You are on page 1of 7

Dinamika Demokrasi

Di Arab Saudi
(telaah terhadap system pemerintahan, ekonomi
dan dinamika demokrasi)

A. Pendahuluan

Saat ini telah dinyatakan oleh banyak Negara bahwa system demokrasi-lah yang saat ini
paling ideal untuk kemajuan suatu Negara, setidaknya untuk saat ini. Demokrasi telah menjadi
istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-
politikyang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan social yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukungnya yang ‘berpengaruh’. Kedudukan yang sentral dari
demokrasi ini telah meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik,
yang pernah ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal
mmilenium ketiga ini1.
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi yang belum dapat
tergoyahkan secara filosofis, sosiologis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan.
Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi dengan konsep-konsep lain, seperti
human rights, civil society, maupun konsep good governance, yang pada akhirnya menegaskan
posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Akan tetapi, perjalanan system demokrasi dalam suatu Negara tidaklah selalu berjalan dengan
mudah.
Dikatakan bahwa suatu Negara menganut model Negara demokrasi apabila di Negara
tersebut telah ada2 :
• Pemilihan umum kepala pemerintahan
• Pemilihan perangkat legislative
• Partai politik
• Kebebasan perss
• Kebebasan beragama
• Kebebasan ekonomi
• HAM
Menurut Masykuri Abdillah, Prinsip-prinsip demokrasi terdiri dari persamaan, kebebasan dan
pluralisme3. Sedangkan menurut Inu Kencana prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut:

1 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokras, cet. III, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.
1

2 Amelia Fauziah, Demokrasi di Timur Tengah, Diktat Kuliah SPI kaw. Timur Tengah II
• Adanya pembagian kekuasaan (sharing power)
• Adanya pemilihan umum yang bebas (general election)
• Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka
• Adanya kebebasan individu
• Adanya peradilan yang bebas (dari intervensi manapun)
• Adanya pengakuan hak minoritas
• Adanya pers yang bebas
• Adanya multi partai politik
• Adanya musyawarah
• Adanya persetujuan parlemen (dalam setiap kebijakan pemerintah)
• Adanya pemerintahan yang konstitusional
• Adanya ketentuan pendukung tentang system demokrasi
• Adanya pengawasan terhadap administrasi publik
• Adanya perlindungan hak asasi manusia
• Adanya pemerintahan yang bersih (clean and good government)
• Adanya persaingan keahlian (profesionalitas)
• Adanya mekanisme politik
• Adanya kebijakan Negara yang berkeadilan
• Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.
Tidak seperti Negara-negara kaya lainnya, kehidupan demokrasi di Arab Saudi boleh
terbilang masih lambat pergerakaannya, walaupun saat ini masih mengalami perkembangan.hal
ini disebabkan jumlah masyarakat berpendidikan yang masih kurang ideal, keluarga kerajaan
yang masih menguasai berbagai sector pemerintahan serta ekonomi kerajaan yang telah memanja
kehidupan sebagian warga negaranya.
Untuk pengenalan lebih lanjut mengenai demokrasi di Arab Saudi, dalam makalah ini,
akan dijelaskan bagaimana corak pemerintahan Arab Saudi yang bisa dikatakan bersentuhan
dengan kehidupan demokrasi, ekonomi, serta dinamika demokrasi di erajaan Arab Saudi
Meskipun wilayah Arab Saudi memiliki sejarah yang panjang dan telah dihuni selama
ribuan tahun, Kerajaan Saudi Arabia ini terbilang sebagai Negara yang masih muda. Kerajaan ini
muncul diawal abad ke-20 ketka Abd Aziz ibn Saud (1882-1953) berhasil menaklukkan
Semenanjung Arab4.
3 Tim Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 165.

