You are on page 1of 28

PERSPEKTIF KEBIJAKAN:

PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI


DALAM PENGEMBANGAN
UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik*)

1. PENDAHULUAN

Istilah “unggulan daerah” belakangan ini makin sering ditemui di berbagai media
cetak dan dibicarakan di beragam media elektronik. Dalam konteks daerah, hampir
semua wacana mengesankan persepsi otomatis bahwa yang dimaksudkan
umumnya adalah “produk” unggulan suatu daerah. Walaupun begitu, definisi dan
penjabaran (termasuk “kriteria”) atas produk unggulan tersebut juga sangat
beragam.
Penggunaan suatu terminologi perlu mempertimbangkan semantiknya. Namun,
yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah konsekuensi atau
implikasi logisnya, karena menyangkut esensi pengertian dan kemanfaatan
pemakaiannya. Tentunya, keberterimaannya (acceptability) oleh masyarakat
pengguna pada akhirnya akan menentukan pemakaiannya.
Dalam konteks ini, walaupun pokok pikiran yang disampaikan dalam makalah ini
tidak ditujukan untuk “penyeragaman” pandangan tentang pengembangan
unggulan daerah, namun penulis berpendapat bahwa “kejelasan” tentang
pengertian istilah dan apa implikasi dari istilah yang digunakan tersebut sangat
penting. Sebagai contoh, apakah penetapan “produk unggulan daerah”
berimplikasi pada “pembedaan perlakuan/kebijakan yang diberikan”? Jika ya,
maka dari perspektif kebijakan publik, apa instrumen kebijakannya dan bagaimana
kebijakan tersebut diimplementasikan? Berbagai isu lain dan/atau isu lebih
mendalam akan muncul dan mungkin perlu mendapat kajian lebih lanjut.
Intinya, jika penggunaan istilah ini bukan sekedar fad, melainkan mencerminkan
sebuah konsensus dan komitmen para stakeholdernya, maka kejelasan pengertian
istilah yang digunakan menjadi makin krusial terutama sebagai pijakan bersama
dan kesepahaman yang menyatukan (unifying) serta alat efektif untuk

* )
Dr. Tatang A Taufik, MSc., Direktur Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pengembangan Unggulan Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat (P2KT PUDPKM) –
BPPT.

21
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

menciptakan/mengembangkan keselarasan dan sinergi positif arah dan gerak/


upaya (termasuk kebijakannya) yang akan dilakukan bersama. Tulisan ini
berangkat dari pandangan penulis yang menilai bahwa pengembangan unggulan
daerah merupakan isu strategis dalam konteks perbaikan pengembangan ekonomi
daerah dan dalam membangun kesiapan menghadapi era persaingan global.
Pokok pikiran yang tertuang dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai wacana untuk
mengembangkan common platform para stakeholder kunci yang terlibat dalam
pengembangan unggulan daerah, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Makalah ini membahas secara garis besar kerangka konsep pendekatan klaster
industri dalam pengembangan unggulan daerah, dalam perspektif kebijakan,
dengan penekanan khusus pada bidang ekonomi dan teknologi.1
Sehubungan dengan itu, makalah ini memuat tiga isu pokok bahasan. Pertama,
tulisan ini menawarkan “cara pandang” lain tentang pengembangan unggulan
daerah. Kedua, penekanan bahasan dalam makalah ini adalah konteks kebijakan,
khususnya pengembangan ekonomi daerah dan kebijakan teknologi. Ketiga,
konsep klaster industri ditawarkan sebagai pendekatan karena potensi nilai
kemanfaatannya baik dari segi konsep maupun sisi pragmatis implementasinya
untuk diterapkan di Indonesia umumnya dan/atau pada tingkat daerah (misalnya
kabupaten/kota) khususnya.

2. PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH

A. Pengertian
Unggulan daerah merupakan konsep dinamis yang mempunyai arti sebagai suatu
atau sehimpunan karakteristik/hal positif menonjol dan kompetitif dari suatu daerah
(misalnya: produk, klaster industri, kompetensi). Kata “unggulan” terkait dengan
karakteristik/hal positif yang diunggulkan karena sifat menonjol dan kompetitif.
Sedangkan kata “daerah” terkait dengan batasan lokasi/wilayah geografis atas
acuan tertentu.
Istilah “unggulan” dan “daerah” dalam hal ini memang sebenarnya mengandung
pengertian yang sangat kontekstual, terutama dari perspektif kebijakan. Istilah
unggulan dalam hal ini pada dasarnya bisa “bermakna ganda” sekaligus:
1. “terbukti unggul,” sehingga dibutuhkan kebijakan dalam mempertahankan
atau meningkatkan keunggulan daya saing yang telah dimiliki (dalam
literatur ekonomi misalnya, hal ini sering disebut “keunggulan kompetitif/
competitive advantage”);

1
Untuk bahasan yang lebih rinci, dapat dilihat dalam Taufik (Pendekatan Klaster Industri
dalam Pengembangan Unggulan Daerah: Telaah Konsep dan Gagasan Implementasi, akan terbit).

22 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
2. “berpotensi unggul” (atas karakteristik khusus tertentu, misalnya dalam
literatur ekonomi sering disebut “keunggulan komparatif/comparative
advantage”), sehingga dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan/
merealisasikan keunggulan daya saingnya.

Yang menurut penulis penting dari gagasan tentang unggulan daerah ini adalah
bahwa kata “unggulan” mengandung makna operasional nilai tambah dan
produktivitas.
Unggulan mencakup beragam konteks tataran, baik tingkat bahasan maupun
cakupan. Sebagai contoh, “pembedaan” atas tingkat bahasan bisa berupa
tingkatan:2
 mikro: fokusnya pada tingkat entitas atau unit bisnis/usaha tertentu dan
dengan faktor relevan pada tingkat ini;
 meso: fokusnya pada tingkat himpunan entitas bisnis tertentu dan dengan
faktor relevan pada tingkat ini;3
 makro: telaahan mencakup agregasi himpunan entitas bisnis dan dengan
faktor relevan pada tingkat ini (ekonomi makro); dan
 meta: telaahan bersifat “luas” dan menyangkut sistem nilai dan faktor/aspek
multidimensi yang bersifat mendasar.

Sedangkan tataran cakupan pengertian unggulan meliputi:


 produk: fokusnya sangat spesifik pada produk tertentu (barang dan/atau
jasa);
 rantai nilai industri: fokusnya pada rantai nilai (value chain) keseluruhan
suatu industri (klaster industri) sebagai suatu sistem;
 kompetensi: fokusnya pada keunikan sumber daya (alam dan buatan) dan
kapabilitas tertentu yang menentukan keunggulan daya saing berkelanjutan
suatu klaster industri.
Sementara itu, batasan bagi istilah “daerah” bisa beragam atas dasar acuan
tertentu (misalnya administratif pemerintahan, konsep perencanaan, atau kerangka
kebijakan tertentu).
2
Dalam literatur, pengklasifikasian tingkatan ini bervariasi. “Penjenjangan” yang lajim
dilakukan dalam bidang ekonomi umumnya juga dipergunakan sebagai salah satu cara
pengelompokan tingkatan demikian.
3
Dalam bidang ekonomi, secara “konvensional” tingkatan ini lebih dikenal dengan “tingkat
industri/sektor.” Konteks kebijakan khusus yang dihasilkan seringkali dikelompokkan pada dan
disebut kebijakan industrial/sektoral. Catatan: pendekatan klaster industri berpengaruh atas
konseptualisasi dan implementasi kebijakan ini.

