You are on page 1of 14

1

PROSPEK PEMBARUAN HUKUM WARIS


DI PENGADILAN AGAMA
Oleh : DRS. SUHADAK, SH,. MH1

PENDAHULUAN

Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi
dalam dua preode; yaitu preode Teori Receptio in complex dan preode teori Receptei 2.
Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam, sepenuhnya bagi orang-
orang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC
Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam
hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan
adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische
Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori penerimaan
Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau
diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje berdasarkan
penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini merupakn reaksi menentang teori Van
Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal
134 ayat (2) yang berbunyi:”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesame orang Islam,
akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinay”
Pasca kemerdekaan, dalam proses pembangunan bangsa khusunya pembangunan
hukum, teori receptionexit oleh Hazairin telah berkembang bersama dengan teori reception
a contrario oleh sayuti Thalib, bahkan harus di kembangkan juga teori eksistensi yang
menyatakan bahwa hukum Islam ada atau eksis di dalam hukum nasional.3
Meskipun harapan adanya unifikasi hukum tidak pernah padam dan terus
diperjuangkan pembentukannya, namun masih sulit menyelesaikan pluralisme hukum
waris di negeri ini. Salah satu dari hasil keadaan semacam ini adalah serangkaian perkara
warisan yang teramat rumit yang muncul dari relasi antar personal antara orang-orang yang
berasal dari latar belakang tradisi hukum yang berbeda-beda.4
Segala perjuangan dalam rangka menjadikan Hukum terapan Peradilan Agama
tergagas sejak zaman colonial Belanda Zaman kemerdekaan, orde lama, orde Baru sampai
zaman reformasi secara proporsional hukum Islam belum memperoleh porsi yang tepat.
Karena daya jelajah Hukum Islam adalah Universal yang mengatur semua aspek
kehidupan manusia di alam semesta ini. Elastisitas Hukum Islam dapat diterapkan dalam

1
Ketua Pengadilan Agama Nagara-Bali
2
Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, di dalam Tjun
Surjaman(Ed), Hukum Islam di Indonesia, cet.2, Bandung, Remaja Rosdakarya,1994, hlm.73.
3
Ichtijanto,”Pembangunan Hukum Islam Perspektif Moral”, dalam Moh.Busyro M.dkk,(Ed) Politik
Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta UII Press, 1992), hlm.75.
4
Ratno Lukito, Hukum sacral dan hukum sekuler, pustaka Alvabet, Jakarta, 2008, hlm. 347
2

segala zaman, tempat dan keadaan. Sementara secara Yuridis, Hukum Islam perlu adalanya
wadah yang kuat sebagai pegangan hakim dan para pencari keadilan dengan wadah
Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama.
Dalam gagasan pembaharuan hukum kewarisan kedepan menuju dibentuknya
Undang-Undang Hukum Terapan PA, telah ada ada wacana maupun trobosan
pembaharuan seperti Yurisprodensi tentang hukum waris sepanjang ada anak maka saudara
dan paman menjadi terdinding, trobosan adanya ahli waris Pengganti tanpa memandang
keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan, wacana memasukkan
pengembangan mal-waris pada saat diajukan pembagian warisan dan adanya trobosan
untuk meberikan terhadap ahli waris beda agama melalui jalan wasiat wajibah, seperti
apabila faktanya selama hidup Pewaris, ahli waris yang non Muslim tersebut hidup rukun
dengan pewaris bahkan merawatnya di kala sakit dalam suasana Agama yang berbeda, jika
faktanya demikian, apakah ada jalur lain selain bagian warisan, sebagaimana ada solusi
terhadap anak angkat dalam KHI yang menerima sulusi dari harta peninggalan bukan
melalui jalur bagian warisan tetapi melalui jalur Wasiat wajibah dengan ketentuan
maksimal 1/3 bagian. Untuk itu dengan segera di Undangkan Hukum Terapan Peradilan
Agama menjadi sangat penting untuk menjembatani rasa toleransi beragama di Indonesia.
Untuk menjaga toleransi, persatuan dan kesatuan yang berazas Pancasila, suatu saat akan
timbul pemikiran pembaharuan.
PERMASALAHAN
Ada tiga permasalahan yang ingin penulis angkat dalam artikel ini.
1. Tentang keududukan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang dapat mendinding
saudara dan paman, apakah tetap dibiarkan dalam bingkai Yurisprodensi, atau apakah
ada wacana untuk di masukkan ke dalam pasal UU Hukum Terapan Peradilan Agama?
2. Masih terjadi perbedaan interpretasi bagian ahli Waris pengganti dalam posisi antara
anak perempuan (bintun), anak laki-laki (Ibnun) dan Cucu pr dari anak laki-laki (bintu
ibnin) dan juga bersama ahli waris pengganti keturunan anak perempuan(Bintu-bintin).
Apakah ada wacana bagian secara nominal dimasukkan dalam pasal RUU Hukum
terapan PA?
3. Adanya pengembangan Mal-Waris ketika dijukan ke Pengadilan Agama dengan rentan
waktu antara pewaris meninggal dengan keadaan ketika digugat, Apakah
pengembangan Mal Waris tersebut termasuk harta warisan atau bukan? Dan apakah ada
wacana di masukkan dalam draf RUU Hukum terapan PA?
4. Adanya pengembangan diantara ahli waris beda agama dengan pewaris, apakah patut
mendapatkan dari harta peninggalan Pewaris ? apakah ada wacana dimasukkan dalam
draf RUU Hukum Terapan PA?
3