4 Clive Gifford, Ensiklopedia Geografi (Ensiklopedia Geografi Dunia untuk Pelajar dan
Umum),( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006), hal. 257.
Pada tanggal 23 September 1932, Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa'ud—dikenal juga
dengan sebutan Ibnu Sa‘ud—memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi atau Saudi
Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd
(Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan
tersebut.
Tidak seperti kerajaan lainnya yang bercorak kerajaan modern, Arab Saudi walaupun
terkesan kerajaan baru, dalam menjalankan sendi-sendi pemerintahannya menggunakan system
kerajaan yang terbilang masih klasik dengan system Negara monarki absolut teokratik.
Seperti Negara-negara yang terbilang maju, seiring perkembangan zaman, jumlah
masyarakat terpelajar dan berpendidikan tinggi di Arab Saudi sudah semakin berkembang, hal
itu dapat kita lihat dari jumlah sarana dan prasana penunjang pendidikan dan jumlah macam
pendidikan yang diajarkan. Namun, dengan banyaknya masyarakat yang terpelajar, semakin
banyak pula masyarakat yang menuntut perbaikan di segala sector, baik di sector politik
pemerintahan maupun lainnya.
Pada tahun 2003, pemilihan umum pertama dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota
yang akan duduk di dewan pemerintahan kota. Keputusan sidang Dewan Kabinet Arab Saudi itu
merupakan berupa perluasan partisipasi penduduk dalam urusan daerah/kota melalui pemilihan
umum (pemilu). Hal itu untuk mengaktualisasi dewan kota, di mana separuh dari anggota
tersebut harus dipilih lewat pemilu. Keputusan itu tentu merupakan pertanda terus bergulirnya
roda reformasi politik di salah satu negara Arab Teluk tersebut yang selama ini terbilang
konservatif.

B. Sistem pemerintahan di kerajaan arab Saudi

Arab Saudi ialah negara dengan bentuk negara monarki absolut. Sistem pemerintahan
Arab Saudi yaitu negara Islam yang berdasarkan syariah Islam dan Al Qur’an (yang dilandaskan
oleh ajaran Wahabiyah).. Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan
konstitusi Arab Saudi.
Dalam tataran pemerintahan, Raja memegang fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Ia juga memiliki hak istimewa untuk membentuk dan membubarkan dewan menteri, dan calon
anggota dewan harus bersumpah setia kepadanya sebelum diangkat.
Dalam sistem penggantian kepala pemerintahan, pergantian raja tidak terjadi dengan
sendirinya. Putra mahkota ditunjuk oleh keluarga raja dengan dukungan para ulama dan dewan
menteri.
Pada tahun 1992 ditetapkan Basic Law of Government yang mengatur sistem
pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah serta warga negara.
Berdasarkan berdasarkan pasal 5 Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan
kerajaan diwariskan kepada anak dan cucu yang paling mampu dari pendiri Arab Saudi, Abdul
Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan anglima tinggi
angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006 Raja Abdullah telah
mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang membentuk lembaga suksesi kerajaan
(Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud. Dalam
ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak penuh dalam memilih Putera Mahkota. Raja dapat
menominasikan calon Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan memilih melalui
pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi
akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang
beranggotakan lima orang. Ketentuan ini baru akan berlaku setelah Putera Mahkota Pangeran
Sultan naik tahta.
Untuk menyempurnakan regulasi Negara sesuai dengan ketentuan Basic Law of
Government, Raja Fahd mengeluarkan undang-undang tentang system pemerintahan, syura
(Permusyawaratan) dan Daerah.
Pada tahun 1993, raja yang memerintah, Raja Fahd, memperkenalkan pembaruan politik.
Raja membentuk Dewan Pertimbangan beranggotakan 60 orang dengan tugas sebagai penasihat.
Hak-hak asasi juga diberlakukan. Wewenang lebih luas diberikan kepada pemerintah lokal, yaitu
pemerintah 13 provinsi yang dimiliki negara ini. Namun demikian, semua keputusan politik
peting tetap didominasi oleh Dinasti Saud.