P2KT PUDPKM 23
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

Penetapan “kriteria” selanjutnya perlu dilakukan sebagai pedoman bersama bagi


para stakeholder kunci, yang dinilai tepat dan operasional untuk digunakan dalam
menentukan unggulan daerah. Kesepakatan/konsensus para stakeholder kunci
atas konteks spesifik yang dapat dipahami bersama dengan jelas
(comprehensible) dan pragmatis merupakan faktor penentu bagi penggunaan yang
bermanfaat atas istilah unggulan daerah. Sekali lagi, “unggulan daerah”
merupakan konsep dinamis. Karenanya, apa yang disebut unggulan pada
kerangka waktu tertentu bisa berubah pada kerangka waktu yang berbeda. Makin
“rendah” tataran tingkat dan makin spesifik cakupannya, maka makin tinggi
kemungkinan dinamika perubahan unggulan daerah yang dimaksud.

B. Pengembangan Unggulan Daerah: Perspektif Kebijakan


Mengapa “harus ada” unggulan daerah? Pertanyaan ini “identik” dengan
pertanyaan mendasar tentang daya saing dalam konteks kesejahteraan ekonomi
bangsa/masyarakat. Dalam literatur ekonomi, khususnya ekonomi pembangunan,
kecenderungan akan makin pentingnya konteks “global” dan “lokal” sebagai hal
yang saling komplementer makin kuat (lihat misalnya beberapa literatur dalam
Daftar Kepustakaan).4 Daya saing5 global sebenarnya lebih ditentukan oleh “faktor
lokasional” (Silicon Valley, merupakan salah satu contoh “kisah klasik” yang sering
dirujuk).
Unggulan daerah mengindikasikan sumber bagi nilai tambah dan produktivitas
yang lebih tinggi karena kelebihan/kemenonjolan secara relatif atas faktor
lokasional yang dimiliki. Hal ini menjadi sumber potensial bagi pertumbuhan dan
perbaikan atas persoalan disparitas ekonomi. Karenanya sangat logis
mengharapkan berkembangnya unggulan daerah bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang makin adil.
Argumen generik dibutuhkannya unggulan daerah adalah karena nilai positif yang
bisa dihasilkan, terutama:
 Nilai tambah yang diperoleh karena keunggulan daya saing yang terbangun
(setidaknya secara bisnis/ekonomi).6, 7
4
Ini barangkali merupakan sebuah contoh pragmatisasi “think globally, act locally”
pengembangan unggulan daerah.
5
Dalam kaitan ini Michael E. Porter (1990) berpendapat bahwa satu-satunya konsep yang
bermakna tentang daya saing pada tingkat nasional sebenarnya hanyalah “produktivitas” nasional.
6
Misalnya nilai tambah ekonomi bagi pelaku bisnis, implikasi atas perolehan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan devisa, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, dan
sebagainya.
7
Teori perdagangan misalnya mengajarkan bahwa sistem ekonomi yang makin “terbuka”
akan makin menuntut spesialisasi dari para pelaku (sehingga mampu menjadi yang terbaik/unggul

24 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
 Adanya common platform bagi stakeholder untuk membangun upaya
sinergis yang positif yang lebih bertumpu pada hal positif yang dimiliki
(inherent), mengatasi kekurangan/kelemahan, memanfaatkan dan
mengembangkan peluang, serta menghadapi tantangan yang makin
kompleks dan dinamis.8
 Penggunaan/alokasi sumber daya dan pengembangan kapabilitas yang
lebih baik sesuai dengan potensi dan karakteristik setempat.

Pengembangan unggulan daerah mempunyai arti sehimpunan upaya yang


direncanakan dan dikelola untuk menciptakan, memelihara, dan/atau
meningkatkan unggulan suatu daerah. Untuk menghindari potensi “kerancuan
dan/atau tumpang-tindih” yang tak produktif, penggunaan istilah unggulan daerah
sebaiknya diletakkan/dipahami dalam konteks spesifik yang jelas. Dari perspektif
kebijakan, di antara pertanyaan/pertimbangan utamanya adalah apa implikasi dan
sejauh mana efektivitas kebijakannya.
Sebagaimana telah diketahui secara umum, prinsip utama yang melandasi setiap
formulasi kebijakan adalah bahwa mekanisme pasar yang sehat dan bekerja akan
melahirkan hasil ideal/yang diharapkan. Kebijakan/intervensi tertentu diperlukan
hanya jika hasil ideal/yang diharapkan tak mungkin tercapai semata hanya dengan
menyerahkan kepada mekanisme pasar yang ada. “Kegagalan pasar, kegagalan
pemerintah ataupun kegagalan sistemik” yang teridentifikasi dengan jelas akan
menjadi dasar bagi kebijakan tertentu yang efektif.
Oleh karena itu sebenarnya, dari perspektif kebijakan, maka konteks
pengembangan unggulan daerah akan menjadi relevan jika hasil ideal (yang
diharapkan) dari pengembangan unggulan daerah dinilai tidak mungkin terwujud
semata hanya dengan menyerahkan kepada mekanisme pasar yang ada (yang
dinilai “gagal” akibat kegagalan pasar, distorsi kebijakan ataupun kegagalan
sistemik).
Siapa yang dimaksud dengan stakeholder kunci dalam konteks pengembangan
unggulan daerah? Pada prinsipnya, mereka adalah sekelompok yang dinilai
“memiliki kepentingan tinggi” karena akan sangat mempengaruhi dan/atau sangat
dipengaruhi oleh upaya (= kebijakan) yang hendak diimplementasikan. Dalam hal
ini, paradigma yang dianut sangat mewarnai pola/skema pengembangan yang
direncanakan.
Dalam perkembangan model pembangunan dewasa ini, terdapat kecenderungan
pergeseran paradigma pada dua hal pokok yang perlu mendapat perhatian.
di bidangnya masing-masing) agar menghasilkan hubungan (dalam dinamika kerjasama dan
kompetisi) yang paling dan saling menguntungkan.
8
Secara teori maupun empiris, makin diakui bahwa tak ada individu, perusahaan,
daerah/negara yang mampu kompetitif/unggul dalam segalanya.

P2KT PUDPKM 25
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

Pertama, proses perencanaan berubah dari pola single planner (pemerintah


sebagai perencana dan pembuat kebijakan secara tunggal) ke participatory –
multiplanner (pemerintah bersama-sama dengan masyarakat merencanakan
kebijakan, walaupun secara “formal” pemerintah berperan sebagai pembuat
kebijakannya). Kedua, setiap kebijakan berporos pada semangat “pemberdayaan
sejati (genuine empowerment),” baik pemerintah maupun masyarakat. Makin
disadari pentingnya peran pemerintah yang lebih kepada peran fasilitatif dan
katalistik.

3. PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI

A. Pengertian
Kata “klaster (cluster)” mempunyai pengertian harfiah sebagai kumpulan,
kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki keserupaan
atau atas dasar karakteristik tertentu. Dalam konteks ekonomi/bisnis, “klaster
industri (industrial cluster)”9 merupakan terminologi yang mempunyai pengertian
khusus tertentu. Beberapa variasi definisi tentang klaster industri dapat dilihat pada
beberapa sumber di Daftar Kepustakaan. Berikut adalah beberapa contoh definisi
klaster industri.
Klaster industri adalah:
 kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai
produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa,
atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD,
2000);
 Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan
secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry
maupun related industry (Deperindag, 2000);
 Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling
berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu
dengan lainnya dan/atau memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan,
teknologi dan infrastruktur (Munnich Jr., et al. 1999).

Jadi, klaster industri pada dasarnya merupakan jaringan dari sehimpunan industri
yang saling terkait (industri inti/core industries – yang menjadi “fokus perhatian,”
industri pendukungnya/supporting industries, dan industri terkait/related industries),

9
Pengertian “industri” di sini mempunyai arti luas sebagai himpunan bisnis tertentu, bukan
hanya industri pengolahan atau manufaktur saja.

