai
Kecaman di Balik Kontroversi Perda Ramadhan, Diterbitkan bersama oleh PK2PD & LK3 Banjarmasin, 2006.

Lihat ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 (Konstitusi Indonesia)

Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang dasar 1945 dan juga dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437.

Ridwan A.R, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm 75.

Ibid, hlm 78

Ketentuan perihal asas meteri perda diatur dalam pasal 138 UU No.32 Tahun 2004.

Data didapat dari Jurnal Reform Volume I No. 1 Tahun 2007


Data didapat dari situs resmi Pemerintah Provinsi Kalsel dalam www.kalselprov.go.iddiakses pada tanggal 09 Pebruari 2008.

Sejarah Kesultanan/Kerajaan Banjar dapat di akses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar. Buku yang mengupas secara lebih
detail tentang sejarah kerajaan Banjar dan masuknya Islam ke tanah Banjar dapat di baca dalam Alfani Daud, Islam dan Masyarakat
Banjar : Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Rajawali, Jakarta, 1997.

Salah satu Buku yang merupakan ringkasan Sabilal Muhtadiin dalam versi Bahasa Indonesia adalah buku yang diedit oleh M.Karsayuda,
Fiqh Syafe’i: Cuplikan Kitab Sabilal Muhtadin, Majelis Ulama Indonesia Kota Banjarmasin, Borneo Press Banjarmasin, 2007.

Sumber hukum yang diakui di Indonesia saat ini adalah : Pancasila, UUD 1945, UU/Perppu, PP, Peraturan Presiden dan Perda (vide Pasal 7
ayat (1) UU No.10 tahun 2004).

Adagium ini muncul dari Lord Acton, seorang pakar Politik dan Ketatanegaraan Inggris. Artinya : Kekuasaan cenderung disalahgunakan,
Kekuasaan yang absolut cenderung (ingin) bertahan selama-lamanya

Dalam suatu kesempatan K.H.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden Republik Indonesia) pernah mengeluhkan penerapan
Syariah Islam di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Gus mendesak pemerintah untuk bertindak meluruskan
kembali perda-perda Syariah Islam itu. Semangat beragama itu tidak benar, katanya, menunjuk pada Pemda dan DPRD di tiga kabupaten itu
yang menerapkan Syariah Islam. Di Sumatera UMMAT KRISTEN pun melihat dengan cemas bagaimana 17 gereja ditutup di Aceh. Gereja
Huria Kristen Indonesia Daerah IV di Kabupaten Aceh Singkil. Kini hanya 5 gereja yang masih berfungsi di sana. Ketujuh belas gereja yang
ditutup itu berasal dari Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, GKPPD, HKI dan Katholik. Dikutip dari Radio Nederland Wereldomroep,
Jumat 03 Mei 2002 dalamwww.zfikri.wordpress.com.

Lihat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 2004. Diantara asas yang disebutkan adalah
asas kebangsaan dan kenusantaraan. Kedua asas itu mengandung makna bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,
hendaknya dihindari adanya kepentingan yang teramat kental oleh kelompok tertentu yang dapat membahayakan nilai-nilai kebangsaan dan
kenusantaraan.

http://rifq1.wordpress.com/2008/02/10/tinjauan-terhadap-peraturan-daerah-perda-syariah-di-
kalimantan-selatan/

You might also like