You are on page 1of 6

KH.

Zainal Abidin Moenauwwir


Pembela Syari’at Islam

Nasab KH. Zainal Abidin Moenauwwir


KH. Zainal Abidin Moenawwir dilahirkan di Bantul Yogyakarta pada tanggal
18 Jumadil Akhirah 1350 H bertepatan dengan tanggal 31 Oktober 1931 M. Beliau
merupakan putra ke 9 dari 11 saudara dari pasangan almarhum wa al-Maghfurlah KH.
M. Moenawwir al-Hafidz al-Muqri` bin KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan
Bashori (Kasan Besari, ajudan Pangeran Diponegoro) dengan istri kedua, Ibu Nyai
Sukis. KH. M. Moenauwwir sendiri dikenal di kalangan pesantren Abad 20 sebagai
ulama yang ahli dalam bidang qiraat al-Qur`an yang ternama.

Pendidikan KH. Zainal Abidin Moenauwwir


Sejak kecil, KH. Zainal Abidin Moenauwir hidup di lingkungan pesantren.
Pendidikan beliau dihabiskan di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta, dibawah bimbingan bapak beliau sendiri al-marhum wa al-Maghfurlah
KH.M. Moenauwir dan kakak ipar beliau al-marhum wa al-Maghfurlah KH. Ali
Maksum. Dengan pendidikan langsung yang ditangani bapak dan kakak iparnya
tersebut, KH. Zainal Abidin akhirnya menjadi seorang yang alim, khususnya dalam
bidang fiqh, bahkan pada masa berikutnya seringkali mendapat julukan sebagai ulama
fiqh-nya Yogyakarta untuk saat ini.
Tempaan yang dilakukan oleh KH. Ali Makshum terhadap KH. Zainal Abidin
dan saudara-saudara beliau yang lain, di antaranya KH. Abdul Qadir Moenauwir
(alm), KH. Mufid Mas’ud (Alm), KH. Nawawi Abdul Aziz , KH. Dalhar Moenawir,
KH. Ahmad Munawir (Alm) dan KH. Achmad Warson Munawir yang kesemuanya
adalah “ahlul bait“ keluarga Krapyak, sangatlah ketat dan disiplin. Kerasnya
Kaderisasi yang dilakukan oleh KH. Ali Makshum ini dibenarkan oleh K.H. Zainal
Abidin Munawwir, beliau menegaskan bahwa semasa dididik Kyai Ali dirinya
“dipaksa” untuk bisa menguasai kitab-kitab kuning. Terhadap “ahlul bait”, tambah
Kyai Zainal, Kyai Ali dikenal sangat keras. Hampir tak ada waktu untuk santai. Setiap
“ahlul bait” selalu dipantau perkembangan ilmunya. Kesaksian terhadap pola
pendidikan yang diterapkan KH. Ali Makshum, juga diungkapkan oleh KH. Achmad
Warson Moenawwir ketika mengenang kesungguhan KH. Ali Makshum dalam
mendidik beliau dan saudara-saudara beliau yang lain, pada suatu kesempatan beliau
mengatakan: ” Opo maneh ming didukani, disabet lan dibandem sandal, aku wis tau
nganti dicencang neng kayu... Simbok kadang nangis ndelok aku... Tapi nek Kang Ali
ora koyo ngono, ibarate lawlahu, aku ra ngerti aku bakal dadi opo...'' (Jangankan
hanya dimarahi, dipukul dan dilempar sandal pun sudah pernah saya alami, bahkan
diikat di sebatang kayu, Ibuku terkadang sampai menangis melihat saya seperti itu,
akan tetapi kalau KH. Ali Makshum tidak seperti itu, ibaratnya Laulahu (Jika tidak
ada dan bukan karena dia -Arab) saya tidak tahu saya mau jadi apa). Demikian halnya
yang dialami oleh mbah Zainal.
Selain dikenal sebagai seorang kyai dan pengasuh pesantren, KH. Zainal
Abidin Moenawwir juga dikenal sebagai kyai yang aktif berorganisasi, baik organisasi
politik maupun organisasi keagamaan. Dalam keorganisasian politik, beliau pernah
tercatat sebagai Ketua Golongan Partai Islam tahun 1964, Anggota DPRD DIY 1967-
1971, Anggota DPRD DIY/Ketua fraksi PPP 1971-1977. Sementara itu organisasi
keormasan, di antaranya adalah Pengurus Tanfidliyyah NU DIY 1963-1971, Pengurus
Syuriyah NU DIY 1971-1985, Mustasyar NU DIY 1985-1997, Pengurus Wilayah
Jam’iyyah Thariqah Mu’tabaroh al-Nahdliyyah dan Pengurus Besar (PB) Jam’iyyah
Thariqah Mu’tabaroh al-Nahdliyyah.
Aktivitas beliau di atas menunjukkan peran riil KH. Zainal Abidin dalam
berbagai hal, baik terkait dengan Agama, Negara maupun bangsa.

