You are on page 1of 84

Cara mendeteksi gizi buruk pada balita

Oleh :  drh. Sarmin, MP dan Dr. Fitri Rachmayanti

Anak adalah amanah dari Alloh yang tiada ternilai harganya. Amanah tersebut menuntut kita
untuk menjadikan mereka sebagai anak yang sholih dan sholihah. Untuk mewujudkannya ada
beberapa faktor yang harus dipenuhi, di antaranya memberikan nutrisi yang cukup dan baik
kepada anak sehingga bisa tumbuh dengan sempurna, sehat, dan cerdas. Dengan begitu, akan
membuat mereka mudah dibina untuk mendalami ilmu-ilmu agama Alloh. Ketidak-acuhan kita
terhadap nutrisi anak akan membuat keadaan gizi mereka menjadi buruk.

Akhir-akhir ini, banyak balita yang mengalami keadaan gizi buruk di beberapa tempat. Bahkan,
dijumpai ada kasus kematian balita gara-gara masalah gizi buruk kurang diperhatikan. Kondisi
balita yang kekurangan gizi sungguh sangat disayangkan. Sebab, pertumbuhan dan
perkembangan serta kecerdasannya dipengaruhi oleh gizi. Kondisi gizi buruk tidak mesti
berkaitan dengan kemiskinan dan ketidaksediaan pangan, meski tidak bisa dipungkiri
kemiskinan dan kemalasan merupakan faktor yang sering menjadi penyebab gizi buruk pada
anak.

Selain itu, faktor pengasuhan anak juga menentukan. Anak yang diasuh oleh ibunya sendiri
dengan penuh kasih sayang, kesadaran yang tinggi akan pentingnya nutrisi dan ASI, dan selalu
memperhatikan kesehatan—apalagi berpendidikan; maka anaknya tidak akan mengalami gizi
yang buruk. Sedangkan fenomena yang ada saat ini, kebanyakan anak dipisahkan jauh dari
ibunya dengan alasan kesibukannya yang padat. Kemudian mereka menyerahkan kepengasuhan
anak kepada orang yang kurang memperhatikan nutrisi dan kesehatan anak. Jika seperti ini
keadaannya, besar kemungkinan anak akan mengalami gizi yang buruk. Oleh karena itu, para
orang tua, khususnya para ibu, hendaknya tetap memperhatikan nutrisi dan kesehatan anaknya di
tengah kesibukan mereka melakukan aktivitas sehari-hari, di samping juga tarbiyah yang baik
buat mereka.

Pengertian Gizi Buruk

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan
ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa
berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.

Indikasi Gizi Buruk

Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi
badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa
dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.

Kwashiorkor memiliki ciri:


1) edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah)
membulat dan lembab
2) pandangan mata sayu
3) rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan
mudah rontok
4) terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel
5) terjadi pembesaran hati
6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
7) terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis)
8 ) sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut
9) anemia dan diare
Sedangkan ciri-ciri marasmus adalah sebagai berikut:
1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit
2) wajah seperti orang tua
3) mudah menangis/cengeng dan rewel
4) kulit menjadi keriput
5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar)
6) perut cekung, dan iga gambang
7) seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
8 ) diare kronik atau konstipasi (susah buang air)

Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor
dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

Cara Mengukur Status Gizi Anak


Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur status gizi pada anak. Berikut adalah salah
satu contoh pengukuran status gizi bayi dan balita berdasarkan tinggi badan menurut usia dan
lingkar lengan atas.

Tabel Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur


(usia 0-5 tahun, jenis kelamin tidak dibedakan)

Tabel Standar Baku Lingkar Lengan Atas (LLA) Menurut Umur

Sumber: Pedoman Ringkas Pengukuran Antropometri, hlm. 18


Pencegahan
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan
kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat
mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk
mencegah terjadinya gizi buruk pada anak: 1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai
anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin
dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang
dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.

3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati
apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan
hal itu ke dokter.

4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola
dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.

5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi
dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah
sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula
suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil
yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.

Untuk mencukupi kebutuhan gizi yang baik pada anak memang dibutuhkan usaha keras dari
orang tua dengan memberikan makanan yang terbaik kepada mereka. Tentu saja hal ini
membutuhkan kesabaran, ketawakkalan dan keuletan dalam mencari rezeki dari Alloh untuk
memenuhi kebutuhan gizi anak. Jika semua ini tercapai, insya-Alloh akan tercetak generasi yang
sehat, sholih dan sholihah, dan cerdas dalam mempelajari dan memahami ayat-ayat Alloh.

Referensi:
Anonim. 2007. Ciri-ciri Kurang Gizi. Diakses 15 Desember 2008: Portal Kesehatan Online.
Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika Online.
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-2.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nasar, dkk. Ped Tata Kurang Protein. pkm-IDAI
Nency, Y dan Arifin, M.T. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. Inovasi Edisi Vol.
5/XVII/November 2005: Inovasi Online.

http://almawaddah.wordpress.com/2009/02/07/cara-mendeteksi-gizi-buruk-pada-balita/

tgl. 14 januari 14 januari 2011 jam 11.25


Gizi Buruk
oleh: Muhammad Bima Arrynugrah, S.Ked

Pengertian Gizi Buruk

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan
ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa
protein, karbohidrat dan kalori.

Indikasi Gizi Buruk

Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi
badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa
dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.

Kwashiorkor memiliki ciri:


1) edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah)
membulat dan lembab
2) pandangan mata sayu
3) rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan
mudah rontok
4) terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel
5) terjadi pembesaran hati
6) otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
7) terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis)
sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut
9) anemia dan diare

Sedangkan ciri-ciri marasmus adalah sebagai berikut:


1) badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit
2) wajah seperti orang tua
3) mudah menangis/cengeng dan rewel
4) kulit menjadi keriput
5) jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar)
6) perut cekung, dan iga gambang
7) seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
diare kronik atau konstipasi (susah buang air)

Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor
dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

Pencegahan

Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan
kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat
mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk
mencegah terjadinya gizi buruk pada anak: 1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai
anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin
dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang
dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati
apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan
hal itu ke dokter.

4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola
dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.

5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi
dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah
sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula
suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil
yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.

http://bimaarry.blogspot.com/2009/03/gizi-buruk.htm/

tgl 14 januari 2011 jam 11.25

Http://www.google.co.id/imglanding?q=gizi+buruk?&um=1&2clint=firefox-a&sa-
a&sa=x&rls=org.mozilla:en-us:official&tb,=1sch:1&tbnid=aod80UeVVYIEgl^

Tgl.14 januari 2011 jam 11.50 wib


You were searching for "makalah gizi buruk". See posts relating to your search »

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekurangan gizi dapat merusak bangsa. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui
kecenderungan masalah gizi dan kesehatan masyarakat serta determinan yang mempengaruhi
masalah ini.

Analisis menggunakan data utama dari SUSENAS 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya
yang mempunyai informasi status gizi dan kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga
berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan
perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk
menjelaskan perubahan status gizi dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat
memberikan rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat
dimasa yang akan datang.

Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih
cukup dominan. Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang
ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan
balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi (AKB)
>50 per 1000 lahir hidup.

Angka Kematian Tinggi Akibat Kekurangan Gizi


Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya
penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan
karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor
perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-
lain.

Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari bayi
dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat
badan rendah (BBLR<2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi kurang pada
balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut.

Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya “fenomena double
burden” yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai dengan
semakin meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya proporsi ibu dengan gizi lebih
yang mempunyai anak pendek atau kurus. Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan
masalah gizi sampai dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi.
Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau
memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran
terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada
penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan,
terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat.

Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan
penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas
intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat
dapat tercapai.

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM.

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan
tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering
terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya
umur harapan hidup.
Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan,
karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam
kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil
ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya
status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi pada saat
lahir dan balita.

United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan
upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan.
Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya
perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi memburuknya
keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh,
konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian.

Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 di atas (Unicef, 1998)
menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat
terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu
mengkaji faktor penyebab tersebut.

Proyeksi Status Gizi Penduduk 2015


Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini
hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan
dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan
Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor.
Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab
yang mendasar adalah:

o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi
makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga
mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32
gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan.
(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan
jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan melanda 20-25 juta
rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan
pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap
pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20%
kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio
pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%.

o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan, yang
berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin adalah 18.2% atau 38,4
juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten sangat bervariasi,
masih ada sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin > 30%.

o Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari variasi prevalensi
berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Seperti
diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten di Indonesia menanggung beban
dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%.

o Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan pelayanan
kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal.
Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun
1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%.
Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991,
1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12%
and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.

o Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak
berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah balita yang
ada.

o Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan yang menurun
dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja sampai 6 bulan cenderung
renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian makanan pendamping ASI menjadi masalah
dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan.

o Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia
merupakan masalah kronis.

o Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan rendahnya
tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah.

o Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah
(tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp
200/kapita/tahun).

Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi proyeksi
kecenderungan gizi yad seperti berikut:

1. Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita

Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut
umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau
penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk
meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan
meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling gizi
kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan
periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang
adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun
2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7%

2. Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah

Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak negara
anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih awal
tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian yang dilakukan
pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi badan antara kelompok usia 20
tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa setinggi kurang lebih 8 cm.

Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang ‘secular trend” dari
kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini
sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia.

Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan penduduk dari satu waktu tertentu.
Informasi yang ada adalah hasil survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi.
Dari hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata tinggi badan sebesar
2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam jangka waktu 14 tahun.

Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang
(stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting atau pendek
merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat. Pengalaman
kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang berkembang pada
umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru
masuk sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar antara 0.1-0.3 cm.
Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta
menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu
40% maka pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan
menjadi 24%.

3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur

Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara 5-8%
dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita usia subur
sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan
status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun harus menjadi
prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat pada Figure 10, 35-40% WUS usia
15-19 tahun berisiko KEK.

Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks dibanding
intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak
bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan
asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur 15-19 tahun.

Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan
menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015
diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan
juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia.

4. Proyeksi masalah gizi mikro

Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah KVA,
GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum terungkap akan
tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium,
kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink.

Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan Anemia
Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul
yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan
untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan.
Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai dengan informasi yang
tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA, GAKY dan
anemia gizi. Data dasar untuk keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu mendatang perlu
dilakukan, karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat, vitamin B1 hanya tersedia
dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah tangga yang cenderung defrisit dalam
makanan sehari-hari.

Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil survei
1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah
dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20 mg,
dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali munculnya kasus xeroftalmia. Dari
beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB.

Pemberian kapsul vitamin A pada balita diasumsikan belum mencapai seluruh balita. Intervensi
KVA dengan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap
perlu, selain strategi lain (fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan) mulai
diintensifkan. Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada balita dapat ditekan
menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%.

Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui prevalensi
GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada tahun 1996
diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003
setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 1997-2003.

Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah yang belum
teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat
rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga
mengkonsumsi garam beryodium).

Selain itu pemantauan pemberian kapsul yodium pada daerah endemik berat dan sedang tidak
diketahui sampai sejauh mana kapsul ini diberikan pada kelompok sasaran. Mengingat masalah
GAKY sangat erat kaitannya dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi
GAKY pada penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun setelah
intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik jika konsumsi garam
beryodium dapat universal.

Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal,
prevalensi GAKY ada kemungkinan akan meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan
prevalensi GAKY tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun kedepan
(sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang dari 5%.

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti yang
diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9%
(1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak
saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka menekan angka
kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja.

Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka
ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015,
karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum
intensif.

Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan memperhatikan
angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan.
Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama
berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting dalam perbaikan
gizi secara menyeluruh.
Program Perbaikan Gizi Dan Kesehatan Masa Depan

Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab masalah
ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat
kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi
penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah.

Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain:

1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari
ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan
program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang
mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten.

2. Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif
untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-
benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi
tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan
atau kriteria yang spesifik lokal.

3. Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah


perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan
kerja sama yang baik dengan swasta.

4. Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka
panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan.

http;//astqauliyah.com/2010/05/makalah-gizi-situasi-gizi-dan kesh-masy/

tgl 14 januari 2010 jam 12.05 wib


Contoh proposal kualitatif
A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan kampus, khususnya kehidupan kampus Universitas Islam Negeri Malang,
dalam keseharianya sangat banyak kebiasaan-kebiasaan khususnya kebiasaan membaca yang
berlangsung otomatis baik oleh kalangan para mahasiswa maupun oleh kalangan para dosen
bahkan oleh kalangan para pemimpin universitas.

Bukti ini dapat dilihat pada aktivitas dalam perpustakaan umum Universitas Islam Negeri
Malang, yang mana buka untuk melayani mahasiswanya baik yang hanya membaca, meminjam
buku maupun yang mengembalikan buku yang telah di pinjam oleh mahasiswa mulai dari hari
senin sampai hari sabtu adapun waktunya adalah mulai dari jam delapan pagi sampai pada jam
lima sore. Jadi, kemungkinan banyak waktu yang di berikan kesempatan bagi mahasiswa untuk
hanya sekedar mengunjungi untuk mencari referensi bahan kuliah sampai pada aktivitas
membaca dalam perpustakaan. Mahasiswa dalam memanfaatkan perpustakaan ini banyak yang
tertarik untuk mengunjungi perpustakaan umum universitas islam negeri malang hal ini terlihat
dalam keseharianya, perpustakaan selalu di penuhi oleh mahasiswa.

Selain itu, untuk fasilitas buku bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri Malangjuga tersedia
dalam perpustakaan pada setiap jurusan. Hal ini berarti bahwa, kesempatan yang diberikan
kepada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malanguntuk membaca adalah banyak sekali. Baik
dari segi buku-buku yang tersedia maupun waktu yang tersedia dan bahkan waktu pelayanan dari
pegawai perpustakaan. Hal ini juga berarti bahwa, kesempatan bagi mahasiswa jurusan psikologi
untuk membaca juga banyak dan lengkap.

Akan tetapi, dalam penggambaran yang terlihat banyak mahasiswa yang mengunjungi
perpustakaan umum Universitas Islam Negeri Malang, hal ini wajar karena itu adalah
perpustakaan untuk seluruh mahasiswa universitas islam negeri malang. Jika kita bandingkan
dengan perpustakaan jurusan khususnya jurusan psikologi bagaimana? Apakah disana juga
terlihat banyak mahasiswa yang setiap harinya mengunjungi perpustakaan jurusan yang mana di
sana mereka melakukan aktivitas membaca ataupun meminjam buku.

Fakta yang ada, kebiasaan membaca tidak dapat diukur melalui sering tidaknya mengunjungi
perpustakaan atau ramai tidaknya perpustakaan. Akan tetapi, perpustakaan merupakan salah satu
tempat dan fasilitas yang dapat membantu mahasiswa untuk melakukan aktivitas kebiasaan
membacanya.

Jika kita melihat fakta yang ada, meskipun perpustakaan ramai oleh mahasiswa yang datang baik
yang hanya sekedar untuk meminjam buku untuk referensi yang berkaitan dengan mata kuliah
mahasiswa, atau bahkan yang datang ke perpustakaan hanya sekedar untuk mencari referensi
untuk mengerjakan tugas mereka. Di dalam perpustakaan tersebut, banyak aktivitas membaca
yang di lakukan oleh mahasiswa, baik hanya membaca karena untuk mencari bahan-bahan untuk
menyelesaikan tugas mereka sampai pada aktivitas mahasiswa yang benar-benar membaca untuk
menambah pengetahuan mereka.

Karena hal inilah yang kemungkinan dapat memberikan dampak yang positif bagi mahasiswa
psikologi Universitas Islam Negeri Malang. Meskipun dampak yang terlihat nyata belum begitu
besar dan jelas, akan tetapi hal ini dapat memberikan dampak yang positif. Hal ini dikarenakan,
dari aktivitas kebiasaan membaca akan dapat mempelajari rahasia segala ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai kebutuhan.

Sebagai mahasiswa psikologi, membaca merupakan suatu kebutuhan yang wajib terpenuhi.
Karena ruang lingkup psikologi adalah manusia dan lingkungan. Manusia dan lingkungan hanya
dapat di masuki melalui membaca, karena manusia dan lingkungan bukanlah sebuah bilangan
yang dalam menghadapinya dengan menghitungnya ataupun mengalikanya. Akan tetapi manusia
dan lingkungan hanya dapat dihadapi dengan pemahaman. Sebelum kita memahami, tentunya
ada suatu konteks atau suatu informasi yang harus diejah dan dikenali terlebih dahulu.

Yang telah tersebut di atas, semua itu hanyalah sebatas pengertian kita tentang kebiasaan
membaca yang dapat terlihat. Sebenarnya, pengertian dan pengetahuan tentang kebiasaan itu
sendiri dapat dijabarkan dan juga perlu untuk dilakukan penelitian secara lebih lanjut.
Pengertian kebiasaan membaca adalah suatu aktivitas yang rutin dilakukan dalam proses
penalaran untuk mencapai pemahaman terhadap gagasan dan informasi yang di dapatkan melalui
lambang-lambang yang ada baik tertulis maupun tidak.

Aktivitas membaca tidak hanya membutuhkan mulut untuk mengeja dan mata untuk melihat,
akan tetapi aktivitas membaca membutuhkan otak untuk memahami untuk melakukan aktivitas
pemahaman. Yang mana otak dan aktivitas kognitifnya terletak jauh dan tersembunyi dari
aktivitas mata dan indera lainya.

Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan membaca merupakan aktivitas kognitif seseorang yang
tidak dapat dilihat hanya dengan indera saja. Karena aktivitas kognitif tidak akan bisa tampak
jika kita tidak mendalaminya.

Dalam melakukan rutinitas membaca, ada banyak cara yang diperlukan untuk dapat
mendapatkan informasi yang memang benar-benar dapat membantu kita dalam pemahaman. Di
kutip dari bukunya Ad Rooijakkers, yang berjudul cara belajar di perguruan tinggi beberapa
petunjuk praktis pada halaman 17-18, ada lima cara yang diperlukan untuk membaca yaitu:

1.Membaca terarah, yang mana dalam membaca terarah ini kita akan mendapatkan informasinya
dengan cepat dan dalam waktu yang singkat.

2. Membaca sepintas, yang mana dalam membaca sepintas ini kita harus mengetahui pikiran
pokok tiap-tiap bab.

3. Membaca mencari, yang mana dalam membaca mencari ini kita harus dengan cepat mencari
kuncinya yaitu tentang keterangan yang akan di cari

4. Membaca belajar, yang mana dalam membaca belajar ini kita harus mengetahui dan
mengingat hal-hal yang penting dan detail.

5. Membaca kritis, yang mana kita harus mengingat dan mengerti bahkan kita harus menilainya.

Dari kelima cara-cara membaca di atas, secara terlihat mata kita tidak akan mengetahui, apakah
cara yang sebenarnya individu pakai.

Karena kebiasaan membaca merupakan bukan suatu aktivitas yang dapat dengan mudah terlihat
dan dapat di ukur oleh indera saja, serta untuk menghindari adanya kerancuan dan diskriminasi
penilaian tentang mana kebiasaan yang baik dan mana kebiasaan yang tidak baik, maka disinilah
kita perlu untuk melakukan suatu penelitian dan penggalian informasi lebih mendalam tentang
kebiasaan membaca pada mahasiswa psikologi Universitas Islam Negeri Malang. Karena hal ini
dapat membantu dalam perkembangan dan kemajuan serta dapat menjadikan masukan untuk
menjadi lebih baik kusunya bagi mahasiswa psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

B. RUMUSAN MASALAH

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan,
maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam
penelitian ini.

Adapun Rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kebiasaan membaca pada mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Malang?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi kebiasaan membaca pada mahasiswa Psikologi Universitas
Islam Negeri Malang?

3. Bagaimana dampak kebiasaan membaca pada mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri
Malang?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kebiasaan membaca pada mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang.

2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menjadi kebiasaan membaca mahasiswa Psikologi


Universitas Islam Negeri Malang

3. Untuk mengetahui dampak kabiasaan membaca pada mahasiswa Psikologi Universitas Islam
Negeri Malang

Dari tujuan diadakannya penelitian tadi, maka adapun manfaat penelitaian yaitu penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat yang urgen bagi :

1. Peneliti

a. Untuk mengetahui manfaat kebiasaan membaca bagi peneliti

b. Diharapkan dari penelitian ini, peneliti dapat termotivasi untuk membiasakan membaca.

2. Keilmuan

Diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran kususnya tentang pengembangan konsep


kebiasaan membaca dan dapat memberikan kontribusi keilmuan bagi disiplin keilmuan psikologi
khususnya dan seluruh disiplin keilmuan secara umum

D. KAJIAN TEORI

PENGERTIAN MEMBACA

Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca
melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah
2 cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat
termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor.

Adapun secara bahasa membaca diartikan sebagi Iqra’ yang diterjemahkan denagn perintah
“membaca”(dalam bahasa arab) semata-mata bukan hanya ditujukan kepada pribadi junjungan
Nabi Muhammad SAW, tetapi juga untuk umat manusia sampai akhir zaman. Menurut
Dr.Quraish Shihab dalam bukunya “Tafsir Al Amanah”, kata Iqra’ diambil dari kata kerja qaraa
yang mempunyai arti beraneka ragam antara lain menyampaikan, menelaah, membaca,
mendalami, meneliti, mengetahui cirri-cirinya.

Sekarang kalau kita pertanyakan, apa yang harus dibaca? Dalam surat Al-alaq tersebut tidak
terdapat obyek spesifik yang harus dibaca. Dalam kaidah ilmu tafsir dikatakan suatu kata dalam
susunan redaksi yang tidak disebutgkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum.

Akan tetapi tema yang kita angkat adalah membaca buku. Dalam hal tersebut membahas masalah
strategi atau cara membaca buku dengan cepat, efektif, akurat, dan selainnya.

Membaca adalah aktifitas yang kompleks dengan mengerahkan sejumlah besar tindakan yang
terpisah-pisah. Meliputi: orang harus menggunakan pengertian dan khayalan, mengamati, dan
mengingat-ingat. Kita tidak dapat membaca tanpa menggerakkan mata atau tanpa menggunakan
pikiran kita.

Pada waktu anak belajar membaca, ia belajar mengenal kata demi kata, mengejanya, dan
membedakannya dengan kata-kata lain. Anak harus membaca dengan bersuara, mengucapkan
setiap kata secara penuh agar diketahui apakah benar atau salah ia membaca. Oleh karena itu,
pada waktu membaca anak melakukan kebiasaan berikut :
1. menggerakkan bibir untuk melafalkan kata yang dibaca.

2. menggerakkan kepala dari kiri ke kanan.

3. menggunakan jari atau benda lain untuk menunjuk kata demi kata.

Secara tidak disadari, cara membaca yang dilakukan waktu kecil itu tetap diteruskan hingga
dewasa. Mestinya, orang dewasa dapat dengan cepat mengenali frase, kalimat, dan urutan ide
sehingga cara-cara di waktu anak-anak tidak perlu lagi di gunakan.

Anak-anak yang sedari kecil terbiasa membaca—bukan sekadar membunyikan huruf dan kata—
akan memiliki keterampilan, kemampuan, dan ketajaman mencerna isi bacaan. Apa yang
menggerakkan mereka untuk membaca, akan sangat menentukan bagaimana mereka menyerap,
menyaring, mengolah, dan memaknai informasi yang mereka lahap dari berbagai bacaan.
Semakin sering mereka membaca buku-buku yang bergizi, teratur, dan baik penuturannya,
kemampuan berpikir mereka akan lebih matang dan tertata.

Itu sebabnya, yang perlu kita kembangkan pada anak-anak semenjak awal. Kita tumbuhkan
semangat iqra’ bismirobbikal-ladzi khalaq. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
Menciptakan! Inilah perintah yang pertama kali diturunkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada
kita.

Orang yang tidak mendapat bimbingan, latihan khusus membaca cepat, sering mudah lelah
dalam membaca karena lamban, tidak ada gairah, merasa bosan, tidak tahan membaca buku, dan
terlalu lama untuk bisa menyelesaikan buku yang tipis sekalipun

Sebagian besar kegiatan membaca sebagian besar dilakukan dari kertas. Batu atau kapur di
sebuah papan tulis bisa juga dibaca. Tampilan komputer dapat pula dibaca.

Membaca dapat menjadi sesuatu yang dilakukan sendiri maupun dibaca keras-keras. Hal ini
dapat menguntungkan pendengar lain, yang juga bisa membangun konsentrasi kita sendiri.

Pengertian Kebiasaan membaca

Salah satu unsur penting dalam Manajemen Diri adalah membangun kebiasaan untuk terus
menerus belajar atau menjadi manusia pembelajar yang senantiasa  haus akan informasi dan
pengetahuan.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Henry Ford, pendiri General Motors yang mengatakan bahwa
“Anyone who stops learning is old, whether at twenty  or eighty. Anyone who keeps learning
stays young. The greatest thing in life is to Keep your mind young.”

Tidak peduli berapapun usia kita, jika kita berhenti belajar berarti  kita sudah tua, sedangkan jika
senantiasa belajar kita akan tetap awet muda. Karena hal yang terbaik di dunia akan kita peroleh
dengan memelihara pikiran kita agar tetap muda.

Salah satu cara paling efektif untuk belajar adalah dengan membaca. Namun sayangnya sebagian
besar kita tidak pernah punya waktu untuk membaca. Alasan utama yang sering kita sampaikan
adalah kesibukan pekerjaan. Kita terjebak dalam rutinitas dan tekanan pekerjaan sehingga tidak
memiliki kesempatan untuk mengasah gergaji kita, seperti yang diceritakan oleh Stephen Covey
dalam bukunya”The 7 Habits of Highly Effective People” sebagai berikut:

Andaikan saja Anda bertemu seseorang yang sedang terburu-buru menebang sebatang pohon di
hutan.

“Apa yang sedang Anda kerjakan?” Anda bertanya.

“Tidak dapatkah Anda melihat?” demikian jawabnya dengan tidak sabar.

“Saya sedang menggergaji pohon ini.”


“Anda kelihatan letih!” Anda berseru. “Berapa lama Anda sudah mengerjakannya?”

“Lebih dari lima jam,” jawabnya, “ dan saya sudah lelah! Ini benar-benar kerja keras.”

“Nah, mengapa Anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah

Gergaji itu?” Anda bertanya. “Saya yakin Anda akan dapat bekerja jauh lebih cepat.”

“Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji,” orang itu berkata dengan tegas. “Saya terlalu
sibuk menggergaji.”

Bahkan menurut Covey, kebiasaan mengasah gergaji merupakan kebiasaan yang paling penting
karena melingkupi kebiasaan-kebiasaan lain pada paradigma tujuh kebiasaan manusia efektif.
Kebiasaan ini memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang kita miliki yaitu diri kita.
Kebiasaan ini dapat memperbarui keempat dimensi alamiah kita – fisik, mental, spiritual, dan
sosial/emosional.

Membaca merupakan salah satu cara kita untuk memperbaiki dan meningkatkan efektifitas diri
kita. Meskipun kita memiliki “keterbatasan waktu”, kita tetap perlu mengasah gergaji kita.
Caranya adalah dengan menguasai cara membaca yang efektif sehingga waktu yang kita gunakan
menjadi efisien.