26 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
pihak/lembaga yang menghasilkan pengetahuan/teknologi (termasuk perguruan
tinggi dan lembaga penelitian, pengembangan dan rekayasa/litbangyasa), institusi
yang berperan menjembatani/ bridging institutions (misalnya broker dan
konsultan), serta pembeli, yang dihubungkan satu dengan lainnya dalam rantai
proses peningkatan nilai (value adding production chain).

B. Mengapa Klaster Industri?


Sejauh ini diyakini bahwa pengembangan/penguatan klaster industri merupakan
alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing
industri khususnya dan pembangunan daerah (regional development) pada
umumnya.
Setidaknya ada 5 (lima) konsep teoritis utama yang mendukung literatur tentang
klaster industri daerah, yaitu (lihat misalnya Bergman dan Feser, 1998): external
economies, lingkungan inovasi, kerjasama-kompetisi (cooperative competition),
persaingan antarindustri (interfirm rivalry), dan path dependence.
Studi yang dilakukan oleh Roelandt dan den Hertog (1998) menyimpulkan bahwa
karena tak ada dua daerah yang menghadapi tantangan yang persis sama dalam
beradaptasi terhadap perubahan ekonomi, maka para pemimpin pembangunan
ekonomi harus mencari suatu pendekatan yang dapat disesuaikan dengan
keadaan politik, ekonomi, dan sosial di daerah yang bersangkutan. Kerangka
klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi
secara efektif karena:
 Market-driven – berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan
penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif.
 Inclusive – mencakup perusahaan baik yang berskala besar, menengah,
maupun kecil, serta para pemasok dan lembaga-lembaga ekonomi
pendukung.
 Collaborative – sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah
oleh para partisipan yang termotivasi oleh interesnya masing-masing.
 Strategic – membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis
daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar
kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong
motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan.
 Value-creating – memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih
banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk
meningkatkan pendapatan daerah.

P2KT PUDPKM 27
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

Nilai tambah dan keunggulan daya saing klaster industri secara keseluruhan
ditentukan oleh peran/kontribusi seluruh pelaku, baik sinergi tindakan bersama
(collective/joint action) maupun dinamika persaingan yang berkembang. Setiap
perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster industri, karena
keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan semata.
Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat esensial, namun dalam
persaingan global hal tersebut tidaklah cukup. Bukti empiris menunjukkan bahwa
keberhasilan mengembangkan klaster industri yang kuat dan dinamis akan
melahirkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Manfaat umum lain dari klaster industri adalah:
 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi;
 Membantu pengembangan agenda bersama;
 Membantu pencapaian skala ekonomi (economies of scale);
 Memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi; dan
 Membantu meringankan kekhawatiran persaingan antar-industri dengan
membangun rasa saling percaya dan kerjasama antar pelaku bisnis dalam
klaster.

Bagi pelaku ekonomi, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), pendekatan
klaster industri membantu upaya yang lebih fokus bagi terjalinnya kemitraan yang
saling menguntungkan dan pengembangan jaringan bisnis yang luas:10
 Membuka peluang dan secara empiris sudah terbukti merupakan suatu alat
(means) yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran (skala bisnis)
UKM dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar
yang semakin kompetitif. Pendekatan ini membantu upaya yang lebih fokus
bagi terjalinnya jaringan bisnis, sehingga UKM individual dapat mengatasi
masalah akibat ukuran dan memperbaiki posisi kompetitifnya;
 Melalui kerjasama horizontal (misalnya bersama UKM lainnya menempati
posisi yang sama dalam mata-rantai nilai/value chain) secara kolektif
perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui
jangkauan perusahaan kecil individual dan dapat memperoleh input
pembelian-curah (bulk-purchase) atau skala ekonomis, mencapai skala
optimal dalam penggunaan peralatan, dan menggabungkan kapasitas
produksi untuk memenuhi order skala besar;
 Melalui kemitraan ataupun integrasi vertikal (dengan UKM lainnya maupun
dengan perusahaan besar dalam mata-rantai nilai), perusahaan-perusahaan

10
Lihat misalnya hasil kajian ADB SME Development TA (2001).

28 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
dapat memfokuskan ke bisnis intinya dan memberi peluang pembagian
tenaga kerja eksternal;

 Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang


belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat
dan saling-bagi pengetahuan dalam suatu usaha kolektif untuk
meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih
menguntungkan;

 Selain itu, jaringan bisnis di antara perusahaan, penyediaan jasa layanan


usaha (misalnya institusi pelatihan, sentra teknologi, dan sebagainya) dan
perumus kebijakan lokal, dapat mendukung pembentukan suatu visi
pengembangan bersama di tingkat lokal dan memperkuat tindakan kolektif
untuk meningkatkan daya saing UKM.

Sementara itu, bagi pembuat kebijakan dan/atau pihak berkepentingan lainnya


sebagai pendukung pengembangan UKM, pendekatan ini memungkinkan potensi
skala pengaruh dari kebijakan dan program, dan cakupan (scope) dampaknya
yang signifikan, khususnya menyangkut:
1. Peningkatan nilai tambah (rantai nilai industri);
2. Pemanfaatan keunggulan komparatif (terutama terhadap perkembangan
negara maju dan pesaing negara berkembang lain);
3. Peningkatan penguasaan teknologi;
4. Pemanfaatan dan pengembangan potensi pasar dalam negeri yang besar
(termasuk pasar lokal);
5. Penguatan struktur industri dalam negeri (termasuk keterkaitan industri);
6. Akselerasi difusi teknologi dan inovasi;
7. Peningkatan kapasitas pelaku industri, terutama “kewirausahaan teknologi”
(technopreneurship) dalam klaster industri.

Selain itu, dari perspektif kebijakan teknologi, khususnya dalam konteks evaluasi,
kajian, dan/atau formulasi kebijakan, pendekatan klaster industri membantu para
stakeholder kunci terutama dalam:
1. Memberi kemudahan mensistematisasi kerangka
 Pemahaman tentang sistem (klaster) yang ditelaah (karena
memfasilitasi kerangka proses pemodelan sistem yang komprehensif
namun fokus);
 Evaluasi, kajian dan atau formulasi kebijakan;

P2KT PUDPKM 29
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

2. Membantu analisis yang lebih fokus;


3. Memfasilitasi berpartisipasinya stakeholder kunci;
4. Membantu proses identifikasi elemen kunci dalam klaster dan instrumen
kebijakan yang mempunyai dampak terbesar atau daya dongkrak (leverage
effect) paling tinggi bagi peningkatan nilai dan/atau daya saing rantai nilai
klaster keseluruhan. Contoh dari hal ini adalah melalui Technology
Roadmapping (TRM) yang disepakati oleh stakeholder suatu klaster.
5. Membantu penajaman perspektif dalam upaya formulasi pemihakan yang
akseptabel; dan
6. Membantu minimalisasi distorsi kebijakan.

C. Model Klaster Industri


Dalam sebagian besar literatur klaster industri, pemikiran Michael Porter (1990)
khususnya menyangkut konsep “the four diamond”-nya sebagai kerangka
determinan keunggulan daya saing suatu bangsa (determinants of national
competitive advantage) sering dirujuk dan dianggap pemicu diskusi sekitar
model/pendekatan klaster industri. Menurutnya, ada empat atribut yang
menentukan, yaitu:
1. Kondisi faktor (factor conditions): bagaimana posisi suatu negara dalam
“faktor-faktor produksi” (input yang dibutuhkan untuk bersaing), seperti
tenaga kerja atau infrastruktur, yang diperlukan untuk bersaing dalam suatu
industri. Beberapa faktor penting antara lain adalah:
 Sumber daya manusia (SDM);
 Sumber daya fisik;
 Sumber daya pengetahuan;
 Sumber daya modal/kapital;
 Infrastruktur.

