Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
Istilah “unggulan daerah” belakangan ini makin sering ditemui di berbagai media
cetak dan dibicarakan di beragam media elektronik. Dalam konteks daerah, hampir
semua wacana mengesankan persepsi otomatis bahwa yang dimaksudkan
umumnya adalah “produk” unggulan suatu daerah. Walaupun begitu, definisi dan
penjabaran (termasuk “kriteria”) atas produk unggulan tersebut juga sangat
beragam.
Penggunaan suatu terminologi perlu mempertimbangkan semantiknya. Namun,
yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah konsekuensi atau
implikasi logisnya, karena menyangkut esensi pengertian dan kemanfaatan
pemakaiannya. Tentunya, keberterimaannya (acceptability) oleh masyarakat
pengguna pada akhirnya akan menentukan pemakaiannya.
Dalam konteks ini, walaupun pokok pikiran yang disampaikan dalam makalah ini
tidak ditujukan untuk “penyeragaman” pandangan tentang pengembangan
unggulan daerah, namun penulis berpendapat bahwa “kejelasan” tentang
pengertian istilah dan apa implikasi dari istilah yang digunakan tersebut sangat
penting. Sebagai contoh, apakah penetapan “produk unggulan daerah”
berimplikasi pada “pembedaan perlakuan/kebijakan yang diberikan”? Jika ya,
maka dari perspektif kebijakan publik, apa instrumen kebijakannya dan bagaimana
kebijakan tersebut diimplementasikan? Berbagai isu lain dan/atau isu lebih
mendalam akan muncul dan mungkin perlu mendapat kajian lebih lanjut.
Intinya, jika penggunaan istilah ini bukan sekedar fad, melainkan mencerminkan
sebuah konsensus dan komitmen para stakeholdernya, maka kejelasan pengertian
istilah yang digunakan menjadi makin krusial terutama sebagai pijakan bersama
dan kesepahaman yang menyatukan (unifying) serta alat efektif untuk
* )
Dr. Tatang A Taufik, MSc., Direktur Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat (P2KT PUDPKM) –
BPPT.
21
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
A. Pengertian
Unggulan daerah merupakan konsep dinamis yang mempunyai arti sebagai suatu
atau sehimpunan karakteristik/hal positif menonjol dan kompetitif dari suatu daerah
(misalnya: produk, klaster industri, kompetensi). Kata “unggulan” terkait dengan
karakteristik/hal positif yang diunggulkan karena sifat menonjol dan kompetitif.
Sedangkan kata “daerah” terkait dengan batasan lokasi/wilayah geografis atas
acuan tertentu.
Istilah “unggulan” dan “daerah” dalam hal ini memang sebenarnya mengandung
pengertian yang sangat kontekstual, terutama dari perspektif kebijakan. Istilah
unggulan dalam hal ini pada dasarnya bisa “bermakna ganda” sekaligus:
1. “terbukti unggul,” sehingga dibutuhkan kebijakan dalam mempertahankan
atau meningkatkan keunggulan daya saing yang telah dimiliki (dalam
literatur ekonomi misalnya, hal ini sering disebut “keunggulan kompetitif/
competitive advantage”);
1
Untuk bahasan yang lebih rinci, dapat dilihat dalam Taufik (Pendekatan Klaster Industri
dalam Pengembangan Unggulan Daerah: Telaah Konsep dan Gagasan Implementasi, akan terbit).
Yang menurut penulis penting dari gagasan tentang unggulan daerah ini adalah
bahwa kata “unggulan” mengandung makna operasional nilai tambah dan
produktivitas.
Unggulan mencakup beragam konteks tataran, baik tingkat bahasan maupun
cakupan. Sebagai contoh, “pembedaan” atas tingkat bahasan bisa berupa
tingkatan:2
mikro: fokusnya pada tingkat entitas atau unit bisnis/usaha tertentu dan
dengan faktor relevan pada tingkat ini;
meso: fokusnya pada tingkat himpunan entitas bisnis tertentu dan dengan
faktor relevan pada tingkat ini;3
makro: telaahan mencakup agregasi himpunan entitas bisnis dan dengan
faktor relevan pada tingkat ini (ekonomi makro); dan
meta: telaahan bersifat “luas” dan menyangkut sistem nilai dan faktor/aspek
multidimensi yang bersifat mendasar.