MODEL DALAM MEMBACA

Kebanyakan model teoritis yang ada mengenai proses membaca mencoba menjawab pertanyaan
bagaimana orang mengenali kata-kata yang tercetak dalam bacaan. Karena itu, hampir semua
model terfokus pada pertanyaan-pertanyaan berikut (Wolf dkk 1988: dalam Gleason dan Ratner
1998: 425).

1. Apakah kata dikenali dengan mengakses representasi kata itu secara

keseluruhan, ataukah dengan mengakses fitur-fitur seperti bentuk

huruf, gabungannya menjadi suku, kemudian kata dan sebagainya?

2. Apakah kata dikenali dengan akses langsung ke makna ataukah

melewati wujud fonologisnya?

3. Apakah pengenalan kata itu menyangkut proses yang berseri ataukah

proses yang simultan?

4. Apakah pengenalan kata itu terutama dibantu oleh konteks (dari atas

ke bawah) ataukah dari bawah ke atas? Ataukah merupakan interaksi

antara kedua-duanya?

5. Apakah pengenalan kata itu terjadi melalui aktivasi atau melalui

pencarian di kamus mental kita?”

Berikut adalah beberapa model yang menjawab sebagian dari pertanyaan-pertanyaan diatas.

A. Model atas ke bawah

Smith (1971, dalam Gleason dan Ratner 1998;426) mengajukan model atas ke bawah yang
prototipikal. Dalam model ini, representasi yang mewakili kata dalam memori kita adalah fitur-
fitunya seperti garis lurus, setengah lingkaran, dan letaknya. Pada waktu sebuah kata dibaca,
fitur-fitur ini bermunculan, tetapi hanya fitur-fitur yang cocok, persis dengan apa yang ada dalam
leksikon mental itulah yang akhirnya dipilih. Akan tetapi, retrival fitur-fitur ini dipengaruhi oleh
pengetahuan yang kita miliki dan konteks di mana kata itu dipakai. Seandainya kata yang tertulis
dalam suatu kalimat anting seperti pada kata “Kucing itu sedang dikejar anting” maka tidak
mustahil bahwa pembaca akan menafsirkan kata anting sebagai salah cetak.

Pemakaian konteks sebagai pembantu menimbulkan kontroversi karena dari penelitian yang lain
ditemukan bahwa orang hanya menerka 1 dari 4 kata dalam konteks di mana kata itu dipakai.
Sebaliknya, fitur yang membentuk kata banyak mendapat dukungan karena wujud dan macam
huruf (font) seperti apapun yang dipakai, kita tetap saja bisa membacanya.

B. Model bawah ke atas

Landasan dasar untuk model yang disebut juga sebagai model yang berdasarkan stimulus, adalah
bahwa rekognisi terjadi secara diskrit, berhierarki, dan bertahap. Informasi yang ada pada suatu
tahap dimanfaatkan untuk membangun tahap berikutnya. Karena itu pada tahap ini ada tahap
sensori, tahap rekognisi, dan tahap interpretasi. Bila ditemukan makna dari kata itu, maka
selesailah sudah proses interpretasi kata itu. Seandainya kata yang dibaca tidak ditemukan
maknanya, maka pembaca dapat menolak kata itu sebagai kata bahasa Indonesia, atau dia akan
bertanya kepada orang lain, atau melihat dikamus, untuk mengetahui makna kata itu.

Ada beberapa model lain seperti model Whole-Word, model component-letter, dan model
lagogen yang menangani aspek-aspek lain dalam membaca yang akan terlalu rinci untuk
disajikan disini (Lihat Gleason dan Ratner 1998: 427-436).

Tentunya, membaca bukan berhenti pada rekognisi kata demi kata saja tetapi mencakup
berkaitan antara satu kata dengan kata lain. Hal ini berarti bahwa membaca merupakan suatu
proses yang kompleks karena ia menyangkut berbagai kemampuan linguistik dan pengetahuan
yang ekstralinguistik.

(Psikolinguistik. Pengantar pemahaman bahasa manusia. soenjono dardjowidjojo. 2003.


Jakarta: yayasan obor Indonesia).

C. CARA MEMBACA YANG EFEKTIF

Ada banyak metode yang ditawarkan ilmuwan. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas
salah satunya yakni metode SQ3R. metode SQ3R memberikan srategi yang diawali dengan
membangun gambaran umum tentang bahan yang dipelajari, menumbuhkan pertanyaan dari
judul/sub judul suatu bab dan dilanjutkan dengan membaca untuk mencari jawaban pertanyaan.

Sistem membaca SQ3R dikemukakan oleh Francis P. Robinson tahun 1941, merupakan sistem
membaca yang semakin popular digunakan orang.

Metode ini bukan cara yang lebih cepat untuk memahami suatu bab, namun tingkat pemahaman
yang di peroleh diharapkan lebih mendalam karena kita membaca dengan aktif sehingga proses
membaca menjadi lebih efektif dan efisien.

Membaca dengan metode SQ3R trediri atas lima tahapan proses yaitu :

1. Survey atau meninjau

2. Question atau bertanya

3. Read atau membaca

4. Recite atau menuturkan

5. Review atau mengulang

1. Survey
Survey adalah teknik untuk mengenal bahan sebelum membacanya secara lengkap, dilakukan
untuk mengenal organisasi dan ikhtisar umum yang akan dibaca dengan maksud untuk :

1. mempercepat menangkap arti,

2. mendapatkan abstrak,

3. mengetahui ide-ide yang penting,

4. melihat susunan (organisasi) bahan bacaan tersebut,

5. mendapatkan minat perhatian yang saksama terhadap bacaan,

6. memudahkan mengingat lebih banyak dan memahami lebih

mudah.

Dengan melakukan survey atau peninjauan dapat dikumpulkan informasi yang diperlukan untuk
memfokuskan perhatian pada saat membaca. Peninjauan untuk satu bab memerlukan waktu 5-10
menit. Apa yang ditinjau ?

Baca judul: Hal ini membantu untuk memfokuskan pada topik bab.

Baca pendahuluan: Memberikan orientasi dari pengarang mengenai hal-hal penting dalam bab.

Baca kepala judul/sub bab: Memberikan gambaran mengenai kerangka pemikiran.

Perhatikan grafik, diagram: Adanya grafik, diagram dan gambar ditujukan untuk memberikan
informasi penting sebagai tambahan atas teks.

Perhatikan alat Bantu baca: Termasuk huruf miring, definisi, pertanyaan di akhir bab yang
ditujukan untuk membantu pemahaman dan mengingat.

2. Question

Setelah kerangka pemikiran suatu bab diperoleh, mulai perhatikan kepala judul/sub bab yang
biasanya dicetak tebal. Dan ubah kepala judul tersebut menjadi beberapa pertanyaan.

Tulislah pertanyaan-pertanyaan ini pada suatu kolom dan kolom sisanya untuk jawaban yang
diperoleh selama membaca. Misalkan kita membaca buku tentang “Belajar di Universitas” dan
kepala judulnya adalah “Gunakan Tempat Belajar yang Sama”. Pertanyaan yang dapat kita
munculkan adalah “Mengapa saya harus belajar di tempat yang sama?” dan “Di mana lokasi
belajar saya sebaiknya?”

Kita dapat menambah pertanyaan pada waktu membaca. Pertanyaan yang baik akan memberikan
pemahaman yang lebih baik pula. Tahap bertanya ini akan menyebabkan pikiran kita terlibat
secara akthif dalam proses belajar sehingga akan membantu pemahaman dan mengingat.

3. Read

Dengan membaca, kita mulai mengisi inforfmasi ke dalam kerangka pemikiran bab yang kita
buat pada proses Survey. Bacalah suatu subbab dengan tuntas, jangan pindah ke subbab lain
sebelum kita menyelesaikannya. Pada saat membaca, kita mulai mencari jawaban pertanyaan
yang kita buat pada proses Question. Tuliskan jawaban yang kita peroleh dengan kata-kata
sendiri di kertas.

Pada tahap ini konsentrasikan pada penguasaan ide pokok serta detail yang penting, yang
mendukung ide pokok. Perlambat cara membaca anda di bagian-bagian yang penting atau yang
anda anggap sulit dan percepat kembali pada bagian-bagian yang tidak penting atau yang telah
anda ketahui.
Pada tahap membaca ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu : (1) jangan membuat
catatan-catatan. Ini akan memperlambat anda dalam membaca. Selain itu juga berbahaya, catatan
anda itu bisa jadi hanya merupakan kutipan kata-kata penulisnya saja. (2) jangan membuat tanda-
tanda seperti garis bawah pada kata maupun frase tertentu, bisa jadi setelah anda selesai
membaca acap kali ternyata anda salah memilihnya. Kalau memang ada yang menarik atau anda
anggap penting cukup beri tanda silang di pinggir halaman dulu. Untuk kemudian nanti dapat
dicek kembali.

Kita perlu memisahkan keterangan rinci dan contoh- contoh dari konsep utama. Hal itu ditujukan
untuk membantu kita memahami konsep utama.

Proses membaca ini terkadang berlangsung sangat lambat terutama bila subbab mengandung
informasi yang padat dan kompleks. Subbab seperti ini dapat membuat kita binggung bahkan
mengalami frustasi. Bila ini terjadi berfhentilah sejenak, coba temukan mengapa kita menjadi
binggung, kita dapat juga mencoba menimbulkan pertanyaan lain.

Kalau upaya ini belum membuahkan hasil, tandai subbab ini, teruskan membaca subbab
berikutnya. Kadang-kadang ada masalah yang membuat kita bingung menjadi jelas pada subbab
berikutnya.

4. Recite

Setiap selesai membaca suatu bagian, berhentilah sejenak. Dan cobalah menjawab pertanyaan-
pertanyaan bagian itu atau menyebutkan hal-hal penting dari bab itu. pada kesempatan itu, anda
dapat juga membuat catatan seperlunya. Jika masih mengalami kesulitan, ulangi membaca bab
itu sekali lagi.

Pada umumnya kita cepat sekali lupa dengan bahan yang telah dibaca. Dengan melakukan proses
Recite ini kita melatih pikiran untuk berkonsentrasi dan mengingat bahan yang di baca. Proses
ini dilakukan setelah kita menyelesaikan suatu subbab.

Cara melakukan Recite adalah dengan melihat pertanyaan-pertanyaan yang kita buat sebelum
membaca subbab tersebut dan cobalah jawab pada selembar kertas tanpa melihat buku.

Kita dapat pula melakukan Recite dengan menuliskan butir-butir pemikiran yang penting dalam
subbab tersebut. Bila kita menemukan paragraf yang membuat kita sulit untuk dapat melakukan
proses ini, bacalah kembali paragraf tersebut.

Berapa lama untuk tahap ini ? anda perlu menyediakan waktu setengah dari waktu untuk
membaca. Hal ini bukan merupakan pemborosan waktu, melainkan memang diperlukan untuk
tahap ini. Justru pembaca yang hanya membaca sekadar membaca itu memboroskan waktu.

5. Review

Daya ingat kita terbatas. Sekalipun dalam waktu membaca 85% kita menguasai isi bacaan,
kemampuan kita dalam 8 jam untuk mengingat detail yang penting tinggal 40%. Dan, dalam
tempo 2 minggu pemahaman kita tinggal 20%. Oleh karena itu, janganlah Anda lewatkan
langkah terakhir ini: Review.

Review membantu kita untuk menyempurnakan kerangka pemikiran dalam suatu bab dan
membangun daya ingat kita untuk bahan pada bab tersebut. Proses ini dapat dilakukan dengan
membaca ulang seluruh subbab, melengkapi catatan atau berdiskusi dengan teman. Cara Review
yang terbukti efektif adalah dengan menjelaskan kepada orang lain.

Kapan SQ3R dipakai ?

Tidak ada teknik yang cocok untuk semua kondisi. Demikian juga dengan SQ3R, teknik ini tidak
cocok untuk buku teks dengan fokus untuk memecahkan masalah, misalkan buku teks
matematika. Untuk buku jenis teks ini kita lebih baik memberikan waktu lebih banyak untuk
mengerjakan soal-soal. SQ3R merupakan teknik yang tepat untuk memahami buku-buku teks
yang memberikan banyak informasi dan mengharuskan kita mempelajarinya secara mendalam.
Dengan teknik SQ3R diharapkan kita dapat memperoleh keuntungan maksimum dari waktu yang
diberikan untuk membaca. Teknik ini membantu kita untuk dapat mengetahui kerangka suatu
subyek, membantu kita memisahkan konsep utama dengan keterangan rinci dan membantu kita
menetapkan sasaran belajar.

Dalam pemakaiannya, proses-proses dalam SQ3R ini dapat memperoleh tekanan yang berbeda
tergantung pada kebutuhan kita, misalkan untuk membaca pertama kali suatu bahan sebagai
persiapan untuk kuliah, kita perlu menekankan pada proses survey untuk memperoleh gambaran
tentang kerangka berpikir. Pengetahuan kita akan kerangka bahan akan sangat membantu kita
membuat catatan kuliah di kelas. Bila kita belajar untuk menyiapkan ujian, proses review yang
ditekankan sambil menambahkan pertanyaan (Question) sebagai bagian untuk mensimulasikan
soal ujian.perlu diingatkan bahwa untuk memakai metode SQ3R, kita perlu latihan. Jangan patah
semangat karena waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Ingatlah keuntungan berupa pemahaman
yang lebih baik yang dapat kita peroleh untuk jangka panjang. Tetaplah memelihara motivasi
kita untuk belajar.

Cara membaca yang menyenangkan

Membaca berasal dari kata dasar baca yang artinya memahami arti tulisan. Membaca adalah
salah satu proses yang sangat penting untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.

Di zaman sekarang ini, kelihatannya sebagian besar pelajar kurang memiliki minat membaca,
terutama membaca buku pelajaran. Ini diakibatkan oleh karena sebagian pelajar tidak memiliki
metode dalam membaca, sehingga pada saat membaca timbul rasa malas, bosan, dan mengatuk.
Simak deh tip-tip di bawah ini supaya tercipta suasana membaca yang menyenangkan.

Persiapan Sebelum Membaca

1. Pilihlah waktu yang menurut kita sesuai untuk membaca. Waktu yang sesuai di sini adalah
waktu di mana tidak terdapat gangguan, baik dari luar maupun dari dalam diri kita. Waktu yang
sesuai disini hanya kita sendiri yang tahu kapan. Namun, sebagain besar orang percaya bahwa
waktu yang baik untuk membaca, khususnya buku pelajaran, adalah di pagi hari.

2. Pilihlah tempat dan suasana yang sesuai untuk membaca, yaitu tempat yang terang, sejuk,
bersih, nyaman, tenang dan rapih menurut kita sendiri.

3. Pastikan posisi membaca kita adalah posisi yang benar. Posisi yang benar pada waktu
membaca adalah duduk dengan posisi badan tegak, tidak bungkuk, dan pastikan jarak antara
buku dengan mata kita kurang lebih 30cm.

4. Siapkan juga hal-hal yang biasanya membantu kita dalam membaca, seperti pensil atau spidol.

5. Ada baiknya sebelum belajar kita berdoa terlebih dahulu sesuai dengan kepercayaan masing-
masing supaya ilmu yang kita dapat bermanfaat.

Berbagai Cara Membaca

Terdapat 3 cara umum membaca di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari apa tujuan proses
membaca tersebut.

1. Membaca sebagai hiburan tanpa perlu memeras otak terlalu keras. Bacaan yang mengandung
unsur hiburan disini contohnya novel, cerpen, komik, majalah ringan dll.

2. Membaca untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang tujuannya adalah mencari dan
memahami ilmu yang terkandung dalam bacaan tersebut.

3. Membaca kritis. Membaca di sini sama dengan membaca untuk mencari ilmu. Namun
membaca di sini diikuti oleh proses menelaah isi bacaan tersebut, misalnya dengan pertanyaan-
pertanyaan apa itu?, mengapa bisa terjadi?, oleh siapa?, kapan?, di mana? dan bagaimana itu bisa
terjadi? Dalam membaca kritis, kita membuat bacaan sebagai lawan yang harus dikalahkan
dengan cara mengetahui dan memahami seluruh isinya.

Belajar dengan menggunakan metode membaca kritis akan menjadi menyenangkan dan tidak
membosankan. Kita tidak hanya diminta untuk memahami isi bacaan tapi juga diajak berpikir
kreatif mengenai isi tersebut. Tertarik dengan membaca kritis? Simak deh aturan main dalam
membaca kritis di bawah ini :

a. Melakukan survei isi buku. Langkah awal yang harus kita lakukan adalah membaca terlebih
dahulu bahan bacaan secara sepintas pada bagian-bagian tertentu saja. Tujuannya adalah
mendapatkan gambaran umum mengenai bacaan tersebut. Bagian-bagian yang perlu diperhatikan
adalah :

- Paragraf awal, paragaraf akhir dan juga beberapa paragraf di tengah

- Bagian daftar isi, gambar-gambar, tabel dan grafik yang memiliki

gambaran umum mengenai bacaan tersebut.

- Soal-soal yang mungkin terdapat dalam bacaan tersebut.

b. Membuat pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya akan timbul pada saat kita
melakukan survei. Jika tidak terdapat pertanyaan, usahakan cari apa yang kita tidak mengerti,
minimal ada sebuah kata yang kita tidak tahu artinya dan beri tanda pada bagian-bagian yang
tidak dimengerti tersebut.

c. Membaca. Merupakan langkah dominan dalam metode ini. Membaca di sini sebagai langkah
untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam proses survei. Baca
dengan teliti dan seksama paragraf demi paragraf, bagian demi bagian untuk menangkap pokok-
pokok pikiran dari tiap bagian. Usahakan jangan pindah bagian jika kita belum mengerti dan
memahami bagian tersebut.

d. Evaluasi. Merupakan langkah di mana terdapat pertanyaan apakah kita sudah menguasai
bahan? Yakinkan bahwa kita sudah memahami bahan bacaan tersebut. Jika belum, coba cari apa
yang anda tidak mengerti dan temukan jawabannya.

e. Meninjau ulang. Merupakan langkah terakhir kita dalam membaca kritis. Cobalah kita tutup
dulu bukunya, kemudian pikirkan apa yang sudah didapat dari bacaan tersebut. Tuliskan hasil
pikiran tersebut dalam secarik kertas, dan bandingkan dengan apa yang terdapat pada buku
bacaan

E. METODE PENELITIAN

1. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITAN

Metode adalah aspek yang sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya
suatu penelitian, terutama untuk mengumpulkan data. Sebab data yang diperoleh dalam suatu
penelitian merupakan gambaran dari obyek penelitian.

Menurut Hadi, penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji suatu
pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Dengan upaya mendapatkan dan
mengumpulkan data dari kegiatan penelitian, digunakan langkah-langkah sebagai berikut:

Pendekatan dalam Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya
data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah
wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya.
Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita
empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik
dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.

Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah
“tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”. 1

Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.

Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Lexy Moleong:

1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan

dengan kenyataan ganda

2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti

dan responden

3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen

pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. 2

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir
bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-
kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlansung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena . 3

2. KEHADIRAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrument aktif
dalam upaya mengumpulkan data-data di lapangan. sedangkan instrument pengumpulan data
yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat-alat Bantu dan berupa dokumen-dokumen
lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi
sebagai instrument pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan
sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan
peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak
diperlukan.

3. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian akan dilakukan, beserta jalan dan kotanya.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Universitas Islam Negeri Malang. Jalan
Gajayana no. 50, Malang, Jawa Timur

Universitas Islam Negeri Malang adalah satu-satunya perguruan tinggi islam negeri, yang berada
di daerah malang, dan merupakan universitas yang menerapkan dua bahasa pada mahasiswanya,
yaitu bahasa arab dan bahasa inggris, serta merupakan universitas yang dilengkapi dengan
fasilitas lengkap seperti asrama untuk mahasiswa, baik putra dan putri, serta menerapkan sistem
pembelajaran yang mengintegrasikan antara ilmu islam dan konvesional, sehingga mahsiswa
menjadi isnsan yang cerdas, profesional, dan mempunyai kedalaman spiritual.

4. SUMBER DATA
1. Data Primer

Menurut S. Nasution data primer adalah data yang dapat diperoleh lansung dari lapangan atau
tempat penelitian . Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian
4

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan . Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang
5

diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data ini
untuk mendapatkan informasi lansung tentang Manajemen Pembelajaran di Universitas Islam
Negeri Malang yaitu dengan cara wawancara dengan mahasiswa Fakulatas Psikologi Jurusan
Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber
lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi, buku harian, notula rapat perkumpulan, sampai
dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah. Data sekunder juga dapat berupa
majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan-badan resmi
seperti kementrian-kementrian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi histories, dan
sebagainya. Peneliti menggunakan data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan
melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara lansung dengan mahasiswa
Fakulatas Psikologi Jurusan Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian, karena itu seorang
peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid.
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan.

1. Observasi Langsung

Observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada
pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam kegiatan sehari-hari, kita selalu
menggunakan mata untuk mengamati sesuatu. Observasi ini digunakan untuk penelitian yang
telah direncanakan secara sistematik tentang bagimana peroses dan kebiasaan membaca pada
mahasiawa Fakulatas Psikologi Jurusan Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

Tujuan menggunakan metode ini untuk mencatat hal-hal, perilaku, perkembangan, dan
sebagainya tentang perilaku kebiasaan membaca pada mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan
Psikologi Universitas Islam Negeri Malang, sewaktu kejadian tersebut berlaku sehingga tidak
menggantungkan data dari ingatan seseorang. Observasi lansung juga dapat memperoleh data
dari subjek baik yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi
secara verbal.

2. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab dengan menggunakan alat
yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) . 6

Tujuan penulis menggunakan metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan kongkret
tentang perilaku kebiasaan membaca pada mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan Psikologi
Universitas Islam Negeri Malang. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadakan wawancara
dengan mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan Psikologi Universitas Islam Negeri Malang

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis baik berupa karangan, memo, pengumuman, instruksi,
majalah, buletin, pernyataan, aturan suatu lembaga masyarakat, dan berita yang disiarkan kepada
media massa.
Dari uraian di atas maka metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-
catatan penting yang sangat erat hubungannya dengan obyek penelitian.

Tujuan digunakan metode ini untuk memperoleh data secara jelas dan konkret tentang perilaku
kebiasaan membaca pada mahasiswa Fakultas Psikologi Jurusan Psikologi Universitas Islam
Negeri Malang.

6. ANALISIS DATA

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori,
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data. 7

Dari rumusan di atas dapatlah kita tanarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama-
tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan
lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan
sebagainya.

Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas,
maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis
secara deskriptif-kualitatif, tanpa menggunakan teknik kuantitatif.

Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu tehnik yang menggambarkan dan


menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan
merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh
gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Menurut M. Nazir bahwa
tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki .
8

7. PENGECEKAN KEABSAHAN TEMUAN

Menurut Moleong ’’kriteria keabsahan data ada empat macam yaitu : (1) kepercayaan
(kreadibility), (2) keteralihan (tranferability), (3) kebergantungan (dependibility), (4) kepastian
(konfermability) . Dalam penelitian kualitatif ini memakai 3 macam antara lain :
9

1. Kepercayaan (kreadibility)

Kreadibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai
dengan sebenarnya. ada beberapa teknik untuk mencapai kreadibilitas ialah teknik : teknik
triangulasi, sumber, pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti dilapangan, diskusi
teman sejawat, dan pengecekan kecakupan refrensi.

2. Kebergantungan (depandibility)

Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan terjadinya kemungkinan kesalahan
dalam mengumpulkan dan menginterprestasikan data sehingga data dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesalahan sering dilakukan oleh manusia itu sendiri
terutama peneliti karena keterbatasan pengalaman, waktu, pengetahuan. Cara untuk menetapkan
bahwa proses penelitian dapat dipertanggungjawabkan melalui audit dipendability oleh ouditor
independent oleh dosen pembimbing.

3. Kepastian (konfermability)

Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data
dan informasi serta interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada
pelacakan audit.
8. TAHAP-TAHAP PENELITIAN

Moleong mengemukakan bahwa ’’Pelaksanaan penelitian ada empat tahap yaitu : (1)tahap
sebelum ke lapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, (3) tahap analisis data, (4) tahap penulisan
laporan’’ . Dalam penelitian ini tahap yang ditempuh sebagai berikut :
10

a) Tahap sebelum kelapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma


dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup observasi lapangan dan permohonan ijin kepada
subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.

b) Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan


perilaku kebiasaan membaca pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Malang. Data tersebut diperoleh dengan observasi, wawancara dan dokumentasi dengan cara
melihat gaya membaca, kebiasaan membaca, sering atau tidaknya membaca, yang dilakukan oleh
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

c) Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen
maupun wawancara mendalam dengan Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Malang. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti
selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang
didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan
untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks
penelitian yang sedang diteliti.

d) Tahap penulisan laporan, meliputi : kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua
rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan
konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan saran-saran
demi kesempurnaan skripsi yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan tersebut dengan
penulis skripsi yang sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan kelengkapan persyratan
untuk ujian skripsi.

9. PUSTAKA

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991

Moh. Nazir. Ph. D, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003

Prof. Dr. S. Nasution, M.A. Metode Research, Bumi Aksara, Jakarta 2004.