30 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik

STRATEGI PERUSAHAAN,
CHANCE STRUKTUR DAN
PERSAINGAN (FIRM
STRATEGY, STRUCTURE,
AND RIVALRY)

KONDISI
KONDISI FAKTOR
PERMINTAAN(DEMAND
(FACTOR CONDITIONS)
CONDITIONS)

INDUSTRI TERKAIT DAN


PENDUKUNG (RELATED
AND SUPPORTING
INDUSTRIES) PEMERINTAH

Sumber: Porter (1990).

Gambar 1 Determinan Keunggulan Daya Saing Menurut Porter.

Pelajaran penting dalam hal ini menurut Porter adalah bahwa faktor-faktor
terpenting bagi keunggulan daya saing hampir semua industri (terutama
sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi) sebenarnya bukanlah yang
bersifat “alamiah/inherited” (basic factors) melainkan yang
diciptakan/dikembangkan secara tepat (advanced factors).11

2. Kondisi permintaan (demand conditions): sifat permintaan domestik (home


demand) untuk produk (barang dan/atau jasa) dari industri yang
bersangkutan. Beberapa atribut penting antara lain adalah:
 Komposisi (atau sifat kebutuhan pembeli): terutama menyangkut
struktur segmen permintaan (distribusi permintaan untuk ragam jenis
tertentu), pembeli yang menuntut ‘nilai produk’ tinggi; kebutuhan
pembeli yang antisipatif;

11
Kecuali untuk beberapa industri seperti industri berbasis pertanian atau ekstraktif, atau
industri yang kebutuhan teknologi dan keterampilannya tidak terlalu tinggi.

P2KT PUDPKM 31
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

 Ukuran permintaan dan pola pertumbuhan: terutama menyangkut


ukuran permintaan domestik, jumlah pembeli independen, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, permintaan domestik yang dini,
dan saturasi (kejenuhan) permintaan domestik yang dini;
 Internasionalisasi permintaan domestik: terutama pembeli lokal yang
multinasional atau yang mobile, dan pengaruh kebutuhan “asing/luar
negeri (foreign).”
Dalam hal ini, pelajaran yang menurut Porter penting adalah bahwa
komposisi permintaan domestik merupakan “akar” bagi keunggulan daya
saing, sementara ukuran dan pola pertumbuhannya dapat memperkuat
keunggulan tersebut dengan mempengaruhi perilaku investasi, timing, dan
motivasi. Sedangkan faktor penting ketiga yang turut berkontribusi adalah
mekanisme internasionalisasi “penarikan” permintaan domestik ke luar
negeri.

3. Industri terkait dan pendukung (related and supporting industries): kehadiran


industri-industri pendukung dan yang terkait di negara yang bersangkutan
yang memiliki daya saing (kompetitif) secara internasional. Beberapa hal
penting antara lain adalah:
 Kehadiran industri pemasok lokal yang kompetitif secara
internasional: terutama karena akses yang efisien, dini, cepat dan
terkadang lebih disukai (preferensial) terhadap input yang cost-
effective, dan keterkaitan kuat dengan industri pemasok lokal
terutama sehingga mampu menghasilkan manfaat melalui proses
inovasi dan upgrading;
 Kehadiran industri terkait lokal yang kompetitif: industri yang dapat
berkoordinasi atau berbagi aktivitas dalam rantai nilai manakala
berkompetisi, atau yang melibatkan produk yang saling
komplementer. Saling berbagi aktivitas (activity sharing) bisa dalam
bentuk pengembangan teknologi, manufaktur, distribusi, pemasaran,
atau pelayanan jasa.
Kunci paling signifikan dalam hal ini adalah industri pendukung dan terkait
yang dinilai penting bagi inovasi suatu industri, atau yang memberikan
kesempatan/peluang untuk berbagi aktivitas kritis suatu industri.

4. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha (firm strategy,


structure, and rivalry): kondisi yang menentukan bagaimana perusahaan
muncul/tumbuh, terorganisasi dan dikelola, serta sifat persaingan usaha di
negara yang bersangkutan. Terutama menyangkut:

32 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
 Konteks lokal/spesifik yang mendorong investasi dalam kegiatan yang
terkait dengan inovasi: terutama tujuan (goal) perusahaan, tujuan
pribadi/individu (yang mengelola dan bekerja di perusahaan),
pengaruh prioritas nasional pada tujuan, dan komitmen sumber daya
manusia dan kapital terhadap suatu industri, perusahaan, dan untuk
karyawan serta komitmen terhadap profesi;
 Persaingan di pasar domestik: terutama karena kompetisi ketat antara
perusahaan lokal sejenis dan berkembangnya bisnis baru (yang
menciptakan para pesaing baru).

Porter selanjutnya menyempurnakan dengan menambahkan dua faktor tambahan,


yaitu “kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events)” dan pemerintah,
pada modelnya. Chance events adalah kejadian yang sebenarnya lebih terkait
dengan hal-hal yang di luar kemampuan perusahaan (dan seringkali juga
pemerintah) untuk mempengaruhinya. Contohnya adalah penemuan murni (pure
invention), diskontinuitas teknologi yang besar, diskontinuitas dalam biaya input,
perubahan yang signifikan dalam pasar keuangan dunia atau nilai tukar,
berkembangnya permintaan regional atau dunia, keputusan politik pemerintah
asing, dan peperangan. Peran pemerintah dalam keunggulan daya saing, menurut
Porter, sebenarnya lebih dalam pengaruhnya atas keempat determinan
sebelumnya.
Walaupun bahasan tentang klaster industri umumnya merujuk pada konsep
kerangka keunggulan daya saing dengan “the four diamond model” dari Michael
Porter, pengertian “klaster industri” secara pragmatis pada prinsipnya lebih
merupakan konsensus yang didasarkan atas sehimpunan kriteria yang digunakan
dalam pendefinisian/pembatasannya.
Feser dan Renski (2000) dalam studinya dengan pendekatan benchmarking
melakukan kajian tentang klaster industri berbasis teknologi tinggi di AS untuk
mengidentifikasi klaster industri berbasis teknologi tinggi di Negara Bagian North
Carolina, AS. Dalam konsep klaster industri, menurutnya terdapat tiga dimensi
utama, yaitu (Gambar 2):

1. Keterkaitan atau kesalingbergantungan: yang dapat diturunkan dari rantai


nilai bersama, penggunaan tenaga kerja (keterampilan) yang sama, adopsi
teknologi yang serupa, atau pertukaran pengetahuan dan inovasi.
2. Waktu atau tahapan perkembangan: dalam hal ini klaster industri dapat
dikelompokkan atas klaster existing, emerging, atau potential. Existing
cluster adalah klaster industri yang telah mencapai critical mass. Sedangkan
emerging cluster adalah klaster industri yang akan mencapai critical mass
jika kecenderungan yang terjadi saat ini terus berlangsung. Sementara itu,

P2KT PUDPKM 33
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

potential cluster adalah klaster industri yang dinilai berpotensi berkembang


namun kondisi yang diperlukannya untuk berkembang masih tak pasti.
3. Geografi: beberapa klaster terkonsentrasi di daerah tertentu, namun
adakalanya klaster juga tersebar melintasi beberapa daerah. Seringkali
wilayah geografis klaster industri tidak sama dengan batasan administratif
daerah.