PEMBAHASAN
Prospek pembaharuan Hukum Waris Islam Nasional
Hukum kekeluargaan Indonesia menuju kearah parental, hal ini terbukti dari
yurisprodensi. Hukum waris nasional berdasarkan Pancasila mendudukkan dan
menghormati hukum waris ajaran agama. Hukum kekeluargaan nasional Indonesia
cenderung menjurus menciptakan kekeluargaan parental (bilateral). Sistem perkawinan
nasional ditentukan oleh hukum agama, sistem perkawinan menentukan sistem
kekeluargaan. Bentuk kekeluargaan dan pengertian keluarga menentukan sistem
kewarisan.5
Dapat dilihat kecenderungan dalam hal kewarisan, bahwa hukum kewarisan sesuai
dengan cita-cita moral, cita-cita batin dan cita-cita hukum yang di inginkan oleh manusia
pemeluk agama akan menjadi keinginan dan kesadaran batin secara nasional. Pada masa
mendatang kesadaran akan hak-hak individu dan hak azasi manusia akan kuat. Oleh karena
itu dapat di perkirakan akan makin tumbuhnya individualisme dalam masyarakat
Indonesia. Gerakan emansipasi dan penuntutan akan hak kaum wanita juga telah tumbuh
dan meningkat. Oleh karena itu pada masyarakat modern ada kecenderungan makin
besarnya tuntutan kepada suami untuk bertanggung jawab memimpin keluarga yang terdiri
dari isteri dan anak-anak.
Dengan gambaran tersebut, dapat diprediksi bahwa prospek sistem kekeluargaan
manusia modern di masa mendatang adalah sistem kekeluargaan bilateral individual.
Selanjutnya dapat diprediksi, bahwa sistem kewarisan mayorat dan sistem kewarisan
kolektif tidak akan berkembang dalam masyarakat Indonesia di masa mendatang seiring
dengan kemajuan dan tuntutan kebutuhan kehidupan.
Karena hukum perkawinan sudah menurut agama, maka hukum kewarisan agama
berlaku bagi pemeluknya. Bagi hukum kewarisan agama yang tidak menjangkau ketentuan
hukum waris, dapat diberlakukan hukum adat. Maka terlihat gambaran bahwa, hukum
waris Islam bagi yang Bergama Islam dan hukum waris adat bagi yang beragama selain
Islam.6
Cita-cita inilah yang ingin dituju para praktisi hukum Islam, agar hukum kewarisan
termasuk dapat terbentuk dalam suatu Undang-undang Hukum terapan Peradilan Agama.
Beberapa Trobosan pembaharuan dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia kini
dan dimasa mendatang:
1. Trobosan Pembaruan kedudukan Anak Perempuan mendinding Saudara
Kandung dan paman
Salah satu trobosan pembaharuan hukum waris, yang telah menjadi Yurisprodensi,
yang ketika itu menghebohkan dikalangan ahli Hukum Islam di Indonesia, Yaitu dalam

5
DR.H.Ichtijanto,SA,SH, Kedudukan anak laki-laki dan Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Islam
Di Masa Mendatang, Mimbar Hukum, No. 27 tahun 1996, hlm 47-48.
6
Ibid, hlm.48-49.
4

kasus kewarisan antara Hj.Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah dkk
melawan H. Nur Said bin amaq Mukminah dkk, yang terjadi di Mataram, Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat. Putusan PA. Mataram No. 85/Pdt.G/92/PA.MTR, Putusan PTA
Mataram No.19/Pdt.G/1993/PTA.MTR dan Putusan Mahkamah Agung RI
No.86K/AG/19947 tgl 28 April 1995, Ringkasan kasus posisinya bahwa di Dusun
Malimbo, Desa Pemenang Barat Kec. Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, pernah hidup
dua orang laki-laki bersaudara kandung, yakni Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah, bahwa
amaq Itrawan telah meninggal dunia pada th 1930 dengan meninggalkan ahli waris dan
ahli waris Pengganti yaitu para Penggugat. Begitu juga Amaq Nawiyah telah meninggal
dunia dengan meninggalkan seorang anak Perempuan bernama Le Putrahimah binti Amaq
Nawiyah alias Hj.Hikmah. Bahwa amaq Itrawan (saudara Amaq Nawiyah) sewaktu masih
hidup pernah menguasai harta Peninggalan amaq Nawiyah karena pada saat itu Le
Putrahimah masih kecil, dan setelah dewasa seiring telah meninggalnya Amaq Itrawan
seluruh peninggalan Amaq Nawiyah kembali di kusai Le Putrahimah, sedangkan H. Nur
Said dkk yang merasa sebagai cucu dari Amaq Itrawan (saudara kandung amag Nawiyah)
merasa berhak atas harta warisan Amaq Nawiyah, karena Saudara laki-laki mendapat
bagian ashobah jika ahli waris hanya terdiri dari seorang anak Perempuan. Inti dasar
pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI, dengan mengambil pendapat Ibnu Abbas,
seorang sahabat Rasulullah, seperti di kemukakan oleh Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya,
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “walad” dalam ayat tersebut diatas
mencakup anak laki-laki dan anak perempuan, pendapat ini sejalan dengan madzab Zahiri.
Alasan MA antara lain bahwa kata “Walad” yang dimaksud dalam Al-Qur’an bukan saja
untuk anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Misalnya dalam ayat 11 surat an-Nisa’
Allah berfirman dengan memakai kata”awlad”(kata jama’ dari kata walad) yang
artinya:”Allah wajibkan kamu tentang “awlad” (anak-anak kamu), buat seorang (anak)
laki-laki (adalah) seperti bahagian dua anak perempuan...”
Kata “awlad” dalam ayat tersebut mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.
Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, menurut MA juga mencakup anak laki-laki dan
anak perempuan. Sehingga baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing
mendinding saudara kandung si pewaris dari mendapat harta peninggalan. Kesimpulan dari
kasus diatas adalah bahwa keberadaan anak Perempuan si pewaris yaitu Le Putrahimah
alias Hj.Hikmah menjadi penghalang bagi Amaq Itrawan (saudara kandung pewaris) dari
mendapat harta warisan. Selanjutnya diikuti Putusan Mahkamah Agung dalam kasus
serupa seperti kasus di PA Pekalongan No.820/G/1991 , Putusan PTA Semarang
No.69/G/1991 dan Putusan MA REG.No. 184 K/AG/1995,8 antara Wariyem Binti