C. Ekonomi, sisio-kultural dan dinamika demokrasi di masyarakat


kerajaan arab Saudi

• Ekonomi
Minyak pertama kali ditemukan di Saudi Arabia pada tahun 1936. pada tahun 2002, total
produksi minyak negara ini mencapai 10,5 juta barel perhari. Negara ini memiliki cadangan
terbesar minyak dunia dan gas alam dunia. Diperkirakan, sekitar seperempat cadangan minyak
dunia berada di wilayah negara ini. Hasilnya, pendapatan dari minyak, yang merupakan 90
persen nilai ekspor, mendominasi negara ini. Produksi minyak yang sangat besar itu juga
menempatkan negara ini juga sebagai salah satu pemain utama dalam tata ekonomi dunia.
Pendapatan besar dari hasil minyak digunakan antara lain untuk membangun kota-kota modern,
infrastruktur, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, serta instalasi listrik ke pedesaan. Selain itu,
pendapatan tersebut juga dipakai untuk membangun berbagai industri.
Di luar industri minyak, tidak ada banyak industri di Arab Saudi. Barang industri utama
dari negeri ini adalah semen, metanol, pupuk, dan bahan pangan. Pemerintah terus berusaha
mengembangkan industri baru, sekalipun industri minyak telah berkembang begitu pesat. Untuk
itu pemerintah mendatangkan banyak tenaga ahli, terutama dari Amerika Serikat dan negara-
negara Eropa.
Terjadinya Perang Teluk mempengaruhi stabilitas perekonomian Arab Saudi. Di samping
karena turunnya harga minyak selama 5 tahun terakhir, pembelanjaan senjata besar-besaran yang
dilakukan pada saat Perang Teluk juga menyebabkan tertekannya perekonomian Arab Saudi.
Selain itu, Arab Saudi juga menanggung kerugian finansial pada masa perang teluk (sekitar US$
55 miliar), yang sebagian besar digunakan untuk membayar langsung pada AS dan negara-
negara lain yang berpartisipasi dalam koalisi untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait.
Pada masa awal invasi Irak ke Kuwait, produksi minyak Arab Saudi mengalami
penurunan hingga 8,2 juta barel per hari. Menurut catatan Dana Moneter Internasional (IMF),
aset luar negeri dari bank sentral Arab Saudi menurun dari US$ 138 miliar pada tahun 1980-an
hingga hanya US$ 50 miliar pada tahun 90-an.

• Dinamika demokrasi

Sejalan dengan banyaknya penduduk yang mulai mendapat pendidikan tinggi, dinamika
kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Arab Saudi terus mengalami reformasi.
Perang terhadap Irak pada tahun 1990-1991 menandai titik balik yang sangat penting, baik
dalam kebangkitan sentimen Islam maupun dalam kebangkitan oposisi terhadap absolutisme
monarki Saudi di kalangan orang-orang liberal berorientasi Barat, kaum konservatif agama, serta
pada penganjur hak-hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak kau minoritas.
Kendati Kerajaan Saudi mendukung sebuah agenda sosial konservatif, kerajaan ini masih
terpengaruh oleh kebangkitan konservatif Islam yang menyapu wilayah ini. Sentimen ini
diilhami oleh sejumlah faktor, termasuk reaksi terhadap serangan mendadak budaya Barat yang
lahir dari pembangunan yang pesat dan mengakibatkan rusaknya struktur keluarga tradisional,
kehadiran orang-orang asing di kerajaan, ketidakpuasan terhadap Barat, serta pengaruh Republik
Islam Iran beserta seruannya untuk mengekspor revolusi Islam.
Selain itu, pada masa Perang Teluk, sebuah kelompok fundamentalis Islam muncul ke
permukaan, melontarkan berbagai kritik terhadap pemerintahan Raja Fahd. Kritik yang
dilontarkan tersebut menyangkut berbagai hal, mulai dari kebijaksanaan Raja Fahd
menghadirkan pasukan militer Barat di Arab Saudi, sampai pada masalah prilaku keluarga raja
yang dianggap fasad (rusak) karena membiarkan terjadinya korupsi dan nepotisme. Kelompok
ini juga menuntut agar demokrasi dikembangkan di tanah Arab. Sementara itu, kelompok lain
yang juga muncul adalah kelompok orang-orang yang berlatar pendidikan Barat. Mereka – biasa
disebut kelompok liberalis – menuntut penerapan demokrasi di Arab Saudi.
Faktor paling penting yang menyebabkan bangkitnya konservatisme Islam adalah merosotnya
perekonomian Saudi, ditambah dengan melimpahnya jumlah kaum muda terdidik yang tidak
dapat diserap oleh perekonomian. Keadaan ini telah memunculkan pengangguran luas,
khususnya di kalangan kaum muda berpendidikan universitas.