Waktu

Keterkaitan Geografis

Gambar 2 Dimensi untuk Mengidentifikasi Klaster Industri

Cakupan geografis sebuah klaster industri dapat berukuran satu kota, kabupaten,
negara, ataupun berupa jaringan yang melibatkan beberapa negara yang
bertetangga.

D. Perkembangan Klaster Industri di Indonesia


Pengembangan klaster industri di Indonesia sebenarnya masih dalam tahap
sangat awal. Beberapa upaya, baik dalam bentuk studi/analisis klaster, prakarsa
pengembangan, analisis dan/atau formulasi kebijakan baru muncul sekitar 3 (tiga)
tahun belakangan ini.
Sejauh ini, dalam beberapa literatur untuk kasus di Indonesia, penggunaan istilah
antara “klaster industri” dengan “sentra industri” sering digunakan secara “dapat
dipertukarkan (interchangeable).” Menurut penulis hal ini perlu diklarifikasi. Jika

34 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
rantai nilai dianggap hal yang penting, maka keduanya sebenarnya bukan hal yang
identik, walaupun bisa saling terkait (sebagai gambaran, lihat Tabel 1).12

Tabel Perbandingan antara Klaster Industri dengan Sentra Industri

Klaster Industri Sentra Industri


Himpunan para pelaku dalam Himpunan para pelaku
konteks tertentu baik pelaku (produsen) di bidang usaha
industri tertentu yang berperan industri tertentu yang serupa.
sebagai industri inti (core Catatan: untuk beberapa
industries), pemasok kepada sentra industri, telah terdapat
Batasan Industri
pelaku industri inti, industri UPT (Unit Pelayanan Teknis)
pendukung bagi industri inti,
pihak/lembaga yang
memberikan jasa layanan
kepada pelaku industri inti
Nilai tambah dan daya saing Hal positif yang diperoleh
Faktor penting
serta hal positif lain yang karena aglomerasi fisik para
yang menjadi
terbentuk atas rangkaian rantai pelaku usaha
pertimbangan
nilai keseluruhan industri
Dalam suatu klaster industri, Sentra industri bisa menjadi
suatu sentra bisa ditempatkan salah satu himpunan simpul
sebagai salah satu subsistem (subgroup) dari suatu klaster
Keterkaitan dalam rangkaian rantai nilai industri, baik sebagai industri
antara sistem industri tertentu inti, pemasok, atau
keduanya pendukung. Suatu sentra
mungkin saja tidak/belum
menjadi bagian dari klaster
industri tertentu
Dimungkinkan terbentuknya Sentra industri tertentu hanya
klaster industri yang bersifat ada di suatu lokasi
Batasan lokasi/
“lintas batas (cross-border)” (desa/kelurahan) tertentu
wilayah
dalam konteks batasan
kewilayahan tertentu

Sentra industri di Indonesia sebenarnya lebih merupakan sekelompok perusahaan


produsen yang secara fisik berada di suatu lokasi tertentu. Umumnya mereka

12
Dalam konteks ini, penulis menganggap bahwa rantai nilai industri merupakan elemen
penting dalam konsep klaster industri.

P2KT PUDPKM 35
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

bekerja di “bidang usaha serupa”13, walaupun tak selalu menghasilkan produk yang
sama. Batasan geografis “tertinggi” yang digunakan umumnya adalah
desa/kelurahan. Di suatu desa mungkin saja terdapat satu atau lebih sentra
industri. Sebaliknya, suatu sentra industri tidak akan mencakup lebih dari satu
desa/kelurahan.
Walaupun beberapa faktor yang terkait dengan proses peningkatan nilai tambah
(value-adding process) menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan suatu
sentra, sentra industri tidak dibangun atas konsep rantai nilai (value chain) industri
keseluruhan sebagai suatu sistem sebagaimana yang dimaksud dalam konsep
klaster industri. Jadi konteks “industri” dalam sentra industri adalah himpunan
pelaku di sentra itu sendiri.
Diskusi tentang klaster industri di Indonesia tampak intensif terutama menjelang
akhir tahun 90-an. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag)
menerbitkan “Strategi Industrialisasi Nasional” (Deperindag, 2000) yang berintikan
pendekatan klaster. Sebanyak 5 (lima) klaster industri diidentifikasi sebagai klaster
industri potensial yang dapat dikembangkan di Indonesia. Tim ADB TA SME
Development di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi dan
UKM (ADB TA, 2001) dalam kajiannya antara lain mengangkat praktek terbaik
(best practices) tentang pengembangan klaster industri dan jaringan bisnis sebagai
salah satu topik bahasan. Di pertengahan tahun 2000, beberapa makalah dalam
suatu seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Teknik dan Manajemen
Industri - Program Pascasarjana ITB antara lain mengangkat isu klaster industri
dalam konteks pembahasan kebijakan industri dan teknologi pasca krisis. Suatu
studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB (LP IPB, 2000) mengkaji
pengembangan industri mebel rotan Tegalwangi – Cirebon dengan konsep klaster
industri berdasarkan pendekatan “model diamond” Porter.
Dibanding dengan apa yang telah dilakukan oleh negara lain baik dalam tataran
konsep, strategi dan kebijakan, serta penerapannya, pendekatan klaster industri di
Indonesia dapat dikategorikan masih pada taraf yang sangat awal. Ini setidaknya
diindikasikan oleh masih sedikitnya kajian tentang ini dan relatif terbatasnya
“awareness” aktor penting (pelaku bisnis, pembuat kebijakan, pelaku litbangyasa
dan lainnya) tentang isu ini dalam beberapa kesempatan diskusi/dialog nasional
maupun di tingkat daerah yang pernah penulis ikuti.

4. PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI

13
Contohnya: di LIK (Lingkungan Industri Kecil) “TAKARU” Tegal, bidang bisnis utama
pelaku usaha adalah “metalworks,” dengan produk yang dihasilkan bervariasi.

36 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
Literatur klaster industri menunjukkan bahwa pendekatan dalam pengembangan
klaster industri dalam prakteknya bisa sangat beragam. Walaupun telaah atas
contoh praktek terbaik (best practices) dapat dilakukan, seperti misalnya oleh Koo,
et al. (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dan ADB TA (2001), hampir semua
analis menyepakati bahwa pada prinsipnya pengembangan suatu klaster industri
merupakan hal yang unik, tak dapat begitu saja meniru apa yang dilakukan dalam
pengembangan klaster industri lain. Pengembangan klaster industri harus
disesuaikan dengan industri yang bersangkutan (termasuk perilaku pelaku
bisnisnya) dan karakteristik khas setempat/lokal.

Proses awal yang biasanya dilakukan adalah:


 Merekrut para pemimpin dan pakar
 Mengidentifikasi prioritas dan bidang fokus
 Menganalisis prioritas
 Melibatkan partisipan untuk membangun konsensus
 Mengidentifikasi upaya (misalnya kebijakan/program) khusus yang
dibutuhkan
 Merancang mekanisme tindak lanjut

Pada tahapan awal, seringkali diperlukan identifikasi dan analisis atas klaster
industri di suatu daerah. Beberapa alat analisis kuantitatif sering digunakan dalam
mengidentifikasi klaster industri atas data rinci (beberapa digit) berdasarkan SIC
(Standard Industrial Classification), seperti misalnya location-quotients, analisis
input-output, growth-share matrix yang dikembangkan oleh Boston Consulting
Group, dan lainnya.14
Empat tahapan umum pengembangan klaster industri dalam mengembangkan
ekonomi daerah adalah sebagai berikut (EDA, 1997):
1. Mobilisasi: Membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang
diperlukan untuk melaksanakan prakarsa.
2. Diagnosis: Mengkaji klaster industri yang “mencakup/meliputi” ekonomi
(daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster.
3. Strategi Kolaboratif: Menghimpun stakeholder “sisi permintaan” (seperti
perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder “sisi penawaran”
(termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam
14
Beberapa sumber membahas hal ini, lihat misalnya http://www.hhh.umn.edu/centers/slp/
edweb/cluster.htm

P2KT PUDPKM 37
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan parkarsa aksi


dalam mengatasi persoalan bersama.
4. Implementasi: Membangun komitmen peserta (partisipan) kelompok kerja
klaster dan stakeholder daerah atas tindakan/program dan mengidentifikasi
atau mengembangan lembaga/organisasi untuk memelihara terlaksananya
implementasi.