Pribadi yang Wira`i


Di antara sifat dan karakter mbah KH. Zainal yang dipahami oleh penulis
adalah Wira`i (kehati-hatian dalam bersikap) banyak contoh yang menggambarkan
sikap beliau ini. Di antaranya adalah terkait dengan penetapan awal bulan Ramadlan
dan Syawwal. Seperti telah dimaklumi, bahwa penetapan awal bulan ramadlan atau
syawal adalah dengan melakukan pengamatan langsung terhadap keberadaan
rembulan. hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW “Puasa lah kalian karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya” dan persaksian itu pada umumnya dapat
diterima dengan pengamatan satu orang saksi, dengan terlebih dahulu dilakukan
sumpah. Namun demikian, kebiasaan yang diterapkan mbah Zainal, tidak hanya
mencukupkan pada persaksian seseorang, tetapi lebih dari itu, menanyakan kepada
saksi tentang berbagai hal terkait dengan pengamatan awal bulan. Yang luar biasa
lagi, mbah Zainal sepertinya tidak mantap dalam menerima kesaksian seseorang
dalam pengamatan rembulan, kecuali terlebih dahulu menanyakan kepada para ulama
di daerah lain, utamanya ulama-ulama di Jawa Timur. Karena memang, pada
umumnya rukyat al-Hilal seringkali berhasil dari daerah tersebut.
Ada sebuah cerita yang berkaitan dengan penentuan awal bulan syawwal, yang
semakin menegaskan pengakuan terhadap sifat kewira’ian mbah Zainal. Diceritakan,
bahwa suatu ketika KH. Ali Makshum (mantan Rois Am PBNU dan kakak ipar KH.
Zainal Abidin) ditanya oleh seorang santri tentang penetapan bulan syawal, beliau
menjawab: ”kalo ada saksi, maka besok syawal”. Namun ketika beliau ditanya lagi:
Kapan takbiran dan shalat id (hari raya) di Masjid Krapyak? Mbah KH. Ali
Makshum menjawab: ”Kuwi urusane Zainal” (Kalo masalah itu, tanyakan ke Zainal
saja”.

Pemegang Teguh Hukum Islam (Fiqh)