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF (SKRIPSI)


Penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistickontekstual
melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri
peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna
(perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Ciri-ciri penelitian kualitatif mewarnai sifat dan bentuk laporannya. Oleh karena
itu, laporan penelitian kualitatif disusun dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan
mendalam serta menunjukkan cirri-ciri naturalistic yang penuh keotentikan.
Format Proposal Penelitian Kualitatif
1. Konteks Penelitian atau Latar Belakang
Bagian ini memuat uraian tentang latar belakang penelitian, untuk maksud apa
peelitian ini dilakukan, dan apa/siapa yang mengarahkan penelitian.
2. Fokus Penelitian atau Rumusan Masalah
Fokus penelitian memuat rincian pernyataan tentang cakupan atau topik-topik
pokok yang akan diungkap/digali dalam penelitian ini. Apabila digunakan istilah
rumusan masalah, fokus penelitian berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian dan alasan diajukannya pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini
diajukan untuk mengetahui gambaran apa yang akan diungkapkan di lapangan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus didukung oleh alasan-alasan mengapa hal
tersebut ditampilkan.
Alasan-alasan ini harus dikemukakan secara jelas, sesuai dengan sifat penelitian
kualitatif yang holistik, induktif, dan naturalistik yang berarti dekat sekali dengan
gejala yang diteliti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan setelah diadakan studi
pendahuluan di lapangan.
http://skripsistikes.wordpress.com
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran hasil yang ingin dicapai dalam penelitian
ini, sesuai dengan fokus yang telah dirumuskan.
4. Landasan Teori
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai
dengan kenyataan di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan
hasil penelitian. Terdapat perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif,
penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau
penolakan terhadap teori yang digunakan; sedangkan dalam penelitian kualitatif
peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan
berakhir dengan suatu “teori”.
5. Kegunaan Penelitian
Pada bagian ini ditunjukkan kegunaan atau pentingnya penelitian terutama bagi
pengembangan ilmu atau pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Dengan kata
lain, uraian dalam subbab kegunaan penelitian berisi alasan kelayakan atas masalah
yang diteliti. Dari uraian dalam bagian ini diharapkan dapat disimpulkan bahwa
penelitian terhadap masalah yang dipilih memang layak untuk dilakukan.
6. Metode Penelitian
Bab ini memuat uraian tentang metode dan langkah-langkah penelitian secara
operasional yang menyangkut pendekatan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi
penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan
keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pada bagian II peneliti perlu menjelaskan bahwa pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif, dan menyertakan alasan-alasan singkat
mengapa pendekatan ini digunakan. Selain itu juga dikemukakan orientasi
http://skripsistikes.wordpress.com
teoretik, yaitu landasan berfikir untuk memahami makna suatu gejala, misalnya
fenomenologis, interaksi simbolik, kebudayaan, etnometodologis, atau kritik seni
(hermeneutik). Peneliti juga perlu mengemukakan jenis penelitian yang digunakan
apakah etnografis, studi kasus, grounded theory, interaktif, ekologis, partisipatoris,
penelitian tindakan, atau penelitian kelas.
b. Kehadiran Peneliti
Dalam bagian ini perlu disebutkan bahwa peneliti bertindak sebagai
instrumen sekaligus pengumpul data. Instrumen selain manusia dapat pula
digunakan, tetapi fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai
instrumen. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan untuk penelitian
kualitatif mutlak diperlukan. Kehadiran peneliti ini harus dilukiskan secara
eksplisit dalam laopran penelitian. Perlu dijelaskan apakah peran peneliti sebagai
partisipan penuh, pengamat partisipan, atau pengamat penuh. Di samping itu perlu
disebutkan apakah kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh
subjek atau informan.
c. Lokasi Penelitian
Uraian lokasi penelitian diisi dengan identifikasi karakteristik lokasi dan
alasan memilih lokasi serta bagaimana peneliti memasuki lokasi tersebut. Lokasi
hendaknya diuraikan secara jelas, misalnya letak geografis, bangunan fisik (jika
perlu disertakan peta lokasi), struktur organisasi, program, dan suasana seharihari.
Pemilihan lokasi harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
kemenarikan, keunikan, dan kesesuaian dengan topik yang dipilih. Dengan
pemilihan lokasi ini, peneliti diharapkan menemukan hal-hal yang bermakna dan
baru. Peneliti kurang tepat jika megutarakan alasan-alasan seperti dekat dengan
rumah peneliti, peneliti pernah bekerja di situ, atau peneliti telah mengenal orangorang
kunci.
d. Sumber Data
Pada bagian ini dilaporkan jenis data, sumber data, da teknik penjaringan
data dengan keterangan yang memadai. Uraian tersebut meliputi data apa saja
yang dikumpulkan, bagaimana karakteristiknya, siapa yang dijadikan subjek dan
informan penelitian, bagaimana ciri-ciri subjek dan informan itu, dan dengan cara
http://skripsistikes.wordpress.com
bagaimana data dijaring, sehingga kredibilitasnya dapat dijamin. Misalnya data
dijaring dari informan yang dipilih dengan teknik bola salju (snowball sampling).
Istilah pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif harus digunakan
dengan penuh kehati-hatian. Dalam penelitian kualitatif tujuan pengambilan
sampel adalah untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin, bukan untuk
melakukan rampatan (generalisasi). Pengambilan sampel dikenakan pada situasi,
subjek, informan, dan waktu.
e. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam bagian ini diuraikan teknik pengumpulan data yang digunakan,
misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Terdapat
dua dimensi rekaman data: fidelitas da struktur. Fidelitas mengandung arti sejauh
mana bukti nyata dari lapangan disajikan (rekaman audio atau video memiliki
fidelitas tinggi, sedangkan catatan lapangan memiliki fidelitas kurang). Dimensi
struktur menjelaskan sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara
sistematis dan terstruktur. Hal-hal yang menyangkut jenis rekaman, format
ringkasan rekaman data, dan prosedur perekaman diuraikan pada bagian ini.
Selain itu dikemukakan cara-cara untuk memastikan keabsahan data dengan
triangulasi dan waktu yang diperlukan dalam pengumpulan data.

f. Analisis Data
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan
secara sistematis transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahanbahan
lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan
pengerjaan, pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola,
pengungkapan hal yang penting, dan penentuan apa yang dilaporkan. Dalam
penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data,
dengan teknik-teknik misalnya analisis domain, analisis taksonomis, analisis
komponensial, dan analisis tema. Dalam hal ini peneliti dapat menggunakan
statistik nonparametrik, logika, etika, atau estetika. Dalam uraian tentang analisis
data ini supaya diberikan contoh yang operasional, misalnya matriks dan logika.
http://skripsistikes.wordpress.com

g. Pengecekan Keabsahan Temuan


Bagian ini memuat uraian tentang usaha-usaha peneliti untuk memperoleh
keabsahan temuannya. Agar diperoleh temuan dan interpretasi yang absah, maka
perlu diteliti kredibilitasnya dengan mengunakan teknik-teknik perpanjangan
kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam,
triangulasi(menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori), pembahasan
sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan
anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya ditransfer ke
latar lain (transferrability), ketergantungan pada konteksnya (dependability), dan
dapat-tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability) .
h. Tahap-tahap Penelitian
Bagian ini menguraikann proses pelaksanaan penelitian mulai dari
penelitian pendahuluan, pengembangan desain, penelitian sebenarnya, sampai
pada penulisan laporan.
7. Daftar Rujukan
Bahan pustaka yang dimasukkan dalam daftar rujukan harus sudah disebutkan
dalam teks. Artinya, bahan pustaka yang hanya digunakan sebagai bahan bacaan
tetapi tidak dirujuk dalam teks tidak dimasukkan dalam daftar rujukan. Sebaliknya,
semua bahan pustaka yang disebutkan dalam skripsi, tesis, dan disertasi harus
dicantumkan dalam daftar rujukan. Tatacara penulisan daftar rujukan.
Unsur yang ditulis secara berurutan meliputi:
1. nama penulis ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, nama tengah, tanpa
gelar akademik,
2. tahun penerbitan
3. judul, termasuk subjudul
4. kota tempat penerbitan, dan
5. nama penerbit
http://skripsistikes.wordpress.com
Sumber:
http://supermahasiswa.multiply.com/journal/item/5/Sukses_Membuat_Proposal_Penel
itian

KARYA ILMIAH PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP


PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK ANAK

Satu lagi postingan terbaruku, nah postingan kali ini menyagkut tentang karya ilmiah. ini bukan
karyaku lho, jujur.. aku cuma ngetik doank wank wank wank. hari minggu tgl 15 kemarin aku
apel ke rumah pacarku, 20 km ku kebut motor kesayanganku, sesampainya disana, eh... ga di
kasih apa-apa malah disuruh bantu ngetik karya ilmiahnya, n katanya disuruh ngedit grammar
indonesia yg hambur-hamburan.. capek deh gua.. asli capek. udah di suruh ngetik di suruh ngedit
grammar lagi. ya udah ga papa kalo semua atas dasar cinta ga akan capek kata ibuku... suerrr
dah.. walau dusuruh ngetik sejuta lembar capek gak akan terasa karena cinta. gombal.. gagagag

ya udah langsung aja, dari pada karya ilmiah ini nganggur n menuhin hardisk lebih baik ku
posting aja. siapa tau aja ada temen2 yg membutuhkan sebagai bahan referensi kalo mau
penelitian, ya kan....?

KARYA ILMIAH
PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK ANAK

Disusun oleh :
Abdul Ghofur
Dewi Fatmawati
Ira Suprihatin
M. Fitroh Al-Hadi
Rahmat Effendi
Sinta Purnamasari
Sunadi
Vina Sulistya Ningsih

MOTTO

“Orang yang kuat ialah yang dapat menundukkan nafsunya


dan berbuat untuk kepentingan sesudah mati,
sedangkan orang yang lemah ialah
orang yang jiwanya mengikuti nafsunya
dan berangan-angan terhadap Allah azza wajalla”.
( HR. Syaddad bin Aus ).

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini kami persembahkan untuk Kedua orang tua kami yang telah mencurahkan sentuhan
kasih sayangnya dan yang telah mengasuh, merawat serta mendidik kami sehingga tumbuh dewasa
seperti sekarang ini. Segenap dewan guru yang tak henti-hentinya membimbing dan mengajarkan
ilmunya kepada kamiSemua teman sekelas XII IPS dan adik-adik kelas yang  kami sayangi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt tuhan semesta alam yang telah melimpahkan karunianya serta memberikan
pertolongan kepada setiap hambanya yang patuh dan taat kepada ajaran agama. Sholawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada pengemban risalah suci, nabi Muhammad saw, yang telah banyak
mengajarkan adab dan tatakrama dalam kehidupan, ilmu-ilmu agama dan lainnya sehingga kita
khususnya umat muslim dapat lepas dari zaman yang suram, zaman yang penuh dengan kefasikan
menjadi zaman yang penuh dengan rahmat tuhan. Karya ilmiah ini secara garis besar meneliti tentang
pengaruh pola asuh orang tua terhadap perkembangan karakteristik anaknya. Atas terselesaikannya
karya ilmiah ini kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu kami.
Demikian yang dapat kami upayakan, namun hal ini masih belum sempurna dan terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan baik yang berkaitan dengan isi maupun metode penyusunannya. Harapan
kami tim penulis, semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan karya ilmiah ini dikemudian hari.

Manunggal Jaya, Maret 2009


Penulis

Tim

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG

Dewasa ini sering kita saksikan tindakan kriminal atau perilaku-perilaku menyimpang baik itu disiaran
televisi, Koran, radio, media massa dan lain sebagainya. Sebagian besar pelakunya adalah dari kalangan
remaja. Seperti halnya kasus tawuran antar pelajar, miras, obat-obatan terlarang, bahkan pembunuhan
yang bermotif dendam atau kecemburuan. Padahal anak itu masih dalam tahap perkembangan menjadi
( pubertas ) atau katakan saja masih bayi, bayi yang baru lahir kedunia ini belum mengenal apapun, ia
masih bersih dan murni dan belum terpengaruh sedikitpin oleh suatu hal. Bagaimana dengan
perkembangan bayi selanjutnya agar menjadi anak yang baik?
Dalam hal ini orang tualah yang berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dan
yang lebih penting lagi adalah bagaimana cara orang tua dalam mendidik anaknya. Apakah pola yang
mereka gunakan itu adalah yang tepat?, masalah ini harus benar-benar diperhatikan oleh orang tua,
karena penerapan pola anak sangat menentukan perkembangan pribadi si anak.
Merujuk dari kasus diatas, kelompok kami mengambil tema tersebut untuk dijadikan sebagai objek
penelitian. Besar harapan kami agar penelitian ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita
semua serta para orang tua atau calon orang tua tentang bagaimana mengasuh anak yang baik itu.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja macam-macam pola asuh orang tua itu?


2. Bagaimana pengaruh atau dampak pola asuh orang tua terhadap anak?
3. Pola Asuh yang bagaimana yang dapat mengganggu kepribadian anak?

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT


Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui macam-macam pola asuh orang tua


2. Mengetahui pengaruh atau dampak dari pola asuh orang tua
3. Dapat mengetahui penerapan pola asuh yang tidak baik

Adapun manfaat yang kami harapkan dalam hasil karya ilmiah ini adalah semoga dapat memberi
manfaat bagi para pembaca, menambah ilmu pengetahuan baru dan menjadi media pengingat
bahwasanya penerapan pola asuh orang tua itu mempunyai pengaruh besar terhadap anak, sehingga
tidak boleh sembarangan dan harus bijaksana.

1.4. METODE PENULISAN


Dalam mengerjakan karya ilmiah ini, metode penulisan yang kami gunakan yaitu :
BAB I PENDAHULUAN, Meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode serta
penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN, Yakni mencakup tentang tempat penelitian, populasi, sampel, waktu
penelitian dan metode penelitian
BAB IV PEMBAHASAN, Yaitu mengenai pembahasan seputar jenis pola asuh orang tua dan dampak-
dampaknya terhadap karakteristik sang anak.
BAB V PENUTUP, Meliputi kesimpulan dan saran.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. PENGERTIAN ORANG TUA

Orang tua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru ( anak ) serta mempunyai kewajiban
untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak tersebut guna menjadi generasi yang baik. Orang tua
mempunyai peran yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mental dan spiritual anaknya
seperti:

 Memberikan pengawasan dan pengendalian yang wajar agar anak tidak tertekan.
 Mengajarkan kepada anak tentang dasar-dasar pola hidup pergaulan yang benar.
 Memberikan contoh perilaku yang baik dan pantas bagi anak-anaknya. Hal ini disebabkan orang
tua khususnya, dalam ruang lingkup keluarga merupakan media awal dari satu proses sosialisasi,
sehingga dalam proses sosialisasi tersebut orang tua mencurahkan perhatiannya untuk
mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia baik-baik.

2.2. PENGERTIAN ANAK

Dalam kamus umum bahasa Indonesia edisi ketiga susunan W.J.S Poerwadinata, anak itu dikelompokkan
menjadi tiga golongan yaitu anak kandung atau anak dari darah daging sendiri. Anak angkat, yaitu anak
yang bukan berasal dari keturunan asli atau anak orang lain yang di angkat dan diasuh sebagaimana
anak sendri. Sedangkan anak tiri, adalah anak yang bukan anak kandung (anak bawaan suami atau
isteri).
Sebagian besar orang laki-laki atau perempuan beranggapan bahwa anak adalah karunia terbesar, harta
yang paling berharga, cita-cita yang tinggi, serta belahan jiwa yang secara khusus diberikan oleh tuhan
yang maha kuasa kepada manusia yang telah menanti-nantikan kehadirannya.
Menurut kajian ilmu biologi, anak adalah hasil dari suatu proses tahapan yang bermula dari bertemunya
sel kelamin jantan dan betina ( pembuahan ), lalu terbentuklah zigot yang bergerak ke uterus hingga
terbentuklah embrio yang akan tumbuh menjadi janin. Janin tersebut akan tumbuh dan jika saatnya
telah tiba maka akan lahir ke dunia menjadi seorang anak.
Dalam ilmu agama islam disebutkan bahwa yang dinamakan anak adalah amanah allah swt yang harus
dirawat, diasuh dan dipelihara hingga tumbuh menjadi dewasa. Sebelum anak tersebut dilahirkan
kedunia, ia telah diberi ketetapan oleh allah yaitu meliputi 3 perkara antara lain umur, rizki dan jodoh.
Supaya anak mampu mencapai kesempurnaan tersebut, maka allah swt memberi tugas kepada orang
tuanya untuk membimbing anaknya dengan baik dan benar agar tidak menyimpang dari jalan ajaran-
Nya

2.3. PENGERTIAN POLA ASUH ANAK

Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan
mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik. Jika
ditinjau dari terminologi, pola asuh anak adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga,
merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku
ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif atau positif.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. TEMPAT PENELITIAN


Dalam penelitian ini tempat atau wilayah yang kami teliti adalah kawasan Desa Bangun Rejo L III Blok A
sampai Blok D Tenggarong Seberang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

3.2. POPULASI
Dalam penelitian ini kami mengambil populasi yaitu warga Desa Bangun Rejo Blok A hingga Blok D
Kecamatan Tenggarong Seberang Kutai Kartanegara Kalimantan Timur

3.3. SAMPEL
Selama penelitian, kami berhasil mengumpulkan beberapa sampel, Jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak :

 3 keluarga dari warga Bangun Rejo Blok A


 3 keluarga dari warga Bangun Rejo Blok B
 3 keluarga dari warga Bangun Rejo Blok C
 3 keluarga dari warga Bangun Rejo Blok D

Objek penelitiannya adalah sistem penerapan pola asuh orang tua terhadap anak dan karakteristik anak
yang diasuh tersebut.

3.4. WAKTU PENELITIAN


Penelitan ini kami laksanakan selama 1 bulan yaitu mulai tanggal 1 februari sampai tanggal 28 februari
2009.

 Minggu Pertama, Kami gunakan untuk hunting buku-buku di perpustakaan dan mencari
informasi dari media massa.
 Minggu Kedua, Melakukan study pustaka dengan menelaah berbagai informasi yang berkaitan
dengan tema penelitian.
 Minggu Ketiga, Melakukan observasi tentang pola asuh orang tua terhadap karakteristik anak.
 Minggu Keempat, Melakukan penyusunan dan penulisan karya ilmiah.

3.5. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut :
Pustaka Yaitu dengan menelaah, mempelajari dan meriset ke perpustakaan dari berbagai sumber buku-
buku yang mempunyai keterkaitan dengan tema karya ilmiah ini.

1. Observasi Metode observasi yang kami lakukan adalah melalui observasi nonpartisipasi
( observasi tak terlibat ). Gambaran objek yang kami peroleh dari lapangan adalah dengan cara
mengamati pola perilaku, kesibukan serta kegiatan sehari-hari yang mereka kerjakan dari jarak
tertentu. Selain itu, observasi yang kami lakukan yaitu dengan menganalisis dari isi media massa
seperti artikel-artikel dan internet yang berkaitan dengan sistem pola asuh orang tua serta
dampaknya terhadap karakteristik seorang anak.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. MACAM-MACAM POLA ASUH ORANG TUA


Menurut Baumrind ( 1967 ), Pola asuh orang tua dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu :

1. Pola Asuh Secara Demokratis Pola asuh secara demokratis adalah pola asuh yang
memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang
tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersifat realistis terhadap kemampuan anak, tidak
berharap melebihi batas kemampuan sang anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan
kepada anak-anaknya dalam hal memilih dan melakukan sesuatu tindakan, dan pendekatannya
kepada anak bersifat hangat.
2. Pola Asuh OtoriterPola asuh otoriter adalah kebalikan dari pola asuh demokratis, yaitu
cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti. Biasanya dibarengi dengan
ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua
tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah dan menghukum apabila sang anak tidak mau
melakukan apa yang di inginkan oleh orang tua. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal
kompromi, dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak
memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti dan mengenal anaknya
3. Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang
sangat longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa
pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak
apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimingan yang diberikan oleh mereka.
Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat sehingga seringkali disukai oleh anak.
4. Pola Asuh Penelantar Pola asuh tipe yang terakhir ini pada umumnya memberikan waktu dan
biaya yang sangat minim pada anak-anaknya, waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan
pribadi mereka seperti bekerja. Dan kadangkala mereka terlalu menghemat biaya untuk anak-
anak mereka. Seorang ibu yang depresi adalah termasuk dalam kategori ini, mereka cenderung
menelantarkan anak-anak mereka secara fisik dan psikis. Ibu yang depresi pada umumnya tidak
mau memberikan perhatian fisik dan psikis pada anak-anaknya.

4.2. DAMPAK / PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK

1. Pengaruh Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-
anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman-temannya,
mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, dan kooperatif
terhadap orang lain.
2. Pengaruh Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang
penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma-
norma, berkepribadian lemah, cemas dan terkesan menarik diri.
3. Pengaruh Pola Asuh Permisif Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang
impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang matang
secara sosial dan kurang percaya diri.
4. Pengaruh Pola Asuh Penelantar Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak yang
moody, impulsif, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem ( harga
diri ) yang rendah, sering bolos dan sering bermasalah dengan teman-temannya.

4.3 PENDEKATAN ORANG TUA YANG BERPOTENSI MENGGANGGU KEPRIBADIAN ANAK


Berikut ini adalah dua sisi pendekatan atau cara mengasuh orang tua yang mempunyai potensi dapat
mengganggu kepribadian anak yaitu :

1. Pendekatan Orang tua Yang Negatif Ada orang tua yang menyikapi anak-anaknya dengan cara
yang negatif, bahkan ada yang sampai menjadikan anak-anak mereka sebagai objek kekerasan
atau pelampiasan amarah. Ada pula sebagian anak yang terus-menerus dipandang sebagai anak
kecil, akibatnya si anak jadi merasa tak berarti dalam hidup, mereka merasa tak dihargai sebagai
manusia, padahal mungkin ia sudah bisa memberi pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi
anggota keluarga yang lain. Jika anak sudah memasuki usia remaja namun masih saja disikapi
atau diperlakukan seperti anak kecil maka akan muncul kekecewaan yang mendalam pada diri
anak tersebut, dan akan sulit bagi dirinya untuk cepat menjadi dewasa, karena perbuatan yang
ia lakukan selalu diremehkan oleh orang tuanya.

Ada juga anak-anak yang disikapi secara tidak adil oleh orang tuanya, semua anggota
keluarganya mendapat perlakuan yang baik, sementara ia sendiri diperlakukan secara berbeda,
seolah ia bukan anak kandung dalam keluarga tersebut. Hal ini tentu sangat menyakitkan si anak
dan dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan hal-hal yang menyimpang seperti
mengkonsumsi narkoba, mendekati miras, pergaulan bebas, tawuran dan lain sebagainya. Selain
diperlakukan tidak adil, terkadang permasalahannya lebih serius. Tidak sedikit anak yang
dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Mereka dijadikan pelampiasan emosi orang tua, bahkan
tidak sedikit pula mereka menjadi korban nafsu syahwat orang tuanya sendiri. Hal tersebut
merupakan titik terberat dan sangat serius. Orang tua seperti ini kemungkinan mengalami
gangguan jiwa dan perkembangan anak akan terhambat oleh perbuatannya tersebut, dan tentu
saja sang anak menderita problem psikologi yang serius dimasa mendatang, kecuali bila
kasusnya ditangani secara serius hingga tuntas. Seperti sebuah contoh pengalaman-pengalaman
yang dialami oleh david Pelzer yang kemudian ditulis dan dibukukan oleh dirinya sendiri dan
diberi judul “A Child Called It, The Lost Boy, dan A Child Called Dave”. buku-buku tersebut
mengisahkan perjalanan hidup sang penulis sebagai korban Child Abuse “Penganiayaan Anak”
yang kedua terburuk di Negara bagian Amerika. Penganiayaan yang dialami oleh Pelzer sebagai
seorang anak sangat sulit untuk dibayangkan. Ia seolah tidak dianggap manusia, dianiaya setiap
hari, disuruh memakan kotoran adikya sendiri, tidak diberi makan sampai terpaksa harus
mengorek-ngorek tong sampah demi mendapatkan makanan, bahkan nyaris mati ditangan
ibunya sendiri. Bagaimana mungkin seorang ibu tega menganiaya anaknya sekejam itu, tetapi
itulah yang terjadi, ia mengalami berbagai siksaan yang sulit dan panjang. Hingga kemudian
dipisahkan dari orang tuanya oleh pihak Negara setelah melalui proses penyembuhan yang
cukup lama. Pelzer ternyata bisa hidup normal, malah ia menjadi seorang yang sukses dan
hidupnya dan lebih berhasil daripada kebanyakan orang yang tumbuh dan dibesarkan dalam
keluarga normal.

2. Orang tua yang terlalu baik Selain orang tua yang bersikap negatif pada anak-anaknya, ada juga
yang justru bersikap terlalu positif. Mereka sangat sayang terhadap anak-anaknya, tetapi
mereka tidak tahu cara mendidiknya, sehingga akhirnya sang anak jadi manja. Hal yang perlu
dituturkan disini karena pengalaman dilapangan menunjukkan betapa banyak anak-anak yang
dimanjakan dan memperoleh fasilitas yang lebih dari orang tua mereka, mereka ini cenderung
akan bersikap arogan, malas dan merasa tidak perlu bekerja keras dalam hidup serta kurang
memiliki tanggung jawab terhadap apa yang ia perbuat.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah terurai diatas dapat kami tarik kesimpulan, bahwa pola asuh orang tua
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan bagaimana bentuk pribadi anak dimasa
depan, Oleh sebab itu orang tua harus benar-benar mawas diri dan bersungguh-sungguh dalam
menanamkan nilai-nilai kehidupan serta norma-norma yang baik kepada anak melalui pola asuh yang
baik dan benar.
B. Saran
Beberapa saran yang ingin tim peneliti sampaikan kepada segenap pembaca, sekiranya dapat dijadikan
bahan introspeksi diri agar dapat menjadi orang tua yang sukses dalam mendidik anak-anaknya kelak,
yaitu :

 Hendaknya orang tua tidak egois, yaitu menganggap bahwa dirinya saja yang paling benar,
karena pada prinsipnya setiap anak juga ingin mengekspresikan dirinya dengan gaya dan
caranya sendiri.• Hendaknya orang tua lebih bijaksana kepada anak serta mampu memberikan
contoh atau teladan yang baik kepada anaknya.

 Hendaknya orang tua lebih memahami nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dan mengajarkan
hal tersebut dengan sosialisasi yang baik kepada anaknya.

 Karena orang tua adalah tempat curahan hati seorang anak, maka jadilah orang tua yang
mampu dijadikan sandaran yang baik bagi anak.

 Pilihlah pola asuh anak yang baik agar anak yang diasuh dapat tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang berkarakteristik baik

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Vina Sulistya Ningsih


Tempat, Tgl lahir : Ds. Kertabuana, 25 Mei 1991
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 011 L4 Blok C II, Tamat Tahun 2003
- SMP YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang,
Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO, Tenggarong Seberang

2. Nama : Abdul Ghofur


Tempat, Tgl lahir : Tenggarong, 23 Februari 1991
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan : - SDN 016 Separi IV, Tamat tahun 2003
- MTS AL-IKHSAN Separi Besar, Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO, Tenggarong Seberang

3. Nama : Dewi Fatmawati


Tempat, Tgl lahir : Kutai, 20 Desember 1991
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan : - SDN 021 L II Blok C, Tamat Tahun 2003
- SMP YPM DIPONEGORO, Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO, Tenggarong Seberang

4. Nama : Ira Suprihatin


Tempat, Tgl lahir : Tenggarong, 16 Januari 1991
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 016 SEPARI IV, Tamat Tahun 2003
- SMP YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang,
Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang

5. Nama : M. Fitroh Al-Hadi


Tempat, Tgl lahir : Kediri, 12 Agustus 1991
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 004 Bukuan, Tamat Tahun 2003
- SMP 20 Bukuan, Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO, Tenggarong Seberang

6. Nama : Rahmat Effendi


Tempat, Tgl lahir : Kertabuana, 12 Desember 1991
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 011 L IV Tamat Tahun 2003
- SMP YPM DIPONEGORO, Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO, Tenggarong Seberang

7. Nama : Sinta Purnamasari


Tempat, Tgl lahir : Pendingin, 13 Februari 1990
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 010 Bangun Rejo, Tamat Tahun 2003
- SMPN 1 Tenggarong Seberang, Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang

8. Nama : Sunadi
Tempat, Tgl lahir : Madiun, 7 Agustus 1990
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan - SDN 011 SP 1 Tamat Tahun 2003
- SMP YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang,
Tamat Tahun 2006
- SMA YPM DIPONEGORO Tenggarong Seberang

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Alwi. 2005. 13X ; Remaja Juga Bisa.


Ali, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja, Jakarta : PT. Bumi Aksara.
J. Gode, william. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Lein, Laura dan. 1989. Anak ; Bagaimana Mengasuh Anak Dan Pengaruh Anak Bagi Kehidupan Orang
Tuanya.
Tim Sosiologi. 2006. Sosiologi ; Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas X. Jakarta : yudistira.
Tim Sosiologi. 2007. Sosiologi ; Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas XII. Jakarta : yudistira.
Alatas, Alwi. 2005. Untuk 13X ; Remaja Juga Bisa Bahagia Sukses Mandiri. Jakarta : Penerbit Pena.