Sementara itu, EURADA15 (Gambar 3 mengilustrasikan suatu inisiasi klaster oleh


perusahaan Skotlandia) mengidentifikasi sembilan tahapan dalam pengembangan
klaster, yaitu:
1. stimulasi perusahaan utama (leading enterprises)
2. penentuan/deskripsi sektor/bidang
3. pelibatan lembaga litbang dan perguruan tinggi
4. pertemuan informal dengan perusahaan-perusahaan yang diseleksi
sebelumnya (pre-selected)
5. penentuan beberapa tindakan penting yang akan dilakukan
6. inisiasi/pemrakarsaan klaster
7. penyebaran laporan dan pencarian dukungan finansial
8. pengembangan struktur yang operasional
9. penentuan untuk memulai aktivitas.

15
European Association of Development Agencies (lihat http://www.eurada.org).

38 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik

Penentuan SDM,
Sumber Dana &
Pelibatan
Sumber Daya Lain
Stakeholder
Pembelajaran & Kepemimpinan
Pengelolaan
Eksplorasi Tugas, SDM &
Hubungan
Pengum- Kemitraan Pengem- Peren-
dengan bangan canaan Imple-
Inisiasi pulan
Stakeholder Strategi Aksi mentasi
Pengem- Data Pengamanan
bangan Kesepakatan/
Tim Persetujuan
Pengelolaan Keterlibatan & Komunikasi
Mobilisasi
Stakeholder
Evaluasi

Sumber: http://www.eurada.org

Gambar 3 Proses Operasionalisasi Pengembangan Klaster Industri.

5. KUNCI KEBERHASILAN

Pendekatan klaster diupayakan untuk menciptakan/mengembangkan “kondisi dan


lingkungan” tertentu yang mendukung untuk dapat berkembangnya klaster industri
unggulan daerah, terutama menyangkut:16
a. jumlah pelaku bisnis yang mencapai critical mass di suatu lokasi geografis
b. bidang aktivitas bisnis yang terdefinisikan dengan baik
c. hubungan kemitraan yang kuat antar stakeholder klaster
d. ketersediaan sistem dukungan bagi perusahaan, dan
e. budaya kewirausahaan.

16
Lihat misalnya EURADA (http://www.eurada.org).

P2KT PUDPKM 39
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

Hal tersebut sangat penting bagi para stakeholder kunci untuk bekerja, belajar,
berbagi persoalan dan solusi kolektif, serta secara bersama mensinergikannya
bagi peningkatan inovasi dan pertumbuhan produktivitas.
Walaupun pertimbangan penggunaan pendekatan klaster berbeda dari satu kasus
ke kasus lainnya, saran dari EDA (1997) dapat merupakan pedoman umum dalam
hal ini khususnya bagi pembuat kebijakan. Pendekatan klaster industri dinilai
sesuai apabila (EDA, 1997):
 The Right Economic Scale – Apa yang dipertimbangkan adalah daerah,
bukan sekedar komunitas atau suatu batas kewenangan administratif
tertentu.
 The Right Economic Challenge – Adanya kebutuhan untuk merespon
restrukturisasi ekonomi, memperbaiki input yang diperlukan oleh industri,
dan membentuk proyek pembangunan secara efektif.
 The Right Economic Focus – Adanya pertimbangan kebutuhan atas portfolio
klaster industri di daerah dan visi daerah, bukan semata satu industri atau
perusahaan.
 The Right Leadership and Strategy Process – Adanya pemimpin dan
organisasi yang perduli akan ekonomi daerah dan siap untuk menggunakan
proses yang bersifat kolaboratif dan inklusif untuk melibatkan pelaku industri
dan lembaga lain.
 The Right Capacity to Take Action – Adanya tradisi/semangat untuk bekerja
secara regional (dalam suatu daerah tertentu) untuk menghadapi tantangan
ekonomi dengan sumber daya keuangan dan teknis yang memadai, serta
kesiapan bekerjasama untuk memperoleh hasil bersama.

Nordicity Group (Nordicity Group, et al., 1997) mengidentifikasi delapan elemen


utama bagi keberhasilan pendekatan klaster, yaitu:
1. adanya potensi industri berbasis pengetahuan yang diyakini oleh para
pemimpin daerah/setempat;
2. identifikasi dan dukungan atas kekuatan dan aset daerah;
3. pengaruh katalistik local champion (para pelaku bisnis setempat yang
mempunyai reputasi baik);
4. kebutuhan akan dorongan bagi kewirausahaan dan praktek bisnis yang
kokoh;
5. ketersediaan beragam sumber bagi modal investasi;
6. kesatuan ikatan yang kuat (kohesi) karena adanya jaringan informasi formal
maupun informal;
7. kebutuhan akan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian;

40 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
8. kebutuhan untuk bisa terus bertahan dalam jangka panjang.
Yang tentunya sangat mendasar bagi ke delapan elemen tersebut adalah adanya
kebutuhan untuk mempertahankan aktivitas ekonomi.

6. BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN UMUM

Gambar 4 mengilustrasikan skematik kerangka identifikasi kebijakan dengan


pendekatan klaster industri. Pengembangan unggulan daerah sebagai elemen
kunci pembangunan ekonomi daerah di satu sisi, akan saling terkait dengan (dan
memperkuat) sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) daerah. Interaksi pada
tingkat lokal/setempat dari elemen sistem iptek daerah lah yang paling
menentukan sebagai sumber utama inovasi, peningkatan nilai tambah dan
produktivitas ekonomi daerah.
Upaya penguatan pada tingkat “lokal” sistem ekonomi daerah dan sistem iptek
daerah bukan merupakan upaya buta (blind efforts) yang mengabaikan
penyelerasannya dengan dinamika global. Penguatan dalam konteks lokal dan
global, keduanya akan saling mempengaruhi. Kapasitas daerah untuk inovasi,
peningkatan nilai tambah dan produktivitas, serta posisi relatif daya saingnya
sangat ditentukan oleh sistem alih pengetahuan/teknologi, sistem inovasi dan difusi
teknologi. Karenanya, sistem alih pengetahuan/teknologi, sistem inovasi dan difusi
teknologi di tingkat daerah merupakan di antara agenda pokok yang perlu
diprioritaskan.
Pendekatan klaster industri menjadi alternatif yang sangat relevan sebagai
platform kolektif, terutama bagi para stakeholder di daerah, untuk memberikan
kerangka kebijakan yang sinergis. Pendalaman dan penguatan struktur industri
yang selama ini lebih bersifat “sektoral” dan seolah “terpisah,” menjadi rangkaian
pendalaman dan penguatan yang lebih operasional melalui rantai nilai tambah
yang lebih fokus dan sinergis. “Pohon industri” misalnya merupakan
informasi/bahan masukan penting. Namun perhatian yang terlalu “terkotak” pada
suatu industri saja bisa membawa kepada kebijakan yang kurang tepat. Ini
merupakan salah satu kritik terhadap kebijakan industrial/sektoral umumnya.
Dengan pendekatan klaster industri, konsep unggulan daerah, baik dalam konteks
khusus kompetensi, industri dan/atau produk tertentu, menjadi terminologi yang
memiliki pengertian lebih operasional dan memungkinkan membawa kepada
kebijakan yang lebih terpadu dan efektif.
Pendekatan klaster industri dapat memfasilitasi konsensus dan komitmen upaya
bersama (joint action) yang saling menguntungkan. Ancangan agenda kolektif yang
khusus/spesifik seperti pengembangan teknologi akan menjadi lebih efektif,
misalnya melalui proses technology roadmapping (TRM) karena difasilitasi oleh

P2KT PUDPKM 41
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

klaster industri. Pohon industri dan TRM saling komplementer untuk merancang
skenario/perencanaan penguatan rantai nilai industri. Tak kalah pentingnya adalah
eksternalitas positif dari klaster menjadi salah satu pertimbangan pengembangan
infrastruktur dan/atau peran pemerintah lain yang lebih terarah, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pendekatan klaster industri memfasilitasi identifikasi dan
formulasi kebijakan yang makin selektif dan operasional sehingga bisa makin
efektif.