P2KT PUDPKM 23
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
P2KT PUDPKM 25
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
A. Pengertian
Kata “klaster (cluster)” mempunyai pengertian harfiah sebagai kumpulan,
kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki keserupaan
atau atas dasar karakteristik tertentu. Dalam konteks ekonomi/bisnis, “klaster
industri (industrial cluster)”9 merupakan terminologi yang mempunyai pengertian
khusus tertentu. Beberapa variasi definisi tentang klaster industri dapat dilihat pada
beberapa sumber di Daftar Kepustakaan. Berikut adalah beberapa contoh definisi
klaster industri.
Klaster industri adalah:
kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai
produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa,
atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD,
2000);
Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan
secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry
maupun related industry (Deperindag, 2000);
Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling
berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu
dengan lainnya dan/atau memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan,
teknologi dan infrastruktur (Munnich Jr., et al. 1999).
Jadi, klaster industri pada dasarnya merupakan jaringan dari sehimpunan industri
yang saling terkait (industri inti/core industries – yang menjadi “fokus perhatian,”
industri pendukungnya/supporting industries, dan industri terkait/related industries),
9
Pengertian “industri” di sini mempunyai arti luas sebagai himpunan bisnis tertentu, bukan
hanya industri pengolahan atau manufaktur saja.
P2KT PUDPKM 27
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
Nilai tambah dan keunggulan daya saing klaster industri secara keseluruhan
ditentukan oleh peran/kontribusi seluruh pelaku, baik sinergi tindakan bersama
(collective/joint action) maupun dinamika persaingan yang berkembang. Setiap
perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster industri, karena
keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan semata.
Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat esensial, namun dalam
persaingan global hal tersebut tidaklah cukup. Bukti empiris menunjukkan bahwa
keberhasilan mengembangkan klaster industri yang kuat dan dinamis akan
melahirkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Manfaat umum lain dari klaster industri adalah:
Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi;
Membantu pengembangan agenda bersama;
Membantu pencapaian skala ekonomi (economies of scale);
Memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi; dan
Membantu meringankan kekhawatiran persaingan antar-industri dengan
membangun rasa saling percaya dan kerjasama antar pelaku bisnis dalam
klaster.
Bagi pelaku ekonomi, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), pendekatan
klaster industri membantu upaya yang lebih fokus bagi terjalinnya kemitraan yang
saling menguntungkan dan pengembangan jaringan bisnis yang luas:10
Membuka peluang dan secara empiris sudah terbukti merupakan suatu alat
(means) yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran (skala bisnis)
UKM dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar
yang semakin kompetitif. Pendekatan ini membantu upaya yang lebih fokus
bagi terjalinnya jaringan bisnis, sehingga UKM individual dapat mengatasi
masalah akibat ukuran dan memperbaiki posisi kompetitifnya;
Melalui kerjasama horizontal (misalnya bersama UKM lainnya menempati
posisi yang sama dalam mata-rantai nilai/value chain) secara kolektif
perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui
jangkauan perusahaan kecil individual dan dapat memperoleh input
pembelian-curah (bulk-purchase) atau skala ekonomis, mencapai skala
optimal dalam penggunaan peralatan, dan menggabungkan kapasitas
produksi untuk memenuhi order skala besar;
Melalui kemitraan ataupun integrasi vertikal (dengan UKM lainnya maupun
dengan perusahaan besar dalam mata-rantai nilai), perusahaan-perusahaan
10
Lihat misalnya hasil kajian ADB SME Development TA (2001).