Label: KARYA ILMIAH PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK
ANAK

HUBUNGAN POLA ASUH GIZI DENGAN STATUS GIZI


BALITA USIA 4–12 BULAN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MEDANG KABUPATEN BLORA
TAHUN 2006
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Endang Suwiji
NIM 6450402116
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2006
ii
ABSTRAK
Endang Suwiji, 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada
Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang
Kabupaten Blora tahun 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Fakultas Ilmu Keolahragaan. Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I : Drs. Sutardji, M.S., Pembimbing II : Irwan Budiono,
SKM.
Kata Kunci : Pola Asuh Gizi, Status Gizi
Data hasil survey BPS Semarang 2004 menunjukkan tingginya angka
prevalensi gizi kurang 2,34%, demikian juga dari hasil laporan dinas kesehatan
Kabupaten Blora menunjukkan tingginya angka prevalensi gizi kurang, yang
meningkat dari 12,16% menjadi 15,38% pada tahun 2003 sampai 2004. Dan pada
tahun 2005 terdapat 1,8% balita gizi buruk, 12,7% balita gizi kurang. Dari hasil
penelitian di Puskesmas Medang Kabupaten Blora dapat diketahui prevalensi gizi
kurang pada balita 45,59%. Berdasarkan kenyataan diatas permasalahan yang
diteliti adalah Apakah status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Medang Kabupaten Blora ada hubungannya dengan pola asuh
gizi.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh gizi
dengan status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang
Kabupaten Blora.
Populasi penelitian ini adalah balita usia 4–12 bulan yang bertempat
tinggal di wilayah kerja puskesmas Medang Kabupaten Blora sejumlah 211 anak.
Sampel berjumlah 68 balita dan dipilih secara random sampling. Variabel yang
diteliti dalam penelitian ini adalah pola asuh gizi, meliputi praktek pemberian
makanan atau minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek
pemberian ASI, praktek pemberian MP-ASI, dan praktek penyapihan sebagai
variabel bebas dan status gizi pada anak balita sebagai variabel terikat.
Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan wawancara menggunakan
angket. Analisis data menggunakan statistik chi square.
Berdasarkan hasil penelitian, status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora 45,59% kurang. Sedang praktek pola
asuh gizi yang terdiri dari praktek pemberian makanan/minuman prelaktal 36,76%
kurang, praktek pemberian kolostrum 44,12% tidak diberikan, praktek pemberian
ASI 47,06% sedang, praktek pemberian makanan pendamping ASI 57,35%
sedang, dan praktek penyapihan 79,41% belum disapih. Hasil perhitungan
menunjukkan ada hubungan positif antara praktek pemberian makanan/miniman
prelaktal(p=0,001,C=0,572), praktek pemberian kolostrum (p=0,001,φ =0,556),
praktek pemberian ASI (p=0,001,C=0,499), praktek pemberian MP-ASI
(p=0,001,C=0,515) dengan status gizi. Adapun praktek penyapihan tidak
menunjukan adanya hubungan dengan status gizi balita (p=0,115, φ =0,085).
Saran yang dapat penulis ajukan bagi petugas Rumah Bersalin dan petugas
Puskesmas yang menangani persalinan untuk memberikan pengertian pada ibu
agar tidak memberikan makanan/minuman sebelum ASI keluar dan bagi petugas
penyuluhan di Puskesmas untuk memasukan penyuluhan tentang kolostrum
kedalam program-program penyuluhan yang sudah ada.
iii
ABSTRACT
Endang Suwiji, 2006. The Association Take Care Pattern of Nutrition with
Nutritional Status at Children 4-12 Months Old in the Work Zonal
of Medang Public Health Center Blora Regency on 2006. Script.
Study Program of Public Health Science, Sport Science Faculty, State
University of Semarang. Teacher I : Drs. Sutardji, M.S., teacher II :
Irwan Budiono , SKM.
Keyword : Take Care Pattern of Nutrition, Nutritional Status.
The survey result data of Semarang Statistical Center Agency 2004
showed the high prevalence of under nutrition 2,34%, so the report result of Blora
regency Health Departement showed too the high prevalence of under nutrition,
that inflate from 12,16% become 15,38% on 2003 untill 2004. And on 2004, there
was 1,8% childrens of bad nutrition, 12,7% childrens of under nutrition. From the
study result at Medang Public Health Center Blora Regency, it could known that
under nutrition prevalence at children 45,59%. Based on the reality above, the
problem that studied was there any association nutritional status of children 4-12
months old at the work zonal of Medang Piblic Health Center Blora Regency with
take care pattern of nutrition. The aim of this study was to known the association
take care pattern of nitrition status of children 4-12 months old at the work zonal
of Medang Public Health Center Blora Regency.
The population of this study were children 4-12 months old that lived at
the work zonal of Medang Public Health Center Blora Regency consist of 211
childrens. The sample were consist of 68 childrens and it chose in random
sampling. The variables that studied in this study were take care pattern of
nutrition, includes the gift practical of prelactal food or drink, the gift practical of
colostrum, the gift practical of breastfeeding, the gift practical of breastfeeding
nearing food, and the wean practical such as independent variable and nutritional
status at children such as dependent variable. The data collecting was using
method of observation and interview that use questionnaire. The data analysis was
using the statistical of Chi- Square.
Based on the study result, nutritional status of children 4-12 months old at
work zonal of Medang Public Health Center Blora Regency 45,59% was under
nutrition. Where as the practical of take care pattern that consist of the gift
practical of prelactal food or drink 36,76% was less, the gift practical of colostrum
44,12%, was not gave, the gift practical of breastfeeding 47,06% was middle, the
gift practical of breastfeeding nearing food 57,35% was middle, and the wean
practical 79,41% was not weaned. The calculation result showed that any positive
association between the gift practical of prelactal food or drink
(p=0,001,C=0,572), the gift practical of colostrum (p=0,001, φ =O,556), the gift
practical of breastfeeding (p=0,001, C=0,499), the gift practical of breastfeeding
nearing food (p=0,001,C=0,515) with nutritional status. The wean practical did
not showed there any association with nutritional status of children (p=0,115,
φ =0,085).
The suggestion that can proposed by writer for Babe’s Gave Birth Hospital officer and
public health center officer that helpchildbirth are hopped to give knowladge for mothers so she
does not giving food or drink before breastfeeding to go out and for the torching officers at public
health center are hopped to entering about colostrum in the tourching programs that it had been.
iv
PENGESAHAN
Telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang
Pada hari : Senin
Tanggal : 4 September 2006
Panitia Ujian
Ketua Panitia, Sekretaris,
DR. Khomsin, M.Pd Drs. Herry Koesyanto, MS
NIP. 131469639 NIP. 131571549
Dewan Penguji,
1. dr. Oktia Woro KH, M.Kes (Ketua)
NIP. 131695159
2. Drs. Sutardji, MS (Anggota)
NIP. 130523506
3. Irwan Budiono, SKM (Anggota)
NIP. 132308392
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
1. Kehidupan kita hari ini adalah hasil dari cara berpikir kita kemarin.
Kehidupan besok akan ditentukan oleh apa yang kita pikirkan hari ini
(Maxwell, 2004:26).
2. Hati yang terang akan senantiasa berada dalam suasana damai dan
mendamaikan, tenang dan menenangkan, tentram dan mententramkan.
(Aa Gym)
3. Kelemahan terbesar adalah menyerah, jalan paling pasti menuju sukses
adalah selalu mencoba sekali lagi.
( Thomas A. Edison)
Persembahan :
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Allah SWT yang telah memberikan
nikmat-Nya
2. Bapak dan ibu tercinta yang telah
berjuang dan berdo’a demi
keberhasilanku.
3. Adikku Im dan Susi yang selalu
memberikan motivasi.
4. Teman kost “Panji Sukma I lantai 2
(Lucas, Cemot, Gati, Proe, Danik dan
semua)” atas keceriannya
5. Teman IKM 02” yang tak terlupakan.
6. Almamater Universitas Negeri Semarang.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat
menyelesaikan studi pada Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu
Keolaragaan yang berjudul "Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Balita
Usia 4-12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang kabupaten Blora Tahun
2006”
Penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan juga berkat kerjasama, bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Sutardji, MS, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang yang telah berkenan memberikan ijin penelitian dalam penyusunan
skripsi ini dan selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam penyusunan skripsi.
2. dr. Oktia Woro K.H, M.Kes, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Irwan Budiono, SKM, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan arahan untuk penyusunan skripsi.
4. dr. Abdul Hadi, selaku Kepala Puskesmas Medang Kabupaten Blora yang
telah memberikan ijin penelitian bagi penulis.
5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini
sehingga selesai
vii
Semoga amal baik dari semua pihak, mendapatkan imbalan yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Akhirnya disadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna, diharapkan adanya penelitian yang sejenis untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik dan semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Agustus 2006
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
ABSTRAK....................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.4. Manfaat Hasil Penelitian............................................................. 7
1.5. Keaslian Penelitian...................................................................... 8
1.6. Ruang Lingkup Penelitian........................................................... 10
1.6.1. Ruang Lingkup Tempat .................................................... 10
1.6.2. Ruang Lingkup Waktu ..................................................... 10
1.6.3. Ruang Lingkup Materi...................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 11
2.1. Landasan Teori ......................................................................... 11
2.1.1. Pola Asuh Gizi .................................................................. 11
ix
2.1.1.1 Praktek pemberian makanan/minuman
prelaktal............................................................... 11
2.1.1.2 Praktek pemberian kolostrum............................. 13
2.1.1.3 Praktek pemberian ASI ....................................... 14
2.1.1.4 Praktek pemberian MP-ASI................................ 17
2.1.1.5 Praktek penyapihan ............................................. 18
2.1.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi .. 20
2.1.1.7 Hubungan pola asuh Gizi dengan Status Gizi..... 24
2.1.2. Status Gizi......................................................................... 26
2.1.2.1. Pengertian Status Gizi........................................ 26
2.1.2.2. Penilaian Status Gizi .......................................... 27
2.1.2.3. Macam Status Gizi dengan Indikator BB/U,
TB/U dan BB/TB.............................................. 29
2.1.2.4. Macam-macam Status Gizi dan Penyakit yang
berhubungan dengan Status Gizi ...................... 30
2.1.2.5. Fakor-faktor yang mempengaruhi status gizi
balita.................................................................. 33
2.2. Kerangka teori ........................................................................... 36
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 37
3.1. Kerangka Konsep........................................................................ 37
3.2. Hipotesis ..................................................................................... 38
3.3. Definisi Operasional ................................................................... 39
3.4. Jenis dan Rancangan Penelitian .................................................. 40
3.5. Populasi dan Sampel penelitian .................................................. 41
x
3.5.1. Popukasi penelitian......................................................... 41
3.5.2. Sampel Penelitian ........................................................... 41
3.6. Instrumen Penelitian ................................................................... 43
3.6.1. Antropometri Indeks BB/U ............................................ 43
3.6.2. Wawancara dengan menggunakan kuesioner................. 43
1. Validitas Instrumen..................................................... 43
2. Reliabilitas .................................................................. 44
3.7. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 46
3.7.1. Data Primer..................................................................... 46
3.7.2. Data Skunder ................................................................. 46
3.8. Teknik Analisis Data .................................................................. 46
3.8.1. Analisis Univariat........................................................... 47
3.8.2. Anilisis Bivariat.............................................................. 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 48
4.1.Hasil Penelitian ............................................................................ 48
4.1.1. Karakteristik Responden ................................................ 48
4.2.2. Analisis Univariat .......................................................... 49
4.1.3. Analisis Bivariat ............................................................. 53
4.2.Pembahasan ................................................................................. 60
BAB V SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 67
5.1. Simpulan .................................................................................... 67
5.2. Saran ........................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 69
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Gambar Halaman
1. Keaslian Penelitian..................................................................................... 7
2. Klasifikasi Status Gizi menurut WHO-NCHS........................................... 30
3. Definisi Operasional .................................................................................. 39
4. Distribusi Umur Responden....................................................................... 48
5. Distribusi Jenis Kelamin Responden ......................................................... 49
6. Distribusi Praktek Pemberian Makanan/Minuman Prelaktal..................... 49
7. Distribusi Praktek Pemberian Kolostrum .................................................. 50
8. Distribusi Praktek Pemberian ASI ............................................................. 51
9. Distribusi Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI ........................ 51
10. Distribusi Praktek Penyapihan ................................................................... 52
11. Distribusi Status Gizi Balita....................................................................... 53
12. Tabel Silang Praktek Pemberian Makanan/Minuman Prelaktal dengan
Status Gizi .................................................................................................. 54
13. Tabel Silang Praktek Pemberian Kolostrum dengan Status Gizi............... 55
14. Tabel Silang Praktek Pemberian ASI dengan Status Gizi ......................... 56
15. Tabel Silang Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan
Status Gizi .................................................................................................. 58
16. Tabel Silang Prakyek Penyapihan dengan Status Gizi .............................. 59
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori........................................................................................... 36
2. Kerangka Konsep....................................................................................... 37
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing...................................... 71
2. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas ........................................................... 72
3. Surat Ijin Penelitian dari Kesbanglinmas Blora........................................ 73
4. Surat Keterangan Selesai Penelitian ......................................................... 74
5. Daftar Populasi dan Sampel...................................................................... 75
6. Instrumen Penelitian ............................................................................... 77
7. Data Hasil Uji Coba Kuesioner dan Nilai rTabel ..................................... 83
8. Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Pemberian Makanan
Prelaktal .................................................................................................... 85
9. Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Pemberian ASI...................... 86
10. Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Pemberian MP-ASI............... 87
11. Data Hasil penelitian ............................................................................... 88
12. Deskripsi Data Hasil penelitian ............................................................... 91
13. Analisis Chi Square................................................................................... 96
14. Tabel Rujukan BB/U menurut WHO-NCHS............................................ 100
15. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian........................................................ 101
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak Dasawarsa 1990-an, kata kunci pembangunan bangsa di
negara berkembang, termasuk di Indonesia adalah Sumber Daya Manusia
(SDM). Terciptanya keberhasilan pembangunan suatu bangsa berkaitan erat
dengan kualitas SDM yang baik. Dalam menciptakan SDM yang bermutu,
perlu ditata sejak dini yaitu dengan memperhatikan kesehatan anak-anak,
khususnya anak balita. Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan
ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.
Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi. Gizi sangat
penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada anak dapat menimbulkan
beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan
terhadap penyakit, menurunnya tingkat kecerdasan, dan terganggunya
mental anak. Kekurangan gizi yang serius dapat menyebabkan kematian
anak (Soegeng Santoso, 2004:70).
Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk
pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masalah gizi yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipengaruhi beberapa faktor
antara lain: penyakit infeksi, konsumsi makanan, tingkat pendapatan
keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi, pelayanan kesehatan, pendapatan keluarga,
budaya pantang makanan, dan pola asuh gizi. Selain itu status gizi juga
dapat dipengaruhi oleh praktek pola asuh gizi yang dilakukan dalam rumah
tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan
kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan
dan perkembangan anak. Menurut Zeitlin Marian (2000:122) yang dikutip
oleh Amy Prahesti (2001: 21) mengatakan bahwa salah satu aspek kunci
dalam pola asuh gizi adalah praktek penyusuan dan pemberian MP-ASI.
Lebih lanjut praktek penyusuan dapat meliputi pemberian makanan
prelaktal, kolostrum, menyusui secara eksklusif dan praktek penyapihan.
Praktek pola asuh gizi dalam rumah tangga biasanya berhubungan
erat dengan faktor pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu. Menurut Suhardjo (1986:33) anak–anak yang tumbuh
dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi
diantara seluruh anggota keluarga lainnya dan anak yang kecil biasanya
paling terpengaruh oleh kurang pangan. Sebab dengan bertambahnya jumlah
anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak
orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu
zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua.
Dengan demikian anak-anak yang lebih muda mungkin tidak diberi cukup
makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Keadaan diatas akan lebih buruk
jika ibu balita memiliki perilaku pola asuh yang kurang baik dalam hal
penyusuan, pemberian MP-ASI serta pembagian makanan dalam keluarga.
Di dalam keluarga besar dengan keadaan ekonomi lemah, anak-anak dapat
menderita oleh karena peghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak
orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin
bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya. Sehingga jumlah anggota
keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi
oleh konsumsi makanan. Dalam hal ini faktor selera dari masing-masing
anggota keluarga sangat berpengaruh. Tidak semua anggota keluarga
menyukai jenis makanan yang sama. Kecil kemungkinan seorang ibu rumah
tangga menyediakan jenis makanan yang berbeda-beda setiap hari sesuai
keinginan tiap anaknya, ditambah juga diperlukan makanan khusus untuk
balita sebagai MP-ASI.
Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan
(seperti penyakit menular dan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Suatu keluarga besar karena besarnya tanggungan, secara relatif harus
tinggal berdesak-desakan didalam rumah yang luasnya terbatas. Hal ini
memudahkan penularan penyakit menular dikalangan anggota-anggotanya,
karena persediaan harus digunakan untuk anggota keluarga yang jumlahnya
besar, maka dapat dipastikan terjadi kekurangan makanan yang bernilai gizi
dan juga tidak dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia
(Soekidjo Notoatmodjo, 2003:18).
Pola asuh yang berhubungan dengan perilaku kesehatan setiap hari,
mempunyai pengaruh terhadap kesakitan anak selain struktur keluarga. Pada
umumnya perilaku ini dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan gizi
yang dimiliki ibu. Contoh dalam keadaan anak sakit. Dalam keadaan
tersebut tentunya reaksi ibu akan berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi juga
jika jarak antara anak pertama dengan anak kedua kurang dari 2 tahun, maka
perhatian ibu terhadap pemeliharaan atau pengasuhan anak yang pertama
akan dapat berkurang setelah kehadiran anak berikutnya, padahal anak
tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Maryati Sukarni, 1994:16).
Perkembangan keadaan gizi masyarakat dapat dipantau berdasarkan
hasil pencatatan dan laporan (RR) program dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Semarang, dapat dijelaskan bahwa keadaan gizi masyarakat Jawa Tengah
seperti yang tercermin dalam hasil penimbangan balita adalah sebagai
berikut, data tahun 2004 menunjukkan jumlah balita yang ada 2.816.199 dan
jumlah tersebut yang datang dan ditimbang di posyandu sebanyak 1.993.448
dengan rincian yang naik berat badannya 1.575.486 anak (79,03 %) dan
balita yang berada di bawah garis merah (BGM) sebanyak 46.676 anak
(2,34 %). Data tersebut menunjukan bahwa di Jawa Tengah masih banyak
balita yang status gizinya berada di bawah standar.
Dari hasil data BPS tentang jumlah kecamatan rawan gizi dan status
gizi bayi dan balita Propinsi Jawa Tengah juga dapat dijelaskan bahwa di
Kabupaten Blora hanya ada satu kecamatan yang bebas rawan gizi, artinya
dari 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Blora, 23 diantaranya mengalami
rawan gizi dan tingginya angka gizi kurang pada bayi dan balita. Dari hasil
laporan dinas kesehatan Kabupaten Blora (2004), menyebutkan bahwa di
Kabupaten Blora jumlah kasus balita dengan status gizi kurang masih tinggi.
Pada tahun 2003 jumlah kasus balita dengan status gizi kurang mencapai
12,16 %, prosentase jumlah ini meningkat pada tahun 2004 menjadi 15,38
%. Laporan terbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Blora berupa hasil
penimbangan serentak balita Puskesmas bulan Agustus 2005 terdapat 1,8%
balita gizi buruk,12,7% balita gizi kurang.
Keadaan gizi pada balita usia 4–12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Medang dilaporkan pada bulan Februari 2006 bahwa jumlah
balita dengan usia 4-12 bulan sebanyak 176 anak, yang hadir dalam
penimbangan sebanyak 154 anak. Dari hasil penimbangan dapat diketahui
status gizi balita, untuk gizi kurang sebanyak 17,1% dan gizi buruk
sebanyak 1,6%. Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah balita
usia 4–12 bulan dengan alasan : Bayi usia < 4 bulan belum menyelesaikan
program ASI eksklusif, dan bayi usia > 12 bulan dikawatirkan ibu lupa
terhadap riwayat pola asuh gizi yang telah diberikan di masa lalu.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berkeinginan untuk melakukan
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora dengan
alasan sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai petani,
buruh, dan serabutan. Rata-rata pendidikan ibu rendah, dan pengetahuan ibu
tentang gizi kurang.
Dari sini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora sebagai bahan skripsi dengan
judul “Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada Balita Usia 4–
12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun
2006“.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Data diatas menggambarkan tingginya kasus balita dengan status
gizi kurang dari tahun 2003 yang mencapai 12,16%, pada tahun 2004
mengalami peningkatan prosentase menjadi 15,38% dan tahun 2005 terdapat
1,8% balita gizi buruk , 12,7% balita gizi kurang.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka diajukan pertanyaan
penelitian sebagai berikut : “Apakah status gizi balita usia 4-12 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora ada hubungannya dengan
pola asuh gizi?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pola asuh gizi dengan status gizi pada anak
balita usia 4–12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mendeskripsikan pola asuh gizi yang meliputi praktek pemberian
makanan/minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek
pemberian ASI, praktek pemberian MP-ASI, dan praktek penyapihan
pada bayi.
2) Mendeskripsikan status gizi balita usia 4–12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Medang Kabupaten Blora.
3) Menguji hubungan praktek pemberian makanan/minuman prelaktal,
praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI, praktek
pemberian MP-ASI, praktek penyapihan dengan status gizi balita usia 4–
12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten blora.
1.4 MANFAAT HASIL PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1.4.1 Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan guna menambah
bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh peneliti dari perkuliahan.
1.4.1 Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
khususnya ibu yang memiliki balita untuk dijadikan sebagai informasi
program penyebarluasan dan penyuluhan tentang pengolahan gizi dalam
keluarga dan dampak yang diakibatkan karena masalah gizi pada anak balita.
1.4.1 Puskesmas
Penelitian ini diharapkan dapat manjadi masukan dalam pengelolaan
program gizi di wilayah kerja Puskesmas Medang Blora.
1.5 KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1
Keaslian Penelitian
No. Judul
Penelitian
Nama
Peneliti
Tahun dan
Tempat
Penelitian
Rancangan
Penelitian
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1234567
1. Hubungan
pola asuh
gizi
dengan
gangguan
pertumbu
han
(Growth
Faltering)
pada anak
usia 0-12
bulan.
Amy
Prahesti
2001
Kecamatan
Sumowono
Kabupaten
Semarang
Case
Control
1.Pola asuh gizi
yang
meliputi:
praktek
pemberian
makanan/min
uman
prelaktal,
praktek
pemberian
kolostrum,
pola
• Variabel yang menunjukan
hubungan dengan growth
faltering adalah : Praktek
pemberian
makanan/minuman
prelaktal (nilai p=0,01,
OR=4,449).
• Variabel yang lain tidak
menunjukan hubungan,
yaitu : Praktek pemberian
kolostrum (nilai p=0,069,
1234567
2.
3.
Hubungan
pola asuh
gizi dengan
perkemban
gan bayi
usia 6-12
bulan di
wilayah
kerja
Puskesmas
Pagar
Agung
Provinsi
Sumatera
Selatan.
Hubungan
antara
pendapatan
keluarga
dan pola
asuh gizi
dengan
status gizi
anak balita
Kurniati
Ninik
Asri .R
2003
Wilayah
kerja
Puskesmas
Pagar
Agung
Provinsi
Sumatera
Selatan.
2005
Betokan
Demak
Cross
Sectional
Cross
Sectional
pemberian
ASI, praktek
pemberian
MP-ASI,
masukan zat
gizi dan
praktek
penyapihan.
2. Gangguan
pertumbuhan
1.Pola asuh gizi
yang
meliputi:
praktek
pemberian
makanan/min
uman
prelaktal,
praktek
pemberian
kolostrum,
pola
pemberian
ASI, pola
pemberian
MP-ASI, dan
praktek
penyapihan.
2.Perkembangan
bayi.
1. Pendapatan
keluarga
2. Pola Asuh
gizi
3. Status gizi
OR=2,672), Pola pemberian
ASI (nilai p=0,812,
OR=1,893), masukan zat
gizi (nilai p=0,365,
OR=1,509), praktek
penyapihan (nilai p=0,237,
OR=2,697)
• Ada hubungan riwayat
pemberian
makanan/minuman
prelaktal dg perkembangan
(p=0,011)
• Ada hubungan riwayat
pemberian kolostrum dg
perkembangan bayi
(p=0,039)
• Ada hubungan pola
pemberian ASI dg
perkembangan bayi
(p=0,025)
• Ada hubungan pola
pemberian MP-ASI dg
perkembangan bayi
(p=0,028).
• Tidak ada hubungan
praktek penyapihan dg
perkembangan bayi (0,246).
• Tidak ada hubungan antara
pendapatan dg status gizi
• Ada hubungan antara pola
asuh gizi dengan status gizi
anak balita.
1234567
4.
5.
Hubungan
pola
pemberian
ASI dan
MP-ASI
dengan
kejadian
KEP pada
bayi usia 4-
12 bulan
Pengaruh
status
pemberian
ASI thd
status gizi
bayi usia 4-
11 bulan.
Theresia
Spika N.
Etty
Dwi
Lastani
2004
Muktiharjo
Kidul Kec.
Pedurungn
Kota
Semarang
2001
Kec.
Kalibawng,
Kulon
Progo, DIY
Cross
Sectional
Case
control
1. Pola
pemberian
ASI
2. Pola
pemberian
MP-ASI
3. Kejadian
KEP
1. ASI
Eksklusif
2. Status Gizi
• Ada hubungan pola
pemberian ASI dg kejadian
KEP (nilai p=0,023,
R=0,266)
• Ada hubungan pola
pemberian MP-ASI dg
kejadian KEP (nilai
p=0,024, R=0,265)
Ada pengaruh status
pemberian ASI terhadap
status gizi (tingkat
kemaknaan 0,027,
R=3,898)
Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan seperti terdapat
pada tabel diatas, penelitian yang akan dilaksanakan ini berbeda dalam hal waktu
dan tempat penelitian, selain itu dalam penelitian tersebut di atas terdapat hasil
yang kurang konsisten, seperti pada penelitian pertama terdapat hasil tidak ada
hubungan antara praktek pemberian kolostrum, ASI, asupan zat gizi dan praktek
penyapihan dengan gangguan pertumbuhan. Sedangkan pada penelitian kedua,
ketiga, keempat dan kelima ada hubungan antara praktek pemberian kolostrum,
ASI, MP-ASI, dengan perkembangan bayi, status gizi dan kejadian KEP, oleh
karena itu perlu diadakan penelitian kembali.
1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Medang yang
meliputi 10 Desa.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei s/d Agustus dan
pengambilan data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat
dilakukan pada saat yang bersamaan.
1.6.3 Ruang Lingkup Materi
Materi yang akan diteliti adalah tentang gizi.