Implikasi Kebijakan

Sistem Iptek Daerah


Siste m
Alih Pe nge tahuan/Te knologi

Ke te rkaitan &
Pe ndalaman Struktur
Sektoral
M is.: Pohon Industri

ASPEK
MULTIDIMENSI
LAIN

KLASTER
INDUSTRI

ASPEK ASPEK/
SPESIFIK KONTEKS
LOKAL GLOBAL
si

si
va

fu
In o

Di
tem
te m

Sis
Sis

Ske nario/
Pe re ncanaan Spe sifik
M is.: Technology
Roadmapping

Sistem Ekonomi Daerah

Gambar 4 Kerangka Identifikasi Kebijakan dengan Pendekatan Klaster


Industri.

42 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
Dalam pendekatan klaster industri, pergeseran paradigma peran pemerintah
dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan. Peran pemerintah yang ideal
adalah (lihat misalnya Roelandt dan Hertog, 1998):
1. Sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan (networking) dalam
klaster;
2. katalis dalam mengembangkan keunggulan daya saing yang dinamis;
3. pengembang/penguat kelembagaan;
4. menciptakan struktur insentif untuk menghilangkan/mengurangi
ketidakefisienan pasar dan sistemik yang terjadi dalam sistem inovasi.

Hal keempat biasanya merupakan titik awal kebijakan bagi pengembangan klaster
industri.
Pendekatan klaster industri sangat relevan bagi pengembangan unggulan daerah.
Hal ini didukung oleh keberhasilan pengalaman empiris di berbagai negara yang
mengindikasikan sangat relevannya pendekatan klaster industri bagi
pengembangan ekonomi daerah. Adanya kecenderungan kuat bahwa kebijakan
klaster industri sangat menonjol dikembangkan pada tingkat “daerah” bukan saja di
negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Di Amerika Serikat (AS)
misalnya, kebijakan klaster industri sangat intensif dikaji sebagai kebijakan daya
saing di negara-negara bagian (state).
Negara Bagian South Carolina - AS misalnya bahkan, memberlakukan undang-
undang negara bagian yang secara khusus menyangkut pengembangan klaster
industri sejak tahun 1996 (Bill # 4397, disebut Economic Development Industrial
Cluster Act of 1996).17 Kutipan berikut disampaikan sekedar untuk memberikan
gambaran tentang apa yang dipertimbangkan dan melandasi kebijakan ini (diambil
dari http://www.lpitr.state.sc.us/bil95-96/4397.htm):
Findings
SECTION 2. The General Assembly finds that:
(1) The economic well-being of the citizens of the State will be enhanced by
the increased development and growth of business within the State, and that
it is in the best interest of the State to induce the location or expansion of
business within the State in order to promote the public purpose of
creating new jobs within the State;
(2) This act will promote the creation of industrial clusters. These industrial
clusters will produce new and vibrant growth which will in turn expand
our economy through business interaction. These interactions will

17
Lihat misalnya http://www.lpitr.state.sc.us/bil95-96/4397.htm

P2KT PUDPKM 43
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

reinforce and strengthen the competitive position of each of the cluster's


constituent businesses.
The industrial clusters will develop particular sets of location-specific
strengths. Each area in the State which has a unique characteristic which
promotes a cluster, such as raw materials, access to markets, or
transportation access, will eventually create a concentration of knowledge in
a particular discipline, all of which will expand economy opportunities to the
citizens of the State.

Dalam pengembangan klaster industri, beberapa hal berikut disarankan untuk


dihindari (Roelandt dan Hertog, 1998):
a. Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata karena “keinginan
pemerintah” melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku
bisnis yang bersangkutan.
b. Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung
terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam
pasar.
c. Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk
tak langsung.
d. Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster,
melainkan berperan sebagai katalis dan “broker” yang membawa bersama
seluruh para pelaku dalam klaster (termasuk pemasok) serta insentif untuk
memfasilitasi proses inovasi dan klasterisasi.
e. Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang
sedang muncul (emerging) ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang
sudah ada (existing) dan “klasik.”
f. Kebijakan klaster tak hanya cukup dengan analisis/studi, tetapi juga tindakan
nyata. Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti,
para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta
menciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif.
g. Klaster sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang
menurun.

7. CATATAN PENUTUP

44 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
Tulisan ini membahas beberapa pemikiran tentang unggulan daerah, terutama
dengan penekanannya dalam perspektif kebijakan. Sehubungan dengan ini, jargon
(termasuk jargon “unggulan daerah”) yang tak berimplikasi pada komitmen dan
upaya yang operasional, sangat boleh jadi akhirnya hanya menjadi sekedar
retorika. Hal demikian tentu perlu dihindari.
Makin disadari bahwa inovasi, peningkatan nilai tambah dan produktivitas
merupakan elemen kunci bagi unggulan daerah. Konsep klaster industri
ditawarkan sebagai pendekatan dalam pengembangan unggulan daerah, yang
memberikan penekanan konteks lokal maupun global secara proporsional.
Pengembangan unggulan daerah merupakan agenda penting pengembangan
ekonomi daerah yang di satu sisi dihadapkan pada upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang makin tinggi dan makin adil sebagai pewujudan
otonomi daerah, dan menghadapi dinamika tantangan dan peluang era globalisasi
di sisi lainnya.
Pendekatan klaster industri dalam pembangunan ekonomi, khususnya ekonomi
daerah, memungkinkan harmonisasi beragam upaya yang biasanya terjadi sangat
sektoral dan terpisah untuk berfokus pada upaya terpadu dan sinergis yang positif,
serta proses yang berkelanjutan.
Pendekatan klaster dapat mencapai suatu dampak yang signifikan pada
pembangunan ekonomi daerah melalui:
 Keterlibatan dalam dialog konstruktif atau proses partisipatif antara pelaku
bisnis, pemasok kunci, pembeli dan stakeholder kunci lain di daerah.
 Memperkuat keterkaitan yang saling menguntungkan antar stakeholder,
seperti misalnya antara penyelenggara pendidikan dengan industri,
penyedia teknologi dengan pengguna, investor dan lembaga
keuangan/pembiayaan dengan perusahaan yang ada atau yang baru, dan
lainnya.
 Penyediaan kerangka penyediaan infrastruktur yang lebih terarah sesuai
dengan kebutuhan dunia usaha.
 Memungkinkan investasi infrastruktur informasi yang terakseskan dan
mempunyai daya dongkrak (leverage impact) signifikan untuk meningkatkan
kinerja klaster.
 Memfasilitasi penyesuaian sistem administratif untuk mendorong
peningkatan produktivitas klaster.