7
Salinan Putusan Mahkamah Agung RI, No.86 K/AG/1994, tgl. 28 April 1995, Jurnal Mimbar
Hukum, No. 30 Tahun 1997, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, hlm. 145-151.
8
Salinan Putusan MA. REG.No.184 K/AG/1995, tgl 25 Juni 1996, Jurnal Mimbar Hukum, No. 37
tahun 1998, Al-hikmah dan Ditbinbapera Islam, hlm. 121-128.
5

H.Asrori melawan H.Mundiyah Binti H.Abas dkk, inti pertimbangan Mahkamah Agung,
Bahwa dengan adanya anak perempuan dari pewaris (tergugat asal I) maka saudara-
saudara kandung pewaris (penggugat asal) tertutup (terhijab) oleh tergugat asal. Oleh
karenanya penggugat-penggugat asal tidak berhak atas harta warisan. Kasus serupa juga
terjadi di PA Cibadak Wilayah PTA Bandung dan seterusnya.
Dari berbagai Yurisprodensi MA dalam kasus serupa, belum tentu menjamin
putusan tersebut mengikat hakim di tingkat Pertama dan hakim Tingkat Banding untuk
mengikutinya karena sistem hukum yang diikuti di Indonesia bukan seperti Negara anglho
saxon. Oleh karena itu diusulkan kelak di dalam draf RUU hukum terapan PA dimasukkan
dalam pasal tersendiri tentang kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di saat
menjadi ahli waris bersama saudara atau paman, maka anak pewaris dapat mendinding
saudara dan paman. Dengan demikian rujukan hakim jelas dan tidak bervarisi. Walaupun
di pasal 174 ayat (2) dinyatakan “ Apabila ahli waris semua ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya, anak, ayah, ibu, janda atau duda”.
Ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KHI tersebut, berbeda dengan
ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata Barat (BW), karena masih adanya persepsi
dimana fikiran sebagian kalangan bahwa terobosan pembaharuan hukum waris Islam
tersebut menyesuaikan ketentuan hukum waris perdata umum, sebagaima BW mengatur
urutan tertib penerimaan warisan ahli waris dari pewaris berdasarkan golongan urutan
menjadi empat Golongan.
1. Golongan ke I (pasal 852,852 a BW) terdiri dari anak dan keturunannya dan Suami atau
Istri.
2. Golongan ke II (pasal 854, 855, 856, 857 BW) terdiri dari ayah, Ibu, Saudara-saudara
dan keturunannya.
3. Golangan ke III ( pasal 853 BW) terdiri dari kakek, nenek dari pihak bapak dan
seterusnya keatas, dan Kakek, nenek dari pihak Ibu dan seterusnya keatas.
4. Golongan ke IV (858,861) terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis
menyamping sampai derajat keenam.
Keempat golongan tersebut diatas sekaligus merupakan urutan tertib
penerimaannya, kalau golongan I ada, maka golongan II,III,dan IV tidak berhak mendapat
bagian warisan. Kalau golongan I tidak ada, maka Golongan II tampil sebagai penerima
warisan, sedangkan golongan ke III dan keempat tertutup golongan ke II. Golongan ke III
akan mendapat bagian warisan kalau golongan I dan II tidak ada, demikian juga golongan
ke IV akan mendapat bagian warisan kalau golongan I.II dan III tidak ada.9
Dari trobosan pembaruan Hukum Waris tentang Kedudukan Anak dapat
mendinding saudara dan paman, penulis setuju dengan pendapat Mahkamah Agung yang

9
Drs.H.Suparman Usman, SH, Ikhtisar Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW), Darul Ulum press, Serang, 1993, hlm. 64.
6

termuat dalam Yurisprodensi,sesuai dengan pertimbangannya. Namun Prospek pembaruan


tersebut akan pudar jika hanya di bingkai dalam Yurisprodensi. Oleh karena ini penulis
usulkan untuk dimasukkan dalam pasal Undang-undang Hukum Terapan PA.