11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1 Pola Asuh Gizi.
Pola asuh gizi merupakan praktek dirumah tangga yang
diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta
sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan anak. Menurut Soekirman (2000: 84), pola asuh adalah
berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberi
makan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya berhubungan
dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental). Sedangkan
menurut Zeitlin Marian (2000:122) yang dikutip oleh Amy Prahesti
(2001: 21) mengatakan bahwa salah satu aspek kunci dalam pola asuh
gizi adalah praktek penyusuan dan pemberian MP-ASI. Lebih lanjut
praktek penyusuan meliputi pemberian makanan prelaktal, kolostrum,
menyusui secara eksklusif, dan praktek penyapihan. Adapun aspek kunci
pola asuh gizi adalah :
2.1.1.1 Praktek pemberian makanan/minuman prelaktal.
1) Batasan makanan/minuman prelaktal
Makanan prelaktal adalah makanan dan minuman yang diberikan
kepada bayi sebelum ASI keluar, misal air kelapa, air tajin, madu, pisang,
susu bubuk, susu sapi, air gula, dan sebagainya (Depkes RI, 2000:2).
12
Kebiasaan memberikan makanan prelaktal harus dihindari karena dirasa
tidak perlu dan malah bisa membahayakan bagi bayi dan ibu bayi
(Savage, 1991:37).
2) Bahaya pemberian makanan/minuman prelaktal
Untuk bayi:
a. Bayi tidak mau mengisap susu dari payudara karena pemberian
makanan ini menghentikan rasa lapar.
b. Diare sering terjadi karena makanan ini mungkin tercemar.
c. Bila yang diberikan susu sapi alergi sering terjadi.
d. Bayi bingung mengisap puting susu ibunya bila pemberian makanan
lewat botol.
e. Saluran pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna
makanan selain ASI.
Untuk Ibu:
a ASI keluar lebih lama karena bayi tidak cukup mengisap.
b Bendungan dan mastitis mungkin terjadi karena payudara tidak
mengeluarkan ASI.
c Ibu sulit menyusui dan cenderung berhenti menyusui.
(Savage, 1991:37).
3) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pemberian makanan/minuman
prelaktal
Pemberian makanan/minuman prelaktal masih sering dilakukan
terutama bagi bayi yang lahir di Rumah Sakit (RS) atau Rumah Sakit
Bersalin (RSB). Pemberian ini didorong oleh sulitnya/sedikitnya ASI
13
yang dihasilkan. Jenis minuman prelaktal yang diberikan biasanya adalah
susu formula. Praktek pemberian ini menjadi semakin meningkat dengan
banyaknya iklan dan poster mengenai susu formula yang terpasang di RS
dan RSB. Akibat lanjut dari hal ini bahwa ibu lebih senang memberi susu
formula kepada bayinya dari pada menyusui. Sedangkan bagi ibu-ibu di
pedesaan yang melahirkan dengan pertolongan dukun bayi biasanya juga
masih sering memberi makanan prelaktal ini dengan alasan yang tidak
jauh berbeda dengan diatas, yaitu bahwa ASI sulit keluar dan sangat lama
sehingga bayi terus menangis. Pengetahuan gizi ibu yang rendah semakin
mendorong praktek ini. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan bayi,
dan mengganggu keberhasilan menyusui (Depkes RI, 2000:2).
2.1.1.2 Praktek pemberian kolostrum
1) Batasan kolostrum
Kolostrum (susu pertama) adalah ASI yang keluar pada hari-hari
pertama setelah bayi lahir (4-7 hari) berwarna kekuning-kuningan dan
lebih kental karena mengandung banyak vitamin, protein, dan zat
kekebalan yang penting untuk kesehatan bayi dari penyakit infeksi
(Depkes RI, 2005:4).
Menurut Suhardjo, dkk (1986:114) cairan yang dikeluarkan dari
buah dada ibu selama beberapa hari pertama setelah bayi dilahirkan
merupakan suatu cairan yang menyerupai air, agak kuning yang
dinamakan kolostrum. Cairan tersebut mengandung lebih banyak protein
dan mineral serta sedikit karbohidrat dari pada susu ibu sesudahnya.
14
Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit yang
dialihkan melalui susu dari tubuh ibu kepada bayi yang diteteki. Bahan
anti tersebut membantu bayi menyediakan sedikit kekebalan terhadap
infeksi penyakit, selama bulan-bulan pertama dari hidupnya.
2) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pemberian kolostrum
Meskipun kolostrum sangat penting untuk meningkatkan daya
tahan bayi terhadap penyakit, namun masyarakat terutama ibu-ibu masih
banyak yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya (Depkes RI,
2000:2). Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ketidaktahuan mereka
akan manfaat kolostrum bagi bayinya. Kebanyakan ibu-ibu di pedesaan
yang persalinannya ditolong oleh dukun bayi belum terlatih selalu
membuang kolostrum dengan alasan bahwa ASI tersebut mengandung
bibit penyakit. Biasanya kolostrum tersebut dikubur bersama plasenta
bayi. Selain karena kepercayaan tersebut di beberapa daerah memang
terdapat tradisi yang mengharuskan untuk membuang kolostrum.
Sedangkan sedikitnya penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
untuk meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat semakin memperburuk
keadaan ini.
2.1.1.3 Praktek pemberian ASI
Pola pemberian ASI merupakan model praktek
penyusuan/pemberian ASI oleh ibu kepada bayinya pada usia 4 bulan
pertama kehidupan bayi. Pola pemberian ASI dibedakan menjadi 2
macam yaitu pola eksklusif dan pola non eksklusif (Depkes RI, 1998:2).
15
1) Batasan ASI eksklusif dan non eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir
sampai usia 4 bulan tanpa diberi makanan pendamping ataupun makanan
pengganti ASI. Sedangkan ASI non eksklusif adalah pola pemberian ASI
yang ditambah dengan makanan lain baik berupa MP-ASI maupun susu
formula (Depkes RI, 1998:3).
2) Alasan pemberian ASI eksklusif antara lain adalah
a. Pada periode usia bayi 0–4 bulan kebutuhan gizi bayi baik kualitas
maupun kuantitas terpenuhi dari ASI saja tanpa harus diberikan
makanan/minuman lainya.
b. Pemberian makanan lain akan mengganggu produksi ASI dan
mengurangi kemampuan bayi untuk mengisap.
c. Zat kekebalan dalam ASI maksimal dan dapat melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi.
Asam lemak essensial dalam ASI bermanfaat untuk pertumbuhan
otak sehingga merupakan dasar perkembangan kecerdasan bayi
dikemudian hari. Penelitian menunjukan bahwa IQ pada bayi yang diberi
ASI memiliki IQ point 4,3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6
point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 point lebih tinggi pada usia
8,5 tahun, dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes RI,
2005:11).
3) Kebutuhan ASI bayi
Rata-rata bayi memerlukan 150 ml susu per kilogram BB perhari,
16
sehingga bayi dengan BB 3,5 Kg memerlukan 525 ml sehari, bayi 5 Kg
memerlukan 750 ml, dan bayi 7 Kg memerlukan 1 L per hari. Apabila
bayi mengikuti garis pertumbuhan normalnya selama 6 bulan pertama
maka kebutuhan susu 15 L (Savage, 1991:30).
4) Lama Menyusui
Ibu selalu dinasehati untuk menyusui selama 3-5 menit dihari-hari
pertama dan 5–10 menit dihari-hari selanjutnya. Namun demikian,
pengisapan oleh bayi biasanya berlangsung lebih lama antara 15–25
menit (Winarno F.G, 1990:78).
5) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pola pemberian ASI.
Hal-hal yang mendasar yang sangat berhubungan dengan pola
pemberian ASI adalah pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif, baik
maksud maupun manfaat pemberian ASI tersebut bagi bayi. Pengetahuan
ini dapat ditingkatkan dengan penyuluhan oleh petugas kesehatan.
Dengan sedikitnya frekuensi penyuluhan yang dilakukan maka
pengetahuan ini akan sulit ditingkatkan dan perubahan kearah praktek
yang diharapkan akan sulit diwujudkan. Selain itu sedikitnya ASI yang
dihasilkan juga mendorong praktek pemberian ASI dilakukan secara
parsial dimana ASI tetap diberikan dengan ditambah dengan susu
formula. Sedangkan faktor yang secara tidak langsung berpengaruh
terhadap pemberian ASI ini antara lain keterlibatan sosial orang tua,
pekerjaan orang tua, serta pendidikan orang tua. Hal ini lebih bisa
dimaklumi sebab interaksi orang tua dengan lingkungannya akan
menambah pengalaman yang berguna untuk melakukan praktek yang
lebih baik (Satoto,1990:54).
17
2.1.1.4 Praktek pemberian MP-ASI
1) Batasan MP-ASI
Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan yang
diberikan pada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24
bulan. Selain MP-ASI, ASI pun harus tetap diberikan kepada bayi, paling
tidak sampai usia 24 bulan. MP-ASI merupakan makanan tambahan bagi
bayi, makanan ini harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi
kebutuhan bayi. Jadi MP-ASI berguna untuk menutupi kekurangan zatzat
gizi yang terkandung didalam ASI. Dengan demikian, cukup jelas
bahwa peranan MP-ASI bukan sebagai pengganti ASI tetapi untuk
melengkapi atau mendampingi ASI (Diah Krisnatuti, Ririn Yenrina,
2000:14).
2) Tujuan pemberian MP-ASI
Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan
zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi
kebutuhan bayi yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
umur dan berat badan. Gangguan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak yang normal dapat terjadi ketika kebutuhan energi
dan zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan asupan
makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian
makanan tambahan yang kurang memenuhi syarat. Disamping itu faktor
terjadinya infeksi pada saluran pencernaan memberi pengaruh yang
cukup besar (Diah Krisnatuti, Ririn Yenrina, 2000:15).
18
3) Hal-hal yang berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI
Menurut Zetlein Marian (2000:124) yang dikutip oleh Amy
Prahesti (2001: 25) faktor utama yang berpengaruh terhadap praktek
pemberian MP-ASI adalah pengetahuan dan pendidikan ibu. Dengan
pendidikan yang cukup ditunjang pengetahuan gizi modern akan
menjadikan praktek pemberian MP-ASI kepada bayi semakin baik.
Selain itu ternyata lingkungan sosial juga tidak lepas pengaruhnya pada
hal ini. Dalam kebudayaan tertentu adanya kebiasaan makan bagi bayi
yang khas dengan berbagai pantangan yang ada sangat mempengaruhi
baik tidaknya praktek penberian MP-ASI oleh ibu bagi bayinya
(Ebrahim,G.J, 1988:74).
2.1.1.5 Praktek penyapihan
1) Batasan Penyapihan
Masa penyapihan adalah proses dimana seorang bayi secara
perlahan-lahan memakan makanan keluarga ataupun makanan orang
dewasa sehingga secara bertahab bayi semakin kurang
ketergantungannya pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan
berhenti (Savage, 1991:105). Bayi yang sehat pada usia penyapihan akan
tumbuh dan berkembang sangat pesat, sehingga perlu penjagaan khusus
untuk memastikan bahwa bayi mendapat makanan yang benar (Depkes
RI, 1998:19).
2) Masa penyapihan
Masa penyapihan dapat terjadi pada waktu yang berbahaya bagi
19
bayi. Di beberapa tempat, bayi pada usia penyapihan tidak tumbuh
dengan baik, maka sering jatuh sakit dan lebih sering terkena penyakit
infeksi terutama diare, dibanding waktu-waktu lain. Bayi-bayi yang
kurang gizi mungkin akan menjadi lebih buruk keadaannya pada masa
penyapihan. Makanan yang tidak cukup dan adanya penyakit membuat
bayi tidak tumbuh dengan baik. Hal ini dapat terlihat pada KMS terjadi
kenaikan Berat Badan yang tidak memuaskan atau dalam keadaan yang
lebih parah terjadi penurunan Berat Badan (Depkes RI, 1998:10).
3) Hal-hal yang berpengaruh terhadap praktek penyapihan dini
Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda pada masyarakat
yang berbeda. Menurut studi WHO pada tahun 1981 dipelajari bahwa
jumlah ibu-ibu di pedesaan yang mulai penyapihan lebih awal tidak
sebanyak diperkotaan. Di daerah semi perkotaan, ada kecenderungan
rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini karena ibu
kembali bekerja. Hal ini menyebabkan kebutuhan zat gizi bayi/anak
kurang terpenuhi apalagi kalau pemberian MP-ASI kurang diperhatikan,
sehingga anak menjadi kurus dan pertumbuhannya sangat lambat
(Depkes RI, 2000:3). Selain karena alasan tersebut kegagalan penyusuan
akibat pemberian makanan atau minuman prelaktal sebelum ASI keluar
juga menjadi alasan praktek penyapihan dilakukan secara dini, disamping
karena ASI tidak keluar dari sesaat sesudah melahirkan (Savage,
1991:99).
20
2.1.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi antara lain:
1) Tingkat pendapatan keluarga
Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan pada
balita ditentukan dari pola asuh gizi, terutama pada keluarga golongan
miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin
menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan
makanan. Dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan
pola asuh gizi adalah pendapatan keluarga dan harga (baik harga pangan
maupun harga komoditas kebutuhan dasar) (Yayuk Farida B, dkk
2004:74).
Perubahan pendapatan dapat mempengaruhi perubahan pola asuh
gizi yang secara langsung mempengaruhi konsumsi pangan pada balita.
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya
penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas
dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Yayuk Farida B, dkk
2004:74).
2) Tingkat pendidikan ibu
Menurut Kunaryo Hadikusumo (1996:35) yang dikutip oleh
Hardianto (2001:11) tingkat pendidikan adalah jenjang aktifitas dan
usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
21
membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, rasa, karsa,
cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indera dan keterampilanketerampilan)
melalui pendidikan formal. Adapun tingkat pendidikan di
negara kita meliputi : pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik,
maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh
dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak,
pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995:10).
3) Tingkat pengetahuan ibu
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan :
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan
kesejahteraan.
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
yang optimal, pemeliharaan dan energi.
3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk
dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan
gizi.
Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan
22
pangan dan nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia.
Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan
faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari
gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau
kemampuan untuk menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang
kurang dapat menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari
(Suhardjo, dkk, 1986:31).
4) Jumlah anggota keluarga
Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh
terhadap pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga
(Chaterine Lee 1989:180). Pada keluarga yang memiliki balita, dengan
jumlah anggota keluarga yang besar bila tidak didukung dengan
seimbangnya persediaan makanan di rumah maka akan berpengaruh
terhadap pola asuh yang secara langsung mempengaruhi konsumsi
pangan yang diperoleh masing-masing anggota keluarga terutama balita
yang membutuhkan makanan pendamping ASI.
Program Keluarga Berencana telah mencanangkan bahwa jumlah
anggota keluarga yang paling ideal adalah 4 orang. Program pemerintah
ini bertujuan agar anggota keluarga dengan jumlah sekian diharapkan
dapat lebih memudahkan keluarga tersebut mencukupi semua kebutuhan
anggota keluarganya, tanpa menanggung beban kebutuhan anggota
keluarganya yang banyak. Namun program pemerintah ini belum 100 %
berhasil. Terbukti dengan masih banyaknya keluarga yang memiliki
23
jumlah anggota keluarga yang banyak. Hal ini lebih banyak dilihat pada
keluarga yang tinggal di pedesaan.
Menurut Maryati Sukarni (1994:192) penelitian di suatu negara
Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah
makanan per orang akan menurun sehingga terjadi pertambahan kasus
kurang gizi pada anak-anak dibawah lima tahun. Jika jarak kelahiran
pendek, akan mempengaruhi status kesehatan dan gizi baik bagi bayi
yang baru lahir ataupun pada anak sapihan, sehingga angka kematian
anak kurang dari dua tahun akan meningkat. Ada pengaruh status gizi
anak dan masyarakat pada jumlah keluarga. Dengan adanya perbaikan
status gizi anak dan ibu akan meningkatkan tekanan penduduk sehingga
dengan demikian program ditujukan pada pembatasan pertumbuhan
penduduk.
5) Budaya pantang makanan
Pola asuh dan pola konsumsi makanan merupakan hasil budaya
masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan
budaya masyarakat tersebut. Pola asuh ini diajarkan dan bukan
diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi sekarang
dan generasi-generasi yang akan datang. Pendapat masyarakat tentang
konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan
bahan makanan. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola
konsumsi adalah pantangan atau tabu. Terdapat jenis-jenis makanan yang
24
tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan
remaja atau perempuan hamil dan menyusui. Larangan ini sering tidak
jelas dasarnya, tetapi mempunyai kesan larangan dari penguasa
supernatural, yang akan memberi hukuman bila larangan tersebut
dilanggar. Namun demikian, orang sering tidak dapat mengatakan
dengan jelas dan pasti, siapa yang melarang tersebut dan apa alasannya
(Achmad Djaeni Sediaoetomo, 1999:17).
2.1.1.7 Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi
Menerut Soekirman (2000:84) pola asuh gizi anak adalah sikap
dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan
anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih
sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap
tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat
menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan
seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya penyakit infeksi yang
kemudian dapat berpengaruh terhadap status gizi anak.
Pola asuh gizi pada balita terdiri dari praktek pemberian
makanan/minuman prelaktal, pemberian kolostrum, pemberian ASI,
pemberian MP-ASI dan penyapihan.
Savage (1991:37) menjelaskan adanya hubungan antara praktek
pemberian makanan/minuman prelaktal dengan status gizi, yang mana
makanan/minuman prelaktal tersebut memang tidak seharusnya diberikan
karena saluran pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna
25
makanan selain ASI dan apabila dipaksakan dapat menimbulkan
terjadinya penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi bayi.
Menurut Suhardjo (1985:114) kolostrum dapat mempengaruhi
status gizi balita, karena kolostrum mengandung lebih banyak protein,
mineral serta sedikit karbohidrat dari pada susu ibu sesudahnya.
Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit yang dapat
membantu bayi menyediakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang
mempengaruhi status gizi.
Konsumsi makanan yang diperoleh bayi umur 0-12 bulan berasal
dari pola asuh gizi yang salah satunya adalah praktek pemberian ASI.
ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi dan anak bibawah umur
2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang lengkap dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 4 bulan, sehingga ASI
adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi umur 0-
4 bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan
makanan yang bersih, praktis dengan suhu yang sesuai dengan bayi/anak
serta dapat meningkatkan hubungan psikologis serta kasih sayang antara
ibu dan anak. Dengan demikian jelas bahwa ASI mempunyai hubungan
terhadap status gizi, semakin baik praktek pemberian ASI maka semakin
baik pula status gizi bayi (Depkes RI,1998:2).
Selain ASI konsumsi makanan yang diperoleh bayi dibawah umur
2 tahun adalah makanan pendamping ASI (MP-ASI). Makanan ini
26
diberikan dengan tujuan untuk melengkapi kebutuhan gizi bayi yang
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur bayi.
Sebagaimana dijelaskan oleh Soekirman (2000:84) bahwa salah satu
faktor langsung dari status gizi adalah konsumsi makanan, maka secara
tidak langsung praktek pemberian MP-ASI merupakan salah satu faktor
langsung dari status gizi pada bayi.
Pengaruh praktek penyapihan terhadap status gizi bayi dijelaskan
oleh Depkes RI (1998:19) bahwa bayi yang sehat pada usia penyapihan
akan tumbuh dengan pesat dan sehat, sehingga kekawatiran terjadinya
gizi kurang akibat penyakit infeksi dapat dihindari. Sedangkan menurut
(Savage, 1991:105) masa penyapihan adalah proses dimana seorang bayi
secara perlahan-lahan memakan makanan keluarga ataupun makanan
orang dewasa sehingga secara bertahap bayi semakin kurang
ketergantungannya pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan
terhenti. Dengan demikian praktek penyapihan secara langsung
mempengaruhi konsumsi makanan pada bayi dimana konsumsi makanan
tersebut merupakan faktor langsung dari status gizi.
2.1.2 Status Gizi
2.1.2.1 Pengertian Status Gizi
Menurut Soekirman (2000:65) status gizi berarti keadaan
kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan
salah satu atau dua kombinasi dari ukuran–ukuran gizi tertentu. Suhardjo
(1986:15) mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang
27
disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan.
Berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa,
status gizi merupakan keadaan atau tingkat kesehatan seseorang pada
waktu tertentu akibat pangan pada waktu sebelumnya.
2.1.2.2 Penilaian Status Gizi
Menurut Supariasa,dkk (2001:18), penilaian status gizi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan tidak
langsung.
1) Penilaian satus gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa,
dkk, 2001 : 19).
Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan
yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi.
Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut,
28
mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh
seperti kelenjar tiroid. Metode ini umumnya untuk survei klinis secara
cepat (rapid clinical surveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi
secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau
lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status
gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign)
dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, dkk, 2001 : 19).
Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan specimen
yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin,
tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi (Supariasa, dkk, 2001 : 20).
Penilaian secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan). Umumnya
dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja
epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa,
dkk, 2001 : 20).
2) Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga
yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Survey konsumsi makanan merupakan metode penentuan status
gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
29
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat,
keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan
atau kekurangan zat gizi (Supariasa, dkk, 2001 : 20).
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan
sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi
masyarakat (Supariasa, dkk, 2001 : 20).
Faktor Ekologi digunakan untuk mengungkap bahwa malnutrisi
merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik,
biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dari keadaan ekologis seperti iklim, tanah, irigasi dll.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui
penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar melakukan
program intervensi gizi (Supariasa, dkk, 2001:21).
2.1.2.3. Macam status gizi dengan indikator BB/U, TB/U, dan
BB/TB.
Parameter yang digunakan pada penilaian status gizi dengan
menggunakan antropometri adalah umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar dada (Supariasa, dkk
2001:38). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai
status gizi adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan
30
menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan termasuk air,
lemak, tulang, dan otot. Indeks TB/U adalah pengukuran pertumbuhan
linier. Indeks BB/TB adalah indeks untuk membedakan apakah
kekurangan gizi terjadi secara kronis atau akut (Supariasa, dkk, 2001:69).
Dalam buku petunjuk Teknik Pemantauan Status Gizi (PSG) anak
balita tahun 1999, klasifikasi status gizi dapat diklasifikasikan menjadi 5,
yaitu: gizi lebih, gizi baik, gizi sedang, gizi kurang dan gizi buruk. Baku
rujukan yang digunakan adalah World Health Organization-National
Center for Health Statistics (WHO-NCHS), dengan indeks berat badan
menurut umur. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dalam
Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita tahun 1999 menggunakan
baku rujukan WHO-NCHS dengan klasifikasi seperti terlihat pada tabel.
Tabel 2
Klasifikasi status gizi menurut WHO-NCHS
Kategori Cut of poin *)
Gizi lebih
Gizi Baik
Gizi Sedang
Gizi Kurang
Gizi Buruk
120% Median BB/U baku WHO-NCHS
80%-120% Median BB/U baku WHO-NCHS
70%-79,9% Median BB/U baku WHO-NCHS
60%-69,9% Median BB/U baku WHO-NCHS
< 60% Median BB/U baku WHO-NCHS.
(Supariasa, dkk, 2001 : 76)
2.1.2.4 Macam-macam status gizi dan penyakit yang berhubungan
dengan status gizi
Menurut Soekirman (2000:61), Status gizi anak balita dibedakan
menjadi :
31
1) Status gizi baik
Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai
penggunaan untuk aktivitas tubuh. Refleksi yang diberikan adalah
keselarasan antara pertumbuhan berat badan dengan umurnya. Adapun
ciri-ciri anak berstatus gizi baik dan sehat menurut Departemen
Kesehatan RI (1993) dalam Soegeng Santoso dan Anne Lies R.(1999:3)
adalah sebagai berikut :
a. Tumbuh dengan normal
b. Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya.
c. Mata bersih dan bersinar
d. Bibir dan lidah tampak segar
e. Nafsu makan baik
f. Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering
g. Mudak menyesuaikan duri dengan lingkungan.
2) Status Gizi lebih
Gizi lebih adalah suatu keadaan karena kelebihan konsumsi
pangan. Keadaan ini berkaitan dengan kelebihan energi dalam hidangan
yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan penggunaannya atau energy
expenditure. Ada tiga zat penghasil energi utama yaitu karbohidrat,
lemak dan protein. Kelebihan energi dalam tubuh, diubah menjadi lemak
dan ditimbun dalam tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak ini
merupakan jaringan yang relatif inaktif, tidak langsung berperan serta
dalam kegiatan kerja tubuh. Orang yang kelebihan berat badan, biasanya
32
karena jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kondisi seperti ini akan
meningkatkan beban kerja dari organ-organ tubuh, terutama kerja jantung
(Achmad Djaeni S, 2000:27).
3) Kurang Gizi (Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk)
Status Gizi Kurang atau Gizi Buruk terjadi karena tubuh
kekurangan satu atau beberapa zat gizi yang diperlukan. Beberapa hal
yang menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi adalah karena makanan
yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya.
Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal untuk diserap dan dipergunakan
oleh tubuh. Kurang gizi banyak menimpa anak-anak khususnya anakanak
berusia di bawah 5 tahun, karena merupakan golongan yang rentan.
Jika kebutuhan zat-zat gizi tidak tercukupi maka anak akan mudah
terserang penyakit.
Macam-macam penyakit akibat dari Gizi Kurang dan Gizi Buruk
adalah sebagai berikut :
a. Marasmus
Dengan ciri-ciri : Tampak sangat kurus tinggal tulang terbungkus
kulit, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan
lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada, perut cekung, iga
gambang, sering disertai penyakit inveksi (kronis berulang), diare kronik
/ konstipasi / susah buang air besar (Supariasa, dkk, 2001:131).
b. Kwasiorkor
Dengan ciri-ciri : Udema, umumnya seluruh tubuh terutama pada
33
punggung dan kaki, wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu,
rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit dan rontok, perubahan status mental, apatis, rewel,
pembesaran hati, otot mengecil (hipertrofi) lebih nyata bila diperiksa
pada posisi berdiri atau duduk, kelainan kulit berupa bercak merah muda
yang luas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
(crazy pavemen dermatosis), sering disertai penyakit infeksi umumnya
akut, anemia dan diare (Supariasa, dkk, 2001:131).
c. Marasmus-Kwarsiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwarsiorkor dan marasmus, dengan BB/U < 50% baku median WHONCHS
disertai udema yang tidak mencolok (Supariasa, dkk 2001:131).
2.1.2.5 Fakor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita
Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Faktorfaktor
yang mempengaruhi status gizi dibagi menjadi dua yaitu secara
langsung dan tidak langsung.
Faktor yang mempengaruhi secara langsung :
Menurut Soekirman (2000:84) penyebab langsung timbulnya gizi
kurang pada anak adalah konsumsi pangan dan penyalit infeksi. Kedua
penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya gizi
kurang tidak hanya karena kurang makanan tetapi juga karena adanya
penyakit infeksi, terutama diare dan ispa. Anak yang mendapatkan
makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya
dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh
34
makanan cukup dan seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah.
Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu
makan sehingga anak kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak
menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung anak dapat menjadi
kurus dan timbulah kejadian kurang gizi.
Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung :
1) Pola Asuh Gizi
Pola Asuh Gizi merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi konsumsi makanan pada bayi. Dengan demikian pola
asuh gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan faktor
tidak langsung dari status gizi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pola asuh gizi sudah dijelaskan diatas diantaranya: tingkat pendapatan
keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, jumlah
anggota keluarga dan budaya pantang makanan.
2) Psikologi
Menurut Sarwono Waspadji (2003:116) psikologi seseorang
mempengaruhi pola makan. Makanan yang berlebihan atau kekurangan
dapat terjadi sebagai respons terhadap kesepian, berduka atau depresi.
Dapat juga merupakan respons terhadap rangsangan dari luar seperti
iklan makanan atau kenyataan bahwa ini adalah waktu makan.
3) Genetik
Genetik menjadi salah satu faktor dari status gizi. Hal ini
dijelaskan oleh Ali Khomsan (2003:90) pada anak dengan status gizi
35
lebih atau obesitas besar kemungkinan dipengaruhi oleh orang tuanya
(herediter). Bila salah satu orang tua mengalami gizi lebih atau obes
maka peluang anak untuk mengalami gizi lebih dan menjadi obes sebesar
40%, dan kalau kedua orang tua mengalami gizi lebih atau obes maka
peluang anak meningkat sebesar 80%. Selain genetik atau hereditas ada
faktor lain yang mempengaruhi yaitu lingkungan, dimana lingkungan ini
mempunyai pengaruh terhadap pola makan seseorang.
4) Pelayanan Kesehatan
Penyebab kurang gizi yang merupakan faktor penyebab tidak
langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga
terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini
meliputi imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,
penimbangan anak, dan sarana lain seperti keberadaan posyandu dan
puskesmas, praktek bidan, dokter, dan rumah sakit (Soekirman 2000:85).
36
2.2 KERANGKA TEORI
Hubungan tidak langsung
Hubungan langsung
Sumber : Modifikasi penulis disesuaikan dari bagan UNICEF (1998). The State of
the World`s Children 1998. Oxford Univ. Press dalam Soekirman, 2000
Gambar 1
Kerangka Teori
Tingkat
Pendidikan
Tingkat
Pengetahuan
Status Gizi
Konsumsi
Makanan
Pola Asuh Gizi
Infeksi
Akses untuk
menjangkau
Pel.Kes
Budaya
Pantang
Makanan
Tingkat
Pendapatan
Praktek pemb.
Mak./min.
prelaktal
Praktek
pemberian
kolostrum
Praktek
pemberian
ASI
Praktek
pemberian
MP-ASI
Praktek
penyapihan
Jumlah
Anggota
Keluarga
Psikologi
Genetik
37
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 KERANGKA KONSEP
Status gizi di pengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor
penyakit infeksi, faktor konsumsi pangan, faktor pola asuh gizi, faktor
psikologi, faktor genetik dan faktor keterjangkauan pelayanan kesehatan
(Soekirman, 2000:83).
Disini tidak semua faktor diteliti. Faktor yang diteliti sebagai variabel
bebas adalah pola asuh gizi, variabel terikatnya adalah status gizi sedangkan
sebagai variabel pengganggunya adalah penyakit infeksi.
Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel terikat
: Variabel pengganggu
Gambar 2
Kerangka Konsep
Praktek pemb.
Makanan/minuman
prelaktal
Praktek pemberian
kolostrum
Praktek pemberian
ASI
Praktek penberian
MP-ASI
Praktek penyapihan
Status Gizi
Pola
Asuh
Gizi
Peny. Infeksi
38
3.2 HIPOTESIS
Dengan bertitik tolak pada landasan teori di atas maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
3.2.1 Semakin dini diberikan makanan/minuman prelaktal maka semakin
buruk status gizi balita.
3.2.2 Bayi yang diberi kolostrum memiliki status gizi lebih baik dibanding
yang tidak diberi kolostrum.
3.2.3 Semakin baik praktek pemberian ASI maka semakin baik status gizi
balita.
3.2.4 Semakin baik praktek pemberian MP-ASI maka semakin baik status
gizi balita.
3.2.5 Bayi yang disapih setelah umur dua tahun status gizinya lebih baik
dibanding bayi yang disapih sebelum umur dua tahun.
39
3.3 DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 3
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara
Pengukuran Klasifikasi Skala
1.
2.
3.
4.
Praktek
pemberian
makanan
/minuman
prelaktal
Praktek
pemberian
kolostrum
Praktek
pemberian
ASI
Praktek
pemberian
MP-ASI
Adalah tindakan ibu /
penolong persalinan
untuk pemberian
makan/minuman
kepada bayi baru lahir
selama ASI belum
keluar.
(Depkes RI,2000:2)
Adalah tindakan ibu
untuk memberikan
ASI yang keluar
pertama kali setelah
bayi lahir (4-7 hari)
berwarna kekuningkuningan
dan lebih
kental
(Depkes RI,2005:4)
Adalah praktek ibu
dalam memberikan
ASI kepada bayinya
pada usia 4 bulan
pertama.
(Depkes RI,1998:2)
Tindakan ibu untuk
memberikan makanan
tambahan sebagai
pelengkap dan
pendamping ASI.
(Diah Krisnatuti,dkk,
2000:15)
Wawancara
dengan
kuesioner
no.1 - 3
Wawancara
dengan
kuesioner
no.4
Wawancara
dengan
kuesioner no.
5-8
Wawancara
dengan
kuesioner no.
9 - 17
-Baik
= 7 < Skor ≤ 9
-Sedang
= 5 < Skor ≤ 7
-Kurang
= 3 ≤ Skor ≤ 5
- Diberi
= Skor 2
- Tidak beri
= Skor 1
- Baik
=9,5<Skor≤12
- Sedang
=6,5<Skor≤9,5
- Kurang
= 4<Skor≤6,5
- Baik
=21<Skor≤ 27
- Sedang
=15<Skor≤ 21
- Kurang
= 9<Skor≤ 15
Ordinal
Nominal
Ordinal
Ordinal
40
No
.
Variabel Definisi Cara
Pengukuran
Klasifikasi Skala
5.
6.
Praktek
penyapihan
Status gizi
Adalah tindakan ibu
untuk menghentikan
pemberian ASI secara
bertahab kepada
bayinya dan diganti
dengan
makanan pengganti
ASI.
(Savage,1997:105)
Adalah keadaan
kesehatan fisik
seseorang atau
sekelompok orang
yang ditentukan
dengan salah satu atau
dua kombinasi dari
ukuran-ukuran gizi
tertentu.
(Soekirman, 2000:66)
Wawancara
dengan
kuesioner
no.18
Diukur
dengan
antropometri
indeks BB/U.
-BB diukur
dengan
timbangan
dacin
-Umur dihitung
dengan bulan
- Belum
disapih
=Skor 2
- Disapih
=Skor 1
Indeks BB/U
- Gizi lebih >
120%
- Gizi baik >
80-120%
- Gizi kurang
60-79,9%
- Gizi buruk
< 60%
Nominal
Ordinal
3.4 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan hubungan dua variabel
yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Jenis penelitian ini bersifat
“eksplanatory research” (penelitian penjelasan) yaitu menjelaskan hubungan
antara variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh melalui pengujian
hipotesis. Berdasarkan fokus penelitian tersebut, maka metode penelitian
yang digunakan adalah survey dengan pendekatan Cross-Sectional yaitu
melakukan pengumpulan data yang menyangkut variabel bebas dan variabel
terikat pada suatu saat yang bersamaan (Soekidjo Notoatmojo, 2002:26).
41
3.4.1 Variabel Penelitian
3.4.1.1 Variabel Bebas
Variabel bebas yaitu pola asuh gizi, meliputi praktek pemberian
makanan atau minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek
pemberian ASI, praktek pemberian MP-ASI, dan praktek penyapihan.
3.4.1.2. Variabel Terikat
Variabel terikat yaitu status gizi pada anak balita.
3.5 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
3.5.1. Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 4–12 bulan
yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas Medang Kabupaten
Blora sejumlah 211 anak.
3.5.2. Sampel penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 4–12 bulan
yang terdaftar di posyandu Puskesmas Medang. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah peneliti dalam penentuan dan pemilihan sampel
penelitian.
Untuk menentukan besarnya jumlah sampel minimal yang
terdapat dalam populasi yaitu dengan rumus :
n=
1 N(d 2 )
N
+
42
Dimana :
N : Ukuran populasi
n : Ukuran sampel
d : Tingkat kepercayaan yang diinginkan yaitu 0,1 / 10 %.
(Soekidjo notoadmojo, 2002:92).
Sehingga didapat jumlah sampel sebagai berikut :
n = ( 2 ) 1 211 0,1
211
+
= 68
Berdasarkan karakteristik sampel maka sampel minimal yang
diambil sebanyak 68 anak dengan menggunakan teknik simple random
sampling.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :
1) Bayi umur 4–12 bulan yang mempunyai KMS dengan catatan hasil
penimbangan lengkap minimal 3 bulan terakhir sampai
dilaksanakannya penelitian.
2) Bayi lahir normal/tidak prematur.
3) Bayi dalam keadaan sehat (Tidak dalam keadaan sakit)
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Bayi yang diasuh selain ibunya
2) Subyek tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
3) Tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap sehingga sulit
dihubungi.
43
3.6 INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
3.6.1 Antropometri indeks BB/U
Alat yang digunakan untuk mengukur berat badan balita yaitu
timbangan dacin, dengan ukuran minimal 20 kg dan maksimal 25 kg.
Sedangkan untuk umur dihitung dengan bulan.
3.6.2 Wawancara dengan menggunakan kuesioner.
Kuesioner ini berupa sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh data atau informasi tentang anak balita dan pola asuh
gizi yang dilakukan ibu terhadap balita.
3.6.2.1 Validitas Instrumen
Alat ukur dikatakan valid atau sahih apabila mampu mengukur
apa yang diinginkan serta dapat mengungkapkan data dari variabel yang
diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukan
sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran
tentang variabel yang dimaksud.
Adapun untuk mengetahui tentang tingkat validitas instrumen
dilakukan uji coba responden yang selanjutnya dihitung dengan rumus
Korelasi Product Moment sebagai berikut :
r xy = ( )( )
{N X 2 ( X )2}{N Y 2 ( Y )2}
N XY X Y
Σ−ΣΣ−Σ
Σ−ΣΣ
44
Keterangan :
rxy : Koefisien Korelasi
ΣX : Jumlah skor item
ΣY : Jumlah skor total
N : Jumlah subyek
X2 : jumlah kuadrat skor item
Y2 : Jumlah kuadrat skor total.
(Suharsimi Arikunto,2002:146).
Untuk mengetahui tingkat validitas item-item tersebut adalah
dengan cara membandingkan hasil perhitungan validitas masing-masing
item dengan koefisien dengan koefisien korelasi sebagai berikut:
a. 0,00 – 0,199 : sangat rendah
b. 0,20 – 0,399 : rendah
c. 0,40 – 0,599 : sedang
d. 0.69 – 0,799 : kuat
e. 0,80 – 1,00 : sangat kuat
Dari hasil pengujian terhadap 3 item kuesioner mengenai praktek
pemberian makanan prelaktal , 4 item kuesioner mengenai praktek
pemberian ASI, dan 9 item kuesioner mengenai praktek pemberian MPASI
dinyatakan valid karena nilai xy r > tabel r .
3.6.2.2 Reliabilitas
Reliabilitas memiliki pengertian bahwa instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
45
instrumen itu sudah baik. Instrumen yang sudah dipercaya akan
menghasilkan data yang dapat dipercaya kebenarannya untuk
mengetahui reliabilitas dari penelitian dengan menggunakan rumus
alpha:
r11 = ⎥⎦