Pendekatan klaster industri bisa menjadi alat yang efektif bagi kebijakan
pembangunan ekonomi daerah (dan kebijakan lain terkait, khususnya kebijakan
teknologi) yang terpadu. Namun tentunya, perlu ditelaah lebih lanjut terutama

P2KT PUDPKM 45
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

tantangan untuk mengoperasionalkannya bagi setiap kasus-kasus spesifiknya.


Pemikiran tentang isu ini perlu terus dikembangkan, agar benar-benar bisa
operasional sesuai dengan kondisi yang ada/berkembang di setiap daerah dan
masing-masing klaster.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. ADB TA. 2001. Praktik Terbaik Mengembangkan Klaster Industri dan
Jaringan Bisnis. Policy Paper No. 8. ADB SME Development TA Indonesia.
Kantor Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM.
2. Beyers, William B., dan Peter B. Nelson. 1998. The Economic Impact of
Technology-Based Industries in Washington State In 1997. A Report
Prepared for the Technology Alliance, Seattle, WA.
3. CAE. 1997. Technological Entrepreneurship and Engineering in Canada.
Canadian Academy of Engineering. Background Report.
4. Ceglie, Giovanna, dan Marco Dini. 1999. SME Cluster and Network
Development in Developing Countries: The Experience of UNIDO.
International Conference on Building A Modern and Effective Development
Service Industry for Small Enterprises. Committee of Donor Agencies for
Small Enterprise Development. Rio de Janeiro. 2-5 March 1999.
5. Chambers, Robert dan James Blackburn. 1996. The Power of Participation:
PRA and Policy. IDS Policy Briefing. Issue Number 6. Institute of
Development Studies (IDS). August 1996. Dari
htpp://www.ids.ac.uk/ids/particip/.
6. CICAB. 1998. Partnership for Growth: Connecticut’s Economic
Competitiveness Strategy at a Glance. Connecticut’s Industry Cluster
Advisory Boards. February 1998.
7. Deperindag. 2000. Strategi Industri Nasional. Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.
8. DeVol, Ross C. 2000. Blueprint for a High-Tech Cluster: The Case of the
Microsystems Industry in the Southwest. Policy Brief. Number 17. Milken
Institute. August 8, 2000.
9. EDA. 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional
Competitiveness. Economic Development Administration (EDA). US
Department of Commerce. October 1997.
10. Fadel Muhammad. 2000. Industrial Policy Pasca Krisis Suatu Kebutuhan
Yang Mendesak. Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis.

46 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA
PERSPEKTIF KEBIJAKAN:
PENDEKATAN KLASTER INDUSTRI DALAM PENGEMBANGAN UNGGULAN DAERAH
Tatang A Taufik
Program Studi Teknik dan Manajemen Industri - Program Pascasarjana
Institut Teknologi Bandung.
11. Feser, Edward J., dan Henry Renski. 2000. High-Tech Clusters in North
Carolina. Report prepared for the North Carolina Board of Science and
Technology, by Office of Economic Development – University of North
Carolina at Chapel Hill.
12. HE. 1999. Innovative Regions: The Importance of Place and Networks in the
Innovative Economy. The Heinz Endowments; Innovation Works, Inc.; dan
The Pittsburgh Regional Alliance. October 1999.
13. Holmes, Tim. 2001. A Participatory Approach in Practice: Understanding
Filedworkers’ Use of Participatory Rural Appraisal in Actionaid the Gambia.
IDS Working Paper 123. Institute of Development Studies (IDS).
14. Koo, Jun, Michael I. Luger, dan Leslie Stewart. 1999. Best Practices In
Science And Technology-Based Economic Development Policy: U.S. And
Global. Prepared by Office of Economic Development, Kenan Institute of
Private Enterprise - University of North Carolina at Chapel Hill. Document 2.
North Carolina Board of Science and Technology. September 1999.
15. LP IPB. 2000. Pengembangan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan dengan
Pendekatan Kluster Industri. Laporan Akhir. Direktorat Jenderal Industri
Kimia, Agro dan Hasil Hutan – Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Oktober 2000.
16. Meyer-Stamer, Jörg. 1998. Clustering, Systemic Competitiveness and
Commodity Chains: Shaping Competitive Advantage at the Local Level in
Santa Catarina/Brazil. Revised Version of Paper Prepared for International
Workshop. "Global Production and Local Jobs: New Perspectives on
Enterprise Networks, Employment and Local Development Policy."
International Institute for Labour Studies, Geneva, 09-10 March 1998.
17. Meyer-Stamer, Jörg. 2002. PACA: Participatory Appraisal of Competitive
Advantage. Version 3.1. January 2002. Dari http://www.meyer-stamer.de
18. Meyer-Stamer, Jörg. 2001a. RALIS: Rapid Appraisal of Local Innovation
Systems. Version 0.3. 31 March 2001. Dari http://www.meyer-stamer.de.
19. Meyer-Stamer, Jörg. 2001b. PACA: Participatory Appraisal of Competitive
Advantage. Methodology to Support Local Economic Development
Initiatives. Dari http://www.meyer-stamer.de.
20. MTC. 2001. Index of the Massachussetts Innovation Economy.
Massachusetts Technology Collaborative.
21. Nordicity Group, et al. 1997. Prospects for Growing Knowledge-Based
Industrial Clusters in Atlantic Canada; Part 1: Concepts, Analysis and

P2KT PUDPKM 47
DB PKT
PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL

Recommendations. Final Report. Prepared for Atlantic Canada Opportunities


Agency. Prepared by Nordicity Group Ltd. (Ottawa), Syntel Consulting Inc.
(Halifax), Horizon Consulting Ltd. (St. John’s). July 31, 1997.
22. OED-UNC. 2000. High-Tech Clusters in North Carolina. Report prepared for
the North Carolina Board of Science and Technology by Office of Economic
Development University of North Carolina at Chapel Hill.
23. Roelandt, Theo J.A., dan Pim den Hertog (Editors). 1998. Cluster Analysis &
Cluster-Based Policy in OECD-Countries: Various Approaches, Early
Results & Policy Implications. Report by the Focus Group on: Industrial
clusters Draft synthesis report on phase 1 1. OECD-Focus Group on
industrial clusters. Note prepared for the OECD-Secretariat and the OECD
TIP-group. Presented at the 2nd OECD-workshop on cluster analysis and
cluster-based policy. Vienna, May 4th & 5th. The Hague/Utrecht, May 1998.
24. SANDAG. 1998. What Are Industrial Clusters? San Diego Association of
Governments (SANDAG).
25. Simbolon, ML. 2000. Kebijakan Industri Berdasarkan International
Competitiveness dengan Instrument Clustering Industry. Seminar Kebijakan
Industri dan Teknologi Pasca Krisis. Program Studi Teknik dan Manajemen
Industri - Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
26. Situs EURADA. Http://www.eurada.org
27. Suharto, Rosediana. 2000. Dasar Pemikiran Pengembangan Kebijakan
Industri di Indonesia. Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis.
Program Studi Teknik dan Manajemen Industri - Program Pascasarjana
Institut Teknologi Bandung.
28. T. Sjamsu. 2000. Kebijakan Industri dan Teknologi di Indonesia Pasca Krisis.
Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis. Program Studi
Teknik dan Manajemen Industri - Program Pascasarjana Institut Teknologi
Bandung.
29. Theodore P. Rahmat. 2000. Indonesia di Era Globalisasi. Seminar Kebijakan
Industri dan Teknologi Pasca Krisis. Program Studi Teknik dan Manajemen
Industri - Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
30. USDOC. 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional
Competitiveness. Economic Development Administration (EDA). US
Department of Commerce. October 1997.

48 MENUMBUHKEMBANGKAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL DAN


PERLINDUNGAN ASET INTELEKTUAL BANGSA

You might also like