2. Terobosan Pembaruan plaatvervulling (Ahli waris Pengganti) yang semula hanya


dari keturunan anak laki-laki menjadi semua keturunan ahli waris anak, baik laki-
laki maupun perempuan yang meninggal dunia terlebih dahulu dari Pewaris.
Pada dasarnya didalam kitab Faraid Konfensional yang termuat dalam kitab fiqih,
telah mengenal ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris yang di gantikan
kedudukannya oleh anak keturunannya. Namun istilah yang digunakan bukan ahli waris
mengganti. Apapun istilahnya menurut penulis hal itu pada hakekatnya juga dinamakan
ahli waris Pengganti, walaupun tidak penuh. Kenapa tidak penuh ?, karena yang dianggap
berhak dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris Pengganti hanya keturunan dari anak
laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari Pewaris dengan kata lain hanya cucu laki-laki
dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (Ibnul-Ibni dan Bintul-Ibni) yang dapat
menerima warisan dari kakeknya, itu pun bagiannya telah ditentukan secara pasti baik
sebagai ashobah maupun dzawil-furudl. Contoh bintu ibnin jika menerima bersama
seorang anak perempuan maka mendapat bagian 1/6. sedangkan cucu laki-laki maupun
cucu perempuan dari keturunan anak perempuan (Ibnul-Binti dan Bintul-Binti) tidak dapat
menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena termasuk dzawul Arham.
Secara tegas dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
10
Agama tentang Azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti.
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174
KHI.
(2) Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan
pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang
disebutkan pada pasal 174 KHI. Di antaranya keturunan dari anak laki-
laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi
dan keturunannya.
(paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena
paman sebagai ahli waris langsung yang disebut pada pasal 174 KHI).
Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal right
and equal status) yang diperankan oleh azas hukum warisan baru, pandangan lama tersebut
telah mengalami perluasan (extend) dan pembaharuan. Sejalan dengan pembaharuan
tersebut, telah diakui hak dan kedudukan keturunan dari anak perempuan yang meninggal
terlebih dahulu dari orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 185 KHI

10
Pedoman Tehnis Administrasi dan teknis Peradilan Agama, BUKU II, Edisi 2007, Mahkamah
Agung RI 2008, hlm. 168.
7

yang menegaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”.
Padahal paham yang dinut sebelum KHI, Hukum Islam (Kitab Fiqih) tidak
membenarkan kedudukan ahli waris pengganti dari keturunan anak perempuan, bahkan
ahli waris Pengganti dari keturunan anak laki-laki jika diantara Ahli Waris tersebut
terdapat anak laki-laki maka cucu dari keturunan anak laki-laki yang meningal terlebih
dahulu dari Pewaris menjadi terdinding (terhijab). Apa alasan perumus KHI
mencantumkan Pasal 185 tersebut ? Menurut M.Yahya Harahap,SH11 Barangkali
didasarkan atas berbagai pemikiran. Antara lain, bertitik tolak dari alasan Sosial Ekonomi
pada satu sisi dikaitkan dengan larangan monopoliistik atas harta warisan serta alasan
kepatutan dan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya anak yatim yang
ditinggal oleh ayah atau ibunya, lebih lemah dan lebih sengsara di banding saudara
ayahnya atau ibunya? Apabila pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara ayah
atau ibu hidup lebih mapan ekonominya, sedang mereka sebagai anak yatim, hidup
terlantar. Pantaskah, layakkah, dan manusiawikah menyingkirkan mereka untuk mewarisi
harta kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya? Budayakah dalam hal seperti itu,
saudara-saudara mendiang ayah atau ibunya memonopoli harta warisan kakek/neneknya,
meskipun keadaan kehidupan sosial ekonominya sudah kuat dan mapan?.
Problematika Porsi Ahli Waris Pengganti.
Berdasarkan pasal 185 ayat (2) KHI, tentang porsi ahli waris Pengganti dinyatakan
bahwa “Bagian bagi ahli waris waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti”.
Jika ketentuan pasal tersebut difahami sesuai yang tersurat , maka dapat
digambarkan contoh kasus seperti demikian:
A. Contoh kasus ahli waris terdiri dari Ayah, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki dan
seorang anak perempuan serta saudara laki-laki kandung, harta warisan Rp 18 juta;
- ayah : 1/6
- Anak laki-laki : Ashobah
- Cucu dari Anak laki-laki : Ashobah
- Anak Perempuan : Ashobah bil ghoir
- Saudara lk kandung : Mahjub karena ada anak
Pembagiannya demikian
Asal masalah : 6
- Ayah : 1/6 x Rp 180 juta : Rp 30 juta;
- Anak laki-laki : 2/6 x Rp 180 juta : Rp 60 juta;
- Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x Rp 180 Juta : Rp 60 Juta;

11
M.Yahya Harahap,SH, Kedudukan wanita dalam Hukum Kewarisan, Majalah Mimbar Hukum,
No.10, 1995, hlm.99
8

- Anak Perempuan : 1/6 x Rp 180 Juta : Rp 30 Juta;