Menurut pandangan penulis, KH. Zainal Abidin Moenauwwir merupakan
salah satu ulama yang sangat teguh di dalam menjalankan ajaran hukum Islam (fiqh).
Hal ini dialami oleh penulis, ketika berkesempatan nyantri kepada beliau. Sebagai
bukti terhadap keteguhan beliau di dalam memegang ajaran hukum Islam, dapat
dipaparkan disini beberapa peristiwa yang dapat menggambarkan hal itu.
Sekitar awal tahun 2000-an, secara tiba-tiba KH. Zainal memanggil beberapa
santri senior ke ndalemnya. dengan penuh tanda tanya dan rasa khawatir (karena
seperti pada umumnya kehidupan di pesantren, jika ada santri dipanggil oleh kyai,
mesti ada urusan yang sangat urgent. Misalnya di ta’zir atau lainnya) para santri
kemudian sowan ke dalem beliau. Setelah sejenak menanyakan kabar para santri yang
saat itu sowan, KH. Zainal Abidin kemudian bercerita bahwa, di sekitar jalan dekat
pondok yang sering dilalui oleh para santri, ditemukan patung, dan pasti para santri
yang lewat jalan tersebut melihatnya. Melihat patung, menurut KH. Zainal Abidin
(tentunya berdasarkan kepada beberapa literatur fiqh yang mu’tabar) adalah haram,
lebih-lebih bagi pembuatnya. Saat itu, para santri hanya manggut-manggut
mengiyakan apa yang disampaikan oleh beliau, dan hanya menganggapnya sebagai
cerita, karena memang sudah menjadi kebiasaan beliau, dimana ketika beliau
berkesempatan bertemu dengan santri, seringkali beliau bercerita berbagai hal,
utamanya yang terkait dengan masalah seputar fiqh.
Setelah diam beberapa saat, KH. Zainal kemudian melanjutkan dawuhnya: “
Kalo demikian, maka saya memerintahkan kepada kalian, bersama-sama menghadap
orang yang membuat patung, kemudian memintanya untuk tidak lagi
menempatkannya di pinggir jalan. kalo tidak mau, maka katakan kepada pembuat
patung, bahwa kami siap memindahkan patung tersebut, atau paling tidak menutupi
patung dengan kain sehingga tidak terlihat dari jalan. Gimana?“
Kami saat itu, tanpa banyak pikir mengikuti apa yang sudah didawuhkan beliau, dan
menemui pembuat patung. Tanpa disangka, pembuat patung yang saat itu kami temui
marah besar, sampai-sampai mengancam para santri dan hendak nggruduk pondok
serta mengajukan kami ke pengadilan. mendapat jawaban tersebut, para santri
kemudian menyampaikan kepada KH. Zainal. Tanpa disangka mbah Zainal tetap pada
pendiriannya. yaitu patung harus ditutupi. Para santri kemudian kembali kepada
pemilik patung, dan menyampaikan keinginan KH. Zainal, singkat cerita, dengan
negosiasi yang alot, akhirnya pemilik patung mengikuti apa yang didawuhkan mbah
Zainal.
Masih terkait dengan patung, ada cerita menarik yang sampai kepada penulis.
Suatu ketika, salah satu dari Putra KH. Zainal Abidin Moenauwwir sakit dan
menjalani rawat inap di Rumah sakit PKU Muhammadiyyah Yogyakarta. Saat beliau
menjenguk, bertemu dengan salah satu pengurus yayasan PKU Muhammadiyah, yaitu
Bapak Ir. KH. Basith Wahid, mBah Zainal kemudian bercerita kepada Ir. KH. Abdul
Basith tentang keprihatinannya terkait fenomena banyaknya rumah sakit yang ada
patungnya. KH. Zainal Abidin kemudian mengatakan“ Piye arep nyadong rahmate
Allah, yen ono patunge (Bagaimana bisa mengharap rahmatnya Allah/kesehatan jika
ada patung di rumah sakit “ Sejak saat itu, di RS. PKU Muhammadiyah tidak pernah
dibangun patung. Hal yang hampir mirip juga dialami sendiri oleh penulis, suatu
ketika penulis nderekke (mengantar) KH. Zainal Abidin Munawwir ke salah satu
rumah sakit di Yogya, untuk menjenguk keponakan beliau yang melahirkan. Spontan
ketika melihat patung yang ada di sekitar rumah sakit tersebut, KH. Zainal Abidin
berkomentar:“Malaikat Rahmat tidak mau masuk tempat yang ada patungnya“ . Hal
yang sama juga diterapkan kepada keluarga beliau. Bahkan menurut cerita istri beliau,
Ibu Nyai Hj. Ida Rufaida, MSI. diceritakan, suatu ketika bu Nyai Ida membeli
bantalan kursi mobil, kebetulan terdapat boneka kucing nya. serta merta bantalan
kucing tersebut dihilangkan kepalanya oleh KH. Zainal Abidin, mendapati hal
tersebut, Ibu Nyai Ida kemudian mengatakan:“waduh, harganya mahal kok dirusak.
Kenapa kepala bonekanya dihilangkan?“ mBah Zainal kemudian menjawab,“ kalau
kepalanya hilang, ndak apa-apa sebab tidak lagi sempurna, kalaupun seandainya
dikasih nyawa tetap saja tidak hidup, layaknya makhluq hidup pada umumnya“.
Dasar pengharaman patung seperti yang diyakini oleh KH. Zainal Abidin adalah

‫ض َونَحْ ِوهَابِ َعي ٍْن َما ألَنَّهَا تُ ْشبِهُ ْاألَصْ نَا َم‬
ٍ ْ‫ح َعلَى َحائِ ٍط أَوْ أَر‬ ِ ‫يَحْ ُر ُمتَصْ ِو ْي ُر َحيَ َوا ٍن َو َذا‬
ٍ ْ‫ت رُو‬

“Haram membuat patung hewan atau mahkluk bernyawa dari bahan apapun dan
dipasang di sembarang tempat”. (I’anatu al-Thalibin Juz III, Mughni al-Muhtaj Juz
III, al-Bajuri Juz III, hasil Keputusan Nahdlatul Ulama pada Muktamar Ke-1 di
Surabaya 1345 H/1926 M No masalah 16)

Juga sabdaNabi Muhammad SAW.:


ِ ‫ضاهُونَ بِ َخ ْل‬
‫ (حم ق ن ) عن عائشة‬ . ِ‫ق هللا‬ َ ُ‫اس َع َذابًا ِع ْن َد هللاِ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِةالَّ ِذ ْينَ ي‬
ِ َّ‫أَ َش ُّد الن‬ 

َ ‫اس َع َذابًا يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ْال ُم‬


‫ ( حم م ) عن ابن مسعود ( صح‬. َ‫ص ِّورُون‬ ِ َّ‫إِ َّن أَ َش َّد الن‬ 

“Orang-orang yang paling pedih siksaannya kelak di hari kiamat adalah pembuat-
pembuat patung hewan atau manusia“

‫ متفق‬. ‫ أَحْ يُوا َما َخلَ ْقتُ ْم‬: ‫ يُقَا ُل لَهُ ْم‬، ‫ُون يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬
‹َ ‫اوي ِْر يً َع َّذب‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ إِ َّن أَصْ َح‬: ‫وقال النبى صلى هللا عليه وسلم‬
َ َّ‫اب هَ ِذ ِه الت‬
‫عليه‬

“Orang-orang pemilik patung akandisiksa di hari kiamat. Wujud siksaannya ialah


bahwa mereka dipaksamenghidupkan patung miliknya.”

Contoh lain keteguhan KH. Zainal Abidin Moenawwir dalam memegang


prinsip ajaran fiqh, adalah gagasan beliau dalam menyikapi fenomena yang terjadi di
tengah masyarakat, di antaranya terkait dengan tinta pemilu. Atas prakarsa KH. Zainal
Abidin Moenauwwir Sejumlah ulama dan kiai se-Provinsi DIY menolak penggunaan
cap tinta dalam pencoblosan pada Pemilu 5 April 2003 yang lalu.
Hal ini (menurut KH. Zainal) mengingat tinta itu dapat menghalangi sampainya air
wudlu, mandi besar ke anggota badan, atau minimal menyebabkan sampainya air ke
kulit dalam keadaan suci tapi tidak menyucikan.
Di antara kyai yang mendukung gagasan KH Zainal Abidin Munawwir dalam
penolakan penggunaan tinta dalam pelaksanaan pemilu adalah KH A Warson
Munawwir, KH Dalhar Munawwir, KH Najib A Qodir (ketiganya pengasuh Ponpes
Al Munawwir Krapyak Bantul), KH Salimi ( Ponpes As-Salimiyyah Mlangi) KH
Mukhtar Dawam (Ponpes Al Huda Mlangi), KH Ahmad Zabidi (Ponpes Ar Romly
Bantul), dan KH Masrur Ahmad (Cakringan), KH Mukhtarom Idris (Bantul), KH
Mu’tashim Billah (Ponpes Sunan Pandanaran) serta KH Ishomul Hadi (Kulonprogo).
Menurut para kiai ini, sebagai solusinya agar pemilih tidak bisa mencoblos di
TPS lain, yakni dengan cara melubangi atau memberikan tanda di KTP atau kartu
pemilihnya. Atau diberikan waktu terakhir sebelum TPS ditutup, sehingga tidak
memungkinkan mereka untuk pindah TPS. Para kyai, saat itu menyayangkan sikap
KPU Pusat dan KPU Provinsi DIY yang masih bersikukuh dengan fatwa MUI yang
membolehkan penggunanan tinta dengan asumsi bahwa tinta itu suci. Demikian pula
dengan fatwa ulama Saudi Arabia yang menyatakan disunahkan penggunaan tinta’
(pacar).
Menurut para kiai, dua fatwa itu tidak dapat dijadikan dasar sama sekali.
Persoalannya, bukan masalah suci tidaknya tinta atau disunahkannya penggunaan
pacar, tapi yang jadi masalah adalah sampainya air ke anggota wudhu dan mandi.
Demikian pula perubahan sifat air ketika sampai ke anggota badan.
Pada peristiwa tersebut, para kiai juga memberikan peringatan bahwa
penggunaan cara yang dapat mengganggu peribadatan seperti tidak sahnya salat, pasti
akan membawa risiko yang sangat berat kelak di akhirat, Hasil dari upaya para kyai
yang digagas oleh KH. Zainal Abidin tersebut, pada Pemilu 1999 akhirnya KPU DIY
membuat keputusan khusus yang mengakomodasi usulan ini kemudian diumumkan di
surat kabar.
Lain daripada itu secara umum, dalam memberikan fatwa terhadap pertanyaan
seputar fiqh (hukum Islam) mbah Zainal selalu menerapkan hukum yang ketat,
kemudian secara berurutan terun ke level berikutnya, demikian seterusnya. Sebagai
contoh, dalam masalah thawaf haji. Beliau selalu berpendapat bahwa salah satu rukun
thawaf adalah suci dari hadats besar dan kecil, oleh karena itu orang yang thawaf
harus suci, dan tidak bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahram. sekilas, hal
itu tidak mudah atau mustahil untuk dilakukan. namun dibalik hal itu semua, makna
yang terkandung adalah kita tidak boleh serta-merta mengambil hukum yang paling
ringan, sebelum sampai pada tingkatan dlarurat (sangat terpaksa).
Ke faqihan dan semangat beliau di dalam menegakkan prinsip ajaran hukum
Islam (Fiqh), juga tergambar dengan keaktifan beliau dalam mendiskusikan masalah-
masalah agama dalam berbagai forum Bahtsul Masail (diskusi untuk memecahkan
problem kekinian dengan prespektif fiqh), baik ditingkat kepengurusan NU tingkat
cabang, wilayah maupun dalam arena muktamar. Hal ini seperti kesaksian salah
seorang mantan pengurus NU cabang Sleman, yang juga dosen pada UIN Yogyakarta
dan Ma’had Aly, KH. Ma’mun Muhammad Mura’i, suatu ketika beliau bercerita
bahwa pada saat Muktamar ke 31 di Donohudan Solo Jawa Tengah, salah satu kyai
sepuh yang aktif dan di arena Bahtsul Masail adalah KH. Zainal Abidin
Moenauwwir. Masih menurut KH. Ma’mun M. Mura’i, rasanya untuk saat ini susah
mencari profil kyai seperti KH. Zainal Abidin.

Dekat dengan berbagai kalangan


KH. Zainal Abidin dikenal sebagai sosok kyai yang dekat dengan berbagai
kalangan, dari masyarakat kecil hingga pejabat Negara. Kedekatan beliau dengan
masyarakat kecil diwujudkan dalam bentuk kegiatan mujahadah yang diikuti oleh
masyarakan sekitar minimal dalam waktu sebulan sekali. Sedangkan kedekatan beliau
dengan pejabat negara dibuktikan dengan banyaknya tokoh Nasional yang pernah
sowan kepada beliau, di antaranya adalah Jusuf Kalla (mantan Presiden RI), Jendral
Purnawirawan Wiranto (Mantan Pangab), Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI)
dan pejabat-pejabat lainnya. Bahkan sebelum kampanye pencalonannya menjadi
presiden di lapangan Denggung Kabupaten Sleman Yogyakarta (tanggal 21 Juni
2004) SBY menyempatkan diri sowan ke mBah Zainal.