⎢⎣
⎡Σ
− ⎥⎦

⎢⎣

−2
2
1
1t
b
K
K
σ
σ
keterangan :
r 11 : reliabilitas instrumen
K : banyaknya butir pertanyaan / banyaknya soal
Σσb
2 : Jumlah varians butir
σt
2 : varians total
(Suharsimi Arikunto,2002:171)
Dari tabel perhitungan reliabilitas diperoleh nilai alpha untuk item
kuesioner praktek pemberian makanan prelaktal yang dinyatakan valid
adalah 0,813, sedangkan untuk item kuesioner praktek pemberian ASI
sebesar 0,849 dan untuk item kuesioner praktek pemberian MP-ASI
adalah 0,897, karena pada tingkat signifikan 5% dengan n = 50 diperoleh
tabel r = 0,444. Dengan demikian seluruh item pertanyaan pada kuesioner

praktek pemberian makanan prelaktal, praktek pemberian ASI, dan


praktek pemberian MP-ASI yang dianggap valid juga dinyatakan reliabel
untuk digunakan karena nilai 11 r > tabel r .
46
3.7 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan skunder.
3.7.1 Data primer diperoleh melalui :
3.7.1.1 Observasi untuk mengetahui status gizi yang diukur dengan
indeks BB/U dengan melakukan penimbangan langsung
menggunakan dacin.
3.7.1.2 Wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan
kuesioner. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik
responden (identitas ibu dan anak), praktek pemberian makanan
prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI,
praktek pemberian MP-ASI, dan praktek penyapihan.
3.7.2 Data skunder diperoleh melalui Puskesmas, berupa data jumlah
posyandu dan data mengenai jumlah balita usia 4–12 bulan.
3.8 TEKNIK ANALISIS DATA
Setelah semua data dikumpulkan, dilakukan tahap-tahap pengolahan
data yang meliputi :
1) Editing, merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang
diperoleh melalui wawancara.
2) Koding, merupakan langkah memberikan kode pada masing-masing
jawaban untuk memudahkan pengolahan data.
3) Tabulasi, merupakan pengelompokan data berdasarkan variabel yang
diteliti yang disajikan dalam tabel frekuensi.
47
3.8.1 Analisa Univariat
Analisa ini diperlukan untuk mendeskripsikan praktek pemberian
makanan/minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek
pemberian ASI, praktek pemberian MP-ASI, praktek penyapihan dan
status gizi pada balita usia 4–12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang.
3.8.2 Analisa Bivariat
Analisa ini diperlukan untuk menguji hubungan antara masingmasing
variabel bebas yaitu praktek pemberian makanan/minuman
prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI, praktek
pemberian MP-ASI, praktek penyapihan dan variabel terikat yaitu status
gizi.
Dalam analisa ini uji statistik yang digunakan adalah Chi Square.
Karena variabel yang diteliti berskala ordinal dan menggunakan lebih
dari dua kelompok sampel tidak berpasangan (Sopiyudin Dahlan 2004:5).
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Responden
1) Umur
Berdasarkan data penelitian dapat diketahui bahwa umur dari 68 balita
di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora yang menjadi
responden dalam penelitian ini memiliki tingkat umur antara 4 sampai dengan
12 bulan. Lebih jelasnya distribusi umur balita dalam penelitian ini dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.
Distribusi Umur Responden
No Rentang Umur Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
4 – 6 Bulan
7 – 9 Bulan
10 – 12 Bulan
14
14
40
20,59
20,59
58,82
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar
responden dalam penelitian ini yaitu 58,82% adalah balita dengan umur
antara 10 sampai dengan 12 bulan.
2) Jenis Kelamin
Berdasarkan data penelitian dapat diketahui jenis kelami dari balita
yang menjadi responden dalam penelitian ini berkisar sebagian besar adalah
49
laki-laki.
Lebih jelasnya distribusi jenis kelamin responden dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.
Distribusi Jenis Kelamin Responden
No Jenis Kelami Frekuensi Persentase (%)
1
2
Laki-laki
Perempuan
35
33
51,47
48,53
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar balita
yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki jenis kelamin laki-laki
(51,47).
4.1.2 Analisis Univariat
1) Praktek Pemberian Makanan/minuman Prelaktal
Praktek pemberian makanan/minuman prelaktal pada balita usia 4-12
bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006
berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil seperti disajikan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 6.
Distribusi Praktek Pemberian Makanan/Minuman Prelaktal
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
Baik
Sedang
Kurang
33
10
25
48,53
14,71
36,76
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
50
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini mendapatkan makanan/minuman prelaktal dalam kategori baik
(48,53%), sedangkan yang paling sedikit dalam kategori baik sedang
(14,71%).
2) Praktek Pemberian Kolostrum
Praktek pemberian kolostrum pada balita usia 4-12 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006 berdasarkan penelitian
yang dilakukan diperoleh hasil seperti disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 7.
Distribusi Praktek Pemberian Kolostrum
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1
2
Diberikan
Tidak diberikan
38
30
55,88
44,12
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini mendapatkan kolostrum (55,88%).
3) Praktek Pemberian ASI
Praktek pemberian ASI pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006 berdasarkan penelitian yang
dilakukan diperoleh hasil seperti disajikan dalam tabel berikut ini :
51
Tabel 8.
Distribusi Praktek Pemberian ASI
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
Baik
Sedang
Kurang
26
32
10
38,24
47,06
14,17
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini mendapatkan ASI dalam kategori Sedang (47,06%) sedangkan
paling sedikit mendapatkan ASI dalam kategori kurang (14,74%).
4) Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI
Praktek pemberian makanan pendamping ASI pada balita usia 4-12
bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006
berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil seperti disajikan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 9.
Distribusi Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1
2
3
Baik
Sedang
Kurang
10
39
19
14,17
57,35
27,94
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini mendapatkan makanan pendamping ASI dalam kategori Sedang
(57,35%) dan yang paling sedikit mendapat makanan pendamping ASI dalam
kategori baik (14,17%).
52
5) Praktek Penyapihan
Praktek penyapihan pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006 berdasarkan penelitian yang
dilakukan diperoleh hasil seperti disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 10.
Distribusi Praktek Penyapihan
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1
2
Belum disapih
Disapih
54
14
79,41
20,59
Jumlah 68 100
Sumber : Data Penelitian 2006
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini belum disapih (79,41%), selebihnya yaitu 20,59% sudah
disapih.
6) Status Gizi
Pengumpulan data tentang status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora dilakukan dengan antopometri
indeks BB/U yaitu pengukuran berat badan dan umur. Hasil indeks BB/U ini
selanjutnya dikonsultasikan dengan norma keadaan gizi untuk mengetahui
kategori status gizi dari masing-masing balita. Berdasarkan penelitian
diperoleh data status gizi seperti disajikan pada tabel berikut:
53
Tabel 11.
Distribusi Status Gizi Balita
No. Kategori Frekuensi Prosentase (%)
1.
2.
Kurang
Baik
31
37
45,59
54,41
Jumlah 68 100
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian
Tabel di atas menunjukkan bahwa paling banyak balita dalam
penelitian ini memiliki status gizi baik (54, 41%).
4.1.3 Analisis Bivariate
Uji bivariate dalam penelitian ini menggunakan rumus chi kuadrat
guna mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh gizi dengan status
gizi balita usia 4–12 tahun di wilayah Puskesmas Medang Kabupaten Blora
tahun 2006. Data pola asuh gizi dalam penelitian ini ditinjau dari praktek
pemberian makanan/minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum,
praktek pemberian ASI, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan
penyapihan.
1) Hubungan Praktek Pemberian Makanan/minuman Prelaktal dengan Status
Gizi
Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa dari sebagian besar balita
yang mendapatkan makanan/minuman prelaktal kurang status gizinya juga
kurang sedangkan balita yang mendapatkan makanan/minuman prelaktal baik
status gizinya juga baik. Lebih jelasnya hubungan antara prktek pemberian
makanan/minuman prelaktal dengan status gizi balita dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
54
Tabel 12.
Tabel Silang Praktek Pemberian Makanan/minuman Prelaktal dengan Status
Gizi
Makanan Prelaktal KuranSgt atus Gizi Baik Total
Kurang %F 2322..0305 34..0401 2356..0706
Sedang %F 57..0305 57..0305 1104..0701
Baik %F 45..0808 2429..0605 3438..0503
Total %F 3415..0509 3547..0401 16080.0.000
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 12 tersebut di atas menunjukkan bahwa dari
36,76% balita yang mendapatkan makanan prelaktal kurang, 32,35%
diantaranya memiliki status gizi kurang dan hanya 4,41% yang status gizinya
baik, dan dari 48,53% balita yang mendapatkan makanan prelaktal baik,
42,65% diantaranya status gizinya juga baik dan hanya 5,88% yang status
gizinya kurang. Dengan demikian menunjukkan bahwa baik tidaknya praktek
pemberian makanan prelaktal menentukan baik tidaknya status gizi seorang
balita.
Secara statistik adanya hubungan antara praktek pemberian makanan
prelaktal dengan status gizi balita tersebut dibuktikan dari hasil uji chi square.
Berdasar hasil perhitungan harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 < 0,05,
Dengan demikian dapat diputuskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pola asuh gizi ditinjau dari praktek pemberian makanan prelaktal
dengan status gizi balita. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh pula
koefisien kontingensi antara praktek pemberian makanan prelaktal dengan
55
status gizi balita sebesar 0,572. Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa
keeratan hubungan antara praktek pemberian makanan prelaktal dengan status
gizi balita sebesar 0,572 termasuk kategori cukup erat.
2) Hubungan Praktek Pemberian Kolostrum dengan Status Gizi
Hasil tabel silang menunjukkan bahwa balita yang mendapatkan
kolostrum status gizinya lebih baik dibanding balita yang tidak mendapatkan
kolostrum. Lebih jelasnya hubungan antara praktek pemberian kolostrum
dengan status gizi balita dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 13.
Tabel Silang Praktek Pemberian Kolostrum dengan Status Gizi
Kolostrum KuranSgt atus Gizi Baik Total
Tidak diberi F 23.00 7.00 30.00
% 33.82 10.29 44.12
Diberi %F 181.0.706 3440..1020 3558..8080
Total %F 3415..0509 3547..0401 16080.0.000
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 13 tersebut di atas menunjukkan bahwa dari
44,12% balita yang tidak diberi kolostrum, 33,82% diantaranya memiliki
status gizi kurang dan hanya 10,29% yang status gizinya baik, sedangkan dari
55,88% balita yang diberi kolostrum, 44,12% diantaranya status gizinya baik
dan hanya 11,76% yang status gizinya kurang. Dengan demikian
menunjukkan bahwa baik tidaknya praktek pemberian kolostrum ikut
menentukan baik tidaknya status gizi seorang balita.
Secara statistik adanya hubungan antara praktek pemberian kolostrum
56
dengan status gizi balita tersebut dibuktikan dari hasil uji chi square.
Berdasarkan hasil perhitungan harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 <
0,05, dengan demikian dapat daputuskan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pola asuh gizi ditinjau dari praktek kolostrum dengan status
gizi balita. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh pula koefisien phi antara
praktek pemberian kolostrum dengan status gizi balita sebesar 0,556 dan
termasuk kategori cukup erat.
3) Hubungan Praktek Pemberian ASI dengan Status Gizi
Hasil tabel silang menunjukkan bahwa dari sebagian besar balita yang
mendapatkan ASI kurang status gizinya kurang sedangkan balita yang
mendapatkan ASI baik satus gizinya juga baik. Lebih jelasnya hubungan
antara praktek pemberian ASI dengan status gizi balita dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 14.
Tabel Silang Praktek Pemberian ASI dengan Status Gizi
ASI Status Gizi
Kurang Baik
Total
Kurang %F 193.0.204 11..4070 1140..7010
Sedang F 19.00 13.00 32.00
% 27.94 19.12 47.06
Baik %F 34..0401 2333..0802 2368..0204
Total F 31.00 37.00 68.00
% 45.59 54.41 100.00
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 14 tersebut di atas menunjukkan bahwa dari
14,71% balita yang mendapatkan ASI dalam kategori kurang, 13,24%
57
diantaranya memiliki status gizi kurang dan hanya 1,47% yang status gizinya
baik, dari 47,06% balita yang mendapatkan ASI dalam kategori sedang,
27,94% diantaranya status gizinya kurang dan 33,8% yang status gizinya
baik, sedangkan dari 38,24% balita yang mendapatkan ASI dalam kategori
baik, 33,82% diantaranya satus gizinya baik dan hanya 4,41% yang status
gizinya kurang. Dengan demikian menunjukkan bahwa baik tidaknya praktek
pemberian ASI ikut menentukan baik tidaknya status gizi seorang balita.
Secara statistik adanya hubungan antara praktek pemberian ASI
dengan status gizi balita tersebut dibuktikan dari hasil uji chi square.
Berdasarkan hasil perhitungan harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 <
0,05, dengan demikian dapat daputuskan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pola asuh gizi ditinjau dari praktek pemberian ASI dengan
status gizi balita. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh pula koefisien
kontingensi antara praktek pemberian ASI dengan status gizi balita sebesar
0,499. Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara
praktek pemberian ASI dengan status gizi balita sebesar 0,499 termasuk
kategori cukup erat.
4) Hubungan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan Status
Gizi
Hasil tabel silang menunjukkan bahwa dari sebagian besar balita yang
mendapatkan makanan pendamping ASI dalam kategori kurang status gizinya
kurang sedangkan balita yang mendapatkan makanan pendamping ASI dalam
kategori baik satus gizinya juga baik. Lebih jelasnya hubungan antara praktek
58
pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 15.
Tabel Data Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi
MP - ASI KurangS tatus GiziB aik Total
Kurang %F 1257..0000 22..0904 1279..0904
Sedang %F 1204..0509 2356..0706 3579..0305
Baik %F ..0000 1104..0701 1104..0701
Total %F 3415..0509 3547..0401 16080.0.000
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 15 tersebut di atas menunjukkan bahwa dari
27,90% balita yang mendapatkan makanan pendamping ASI dalam kategori
kurang, 25,00% diantaranya memiliki status gizi kurang dan hanya 2,94%
yang status gizinya baik, dari 57,35% balita yang mendapatkan makanan
pendamping ASI dalam kategori sedang, 36,78% diantaranya status gizinya
baik dan 20,69% yang status gizinya kurang, sedangkan dari 14,71% balita
yang mendapatkan makanan pendamping ASI dalam kategori baik seluruhnya
memiliki status gizinya baik. Dengan demikian menunjukkan bahwa baik
tidaknya praktek pemberian makanan pendamping ASI ikut menentukan baik
tidaknya status gizi seorang balita.
Secara statistik adanya hubungan antara praktek pemberian makanan
pendamping ASI dengan status gizi balita tersebut dibuktikan dari hasil uji
chi square. Berdasarkan hasil perhitungan harga p-value yang diperoleh yaitu
59
0,001 < 0,05, dengan demikian dapat daputuskan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pola asuh gizi ditinjau dari praktek pemberian
makanan pendamping ASI dengan status gizi balita. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh pula koefisien kontingensi antara praktek pemberian
makanan pendamping ASI dengan status gizi balita sebesar 0,515. Dari hasil
tersebut dapat dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara praktek pemberian
makanan pendamping ASI dengan status gizi balita sebesar 0,515 termasuk
kategori cukup erat.
5) Hubungan Praktek Penyapihan dengan Status Gizi
Hasil tabel silang menunjukkan bahwa baik balita yang disampih
maupun yang belum disampih memiliki kecenderungan status gizi yang sama.
Lebih jelasnya hubungan antara praktek penyapihan dengan status gizi balita
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 16.
Tabulasi Silang Praktek Penyapihan dengan Status Gizi
Penyapihan KuranSgt atus Gizi Baik Total
Disapih F 9.00 5.00 14.00
% 13.24 7.35 20.59
Belum disapih F 22.00 32.00 54.00
% 32.35 47.06 79.41
Total F 31.00 37.00 68.00
% 45.59 54.41 100.00
Sumber : Data Penelitian 2006
Berdasarkan tabel 16 tersebut di atas menunjukkan bahwa dari
20,59% balita yang disapih, 13,24% diantaranya memiliki status gizi kurang
dan 7,35% yang status gizinya baik, sedangkan dari 79,41% balita yang
60
belum disapih, 32,35% diantaranya status gizinya kurang dan 47,06% yang
status gizinya baik. Dengan demikian menunjukkan bahwa praktek
penyapihan tidak ikut menentukan baik tidaknya status gizi seorang balita.
Secara statistik tidak adanya hubungan antara praktek penyapihan
dengan status gizi balita tersebut dibuktikan dari hasil uji chi square.
Berdasarkan hasil perhitungan harga p-value yang diperoleh yaitu 0,115 >
0,05, dengan demikian dapat daputuskan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pola asuh gizi ditinjau dari praktek penyapihan dengan
status gizi balita. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh pula koefisien phi
antara praktek penyapihan dengan status gizi balita sebesar 0,085. Dari hasil
tersebut dapat dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara praktek
penyapihan dengan status gizi balita sebesar 0,085 termasuk kategori sangat
lemah.
4.2 Pembahasan
Status gizi balita salah satunya pengaruhi oleh praktek pola asuh gizi
yang dilakukan dalam rumah tangga yang diwujudkan dalam tersedianya
pangan dan perawatan dan perkembangan anak. Menurut Ninik Asri.R (2005)
semakin tinggi pola asuh akan dikuti kenaikan status gizi. Secara lebih
spesifik praktek pola asuh tersebut meliputi pemberian makanan prelaktal,
kolostrum, pemberian ASI, pemberian makanan pendamping ASI dan praktek
penyapihan.
Secara nyata berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa praktek
61
pola asuh gizi yang terdiri dari pemberian makanan prelaktal, pemberian
kolostrum, pemberian ASI, dan pemberian makanan pendamping ASI
berhubungan secara signifikan dengan status gizi balita, sedangkan untuk
praktek penyapihan tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi
balita.
4.2.1 Hubungan Praktek Pemberian Makanan Prelaktal Dengan Status Gizi
Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara pola asuh gizi pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dari indikator pemberian makanan prelaktal dengan
status gizi balita ditunjukkan dari harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 <
0,05. Bentuk hubungan pemberian makanan prelaktal dengan status gizi balita
adalah hubungan positif yang ditunjukkan dari harga koefisien kontingensi
yang bertanda positif, artinya semakin baik praktek pemberian
makanan/minuman prelaktal (sebelum ASI keluar balita tidak diberi makanan
prelaktal) maka akan semakin baik pula status gizi balita.
Adanya hubungan pemberian makanan/minuman prelaktal dengan
status gizi balita ini memberikan gambaran lebih konkrit bahwa praktek
pemberian makanan prelaktal betul-betul harus dihindari sebab dengan
diberikan makanan prelaktal status gizi bayi menjadi menurun. Lebih lanjut
Savege (1997:37) menegaskan praktek pemberian makanan prelaktal ini
harus dihindari karena tidak perlu dan malah bisa membahayakan bagi bayi
dan ibu bayi. Adapun bahaya pemberian makanan prelaktal bagi bayi menjadi
62
tidak mampu mengisap susu dari payudara ibu, saluran pencernaan bayi
belum cukup kuat untuk mencerna makanan selain asi sehingga sering
menyebabkan diare, dan bayi menjadi bingung untuk mengisap puting ibu.
Sedangkan bagi ibu bendungan dan mastitis makin terjadi karena payu dara
tidak mengeluarkan ASI dan sering menjadi penyebab berhentinya praktek
penyusuan karena ibu kesulitan untuk menyusui. Lebih lanjut Depkes RI
(2000:2) menegaskan bahwa pemberian makanan prelaktal bagi bayi sangat
berbahaya bagi kesehatan bayi karena dapat menggangu keberhasilan
menyusui.
4.2.2 Hubungan Praktek Pemberian Kolostrum Dengan Status Gizi Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara pola asuh gizi pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dari indikator pemberian kolostrum dengan status
gizi balita ditunjukkan dari harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 < 0,05.
Bentuk hubungan pemberian kolostrum dengan status gizi balita adalah
hubungan positif yang ditunjukkan dari harga koefisien phe yang bertanda
positif, artinya semakin baik praktek pemberian makanan prelaktal maka akan
sebakin baik pula status gizi balita. Adanya hubungan pemberian kolostrum
dengan status gizi balita ini disebabkan kolostrum atau susu pertama banyak
mengandung vitamin, protein, dan zat-zat kekebalan tubuh yang penting bagi
kesehatan balita dari penyakit maupun infeksi. Pentingnya pemberian
kolostrum pada bayi ditegaskan oleh Depkes RI (2004:4) yang menyatakan
bahwa pemberian kolostrum penting untuk meningkatkan daya tahan bayi
63
terhadap penyakit karena kolostrom mengandung banyak protein, vitamin dan
zat kekebalan yang penting untuk kesehatan bayi dari berbagai penyakit
infeksi. Dr. Hamam Hadi (2005) menambahkan bahwa jumlah kolostrum
yang diproduksi, bervariasi tergantung dari isapan bayi pada hari-hari
pertama kelahiran, walaupun sedikit namun cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi bayi oleh karena itu, harus diberikan kepada bayi.
4.2.3 Hubungan Praktek Pemberian ASI Dengan Status Gizi Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara pola asuh gizi pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dari indikator pemberian ASI dengan status gizi
balita ditunjukkan dari harga p-value yang diperoleh yaitu 0,001 < 0,05.
Bentuk hubungan pemberian ASI dengan status gizi balita adalah hubungan
positif yang ditunjukkan dari harga koefisien kontingensi yang bertanda
positif, artinya semakin baik praktek pemberian ASI maka akan semakin baik
pula status gizi balita. Adanya hubungan pemberian ASI dengan status gizi
balita ini disebabkan ASI merupakan makanan sangat dibutuhkan balita
karena selain memenuhi kebutuhan gizi bagi balita, ASI juga mengandung
berbagai zat kekebalan yang dapat mempertinggi tingkat kesehatan balita.
Hasil penelitan ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
Theresia Spika Ningrum (2004) yang memperoleh simpulan bahwa praktek
pemberian ASI yang baik dapat mengurangi kejadian KEP pada balita usia 4–
12 bulan di Kelurahan Muktiharjo Kidul Kecamatan Pedurungan Kota
Semarang. Hasil penelitian di Bogor tahun 2001 dalam Depkes RI (2005)
64
menunjukan bahwa anak yang diberi ASI Eksklusif sampai usia 4 bulan tidak
ada yang menderita gizi buruk ketika mereka berusia 5 bulan. Dengan
penanggulangan terjadinya kekurangan gizi pada balita melalui salah satu
upaya pola asuh gizi yaitu praktek pemberian ASI yang baik maka diharapkan
adanya kejadian kurang gizi pada balita dapat terhindari.
4.2.4 Hubungan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI Dengan
Status Gizi Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara pola asuh gizi pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dari indikator pemberian makanan pendamping
ASI dengan status gizi balita ditunjukkan dari harga p-value yang diperoleh
yaitu 0,001 < 0,05. Bentuk hubungan pemberian makanan pendamping ASI
dengan status gizi balita adalah hubungan positif yang ditunjukkan dari harga
koefisien kontingensi yang bertanda positif, artinya semakin baik praktek
pemberian makanan pendamping ASI maka akan semakin baik pula status
gizi balita.
Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan yang
diberikan pada bayi setelah berumur 4-6 bulan sampai bayi berumur 24 bulan.
Kedudukan makanan pendamping ASI ini merupakan makanan tambahan
bagi bayi guna menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam
ASI, seiring dengan bertambahnya umur balita maka semakin meningkat pula
kebutuhan gizi balita. Hasil tersebut mendukung penelitian yang dilakukan
Theresia Spika Ningrum (2004), memperoleh simpulan bahwa pemberian
65
makanan pendamping ASI yang baik dapat mengurangi terjadinya KEP pada
balita usia 4–12 bulan di Kelurahan Muktiharjo Kidul Kecamatan Pedurungan
Kota Semarang.
Sampel dalam penelitian ini adalah balita usia 4-12 bulan dimana
dengan bertambahnya umur balita bertambah pula kebutuhan gizinya, oleh
karena itu balita sejak usia 4 bulan mulai diberi makanan pendamping selain
ASI, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita. Dalam pemberian
makanan pendamping ASI perlu diperhatikan waktu pemberian, frekuensi,
porsi, pemilihan bahan makanan, cara pembuatan dan cara pemberiannya.
Selain itu perlu juga diperhatikan pemberian makanan pada waktu anak sakit
dan bila ibu bekerja di luar rumah. Depkes RI (2005:1) menyatakan bahwa
pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat waktu (terlalu dini
atau terlalu lambat) serta tidak mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya
dapat mempengaruhi status gizi balita.
4.2.5 Hubungan Praktek Penyapihan Dengan Status Gizi Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pola asuh gizi pada balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dari indikator penyapihan dengan status gizi balita
ditunjukkan dari harga p-value yang diperoleh yaitu 0,115 > 0,05. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Amy Prahesti (2001),
yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara praktek penyapihan
dengan gangguan pertumbuhan pada anak usia 0-12 bulan.
Tidak adanya hubungan antara praktek penyapihan dengan status gizi
66
balita disebabkan pada umumnya praktek penyapihan pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora rata-rata di atas umur 24 bulan
sehingga dengan dihentikannya pemberian ASI pada balita tidak berpengaruh
secara nyata bagi status gizi balita sebab pada usia tersebut balita telah
terbiasa dengan pemberian makanan pendamping berupa bubur ataupun nasi
lunak serta sayuran sehingga kebutuhan gizi balita tetap tercukupi dari suplai
makanan tersebut. Pola penyapihan diatas sesuai dengan yang dianjurkan oleh
Depkes RI (1998:10) yang menyatakan bahwa anak memungkinkan disapih
jika telah berumur 24 bulan. Alasan penyapihan dilakukan pada anak berumur
lebih dari 24 bulan karena pada umur tersebut ASI masih diproduksi dalam
jumlah cukup, dan sesuai anjuran agama bahwa sebaiknya bayi disapih bila
telah mencapai umur 24 bulan.
67
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada Bab IV dapat diambil
simpulan:
1. Pola asuh gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang
Kabupaten Blora yang terdiri dari praktek pemberian makanan/minuman
prelaktal 48,53% baik, praktek pemberian kolostrum 55,88% diberikan,
praktek pemberian ASI 38,24% baik, praktek pemberian MP-ASI 57,35%
sedang dan praktek penyapihan 79,41% belum disapih.
2. Status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang
Kabupaten Blora 54,41% baik.
3. Ada hubungan positif antara praktek pemberian makanan/miniman prelaktal,
praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI, praktek pemberian
MP-ASI dengan status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Medang Kabupaten Blora dan tidak ada hubungan praktek penyapihan
dengan status gizi balita usia 4-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medang
Kabupaten Blora dengan nilai.
68
5.1 Saran
Tingginya angka prevalensi gizi kurang di kabupaten Blora dapat
dilihat pada tahun 2003 dan 2004 yang mengalami peningkatan dari 12,16%
menjadi 15,38%. Dan pada tahun 2005 terdapat 1,8% balita gizi buruk, 12,7%
balita gizi kurang. Hasil penelitian di Puskesmas Medang Kabupaten Blora dapat
diketahui prevalensi gizi kurang pada balita 45,59%. Sedang praktek pola asuh
gizi yang terjadi, diantaranya praktek pemberian makanan prelaktal 36,76%
kurang dan praktek pemberian kolostrum 44,12% tidak diberikan. Berdasarkan
kenyataan diatas saran yang dapat diajukan penulis adalah :
1) Adanya hubungan positif antara praktek pemberian makanan/minuman
prelaktal dengan status gizi (p=0,001, C=0,572) disarankan bagi petugas
Rumah Bersalin dan petugas Puskesmas yang menangani persalinan untuk
memberikan pengertian pada ibu agar tidak memberikan makanan/minuman
sebelum ASI keluar.
2) Adanya hubungan positif antara praktek pemberian kolostrum dengan status
gizi (p=0,001, C=0,485) disarankan bagi petugas Puskesmas untuk memasukan
penyuluhan tentang kolostrum kedalam program-program penyuluhan yang
sudah ada.
3) Adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh gizi dengan status gizi
disarankan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita untuk
lebih memperhatikan praktek pola asuh gizi yang diberikan pada balitanya
guna mencegah terjadinya gizi kurang pada balita usia 4-12 bulan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Ali Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta : Rajagrafindo
Persada
Achmad Dajaeni, S. 1999a. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta
: Dian Rakyat
2000b. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta : Dian
Rakyat
Amy Prahesti. 2001. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Gangguan Pertumbuhan
(Growth Faltering) pada Anak Usia 0-12 Bulan di Kecamatan
Sumowono Kabupaten Semarang. Skirpsi S-1. Universitas Diponegoro.
Catherine Lee. 1989. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta : Arcan.
Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping ASI. Jakarta
Depkes RI. 2005. Manajemen Laktasi. Jakarta
Depkes RI. 1998. Buku Pedoman ASI Eksklusif Bagi Petugas. Semarang
Depkes RI. 1992. Makanan sehat Balita dan Ibu Hamil. Jakarta