: 18 Jumlah : Rp 18 Juta;
Dari contoh kasus tersebut jika di terapkan secara tekstual dengan menerapkan
plaatvervulling ansich, maka “ahli waris Pengganti” adalah tergolong “ashobah” dan dalam
suatu kasus kewarisan, bisa jadi bagian “ahli waris Pengganti” (baca Cucu) ternyata lebih
besar dari pada bagian yang diperoleh “anak perempuan pewaris yang masih hidup, kalau
ahli waris yang diganti itu “anak laki-laki”, sedangkan “anak perempuan” pewaris yang
masih hidup mendapat separo dari cucu , kalau ahli waris yang diganti itu “anak
perempuan” maka mendapat bagaian seperti anak perempuan. Contoh ini tidak tepat dan
tidak adil, harus dicari yang terbaik.
B. Contoh kasus ahli waris terdiri dari seorang Anak perempuan, seorang Cucu
Perempuan dari anak laki-laki dan seorang Cucu Perempuan dari anak anak
Perempuan.harta warisan Rp 7 Milyar, dengan menerapkan cucu pr dari anak laki
mendapat 1/6 karena ada Nash dan Cucu pr dar anak pr mendapat sama dengan anak pr
karena ahli waris pengganti, maka bagiannya adalah sebagai berikut.
- Seorang anak Perempuan : ½ bagian
- Cucu pr dari anak lk : 1/6 karena untuk melengkapi 2/3 sesuai hadist
takmilussulustain.
- Cucu pr dari anak pr : ½ karena posisi sebagai ahli waris Pengganti.
Pembagiannya demikian
Asal masalah : 6
- Anak perempuan : 2/6 : 3/7 x Rp 7 Milyar : Rp 3 Milyar
- Cucu Pr dari anak laki-laki : 1/6 : 1/7 x Rp 7 Milyar : Rp 1 Milyar
- Cucu Pr dari anak Pr : 2/6 : 3/7 x Rp 7 Milyar : Rp 3 Milyar
Jumlah : 7 aul Jumlah : Rp 7 Milyar
Dari contoh kasus C, posisi cucu perempuan dari anak laki-laki rugi dan dirasa
kurang adil karena hanya mendapat 1/6 bagian, hal itu terjadi sebab terdapat Nash hadist,
sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan aman dengan mendapat sama bagian dari
anak perempuan, karena tidak ada nash yang menetapkan bagian tertentu, padahal dalam
penerapan pembagian faraid konvensional posisi cucu perempuan dari anak perempuan
termasuk dzawil arham. Cara ini juga tidak tepat dan tidak adil, harus dicari yang terbaik.
C. Contoh kasus ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan
dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan. Harta warisnya Rp 5
Milyar, dengan menerapkan cucu mendapat 1/6 bagian sesuai nash hadist, maka
pembagiannya sebagai berikut.
- Anak perempuan :½
- Cucu pr dari anak lk : 1/6
- Cucu Pr dari anak Pr : 1/6
9

Pembagiannya demikian
- Asal masalah :6
- Anak pr : 2/6 : 3/5 x Rp 5 Milyar : Rp 3 Milyar;
- Cucu Pr dari anak Lk : 1/6 : 1/5 x Rp 5 Milyar : Rp 1 Milyar;
- Cucu Pr dari anak Pr : 1/6 : 1/5 x Rp 5 Milyar : Rp 1 Milyar;
Jumlah : 5 (rod) Jumlah total :Rp 5 Milyar.
Dari contoh kasus D dirasa ada perimbangan antar cucu sama-sama mendapat 1/6
bagian dengan tanpa mengurangi maksud pengertian pasal 185 ayat (2) KHI, tidak boleh
melebihi ahli waris yang sederajat. Barang kali ini yang lebih mendekati keadilan antar ahli
waris pengganti.
Pernah penulis menangani kasus perkara warisan mirip kasus C, minus cucu
perempuan dari anak perempuan, kasusnya terjadi sekitar tahun 2000 di PA Selong,
wilayah PTA Mataram, sayang salinan putusan baik dari PA maupun PTA tidak sempat
penulis simpan. Ketika itu penulis disamping bertugas sebagai hakim, pada kesempatan
diluar jam dinas sambil mengajar di Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani
Lombok Timur NTB, Kuasa Hukum Penggugat adalah beberapa orang Pengacara yang
kebetulan teman Dosen di Fakultas yang sama. Perjalanan kasusnya seorang Meninggal
dunia dengan meninggalkan seorang anak Perempuan bersama Cucu Perempuan dari anak
laki-laki (bintul-Ibni). Singkat kisah Sebagai Hakim kami putuskan sesuai dengan
ketentuan Pasal 185 ayat 2, dengan interpretasi hakim, bahwa bagian ahli waris Pengganti
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris sederajat yang masih hidup. Dengan rasio
pemikiran bagian cucu tidak boleh melebihi dari bagian anak, sehingga seorang anak
Perempuan mendapat ½ bagian, begitu pula cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul-
Ibni) mendapat ½ bagian, dan penulis tidak berpedoman kepada hadist dimana cucu
perempuan mendapat 1/6 bila bersama seorang anak perempuan. Putusan mana telah
ternyata tidak membuat Penggugat melalui kuasanya puas dan menerima. Menurut
pendapat kuasa Penggugat, bahwa seharusnya Cucu perempuan dari anak laki-laki
mendapat dua kali bagian dari anak perempuan, sebab cucu tersebut sebagai Ahli waris
Pengganti sebagaimana ketentuan plaatvervulling dalam ketentuan hukum perdata. Pada
akhirnya kuasa Penggugat Banding, dan atas putusan PTA Mataram bahwa dalam kasus
tersebut, inti pertimbangan hukum hakim di Tingkat Banding, bahwa dalam kasus tersebut
posisi cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul-Ibni) tidak termasuk dalam katagori ahli
waris Pengganti sebagaimana ketentuan pasal 185 KHI, karena terdapat Nash Hadist yang
shoreh, “bila Ahli waris terdiri dari Seorang Anak Perempuan bersama Cucu Perempuan
maka cucu Perempuan mendapat 1/6 bagian, hal ini untuk melengkapi bagian 2/3”. Jadi
untuk anak Perempuan mendapat ½ bagian sedang cucu mendapat 1/6 bagian sisanya di
rod kan. Dari Putusan PTA Mataram tersebut, secara hakiki penulis menerima karena
sepanjang terdapat Nash yang khot’i dalalah, sebagai hakim kami dapat menerima,
10

walaupun menyimpangi ketentuan bagian ahli waris Pengganti. Sedangkan Kuasa


Penggugat sangat kecewa dan menyesal mengapa harus banding, ingin mendapat porsi
lebih besar ternyata mendapat bagian lebih kecil, Kuasa Penggugat sempat berdiskusi
dengan penulis yang ketika itu rekan Dosen, dan pada akhirnya mereka memilih untuk
tidak mengajukan kasasi, tetapi memilih dengan jalan ber negosiasi, dan setelah
menempuh jalan tersebut pada akhirnya terjadi kesepakatan untuk melaksanakan
sebagaimana hasil putusan Hakim Pengadilan Agama Selong, dengan membagi secara
damai sama-sama ½ bagian.
Dari contoh kasus tersebut timbul pemikiran gelisah dari penulis, jika menemui
kasus serupa apakah memutus berdasar ketentuan Nash Hadist ataukah seperti dalam
pengertian dalam KHI, atau menerapkan ketentuan dalam Plaatvervulling secara utuh?
Inilah problematika. Penulis setuju tentang dipertahankanya ahli Waris Pengganti, Oleh
karena itu melalui tulisan ini kelak dalam Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan
Agama, dalam porsi bagian Ahli waris Pengganti, di usulkan maksimal bagiannya sama
dengan bagian anak perempuan yang masih hidup, dan atau lebih tegas ditentuan bagian
angka yang lebih pasti yang termuat dalam pasal Undang-Undang Hukum Terapan PA,
sehingga tidak timbul interpretasi angka bervariasi.

3. Trobosan Pembaruan terhadap pengembangan mal waris.


Kembali pengalaman menangani perkara waris pada saat penulis bertugas di PA
Selong Lombok Timur NTB, sayang lagi-lagi berkas/ Surat gugatan perkaranya tidak
penulis simpan, karena pada waktu itu para pihak setelah dinasehati hakim dan di berikan
pandangan akhirnya, sepakat untuk mencabut karena terjadi perdamaian, dan langsung di
bagi sesuai kesepakatan, tanpa meminta putusan perdamaian dan memilih perkaranya
untuk di Cabut.
Ringkas kasusnya, seorang laki-laki meninggal dunia pada sekitar tahun 1980 an
dengan meninggalkan seorang anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. Dengan
peninggalkan harta benda berupa dua bidang tanah sawah seluas : 2 Ha dan 64 ekor
kerbau. Ketika berperkara tahun 1999, sawah dan kerbau di kuasai oleh anak laki-laki
sendiri selama belasan tahun dan dilanjutkan oleh keturunannya (cucu) pewaris, sedangkan
kala itu anak perempuan sesuai adat di Lombok hanya mendapat bagian dari hasil sawah.
Ketika anak laki-laki masih hidup anak perempuan tidak berani meminta bagian secara
faraid, karena sistem adat Lombok seluruh tanah warisan dikuasai oleh anak Laki-laki
seperti adat warisan di Bali (sistem Mayorat) sedang anak perempuan hanya mendapat
hasilnya saja. Keadaan lain dalam hal warisan terkadang menerapkan sistem kewarisan
kolektif jika meminta bagian warisan dirasa sesuatu yang pemali (tidak pantas) bagi orang
perempuan, Dalam tenggang rentan waktu sekitar belasan tahun, saat harta peninggalan di
kuasai oleh anak laki-laki harta tersebut berkembang yang semula tanah warisan 2 Ha
11