Selain itu, dari perspektif kebijakan teknologi, khususnya dalam konteks evaluasi,
kajian, dan/atau formulasi kebijakan, pendekatan klaster industri membantu para
stakeholder kunci terutama dalam:
1. Memberi kemudahan mensistematisasi kerangka
Pemahaman tentang sistem (klaster) yang ditelaah (karena
memfasilitasi kerangka proses pemodelan sistem yang komprehensif
namun fokus);
Evaluasi, kajian dan atau formulasi kebijakan;
P2KT PUDPKM 29
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
STRATEGI PERUSAHAAN,
CHANCE STRUKTUR DAN
PERSAINGAN (FIRM
STRATEGY, STRUCTURE,
AND RIVALRY)
KONDISI
KONDISI FAKTOR
PERMINTAAN(DEMAND
(FACTOR CONDITIONS)
CONDITIONS)
Pelajaran penting dalam hal ini menurut Porter adalah bahwa faktor-faktor
terpenting bagi keunggulan daya saing hampir semua industri (terutama
sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi) sebenarnya bukanlah yang
bersifat “alamiah/inherited” (basic factors) melainkan yang
diciptakan/dikembangkan secara tepat (advanced factors).11
11
Kecuali untuk beberapa industri seperti industri berbasis pertanian atau ekstraktif, atau
industri yang kebutuhan teknologi dan keterampilannya tidak terlalu tinggi.
P2KT PUDPKM 31
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
P2KT PUDPKM 33
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
Waktu
Keterkaitan Geografis
Cakupan geografis sebuah klaster industri dapat berukuran satu kota, kabupaten,
negara, ataupun berupa jaringan yang melibatkan beberapa negara yang
bertetangga.
12
Dalam konteks ini, penulis menganggap bahwa rantai nilai industri merupakan elemen
penting dalam konsep klaster industri.
P2KT PUDPKM 35
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
bekerja di “bidang usaha serupa”13, walaupun tak selalu menghasilkan produk yang
sama. Batasan geografis “tertinggi” yang digunakan umumnya adalah
desa/kelurahan. Di suatu desa mungkin saja terdapat satu atau lebih sentra
industri. Sebaliknya, suatu sentra industri tidak akan mencakup lebih dari satu
desa/kelurahan.
Walaupun beberapa faktor yang terkait dengan proses peningkatan nilai tambah
(value-adding process) menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan suatu
sentra, sentra industri tidak dibangun atas konsep rantai nilai (value chain) industri
keseluruhan sebagai suatu sistem sebagaimana yang dimaksud dalam konsep
klaster industri. Jadi konteks “industri” dalam sentra industri adalah himpunan
pelaku di sentra itu sendiri.
Diskusi tentang klaster industri di Indonesia tampak intensif terutama menjelang
akhir tahun 90-an. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)
menerbitkan “Strategi Industrialisasi Nasional” (Deperindag, 2000) yang berintikan
pendekatan klaster. Sebanyak 5 (lima) klaster industri diidentifikasi sebagai klaster
industri potensial yang dapat dikembangkan di Indonesia. Tim ADB TA SME
Development di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi dan
UKM (ADB TA, 2001) dalam kajiannya antara lain mengangkat praktek terbaik
(best practices) tentang pengembangan klaster industri dan jaringan bisnis sebagai
salah satu topik bahasan. Di pertengahan tahun 2000, beberapa makalah dalam
suatu seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Teknik dan Manajemen
Industri - Program Pascasarjana ITB antara lain mengangkat isu klaster industri
dalam konteks pembahasan kebijakan industri dan teknologi pasca krisis. Suatu
studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB (LP IPB, 2000) mengkaji
pengembangan industri mebel rotan Tegalwangi – Cirebon dengan konsep klaster
industri berdasarkan pendekatan “model diamond” Porter.
Dibanding dengan apa yang telah dilakukan oleh negara lain baik dalam tataran
konsep, strategi dan kebijakan, serta penerapannya, pendekatan klaster industri di
Indonesia dapat dikategorikan masih pada taraf yang sangat awal. Ini setidaknya
diindikasikan oleh masih sedikitnya kajian tentang ini dan relatif terbatasnya
“awareness” aktor penting (pelaku bisnis, pembuat kebijakan, pelaku litbangyasa
dan lainnya) tentang isu ini dalam beberapa kesempatan diskusi/dialog nasional
maupun di tingkat daerah yang pernah penulis ikuti.
13
Contohnya: di LIK (Lingkungan Industri Kecil) “TAKARU” Tegal, bidang bisnis utama
pelaku usaha adalah “metalworks,” dengan produk yang dihasilkan bervariasi.