Secara khusus, para pengangguran dari sektor lulusan akademi-akademi keagamaan, yang
kabarnya sekitar 150 ribu orang pada tahun 1992, telah tertarik kepada tokoh-tokoh politik dari
kelompok-kelompok neo-Wahabiyah, yang dikenal pula sebagai kaum Salafiyah atau orang-
orang yang berkeinginan mensucikan syariat dari unsur-unsur tambahan yang terjadi setelah tiga
abad pertama Islam. Kelompok-kelompok ini menuntut keadilan sosial yang sama seperti yang
dituntut oleh kelompok-kelompok Islam di negeri-negeri Arab lainnya: mereka menginginkan
pekerjaan, pembagian kekayaan yang lebih adil, akses yang lebih baik pada fasilitas kesehatan
dan pendidikan, partisipasi politik, dan pertanggungjawaban pemerintah. Di samping itu, mereka
juga menginginkan pemberlakuan ketat atas hukum-hukum yang mendorong nilai-nilai moral
Islam, misalnya pemisahan laki-laki – perempuan dan kesederhanaan di depan umum, bersama-
sama dengan pemberlakuan-pemberlakuan hukuman yang dinyatakan oleh al-Quran (hudud) dan
perbankan Islam.

Kritik-kritik yang semakin gencar akhirnya mendorong Raja Fahd untuk mengeluarkan dekrit
yang berisi pernyataan diwujudkannya dewan konsultatif (Majlis Syura) pada tanggal 1 Maret
1992. Pembentukkan dewan konsultatif ini sebetulnya sudah dijanjikan Raja Ibn Saud (pendiri
Kerajaan Arab) sejak tahun 1932. Dengan pembentukkan dewan ini, Arab Saudi terbebas dari
pemerintahan kerajaan yang tidak pernah memiliki konstitusi tertulis selama 60 tahun, dan
sekaligus memulai melangkah ke arah terwujudnya demokrasi. Funsi dewan tersebut adalah
sebagai badan penasihat deawan menteri dan juga membicarakan peraturan dan kebijakan
pemerintah. Bagi rakyat Arab Saudi yang selama ini terbelenggu dalam system monarki
tradisional, hal ini merupakan angin segar yang membawa system kea rah demokratis.

Selain pembentukan Majelis Syura, juga diadakan pembaruan terhadap sistem pemilihan raja.
Raja tidak lagi dipilih atas dasar senioritas. Dalam sistem yang baru, raja akan dipilih
berdasarkan musyawarah di antara keluarga raja untuk menentukan siapa yang lebih potensial
menjadi raja.

Di samping itu, juga akan dikeluarkan konstitusi tertulis yang menjelaskan hak-hak warga
negara Arab Saudi. Dengan dikeluarkannya konstitusi tertulis ini, pemerintah tidak lagi memiliki
kekuasaan campur tangan terhadap kehidupan warganya secara mutlak.

Raja Fahd menjanjikan bahwa ketiga hal tersebut akan berjalan sempurna dalam waktu 6
bulan setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, tetapi ternyata baru dapat dipenuhi setahun
kemudian.

Secara eksplisit, tidak hanya masalah seputar keagamaan yang melanda pemerintahan. Setelah
perang Irak-Kwait 1991, itu juga membangkitkan kebangkitan sentimen dalam kebangkitan
oposisi terhadap absolutisme monarki Saudi di kalangan orang-orang liberal berorientasi Barat,
kaum konservatif agama, serta penganjur HAM dan hak-hak kelompok minoritas

Pada bulan desember 1992, Raja Fahd menunjukkan sikap tegas terhadap kaum fundamentalis
dengan menurunkan tujuh pemimpin agama tertinggi dari jabatannya sebagai anggota otoritas
tertinggi cendikiawan senior dengan alasan masalah kesehatan. Sementara masyarakat
mengaggap tindakan Raja Fahd ini sebagai salah satu peringgatan bagi mereka yang
menghambat pemikiran Raja Fahd.

D. Bibliografi

 Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia seri Geogafi


(Asia), Jakarta: PT. Ichtiar baru – van Hoeve, 1990.

 Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus


(suplemen 1996), Jakarta: PT. Ichtiar baru – van Hoeve,

 Clive Gifford, Ensiklopedia Geografi (Ensiklopedia Geografi Dunia untuk


Pelajar dan Umum), Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2006.
 Esposito, Jhon L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jakarta:
Mizan, 2001.

 Diktat Kuliah SPI kaw. Timur Tengah II.

 http://id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saudi diambil pada 31 oktober ’10.

 http://diharjaangga.blogspot.com/2010/05/politik-pemerintahan-arab-
saudi.html diambil pada 31 oktober ’10.

 http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?
aid=2996&coid=1&caid=24 diambil pada 31 oktober ’10.

You might also like