menjadi 2,5 Ha begitu juga kerbau yang pada saat meninggalnya pewaris berjumlah 64
ekor, belum lagi yang telah dipotong atau dijual, ketika di ajukan gugatan ke Pengadilan
Agama Selong, total kerbau masih berjumlah 99 ekor. Dan Setelah anak laki-laki
meninggal pada tahun 1997 harta dikuasai oleh anak keturunan dari anak laki-laki (cucu).
Oleh karena itu para anak perempuan berusaha meminta baik-baik bagian warisan tetapi
oleh keponakannya selalu ditolak dengan alasan merupakan warisan bapaknya, akhirnya
para anak perempuan yang tak lain bibinya menggugat harta warisan tersebut yang waktu
itu di kuasai oleh Cucu dan sekaligus menggugat pengembangan dari harta peninggalan
Pewaris, karena penggugat (bibinya) merasa dirugikan selama belasan tahun tanpa dapat
menikmati harta peninggalan orang tuanya dan hanya mendapat bagian panen hasil sawah
yang tidak sesuai dengan harapan. Melalui proses mediasi negosiasi (upaya perdamaian
saat itu), akhirnya di capai kesepakatan dengan konpensasi perhitungan biaya upah
pemeliharaan sawah dan kerbau yang telah diperhitungkan. Sisa nya dibagi sesuai
kesepakatan semua pihak dan perkaranya di Cabut dengan tanpa minta putusan
perdamaian, karena para cucu dan anak perempuan langsung berbagi secara damai.
Fenomena Pembaharuan Mal waris tersebut, dapat terjadi di masa kini dan dimasa
akan datang sebagai mana contoh ilustrasi sebagai berikut:
- pewaris pada saat masih hidup punya saham di beberapa perusahaan yang terus
berkembang, katakanlah pada saat pewaris meninggal dunia, jika di hitung saham
pewaris ketika itu 1 milyar, dan terus berkembang di kuasai salah seorang ahli waris.
Jika terjadi sengketa apakah harta warisan yang 1 milyar saja ataukah termasuk
pengembangannya?
- Seorang penulis buku, ternyata bukunya berulang dicetak padahal penulisnya telah
meninggal dunia, pada setiap terbitan sang pengarang selalu mendapat Royalty.
- Seorang musisi yang menghasilkan Album lagu-lagu yang laris terjual dan royalty nya
terus mengalir sepanjang masih laris dan dapat dinikmati salah seorang ahli warisnya.
- Pewaris yang ketika hidup mempunyai Deposito di Bank yang bunganya terus
berkembang.
- Seorang Prodoser mempunyai Studio rekaman yang hasilnya terus mengalir setiap kali
menerima rekaman lagu dan rekaman lainnya.
- Dan yang paling sederhana seorang Pewaris meninggalkan Rumah kos-kosan dan
hasilnya hanya dikuasai salah seorang diantara ahli waris.
Contoh ilustrasi tersebut diatas, ketika pemilik meninggal dunia, Apakah harta
warisannya hanya sampai terbatas pada saat meninggalnya pewaris ataukah termasuk
pengembangannya, termasuk bunga deposito, jumlah property dan royalty serta hasil kos-
kosan dan seterusnya?
Jika ditinjau dari ketentuan pasal 171 KHI huruf (d) yang berbunyi :” Harta benda
yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak-haknya”. Sedangkan pada huruf (e)
12

menyatakan. “ Harta warisan adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Apakah Ketentuan pasal 171 KHI huruf (d) sudah cukup jelas atau perlu di perjelas
lagi tentang pengembangan harta warisan?
Pemikiran Pembaharuan mal waris sebagaimana penulis uraikan kiranya tidak menutup
kemungkinan akan terjadi dan pasti terjadi seiring dengan kemajuan zaman. Oleh karena
itu penulis mengusulkan kiranya di dalam pasal Undang-Undang Hukum Terpan PA
dimasukkan tentang pengembangan harta warisan di hitung sebagai harta warisan, wacana
penulis ini harap mendapat perhatian dan tanggapan.
4. Trobosan pembaruan Ahli waris beda Agama dengan pewaris dengan mendapatkan
bagian harta peninggalan berdasarkan melalui wasiat wajibah.
Perbedaan regulasi dalam hukum Islam akibat perbedaan hukum atau keyakinan
yang dianut Para pakar hukum Islam dan juga oleh ahli waris pun sangat beragam. Satu hal
yang sangat prinsip seperti dalam hukum waris Islam, agama adalah salah satu syarat
paling penting agar harta kekayaan bisa dialihkan kepada ahli waris. Ini berarti agama yang
dianut oleh pewaris semasa hidup berlaku sebagai kriteria utama untuk menentukan apakah
ahli waris dapat menerima warisan atau tidak; jika ahli waris menganut agama yang sama
dengan agama yang dianut pewaris semasa hidupnya, maka ahli waris dapat menerima
harta warisan, jika tidak maka mereka tidak akan dapat apa-apa dari jalan hukum waris.
Walaupun persyaratan kesamaan agama yang dianut antara pewaris dengan ahli warisnya
tidak berasal dari al-Qur’an melainkan dari hadits Nabi, namun aturan ini dipandang oleh
para fuqoha’ sebagai salah satu syarat orang terpenting dalam memutuskan pewarisan
harta warisan kepada ahli waris.12 Begitu pula dengan di Indonesia persoalan muncul
ketika ahli waris menganut agama yang berbeda dari yang dianut oleh pewaris.
Suatu trobosan baru seiring dengan perkembangan zaman dinegara yang
berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk toleransi antar sesama pemeluk agama, yaitu
munculnya Azas Legaliter, maksudnya kerabat karena hubungan darah yang memeluk
Agama selain Islam mendapat wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian, dan tidak
boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajad dengannya,.13
Seiring dengan pembaruan ahli waris beda agama tersebut, penulis memberikan
komentar bahwa bisa saja ahli waris beda agama menerima harta peninggalan melalui
wasiat wajibah, tetapi ada syarat bahwa ketika pewaris masih hidup, hubungan keseharian