Pada tahapan awal, seringkali diperlukan identifikasi dan analisis atas klaster
industri di suatu daerah. Beberapa alat analisis kuantitatif sering digunakan dalam
mengidentifikasi klaster industri atas data rinci (beberapa digit) berdasarkan SIC
(Standard Industrial Classification), seperti misalnya location-quotients, analisis
input-output, growth-share matrix yang dikembangkan oleh Boston Consulting
Group, dan lainnya.14
Empat tahapan umum pengembangan klaster industri dalam mengembangkan
ekonomi daerah adalah sebagai berikut (EDA, 1997):
1. Mobilisasi: Membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang
diperlukan untuk melaksanakan prakarsa.
2. Diagnosis: Mengkaji klaster industri yang “mencakup/meliputi” ekonomi
(daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster.
3. Strategi Kolaboratif: Menghimpun stakeholder “sisi permintaan” (seperti
perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder “sisi penawaran”
(termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam
14
Beberapa sumber membahas hal ini, lihat misalnya http://www.hhh.umn.edu/centers/slp/
edweb/cluster.htm
P2KT PUDPKM 37
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
15
European Association of Development Agencies (lihat http://www.eurada.org).
Penentuan SDM,
Sumber Dana &
Pelibatan
Sumber Daya Lain
Stakeholder
Pembelajaran & Kepemimpinan
Pengelolaan
Eksplorasi Tugas, SDM &
Hubungan
Pengum- Kemitraan Pengem- Peren-
dengan bangan canaan Imple-
Inisiasi pulan
Stakeholder Strategi Aksi mentasi
Pengem- Data Pengamanan
bangan Kesepakatan/
Tim Persetujuan
Pengelolaan Keterlibatan & Komunikasi
Mobilisasi
Stakeholder
Evaluasi
Sumber: http://www.eurada.org
5. KUNCI KEBERHASILAN
16
Lihat misalnya EURADA (http://www.eurada.org).
P2KT PUDPKM 39
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
Hal tersebut sangat penting bagi para stakeholder kunci untuk bekerja, belajar,
berbagi persoalan dan solusi kolektif, serta secara bersama mensinergikannya
bagi peningkatan inovasi dan pertumbuhan produktivitas.
Walaupun pertimbangan penggunaan pendekatan klaster berbeda dari satu kasus
ke kasus lainnya, saran dari EDA (1997) dapat merupakan pedoman umum dalam
hal ini khususnya bagi pembuat kebijakan. Pendekatan klaster industri dinilai
sesuai apabila (EDA, 1997):
The Right Economic Scale – Apa yang dipertimbangkan adalah daerah,
bukan sekedar komunitas atau suatu batas kewenangan administratif
tertentu.
The Right Economic Challenge – Adanya kebutuhan untuk merespon
restrukturisasi ekonomi, memperbaiki input yang diperlukan oleh industri,
dan membentuk proyek pembangunan secara efektif.
The Right Economic Focus – Adanya pertimbangan kebutuhan atas portfolio
klaster industri di daerah dan visi daerah, bukan semata satu industri atau
perusahaan.
The Right Leadership and Strategy Process – Adanya pemimpin dan
organisasi yang perduli akan ekonomi daerah dan siap untuk menggunakan
proses yang bersifat kolaboratif dan inklusif untuk melibatkan pelaku industri
dan lembaga lain.
The Right Capacity to Take Action – Adanya tradisi/semangat untuk bekerja
secara regional (dalam suatu daerah tertentu) untuk menghadapi tantangan
ekonomi dengan sumber daya keuangan dan teknis yang memadai, serta
kesiapan bekerjasama untuk memperoleh hasil bersama.
P2KT PUDPKM 41
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
klaster industri. Pohon industri dan TRM saling komplementer untuk merancang
skenario/perencanaan penguatan rantai nilai industri. Tak kalah pentingnya adalah
eksternalitas positif dari klaster menjadi salah satu pertimbangan pengembangan
infrastruktur dan/atau peran pemerintah lain yang lebih terarah, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pendekatan klaster industri memfasilitasi identifikasi dan
formulasi kebijakan yang makin selektif dan operasional sehingga bisa makin
efektif.