Status gizi dan perkembangan inteligensi

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM (Amarita dan Falah, 2004).

Kurang gizi khususnya Kurang energi protein (KEP) masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Prevalensi balita gizi kurang, balita kurus dan balita pendek masih
tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 prevalensi gizi kurang (BB/U <-2
SD WHO 2006) sebesar 18,4%, balita pendek ( TB/U <-2 SD WHO 2006) sebesar 36,8 %, dan
balita kurus (BB/TB <-2 SD WHO 2006) sebesar 13,6 %. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
prevalensi gizi kurang sudah menurun di mana lebih rendah dari target pembangunan kesehatan
Indonesia 2009 sebesar 20% dan Millenium Development Goals (MDGs) 2015 sebesar 18,5%,
namun prevalensi balita pendek dan balita kurus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
(Depkes RI, 2008).

KEP yang terjadi pada usia awal masa kanak-kanak akan memiliki dampak yang bersifat
permanen pada usia selanjutnya. KEP dapat mengakibatkan perubahan structural dan fungsional
otak  yang sebagiannya dapat bersifat permanen. Anak-anak dengan kekurangan gizi berat
memiliki kepala yang lebih kecil daripada anak yang normal berdasar hasil pemeriksaan
auditory-evoced potensials, dan tetap abnormal walaupun telah terjadi pemulihan dari stadium
akut (Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009).

Menurut Hadi (2005), masa balita ini menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa
yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi 6
bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas
dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gagal
tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada
kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat
mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak
stunted (UNICEF, 1998).

Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara gizi buruk pada usia
kanak-kanak dini dengan berkurangnya tingkat kecerdasan anak di kemudian hari. Watanabe et
al. (2005) menemukan pengaruh  yang signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada
peningkatan skor tes kognitif anak pendek/stunted. Mendez & Adair (1999) yang melakukan
penelitian  di Filipina menemukan bahwa anak yang pendek sejak lahir sampai usia 2 tahun
memiliki skor kognitif yang rendah dibandingkan dengan anak yang normal pada usia 8 dan 11
tahun.

Pengertian Kecerdasan

Menurut Binet dan Simon dalam Azwar, (2008) bahwa inteligensi atau kecerdasan terdiri atas
tiga komponen, yaitu a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan-
tindakan, b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah
dilaksanakan, dan c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.

Binet juga beranggapan bahwa inteligensi bersifat monogeneik, yaitu berkembang dari satu
faktor satuan atau faktor umum. Intelegensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus
berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Binet juga menggambarkan
inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk
mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasarkan suatu criteria tertentu.

Jadi untuk melihat apakah seseorang cukup cerdas atau tidak dapat diamati dari cara dan
kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya itu apabila perlu, Inilah yang dimaksud
dengan komponen arah, adaptasi, dan kritik. Salah satu cara yang digunakan untuk menyatakan
tinggi-rendahnya tingkat kecerdasan adalah dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi ke dalam
angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila
dibandingkan  secara relative terhadap suatu norma.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan

Faktor genetik :

Faktor genetik merupakan modal dasar untuk dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh
kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas pertumbuhan. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal

Secara biologis, individu berkembang dari dua sel benih yaitu sel telur (ovum) yang ada pada ibu
dan sel sperma yang berasal dari ayah yang akan membuahi sel telur. Sperma dan sel telur
masing-masing berisi 23 kromosom, yaitu struktur yang berisi faktor-faktor herediter. Di dalam
setiap kromosom terdapat struktur yang lebih kecil yang disebut sebagai gen. Gen inilah yang
sesungguhnya menjadi penentu sifat-sifat unik yang akan diturunkan seperti warna mata, warna
rambut dan kulit (Azwar,2008).

Komorita dkk dalam Azwar, (2008) menyimpulkan bahwa hereditas menetapkan batas
perkembangan yang dapat dilakukan oleh lingkungan. Bagaimanapun juga besarnya stimulus
lingkungan yang diterima oleh organism yang bersangkutan tidak dapat melampaui batas yang
telah ditetapkan oleh faktor keturunan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bukti adanya pewarisan inteligensia berasal dari
penelitian  yang menghubungkan  IQ orang dari berbagai tingkatan genetik. Eysenck (1981)
disitasi oleh Azwar,(2008) melaporkan hasil studi awal yang dilakukan di Inggris oleh Herman
dan Hogben, yang melakukan penelitian kembar MZ, kembar DZ berjenis kelamin berbeda dan
saudara sekandung biasa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata IQ sebesar
9,2 point pada 65 pasangan kembar MZ, 17,7 point pada 96 pasang kembar DZ berjenis kelamin
sama dan 17,9 point pada 138 pasang kembar DZ berlainan jenis kelamin. Bila dinyatakan dalam
korelasi maka korelasi IQ antara kembar MZ dalam studi Herman dan Hogben sebesar 0,84 dan
untuk kembar DZ sebesar 0.47. dari analisa lanjutan mengatakan bahwa 80 % variasi total IQ
disebabkan oleh faktor genetik.
Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.
Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang
kurang baik akan menghambatnya. Menurut Atkinson dkk, kondisi lingkungan yang
menentukan  potensi intelegensia individu akan berkembang antara lain ; gizi, kesehatan, kualitas
stimulus (rangsangan), iklim emosional di rumah, dan jenis umpan balik yang ditimbulkan oleh
perilaku (Sobur,2003).

1.)  Status Gizi

Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat.
Makanan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas akan menyebabkan gizi kurang.
Keadaan gizi kurang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.

Menurut Georgieff (2007), Otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang
luar biasa antara minggu ke 24 dan minggu 42 setelah konsepsi. Sel-sel otak mulai terbentuk
pada trimester pertama kehamilan,dan  berkembang pesat sejak dalam rahim. Perkembangan ini
berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 atau 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama.
Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru
untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi  dan pertumbuhan otak
berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.

Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin, sehingga jumlah
sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen. Sedangkan kekurang gizi pada usia anak
sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel
glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak
sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.

Gizi kurang pada usia di bawah 2 tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga
anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-
85%.

Sejumlah penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi prenatal dan
pascanatal dini pada tikus menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak hewan tersebut,
kendati perubahan ini akan membaik pada saat tikus diberi makanan kembali. Namun demikian,
beberapa perubahan dianggap permanen dan perubahan yang permanen tersebut meliputi
penurunan jumlah myelin dan jumlah dendrite kortikal dalam medulla spinalis serta peningkatan
jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf  (Baker-Henningham & Grantham-McGregor,
2009)

Pertumbuhan susunan syaraf ini dapat dikatakan berlangsung dengan cepat sekali selama dalam
kandungan dan 3 sampai 4 tahun setelah dilahirkan. Selama dalam kandungan susunan syaraf
yang terutama tumbuh cepat adalah jumlah dan ukuran sel syaraf. Setelah bayi lahir maka
pertumbuhan susunan syaraf lebih terarah pada perkembangan sel syaraf yang belum
berkembang. Setelah anak berusia lebih dari 4 tahun, pertumbuhan susunan syaraf berlangsung
lebih lambat (Hurlock, 2008).

Ketika dilahirkan otak bayi beratnya satu per delapan dari berat tubuh seluruhnya, pada usia 10
tahun berat otak akan satu per delapan belas berat tubuh, dan pada usia 15 tahun berat otak akan
satu pertigapuluh berat tubuh pada usia dewasa akan mencapai berat satu perempat puluh berat
tubuh seluruhnya. Pola pertumbuhan ini berlaku baik bagi cerebrum maupun cerebellum. Selama
dua tahun pertama kehidupannya, pertumbuhan berat otaknya rata-rata paling cepat.

Stuart dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral dan
zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA
di susunan saraf. Hal itu berakibat terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi sel
otak terutama usia di bawah 3 tahun, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
mental dan kecerdasan anak. Walter tahun 2003 melakukan penelitian terhadap 825 anak dengan
malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan anak
yang mempunyai gizi baik.

2.) Stimulasi
Perkembangan psikis seseorang tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam dirinya, tetapi
juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri anak tersebut. Oleh karena itu
lingkungan sosial harus mendukung perkembangan anak melalui pemberian berbagai stimulasi.
Bila anak mendapatkan stimulasi maka ia akan mengembangkan kemampuannya dalam batas-
batas yang diberikan oleh keluarga atau lingkungannya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi
perkembangan yang sehat (Monks et a!., 2006).

Stimulasi memegang peranan sangat penting dalam memaksimalkan kecerdasan anak. Stimulasi
diperlukan agar hubungan antarsel syaraf otak (sinaps) dapat berkembang. Penting untuk diingat
bahwa sinaps akan menghilang secara spontan bila tidak digunakan (Sophia, 2009).

Interaksi yang harmonis antara anak dengan anggota keluarga akan menimbulkan keakraban
dalam keluarga. Anak akan terbuka pada orang tuanya sehingga setiap permasalahan dapat
dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak.
Kualitas interaksi yang baik akan menimbulkan pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing
dan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi rasa saling menyayangi
(Soetjiningsih, 1995).

Anak mempunyai kebutuhan untuk belajar. Berbagai stimulasi melalui pancainderanya seperti
mendengar, melihat, merasa, mencium dan meraba, yang diberikan selama awal kehidupan
mempunyai pengaruh yang besar pada pertumbuhan dan maturasi otak.

Hal ini ditunjukkan oleh program stimulasi yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan,
memperbaiki koordinasi gerakan otot, meningkatkan lama konsentrasi dan meningkatkan Inte!!
igence Quotion (IQ) bayi sebanyak 15 poin. Terdapat bukti eksperimental yang menyatakan
bahwa tikus yang dibesarkan dalam lingkungan stimulasi dengan penuh kegembiraan dan
permainan mempunyai sel otak ekstra 50.000 pada setiap sudut hipokampusnya dibandingkan
dengan tikus yang dibesarkan dalam kandang biasa. Ketika tikus ditempatkan di treadmill,
menyebabkan sel otak mereka memproduksi faktor pertumbuhan yang menstimulasi
pertumbuhan dendrit dan perluasan jaringan saraf. Pertumbuhan neuron tidak hanya terjadi pada
bagian otak yang mengontrol fungsi motorik tapi juga pada bagian yang mengontrol kognitif
(Singh, 2003).

Penelitian yang dilakukan Watanabe et al,.(2005) di Vietnam menunjukkan bahwa peranan


stimulus dan intervensi gizi secara bersama-sama sangat penting dalam meningkatkan skor tes
kognitif anak-anak yang menderita gizi kurang.  Anak-anak gizi kurang yang diberikan
intervensi gizi dan stimulus memiliki tes skor kognitif yang lebih tinggi daripada anak yang
hanya diberikan intervensi gizi saja.

Sedangkan Purwandari, dkk (2008), yang melakukan penelitian tentang intelegensia pada anak
yang disapih sebelum dua tahun dan sesudah dua tahun menunjukkan bahwa rangsangan
intelektual menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap intelegensia anak. Anak-anak yang
mendapatkan rangsangan intelektual baik memiliki proporsi intelektual yang lebih baik daripada
anak-anak dengan rangsangan intelektual jelek.

3.)                                                      Pendidikan ibu

Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Ibu yang
berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar tentang cara pengasuhan anak
yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995).
Penelitian lain menemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan
perkembangan anak. Penelitian Muljati et al. (2002) juga menemukan hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan ibu dengan perkembangan mental anak batita gizi kurang.

Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik
tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara ibu dan anak. Tanpa
kedua hal tersebut pendidikan ibu yang tinggi tidak serta merta dapat mempengaruhi
perkembangan terlebih kepedulian ibu terhadap tumbuh kembang anak minim.

4.)                                                      Pekerjaan ibu

Ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Pekerjaan yang
mengharuskan ibu untuk keluar rumah menyebabkan kurangnya interaksi antara ibu dan anak.
Hal ini mengakibatkan kurangnya stimulasi yang diberikan kepada anak sehingga dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembangnya.
Pekerjaan ibu menimbulkan permasalahan yang dilematis. Pada satu sisi seorang ibu terkadang
dituntut untuk ikut membantu perekonomian keluarga. Sementara di sisi lain proses tumbuh
kembang anak juga memerlukan perhatian yang khusus. Oleh karena itu seorang ibu harus
bersikap bijak dalam menentukan prioritas yang akan dipilih, tanpa mengabaikan hak anak untuk
mendapatkan kasih sayang.

5.)                                                      Status ekonomi

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek dan
ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga dalam menyediakan
berbagai fasilitas bermain menyebabkan otak anak kurang mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat
menghambat perkembangannya (Depkes, 2007).

Menurut Davidof (1991), efek kemiskinan terhadap inteligensi antara lain : kemiskinan sering
dihubungkan dengan kepadatan, kebisingin, ketegangan dan kondisi hidup yang berubah.
Dengan kondisi seperti ini anak-anak kurang memperoleh informasi baru yang teratur untuk
belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut sangat penting untuk perekembangan intelligensi anak.

Efek yang kedua adalah anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sedikit sekali
memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan diri dan
pengalamannya. Keterbatasan perbendaharaan kata-kata akan mempersempit pemikirannya dan
dapat mengakibatkan intelligensi menurun.

Selanjutnya adalah anak yang berasal dari orang tua miskin, kecil kemungkinannya untuk dapat
meluangkan waktu untuk memberikan pendidikan pengembangan kemampuan anak, dan sering
mereka tidak mengetahui caranya, karena keterbatasan pendidikannya.

1. Cara mengukur Kecerdasan

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan
adalah menerjemahkan hasil test intelegensia  ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk
mengenai  kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relative terhadap 
suatu norma. Angka normative dari hasil tes dinyatakan dalam bentuk rasio (quotient) dan
dinamai intelligence quotient (IQ) (Azwar,2008).

Istilah IQ diperkenalkan pertama kali pada tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi Jerman
bernama William Stern. Kemudian digunakan secara resmi pada tahun 1916 ketika Terman,
seorang ahli psikologi Amerika menerbitkan Revisi Binet. Angka IQ dihitung dari hasil tes
inteligensi Binet, yaitu dengan membandingkan skor tes yang diperoleh seorang anak dengan
usia anak tersebut. Pada waktu itu perhitungan IQ dilakukan dengan memakai rumusan ;

IQ = (MA/CA) x 100

Keterangan :

MA            = Mental Age (usia mental)

CA                        = Chronological age (usia kronologis)

100           = Angka konstan untuk menghindari bilangan decimal.

Pada saat ini ada beberapa tes IQ yang popular antara lain : Standford-Binet Intelligence Scale
untuk usia 3-14 tahun, The Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R) untuk
usia 6-16 tahun, The Wechsler Adult Intelligence Scale Revised (WAIS-R) untuk usia 16 sampai
64 tahun, The Standard Progressive Matrices (SPM) dan The Kaufman Assesment Battery for
Children (K-ABC) untuk anak usia 4 sampai 12,5 tahun (Azwar, 2008).