12
Tidak seorangpun ahli hukum islam yang menentang keshohehan hadits yang melarang kewarisan
antar iman antara orang Muslim dengan non Muslim. Hal ini mungkin menjadi alasan utama mengapa tidak
satupun dari mereka yang ingin mempertanyakan larangan tersebut. Larangan kew risan antar iman dpat
dikatakan sebagai aturan baku dalam sistem kewarisan islam mengingat tidak ada kitab-kitab fikih yang
mempersoalkan posisi Tarikat marjinal orang non Muslim dalam hukum waris Islam. Lihat penjelasan ini
dalam ‘Abd Allah al- Darqawi, Ahkam al- wa al-Mawarits (al-Rabat): Maktabah al-Shahab, 1999, hlm. 44-48
13
Buku II, Op-cit. hlm. 170-171.
13

anatara pewaris dengan ahli waris yang beda agama, hidup rukun damai dan saling toleran.
Seperti memperhatikan kehidupan orang tuanya, merawatnya ketika sakit dan seterusnya.
Sebaliknya jika semasa hidupnya pewaris anti pati dan tidak rela anaknya berbeda agama
dengan orang tuanya (pewaris), maka jalan wasiat wajibah tidak sepatutnya diterapkan.
Penulis setuju jika anak berbeda agama dengan Pewaris yang beragama Islam,
mendapat bagian harta peninggalan Pewaris melalui wasiat wajibah maksimal 1/3 harta.
Hal ini sebagaimana Petunjuk Buku II tahun 2007 Edisi refisi, namun diusulkan agar
dimasukkan dalam pasal Undang-Undang Hukum terapan PA.
Lebih lanjut dalam ipesude yang lain penulis akan usulkan beberapa hal kiranya
sebagai masukan konsep Hukum terapan Peradilan Agama.

KESIMPULAN/ USUL SARAN


1. Terobosan Pembaruan hukum kewarisan Anak perempuan yang mendinding saudara di
usulkan untuk dimasukkan dalam pasal bagian anak perempuan jika bersama saudara
atau ahli waris lainnya.
2. Redaksi Pasal 185 ayat (2) yang berbunyi “ Bagian bagi ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti”, kiranya di usulkan
Redaksinya dibuat secara tegas bagiannya.
3. Terobosan Pembaharuan pengembangan Mal waris, di usulkan kiranya dapat secara
tegas dimasukkan sebagai harta warisan pewaris dan dituangkan dalam pasal UU
hukum Terapan PA.
4. Terobosan pembaruan bagian ahli waris beda agama melalui wasiat wajibah, dapat
dipertimbangkan sepanjang selama pewaris ketika masih hidup ahli waris yang beda
agama dengan pewaris hidup dalam suasana rukun damai dan toleransi.
Dari kesimpulan artikel diatas, penulis mengusulkan kiranya dalam Draf RUU
Hukum terapan kelak memasukkan pembaruan hukum kewarisan diantara uraian tulisan
diatas tersebut. Agar menjadi pedoman Hakim Khusunya dan masyarakat pencari
keadilan pada umumnya.
Kiranya dalam penulisan diatas, masih banyak kekurangan dan kekeliruan, karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Semoga gagasan yang ketinggalan ini mendapat
sambutan dari penggemar Situs Badilag kebanggaan orang PA.

&&&&&&&&&&&
14

DAFTAR PUSTAKA
Ismail Suny, ” Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, di dalam Tjun

Surjaman(Ed), Hukum Islam di Indonesia, cet.2, Bandung, Remaja Rosdakarya,1994, hlm.73.

Ichtijanto,”Pembangunan Hukum Islam Perspektif Moral”, dalam Moh.Busyro M.dkk,(Ed) Politik

Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta UII Press, 1992), hlm.75.

Ratno Lukito, “Hukum sakral dan hukum sekuler”, pustaka Alvabet, Jakarta, 2008, hlm. 347

DR. H. Ichtijanto, SA, SH, “Kedudukan anak laki-laki dan Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Islam Di Masa

Mendatang”, Mimbar Hukum, No. 27 tahun 1996, hlm 47-48.

Salinan Putusan Mahkamah Agung RI, No.86 K/AG/1994, tgl. 28 April 1995, Jurnal Mimbar Hukum, No. 30

Tahun 1997, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, hlm. 145-151.

Salinan Putusan MA. REG.No.184 K/AG/1995, tgl 25 Juni 1996, Jurnal Mimbar Hukum, No. 37 tahun 1998,

Al-hikmah dan Ditbinbapera Islam, hlm. 121-128.

Drs. H. Suparman Usman, SH, “Ikhtisar Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)”,

Darul Ulum press, Serang, 1993, hlm. 64.

Pedoman Tehnis Administrasi dan teknis Peradilan Agama, BUKU II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI 2008,

hlm. 168.

M. Yahya Harahap, SH, “Kedudukan wanita dalam Hukum Kewarisan”, Majalah Mimbar Hukum, No.10,

1995, hlm.99

‘Abd Allah al- Darqawi, “Ahkam al- wa al-Mawarits (al-Rabat)” : Maktabah al-Shahab, 1999, hlm.

44-48

You might also like