Implikasi Kebijakan
Ke te rkaitan &
Pe ndalaman Struktur
Sektoral
M is.: Pohon Industri
ASPEK
MULTIDIMENSI
LAIN
KLASTER
INDUSTRI
ASPEK ASPEK/
SPESIFIK KONTEKS
LOKAL GLOBAL
si
si
va
fu
In o
Di
tem
te m
Sis
Sis
Ske nario/
Pe re ncanaan Spe sifik
M is.: Technology
Roadmapping
Hal keempat biasanya merupakan titik awal kebijakan bagi pengembangan klaster
industri.
Pendekatan klaster industri sangat relevan bagi pengembangan unggulan daerah.
Hal ini didukung oleh keberhasilan pengalaman empiris di berbagai negara yang
mengindikasikan sangat relevannya pendekatan klaster industri bagi
pengembangan ekonomi daerah. Adanya kecenderungan kuat bahwa kebijakan
klaster industri sangat menonjol dikembangkan pada tingkat “daerah” bukan saja di
negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Di Amerika Serikat (AS)
misalnya, kebijakan klaster industri sangat intensif dikaji sebagai kebijakan daya
saing di negara-negara bagian (state).
Negara Bagian South Carolina - AS misalnya bahkan, memberlakukan undang-
undang negara bagian yang secara khusus menyangkut pengembangan klaster
industri sejak tahun 1996 (Bill # 4397, disebut Economic Development Industrial
Cluster Act of 1996).17 Kutipan berikut disampaikan sekedar untuk memberikan
gambaran tentang apa yang dipertimbangkan dan melandasi kebijakan ini (diambil
dari http://www.lpitr.state.sc.us/bil95-96/4397.htm):
Findings
SECTION 2. The General Assembly finds that:
(1) The economic well-being of the citizens of the State will be enhanced by
the increased development and growth of business within the State, and that
it is in the best interest of the State to induce the location or expansion of
business within the State in order to promote the public purpose of
creating new jobs within the State;
(2) This act will promote the creation of industrial clusters. These industrial
clusters will produce new and vibrant growth which will in turn expand
our economy through business interaction. These interactions will
17
Lihat misalnya http://www.lpitr.state.sc.us/bil95-96/4397.htm
P2KT PUDPKM 43
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
7. CATATAN PENUTUP
Pendekatan klaster industri bisa menjadi alat yang efektif bagi kebijakan
pembangunan ekonomi daerah (dan kebijakan lain terkait, khususnya kebijakan
teknologi) yang terpadu. Namun tentunya, perlu ditelaah lebih lanjut terutama
P2KT PUDPKM 45
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. ADB TA. 2001. Praktik Terbaik Mengembangkan Klaster Industri dan
Jaringan Bisnis. Policy Paper No. 8. ADB SME Development TA Indonesia.
Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM.
2. Beyers, William B., dan Peter B. Nelson. 1998. The Economic Impact of
Technology-Based Industries in Washington State In 1997. A Report
Prepared for the Technology Alliance, Seattle, WA.
3. CAE. 1997. Technological Entrepreneurship and Engineering in Canada.
Canadian Academy of Engineering. Background Report.
4. Ceglie, Giovanna, dan Marco Dini. 1999. SME Cluster and Network
Development in Developing Countries: The Experience of UNIDO.
International Conference on Building A Modern and Effective Development
Service Industry for Small Enterprises. Committee of Donor Agencies for
Small Enterprise Development. Rio de Janeiro. 2-5 March 1999.
5. Chambers, Robert dan James Blackburn. 1996. The Power of Participation:
PRA and Policy. IDS Policy Briefing. Issue Number 6. Institute of
Development Studies (IDS). August 1996. Dari
htpp://www.ids.ac.uk/ids/particip/.
6. CICAB. 1998. Partnership for Growth: Connecticut’s Economic
Competitiveness Strategy at a Glance. Connecticut’s Industry Cluster
Advisory Boards. February 1998.
7. Deperindag. 2000. Strategi Industri Nasional. Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.
8. DeVol, Ross C. 2000. Blueprint for a High-Tech Cluster: The Case of the
Microsystems Industry in the Southwest. Policy Brief. Number 17. Milken
Institute. August 8, 2000.
9. EDA. 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional
Competitiveness. Economic Development Administration (EDA). US
Department of Commerce. October 1997.
10. Fadel Muhammad. 2000. Industrial Policy Pasca Krisis Suatu Kebutuhan
Yang Mendesak. Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis.
P2KT PUDPKM 47
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL