Professional Documents
Culture Documents
Teguh Julianto
ABSTRACT
Pendahuluan
Pada awalnya ada anggapan bahwa guru adalah orang yang paling tahu.
Paradigma itu kemudian berubah dan berkembang menjadi guru lebih dahulu
tahu. Namun pada era globalisasi sekarang ini bukan saja pengetahuan guru sama
dengan pengetahuan murid, bahkan bisa jadi murid lebih dulu tahu dari pada
gurunya. Kondisi demikian dapat terjadi akibat adanya perkembangan media
informasi di sekitar kita. Pada masa sekarang ini, guru bukan lagi satu-satunya
sumber belajar. Banyak contoh kejadian, di mana siswa dapat lebih dahulu
mengakses informasi dari media masa seperti surat kabar, televisi, bahkan internet
dibandingkan gurunya. Bagaimana guru menyikapi perkembangan ini?
Teguh Julianto, S.Pd., M.Si. adalah staf pengajar tetap pada Program Studi
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto
32 Teguh Julianto, Peningkatan
Kualitas Pembelajaran ...
KHAZANAH PENDIDIKAN:
Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. I, No. 1 (September 2008)
atau kita ingin menjelaskan tentang sebuah sel atau ingin memberikan konsep
materi genetik (DNA) kepada siswa kita. Kita tidak mungkin dapat
“menghadirkan” obyek tersebut kepada siswa kita agar bisa dilihat dan diketahui
di dalam kelas.
Ada beberapa cara atau alternatif yang mungkin dapat dilakukan, yaitu:
- Cara pertama, kita akan bercerita tentang gajah, kereta api, pasar terapung.
bisa bercerita mungkin karena pengalaman, membaca buku, cerita orang
lain, atau pernah melihat gambar ketiga objek itu. Apabila murid anda
tersebut sama sekali belum tahu, belum pernah melihat dari televisi atau
gambar di buku misalnya, maka betapa sulitnya anda menjelas hanya dengan
kata-kata tentang objek tersebut. Kalau anda seorang yang ahli bercerita,
tentu cerita anda akan sangat menarik bagi murid-murid. Namun tidak
semua orang diberikan karunia kepandaian bercerita. Penjelasan dengan
kata-kata mungkin akan menghabiskan waktu yang lama, pemahaman murid
juga berbeda sesuai dengan pengetahuan mereka sebelumnya, bahkan bukan
tidak mungkin akan menimbulkan kesalahan persepsi.
- Cara kedua, kita membawa siswa untuk studi wisata melihat objek itu. Cara
ini merupakan yang paling efektif dibandingkan dengan cara lainnya.
Namun kita harus mempertimbangkan berapa biaya yang harus ditanggung,
dan berapa lama waktu diperlukan. Dengan demikian, cara ini walaupun
efektif namun tidak efisien.
- Cara ketiga, kita membawa gambar, foto, film, video atau model tentang
objek tersebut. Cara ini akan sangat membantu kita dalam memberikan
penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasan yang
kita berikan akan lebih mudah dimengerti oleh siswa, menarik,
membangkitkan motivasi belajar, menghilangkan kesalahan pemahaman,
serta informasi yang disampaikan menjadi konsisten.
- Kedua, media itu canggih dan mahal. Sebetulnya media tidak selalu harus
canggih dan mahal. Kita harus memperhatikan nilai dan makna penting dari
sebuah media. Nilai penting dari sebuah media bukan terletak pada
kecanggihandan harganya yang mahal, namun terletak pada efektivitas dan
efisiensinya dalam membantu proses pembelajaran yang kita laksanakan.
Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan sendiri oleh guru dengan
harga murah. Kalaupun dibutuhkan media canggih semacam audio visual atau
multimedia, maka “cost”-nya akan menjadi murah apabila dapat digunakan
oleh lebih banyak siswa.
- Ketiga, tidak bisa. Banyak guru yang merasa “demam” terhadap teknologi,
terutama teknologi informatika. Ada beberapa guru yang merasa “takut”
dengan peralatan elektronik. Ini yang disebut sebagai “gaptek” (gagap
teknologi”. Alasan ini menjadi lebih parah jika guru merasa takut akan
merusak alat yang canggih dan mahal, sehingga banyak peralatan multi media
audio visual sejak beli masih tetap tersimpan rapih di ruang kepala sekolah.
Jika dilanjutkan, maka paradigma guru yang seperti ini akan menghambat
perkembangan pendidikan. Sebenarnya, dengan sedikit latihan dan mengubah
sikap bahwa media itu mudah dipelajari dan menyenangkan, maka segala
sesuatunya akan berubah yang berkaitan dengan sikap tersebut dapat
diselesaikan.
- Keempat, media itu hiburan sedangkan belajar itu serius. Alasan seperti ini
masih ada, namun jarang ditemukan. Menurut pendapat orang-orang
terdahulu bahwa belajar itu sesuatu yang harus dilakukan secara serius.
Belajar harus mengerutkan dahi. Media itu identik dengan hiburan. Hiburan
adalah hal yang berbeda dengan belajar. Tidak mungkin belajar sambil santai.
Ini memang pendapat orang-orang jaman dulu, namun paradigma belajar
sekarng ini sudah berubah. Jika memang bisa dilakukan dengan
menyenangkan, mengapa harus dengan menderita. Jika bisa dilakukan dengan
mudah, mengapa harus menyusahkan diri.
- Kelima, tidak tersedia. Alasan guru tentang media yang tidak tersedia di
sekolah, mungkin adalah alasan yang masuk akal. Tapi bagi seorang guru
tidak boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus
penuh inisiatif. Kita harus ingat bahwa media tidak harus selalu canggih,
namun yang penting digunakan dan dapat dikembangkan sendiri oleh guru.
- Technology. Dalam memilih media, mungkin saja kita tertarik kepada satu
media tertentu. Namun dalam memilih media yang akan kita pakai, kita
perlu memperhatikan apakah teknologinya tersedia dan mudah
menggunakannya. Skataontoh sederhana, jika kita ingin menggunakan
media audio visual di kelas, maka kita perlu memperhatikan ketersediaan
faktor pendukungnya, seperti ketersediaan sumber listrik.
- Novelty. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media adalah
aspek “up date” media. Kebaruan dari media yang kita pilih juga harus
menjadi pertimbangan. Media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih
menarik bagi pengguna.
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Molenda, Heinich Russell, 1982, Instructional Media and The New Technology of
Instruction, Canada: John Wiley & Son.