Pribadi yang Disiplin


Sisi menarik dari pribadi KH. Zainal Abidin Moenauwwir adalah kedisiplinan
beliau dalam segala hal. Sebagai seorang kyai yang salah satu aktivitas utamanya
adalah Ta’lim wa al-Ta’allum, beliau dikenal sebagai sosok kyai yang sangat rajin.
Hal ini dialami sendiri oleh penulis. Selama kuliah di Ma’had Aly PP. Al-Munawwir,
tidak pernah barang satu kali pun jadwal kuliah beliau yang kosong, kecuali pada saat
beliau sakit atau ada agenda acara di luar kota. Bahkan sekalipun ada acara di
Pesantren yang waktunya bertepatan dengan jadwal mengajar, beliau tetap mengajar.
Bahkan seringkali, jam masuk beliau selalu tepat, dan justru sebaliknya para
mahasiswa Ma’had Aly yang terlambat masuk.
Semangat beliau dalam mengajar juga luar biasa, sejauh pengalaman penulis,
aktivitas mengajar beliau dimulai dari ba’da shubuh hingga larut malam sekitar jam
11 malam. Sehingga tepat kiranya jika aktivitas beliau diibaratkan dengan “tiada hari
tanpa mengajar“ dan sangat layak disebut sebagai “pecinta sejati ilmu pengetahuan“
Dalam kesehariannya, KH. Zainal Abidin juga menerapkan disiplin yang
menurut penulis bisa dikatakan “ketat“. Sebagai contoh, ketika penulis didawuhi
(diperintah) untuk mengantar beliau guna menghadiri acara tertentu, beliau selalu
menanyakan SIM (Surat Izin Mengemudi), jika saya atau santri yang diutus
mengantar beliau tidak punya SIM, maka beliau tidak mau diantar oleh santri tersebut.

Kyai yang dekat dengan Santri dan dermawan


KH. Zainal Abidin dengan kealimannya, menurut penilaian penulis adalah
sosok kyai yang sangat dekat dengan santri. Kedekatan beliau dengan santri
diwujudkan dengan beberapa hal, di antaranya dengan cara beliau memerintahkan
atau memanggil santri untuk kemudian disuruh melakukan hal-hal yang bermanfaat
bagi santri itu sendiri.
Disamping dikenal sebagai kyai yang dekat dengan santri, KH. Zainal juga
dikenal juga sebagai kyai yang dermawan. Seringkali beliau memberikan buah tangan
bagi santri yang sowan, meskipun dengan hal-hal yang tidak seberapa untuk ukuran
umum, namun bagi santri beliau, hal itu sangatlah bermakna. Bahkan tidak ada rasa
canggung sedikitpun, penulis mengalami kejadian yang sangat berkesan, yaitu
dibuatkan air minum oleh KH. Zainal Abidin ketika penulis sowan ke nDalem beliau.

Karomah KH. Zainal Abidin


Cukup kiranya untuk menjelaskan karomah yang dimiliki oleh KH. Zainal
Abidin, apa yang diceritakan oleh salah satu keluarga dan santri KH. Ali Makshum.
Almarhum mBah Ali memberikan komentar tentang mBah Zaenal, mBah Ali suatu
ketika pernah mengatakan: "Zaenal iku songgo-ne langit. Dadi nek isih ono wong iku,
ora bakal kelakon kiamat..." (Zainal itu penyangganya langit. Jadi kalau masih ada
orang itu, tidak akan bakal terjadi kiamat) Komentar Gus Yahya Kholil Staquf yang
saat itu mendengar ngendiko nya mbah Ali berkelakar: "Ini juga berarti, selama
masih ada beliau, kita masih bisa pethakilan (bertindak bebas) di dunia ini, karena
kita tidak khawatir langit ambruk sebab masih ada penyangganya..." Wah2

Karya KH. Zainal


KH. Zainal Abidin juga dikenal sebagai salah seorang kyai yang produktif
menulis kitab. Di antara karya beliau adalah Tarikh Hadlarah yang berisi tentang
sejarah peradaban Islam, Manasik Haji tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji,
Wadlaif al-Muta’allim, Kutaib Gharib al-Nadlir Bi Kasyf Min Mas’uliyyat al-
Muta’allim Bahtsan Fiqhiyyan berbicara tentang menuntut ilmu dan permasalahannya
dalam prespektif fiqh , al-Ta’rif Bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah berbicara tentang
akidah dan sejarah munculnya faham Ahlussunnah wal Jama’ah al-Muqtathafat Min
Jami’ Kalamihi Shallallhu Alaihi Wa Sallam kumpulan hadits Nabi SAW yang
diringkas dari kitab hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi dan
kitab yang merupakan ringkasan dari kitab Fayd al-Qadir karya Imam al-Manawi
berdasarkan kitab syarah yang ditulis oleh al-Allamah al-Manawi dan al-Furuq Fi
Masail al-Furuq yang membahas tentang . Beliau bersama KH. Ali Makshum juga
merupakan editor (pentashih) dari kamus al-Munawwir yang ditulis oleh KH. Ahmad
Warson Moenauwwir. [] faqih

You might also like