Dalam penelitian ini, tes kecerdasan yang akan digunakan adalah Standford-Binet Intelligence
Scale. Pemilihan tes didasarkan pertimbangan bahwa tes ini memiliki validitas yang tinggi dalam
menilai kerusakan otak yang bermakna atau retardasi mental. Tes ini juga bagus untuk menilai
memori jangka pendek. Selain itu kelompok umur penelitian yaitu umur 5-6 tahun  masuk ke
dalam kategori umur yang dapat menggunakan tes tersebut (Gregory, 1992).
Stanford-Binet Intelligence Scale: Fourth Edition merupakan versi terbaru yang diterbitkan pada
tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep intellegensi dikelompokkan menjadi empat tipe
penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes.  Keempat area penalaran itu adalah
penalaran verbal, abstrak/visual, kuantitatif dan memori jangka pendek (Gregory, 1992).

Materi-materi yang terdapat dalam Skala Stanford-Binet berupa sebuah kotak yang berisi
bermacam-macam benda mainan tertentu yang disajikan pada anak-anak, dua buah buku kecil
yang memuat cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan untuk mencatat jawaban dan skornya,
dan sebuah manual/petunjuk pelaksanaan pemberian tes (Azwar, 2008).

Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level usia mulai dari usia-II sampai
dengan usia dewasa-superior. Diantara usia-II dan usia-V, tesnya meningkat dengan interval
setengah tahunan. Diantara usia-V dan usia-XIV, level usia meningkat  dengan interval satu
tahunan. Level-level selanjutnya dimaksudkan sebagai level Dewasa-rata-rata  dan level
Dewasa-Superior I,II, dan III. Setiap level usia dalam skala ini berisi enam tes, kecuali untuk
level Dewasa-Rata-rata yang berisi delapan tes. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia
terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan perbedaan taraf
kesukaran yang kecil itulah disusun urutan soal dari yang paling mudah sampai kepada yang
paling sukar (Azwar, 2008).

Skala Stanford-Binet dikenalkan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh
pemeberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan
mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut. Penyajian tesnya sendiri mengandung
kerumitan yang spesifik bagi masing-masing individu yang dites. Tidak ada individu yang
dikenai semua soal dalam tes karena setiap subjek diberi hanya soal dalam tes yang berada dalam
cakupan level usia yang sesuai dengan level intelektualnya masing-masing (Azwar, 2008).

Untuk memperoleh angka IQ, skor pada skala Stanford-Binet dikonversikan dengan bantuan
suatu table konversi. IQ yang dihasilkan oleh skala ini merupakan IQ-deviasi yang mempunyai
rata-rata sebesar 100 dan deviasi standar sebesar 16.

Tabel 1. Distribusi IQ untuk Kelompok Standarisasi Tes Binet Tahun 1937 (Dari Garrison dan
Magoon 1972)

IQ Persentase Klasifikasi
160-169150-159 0,03 Sangat superior

140-149 0,20

1,10
130-139120-129 3,10 Superior

8,20
110-119 18,10 Rata-rata tinggi

100-10990-99 23,50 Rata-rata normal

23,00
80-89 14,50 Rata-rata rendah

70-79 5,60 Batas lemah

60-6950-59 2,00 Lemah mental

40-49 0,40

30-39 0,20

0,03

Sumber : Azwar (2008) halaman 59

1. B. Pengaruh Status Gizi Terhadap Kecerdasan Anak


Otak terbagi menjadi 2 belahan yaitu sisi kiri dan sisi kanan yang disebut hemisfer kiri dan
hemisfer kanan. Hemisfer kiri terutama bertanggung jawab dalam hal logika, pemikiran,
pengertian, analitis, bahasa dan matematis. Hemisfer kanan bertanggung jawab untuk
perkembangan karakteristik artistik seperti musik, menari, melukis, puisi, emosi, persepsi,
kreatif, pemikiran intuitif dan spritual. Berbagai aktivitas yang menstimulasi kedua hemisfer
secara bersamaan akan mendorong perkembangan inteligen secara global. Sementara itu
hipokampus berfungsi untuk interaksi sosial, emosi dan memori (Singh, 2003).

Kualitas perkembangan otak manusia tergantung pada interaksi antara potensi genetik dan
faktor-faktor lingkungan seperti asupan gizi, stimulasi dan sikap orang tua. Sel-sel otak lebih
sensitif terhadap zat gizi dari pada sel-sel tubuh yang lain. Otak adalah organ fisik yang sangat
berharga, pusat segala eksistensi kita seperti inteligen, kepribadian, emosional, akal, spiritual dan
jiwa. Tidak ada yang lebih utama untuk meraih kesuksesan hidup dari pada fungsi otak yang
optimal. Kita dapat mengoptimalkan fungsi saraf dalam otak melalui kecukupan zat gizi dan
melalui aktivitas mental dan fisik. Terdapat lebih dari 100 milyar jaringan saraf dalam otak yang
integritasnya tergantung pada asupan zat gizi yang cukup dan juga aktivitas mental dan fisik
(Singh, 2003).

Defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi,
neurokimia dan neurofisiologi dari perkembangan otak. Pengaruh pada anatomi otak termasuk
pada neuron dan sel pendukung seperti oligodendrosit, astrosit dan mikroglia. Tergantung pada
waktu dan lamanya defisiensi, akan mengurangi jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan
sinapsis. Oligodendrosit adalah sel glia yang memproduksi myelin dan bergantung pada substrat
zat gizi makro untuk metabolisme energinya. Oligodendrosit juga berfungsi memasukkan asam
lemak ke dalam myelin. Astrosit berfungsi untuk menghantarkan zat gizi. Mikroglia adalah sel
yang penting untuk migrasi neuron dari bagian tengah tabung saraf ke korteks serebri. Oleh
karena itu defisiensi zat gizi makro dapat mengakibatkan hipomyelinasi dan lebih jauh lagi
mengurangi hantaran zat gizi dan migrasi neuron yang abnormal selama awal perkembangan
otak. (Georgieff, 2006).

Menurut Baker-Henningham & Grantham-McGregor (2009) ada dua hipotesa penting yang
menjelaskan bagaimana defesiensi gizi dapat mempengaruhi perkembangan mental anak.
Hipotesa pertama yang disebut sebagai “ isolasi fungsonal’. Dalam teori ini bahwa karakteristik
perilaku anak-anak gizi kurang menurunkan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini
yang selanjutnya berdampak pada pada perkembangan yang buruk. Anak kecil yang berat
badannya kurang dan bertubuh pendek ternyata dapat menunjukkan perubahan perilaku. Anak-
anak tersebut memperlihatkan aktivitas yang menurun, lebih rewel dan tidak merasa bahagia,
serta tidak begitu menujukkan rasa ingin tahu jika dibandingkan anak-anak yang gizinya.
Perilaku ini yang diyakini mempengaruhi perkembangannya.

Hipotesa lainnya mengatakan bahwa keadaan gizi kurang mengakibatkan perubahan structural
dan fungsional pada otak. Protein dan energi mendukung perkembangan otak yang cepat. Otak
membutuhkan protein untuk sintesis deoxyribonucleic Acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA),
produksi neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit sehingga
fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein menyebabkan kehilangan struktur
dendrit dan gangguan pada dendrit tulang belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan
hipokampus yang berfungsi sebagai pusat memori (Georgieff, 2006).

Pengaruh neurokimia dari Kekurangan Energi dan Protein (KEP) adalah perubahan sintesis
neurotransmiter dan jumlah reseptornya. KEP juga mempengaruhi neurofisiologi yaitu
kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan impuls saraf. Secara langsung merubah
metabolisme neuron atau secara tidak langsung merubah struktur neuron atau homeostasis
neurotransmiter (Georgieff, 2006).

Sejumlah penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa keadaan malnutrisi prenatal dan
pascanatal dini pada tikus menimbulkan banyak perubahan dalam struktur otak hewan tersebut,
kendati perubahan itu akan membaik pada saat tikus itu diberi makan kembali. Namun demikian,
beberapa perubahan dianggap permanen meliputi jumlah myelin dan jumlah dendrite kortikal
dalam medulla spinalis serta peningkatan jumlah mitokondria dalam sel-sel neuron syaraf. Anak-
anak dengan malnutrisi berat memiliki kepala yang lebih kecil dan hasil pemeriksaan auditory-
evoced potentials yang abnormal, serta tetap abnormal sekalipun telah terjadi pemulihan dari
stadium akut. Anak-anak yang pendek memiliki ukuran kepala yang kecil, dan lingkar kepala
pada usia kanak-kanak dapat memprediksikan nilai IQ pada perkembangan usia kanak-kanak
selanjutnya(Baker-Henningham & Grantham-McGregor, 2009)
Sedangkan beberapa penelitian observasional dan longitudinal menujukkan bahwa keadaan gizi
kurang yang terjadi setiap saat dalam usia dibawah 36 bulan pertama biasanya disertai efek
jangka panjang. Grantham, et al. (1991)  melakukan penelitian eksperimen pada anak stunted
usia 9-24 bulan. Anak diberi susu formula sebanyak 1 kilogram (kg) per minggu selama 2 tahun.
Sebanyak 129 anak dirandom untuk masuk kelompok suplementasi saja, kelompok stimulasi saja
serta kelompok suplementasi dan stimulasi. Kelompok anak yang tidak stunted juga diikutkan
dalam penelitian ini. Pemberian suplementasi bersama dengan stimulasi meningkatkan
perkembangan mental anak

Watanabe et al. (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui efek jangka panjang dari
intervensi gizi dan stimulasi dini perkembangan anak usia 4-5 tahun terhadap perkembangan
kognitifnya pada usia 6,5-8,5 tahun. Subjek berasal dari 2 kelompok yaitu subjek yang pernah
mendapatkan intervensi gizi saja dan subjek yang mendapatkan intervensi gizi dan program
stimulasi dini perkembangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa skor tes kognitif
lebih tinggi pada kelompok subjek yang pernah mendapatkan intervensi gizi dan stimulasi dini
perkembangan dari pada kelompok subjek yang hanya mendapatkan intervensi gizi saja.

Mendez & Adair (1999) mengatakan bahwa gizi kurang pada bayi dan awal kehidupan
diperkirakan memiliki efek negatif terhadap perkembangan kognitif. Anak yang stunted pada
usia 2 tahun pertama kehidupan, pada usia 8 dan 11 tahun mempunyai skor tes kognitif yang
signifikan lebih rendah dari pada anak nonstunted terutama bila severe stunted. Liu et al. (2004)
melakukan penelitian tentang kurang gizi pada usia 3 tahun dan dampaknya terhadap masalah-
masalah perilaku pada usia 3, 11 dan 17 tahun di Mauritius, Afrika. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa kurang gizi berpengaruh terhadap kekurangan neurokognitif, di mana jika terus
belangsung akan berdampak pada masalah-masalah perilaku sampai usia dewasa.

Namun beberapa penelitian lainnya tidak menemukan hubungan yang signifikan antara status
gizi dengan perkembangan kognitif. Purwandari et al (2008) melakukan penelitian tentang
hubungan usia penyapihan dengan intelegensia pada anak TK. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa stunted bukan merupakan faktor resiko dari rendahnya intelegensia pada anak. Penelitian
ini lebih menekankan bahwa rangsangan intelektual merupakan faktor resiko rendahnya tingkat
intelegensia, di mana anak yang mendapatkan rangsangan intelektual baik maka tingkat
intelegensianya lebih tinggi.

Sementara Suhartono et al (2008) juga melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan


perkembangan anak gizi buruk masa lalu di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Penelitian
mengumpulkan anak yang menderita gizi buruk masa lalu dan dilakukan pengukuran
pertumbuhan dan perkembangannya saat ini. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada
hubungan status gizi masa lalu dengan pertumbuhan anak saat ini, tetapi tidak ada hubungan
bermakna dengan perkembangan anak saat ini.

This entry was posted on July 10, 2009, 2:30 pm and is filed under tumbuh kembang anak. You can follow any
responses to this entry through RSS 2.0. You can leave a response, or trackback from your own site.

http://docs.google.com/gview?url=http%3A%2F%2Fgeografi.ums.ac.id%2Febook%2FProposal
%20Penelitian%20Kajian
%20Pustaka.doc&docid=39f2cf95789e513d313b80216f273058&a=bi&pagenumber=3&w=756
Contoh Skripsi
Posted on January 23, 2008 by yudhim

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dua potong berita dari harian POS KOTA dan Trans TV mengusik perhatian saya dan
membekaskan rasa miris berkepanjangan. Pertama, berita yang termuat pada 1 Maret 2007,
yakni “ Ahmad Algofari (18), pelajar SMA Desa Cilebut Timur, Sukaraja, Bogor, tangannya
tertebas pedang hingga buntung dalam tawuran di Kampung Cilebut. Tawuran tersebut diduga
sebuah upaya balas dendam para pelajar…”. Kedua, berita yang termuat pada Cerita Pagi Trans
TV hari senin pukul 08.00 tanggal 26 Maret 2007, yakni “Terjadi perkelahian massal antara
SMK Kartika Jaya dan SMK 4 yang juga melibatkan sejumlah mahasiswa. Sejumlah pelajar
menyebutkan perkelahian ini terkait dengan perselisihan antarpelajar yang terjadi sebelumnya.”
Salah satu persoalan yang menyita perhatian para guru di zaman kini adalah jika siswanya
terlibat perkelahian atau tawuran. Kedua potongan berita di atas menunjukan bahwa persoalan
kekerasan yang dilakukan oleh pelajar bukan lagi persoalan jagad pendidikan di Jakarta, Ibukota
negara, tetapi di daerah-daerah atau di banyak pelosok negeri ini. Para guru dan pengelola
kependidikan di mana pun dan jenjang apa pun dibayangi kemungkinan mesti menghadapi
persoalan-persoalan para siswanya, baik yang memulai perkelahian maupun yang sekedar
menjadi korban.
Alasan-alasan yang muncul dari para siswa yang terlibat itu biasanya bernada klise seperti
membela teman, didahului, solider, membela diri, atau merasa dendam. Penyebab tersembunyi
banyak tawuran adalah rasa bermusuhan yang diwariskan secara turun temurun dari angkatan ke
angkatan berikutnya.
Pelajar atau siswa yang terlibat dalam tawuran pelajar adalah mereka yang masih duduk
disekolah menengah dan usia mereka tergolong masih remaja. Masa remaja adalah usia transisi,
ahli psikologi menganggap masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak kemasa dewasa,
yaitu terjadinya perubahan psikis dan fisik secara sederhana dan umum menurut ukuran
masyarakat maju, masa remaja itu lebih kurang antara 13 tahun dan 21 tahun.
Pemuda sebagai pelajar adalah modal bagi terlaksananya tujuan ke masa depan. Selain itu
pemuda juga merupakan tombak perubahan zaman dan jawaban sebuah peradaban, seperti yang
dikemukakan oleh ulama besar Hasan Al-Bana sebagaimana di kutip oleh koesmarwati bahwa
pemuda adalah pilar kebangkitan, setiap kebangkitan pemuda adalah rahasia kekuatannya. Pada
setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.
Remaja selaku tunas bangsa akhir-akhir ini semakin menarik semua kalangan baik dari kalangan
orang tua, guru maupun anggota masyarakat. Di media massa baik cetak maupun elektronik
banyak membicarakan remaja yang suka mencuri, remaja yang suka minum beralkohol dan
remaja yang melakukan perkelahian terutama perkelahian pelajar antarsekolah.
Masalah tawuran pelajar adalah masalah yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan terutama
diwilayah DKI Jakarta hampir setiap media massa yang ada di kota Jakarta memberitakan
permasalahan tawuran pelajar. Terlebih lagi belakangan ini kasus tawuran pelajar telah banyak
menimbulkan kerugian berbagai pihak dan mencemaskan para orang tua, karena takut akan
membawa kehancuran pada diri remaja itu sendiri dan masyarakat luas. Oleh karena itu semua
pihak terutama para orang tua dan guru sibuk memikirkan bagaimana cara mengatasi tawuran
pelajar tersebut dan menghindarkan mereka dari faktor-faktor yang mengarah pada tindakan –
tindakan itu.
Dengan demikian dapat disinyalir bahwa tawuran pelajar yang terjadi akhir-akhir ini
menunjukan peningkatan permasalahan yang sangat signifikan dan memprihatinkan, karena
bukan hanya menimbulkan korban yang luka ringan tetapi juga korban yang meninggal dunia,
baik dari kalangan pelajar itu sendiri maupun yang terkena diakibatkan tawuran pelajar tersebut.
Di sisi lain perilaku dan akhlak sebagai siswa sangat jauh disparitas antara cita dan dan fakta.
Data menunjukan kenakalan dan tawuran semakain memprihatinkan, penyalahgunaan narkoba
sudah sampai pada tahap membahayakan, pergaulan bebas dan gaya hidup permisivisme
semakin meningkat, kebiasaan bergerombolan dipinggir jalan dan mejeng-mejeng dipusat
perbelanjaan (Mall) telah menjadi hal yang biasa, semua ini menjadi bukti ada yang salah dalam
proses kegiatan yang dilakukan para siswa disekolahnya.

Mengantisipasi perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam era globalisasi, aspek kualitas
keimanan dan ketakwaan yang perlu dibangun pada setiap diri siswa tidak terbatas pada sisi
jasmani dan mental kecerdasan saja, akan tetapi meliputi kemampuan siswa menapis (filter)
pengarah perubahan zaman. Kekuatan daya tapis ini banyak ditentukan dari tingkat penghayatan
dan pengamalan keimanan serta ketakwaan kepada Allah SWT yang telah dimiliki masing-
masing siswa.
Kualitas keimanan, ketakwaan dan keagamaan berfungsi meringankan dan membebaskan
manusia yang terlibat konflik kejiwaan dari tekanan penderitaan dan juga memberikan
ketenangan, kekuatan batin dan kecerahan. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. HC Link yaitu
tak ada manusia yang dapat memberikan sesuatu yang dapat dibandingkan dengan apa yang
diberikan oleh Agama pada anda. Beruntunglah anda mempunyai agama untuk menjadi sandaran
Rohani.
Untuk mencegah terjadinya tawuran pelajar, kegiatan yang berada disekolah harus ditingkatkan
terutama pada kegiatan dakwah yang menjadikan diri siswa tersebut terlepas dari tindakan-
tindakan yang merugikan diri siswa itu sendiri. Contoh dari kegiatan Dakwah Sistem Langsung
(DSL) tersebut yang dilakukan para siswa: Kegiatan Ceramah Jum’at Keputrian,Pengajian Kelas,
Mentoring, Sholat Jum’at, Tadarus Al-Qur’an, Pendalaman Materi, Latihan Marawis, Nasyid
maupun Qosidah.
Berdasarkan gambaran pokok pikiran tersebut, penulis ingin melakukan suatu kegiatan penelitian
secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “ Upaya Pencegahan Tawuran Pelajar Melalui
Kegiatan Dakwah: Studi Pada Dakwah Sistem Langsung (DSL) SMKN 8 Jakarta”.

PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH


Agar pembahasan tidak terlalu meluas, penulis merasa perlu memberikan batasan serta rumusan
permasalahan sebagai berikut :
Batasan Masalah
Untuk mempermudah didalam memahami skripsi ini, penulis membatasi bagaimana Upaya
Pencegah Tawuran Pelajar Melalui Kegiatan Dakwah dengan pendekatan Dakwah Sistem
Langsung (DSL) di SMKN 8 Jakarta .
Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas, maka penulis merumuskan sebagai berikut :
Bagaimana pendekatan metode Dakwah Sistem Langsung (DSL) dalam upaya pencegahan
tawuran pelajar di SMKN 8 Jakarta?
Bagaimana analisis pengembangan kegiatan dakwah yang dilakukan di SMKN 8 Jakarta dalam
upaya pencegahan tawuran pelajar dengan menggunakan analisis SWOT?

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN


Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apa saja pendekatan metode yang digunakan dalam upaya pencegahan
tawuran pelajar melalui kegiatan DSL
Untuk mengetahui analisis dakwah sistem langsung dengan menggunakan analisis SWOT pada
SMKN 8 dalam upaya pencegahan tawuran pelajar.
Kegunaan Penelitian
Dapat diketahui dengan sistematis mengenai upaya pencegahan tawuran pelajar melalui kegiatan
dakwah terutama mengatasi tawuran pelajar, hal ini diharapakan akan memberikan pengaruh
yang positif bagi siswa.
Dapat menjadi masukan bagi para orang tua, guru dan pihak-pihak yang terkait serta
memberikan motivasi untuk lebih berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan dakwah sistem
langsung terhadap anak dan siswa yang bermasalah.
Untuk menambah Khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Manajemen Dakwah
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial siswa yang teliti, serta
usaha menambah informasi dalam menyusun skripsi ini maka penulis menggunakan beberapa
metode, antara lain :
Metode penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif. Adapun pengertian dari penelitian kualitatif adalah menurut Bagdan dan Taylor (1975)
seperti yang dikutip Lexy J. Moleong dalam bukunya ialah bahwa penelitian kualitatif adalah
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Penetapan Lokasi Penelitian
Adapun lokasi data penelitian ini adalah di SMKN 8 Jakarta Jln. Raya Pejaten Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Tlp. 021-7996493

Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang saya lakukan mulai dari tanggal 14 Mei 2007 sampai dengan tanggal 28
Mei 2007
Unit Analisis
Yang dimaksud dengan unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan
akan menjadi subjek penelitian. Dalam penelitian ini unit analisis yang dimaksud adalah guru
pembimbing atau koordinator kegiatan Dakwah Sistem Langsung (DSL) di SMKN 8 Jakarta.
Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang penulis butuhkan berdasarkan permasalahan maka penulis
menggunakan instrumen pengumpulan data sebagai berikut:
Wawancara, yang dimaksud adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Di lakukan guna untuk memperoleh informasi dan keterangan langsung dari
informan. Dalam hal ini penulis mewawancarai pihak yang terkait yakni seperti guru
pembimbing atau koordinator kegaitan Dakwah Sistem Langsung (DSL) serta pihak lainnya
yang bisa membantu dalam melengkapi skripsi ini.
Observasi, yakni memperhatikan secara akurat, mencatat yang muncul dan mempertimbangkan
hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Yang dilakukan guna untuk mengamati dan
mencatat kondisi objek dengan melihat pelaksanaan kegiatan dakwah sistem langsung (DSL).
Telaah pustaka, berupa pengumpulan data dan informasi dari sumber tertulis yang memiliki
hubungan dengan masalah yang sedang diteliti berupa buku, majalah, koran, dan sebagainya.

Sumber Data
Sumber data adalah subjek utama dalam meneliti masalah diatas untuk memperoleh data-data
konkrit, adapun sumber data dalam penelitian ini adalah:
Sumber Data Primer: yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah guru
pembimbing atau koordinator kegiatan Dakwah Sistem Langsung (DSL).
Sumber Data Sekuknder: yang menjadi sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-
buku dan berbagai literatur yang berhubungan dengan aktivitas peranan kegiatan dakwah sistem
langsung dalam upaya pencegahan tawuran pelajar.

Analisa Data
Yang dimaksud dengan analisa data adalah “proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan di interpretasikan”. Setelah data-data yang diperlukan terkumpul dengan
menggunakan proses induktif. Di katakan induktif karena peneliti tidak memaksakan diri untuk
hanya membatasi penelitian pada menerima atau menolak dugaannya, tetapi memahami situasi,
dengan situasi tersebut menampilkan diri.
Teknik Penulisan
Penulis gunakan pada buku Pedoman penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis dan desertasi) UIN
Syarif Hidayatullah tahun 2007.

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan ternyata ada
beberapa mahasiswa/I sebelumnya menulis dalam masalah yang hampir sama bahkan
menyerupai dengan judul yang akan penulis buat. Oleh karena itu, untuk menghindari dari hal-
hal yang tidak diinginkan seperti ”menduplikat” hasil karya orang lain, maka penulis perlu
mempertegas perbedaan antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas, yaitu sebagai
berikut :
“ Implementasi Program Mentoring Agama Islam Dalam Pemberdayaan Kualitas Keberagamaan
Remaja ” oleh YUSNIARNI / NIM 9954017602 / PMI 2005
Masalah : Temuan dan Analisa Implementasi Mentoring Agama Islam Dalam Pemberdayaan
Keberagamaan di SMKN 8 Jakarta.
Sedangkan judul skripsi penulis “ Upaya Pencegahan Tawuran Pelajar Melalui Kegiatan Dakwah
“ sekilas memang tampak hampir sama, namun kalau dilihat lebih dalam materi utama yang
dibahas sangat berbeda. Penulis membahas tentang bagaimana “Upaya Pencegahan Tawuran
Pelajar Melalui Kegiatan Dakwah dan apa faktor pendukung dan penghambat kegiatan dakwah
di SMKN 8 Jakarta “.

SISTEMATIKA PENELITIAN
Skripsi ini dibahas dalam lima bab, yaitu sebagai berikut :
Bab I : Merupakan Pendahuluan yang menjelaskan, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Sistematika Penulisan;.
Bab II : Dalam bab ini dibahas tentang Pengertian Tawuran Pelajar, Faktor-faktor Penyebab
Tawuran Pelajar, Tawuran Pelajar Sebagai Delinkuensi; dan Pengertian Dakwah, Pengertian
DSL, Kepentingan DSL, Pendekatan DSL.
Bab III: Dalam bab ini dibahas tentang gambaran umum SMKN 8 Jakarta: yang meliputi
Identitas Sekolah, sejarah dan perkembangan Dakwah Sistem Langsung (DSL) dan juga struktur
organisasi di SMK N 8.
Bab IV:Upaya Pencegahan Tawuran Pelajar Melalui Kegiatan Dakwah: Pelaksanaan Metode
Kegiatan DSL, Faktor Pendukung dan Penghambat, Analisa SWOT.
Bab V : Merupakan bab penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.

DAFTAR ISI

ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Metodologi Penelitian
Tinjauan Pustaka
Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TAWURAN PELAJAR DAN KEGIATAN


DAKWAH

Tawuran Pelajar
Pengertian Tawuran Pelajar
Faktor-faktor Penyebab Tawuran Pelajar
Tawuran Pelajar Sebagai Delinkuensi

Kegiatan Dakwah
Pengertian Dakwah
Pengertian Dakwah Sistem Langsung (DSL)
Kepentingan Dakwah Sistem Langsung (DSL)
Pendekatan Dakwah Sistem Langsung (DSL)

BAB III GAMBARAN UMUM SMKN 8 JAKARTA DAN DAKWAH


SISTEM LANGSUNG (DSL)

Identitas SMKN 8 Jakarta


Sejarah dan Perkembangan Dakwah Sistem Langsunng (DSL)
SMKN 8.
C. Struktur Organisasi

BAB IV UPAYA PENCEGAHAN TAWURAN PELAJAR MELALUI KEGIATAN DAKWAH


SMKN 8 JAKARTA

Melalui Pendekatan Metode Dakwah Sistem Langsung


1. kegiatan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
2. Kegiatan Mentoring
3. Kegiatan Mandiri
Analisa SWOT

BAB V PENUTUP

Kesimpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

http://my.yahoo.com/

http://reader.google.com/

http://360.yahoo.com

You might also like