Professional Documents
Culture Documents
ROMEO: Dia bercanda pada codet yang tidak pernah kena luka.
(Juliet Nampak di depan jendela di ruang atas.)
Diam hatiku! Cahaya apa yang menerobos lewat jendela? Timur ada di sana dan Julia
mataharinya. Terbitlah surya permai; halaukan dewi bulan yang pucat merana oleh duka.
Sebab engkau, hambanya, lebih cantik daripadanya. Tinggalkan dia dalam
kedengkiannya! Pakaian para hambanya kusut masai; itu untuk orang gila, tanggalkanlah
– Dialah itu, kekasihku, mahkotaku; O andaikata dia maklum akan hal itu! – Ia berkata,
tapi tak kudengar, apa katanya? Matanya memuji dan akan kujawab – Ah lancang! Bukan
aku yang diajak bicara. Dua bintang yang paling indah di cakrawala memohon pada
matanya bercahaya di langit untuk sementara. Tetapi bagaimana kalau matanya di sana
dan bintan-bintang bersinar diwajahnya? Cahaya pipinya akan membuat malu bintang-
bintang itu. Seperti matahari membuat lampu malu. Di langit, matanya akan memancar
cerah cuaca, hingga burung-burung menyangka: fajar’lah tiba! – Tengok, dia bertopang
dagu. O mengapa aku tak jadi sarung tangannya? Akan kucium pipi itu!
ELAINE: Dengerin ayah, saya rasa sudah waktunya kita berhenti dari semua kebohongan
yang terjadi antara ayah dan saya… Pertama-tama, ayah tidak sayang atau suka sama
saya sedikitpun dan saya bisa bilang kalau perasaan saya begitu juga terhadap ayah. Saya
nggak ngerti ayah sama sekali. Mungkin saya terlampau keras menghakimi ayah, tapi
itulah kasus yang sebenarnya. Denger, saya memang udah rencana ninggalin ayah dan
ibu untuk bisa berdiri sendiri. Saya nggak butuh ayah lagi, dan ayah nggak pernah butuh
saya, jadi saya pikir ini malah mengangkat tanggungjawab dari pundak ayah. Nggak ada
satupun di rumah yang membuat saya ingin berpegangan erat, dan saya tau nggak akan
pernah ada… dan saya nggak berharap… kalau selang berapa waktu nanti saya berhenti
memimpikan rumah itu ‘karna saya sering mimpi kalau satu masa nanti ayah dan ibu mau
sisihkan waktu sejenak berhenti dari pertengkaran harian kalian untuk menawarkan saya
tanda damai dan kasih sayang. Saya sering mimpi seperti itu bahkan udah jadi rerun,
foto-foto basi dari album keluarga di masa lalu, menyajikan adegan-adegan di ruang
keluarga… Kehidupan Saya sudah di mulai dengan kondisi-kondisi yang saya tentukan
sendiri dan saya tidak akan menyerah sesentipun, tidak seperti ayah dan ibu; ayah
menyerah bermeter-meter sampai jadi berkilo-kilo meter panjangnya kehidupan keluarga
yang penuh dengan mimpi-mimpi buruk. Itu bukan untuk saya. Saya pernah
menghidupinya selama enambelas tahun dan saya rasa tidak ada yang lebih brutal dari
pada itu. Mungkin ayah akan menganggap saya bukan anak lagi. Saya sebenarnya nggak
peduli; saya senang hidup sendiri. Saya udah simpan setiap sen dari hasil melacurkan diri
untuk keluar dari eksistensi mengerikan yang ayah sebut kehidupan itu. Jadi nggak usah
berlagak jadi orangtua. Berhenti jadi ayah yang sok care. Nggak cocok dengan tingkah
laku ayah dan hampir bikin saya mau muntah di seluruh kamar ini, jadi lepasin aja deh…
Ayah udah minum, sekarang ayo pergi sebelum kamar ini jadi terlalu panas untuk kita
bisa keluar.
BILLY: Gue… punya sahabat, Roger – dan ini maksud saya paling penting – dia sahabat
gue, dari kecil main bola sama-sama, pokoknya dia orangnya keras, kadang-kadang jahat.
Dirumahnya ada poster Al Capone. Jadi gue ama dia sering naik mobil ke tempat-tempat
maksiat, bikin banci-banci ngegoda kita… kira-kira begitu… lamaan dikit supaya mereka
beliin kita makan, minum bahkan barang-barang bagus. Seperti itulah kita, satu geng, cari
duit. Jadi kita biarin kucing-kucing ini goda kita, kebanyakan kucing-kucing tua, dan
mereka bahagia banget bisa ngegoda kita, dan kita dapet banyak minuman dan makanan
gratis dan kita bikin mereka nafsu. Lama-lama mereka mulai ngajak kita ke rumah
mereka. Boleh aja, kita bilang. Udah itu order minuman lagi, lalau udah di jalan, kita usir
mereka. Kita hina mereka, kita panggil mereka bencong dan usir mereka. Dan Frankie,
temen yang saya bilang jahat tadi, memang kasar banget dan kalau mereka ngelawan, dia
pukul mereka. Memang dia begitu orangnya. Tingkah ini kita lakuin cukup lama dan
memang bagus kalau lagi nggak ada duit atau lagi pengen ketawa. Lalu Frankie – pada
suatu hari ngomong ke gue – dan dia bilang dia pergi ke rumah salah satu banci itu.
Emangnya kenapa, dia bilang, nggak masalah. Dan dia bilang – Frankie yang bilang –
kenapa gue ga ikut aja? Nggak masalah, dia bilang, apa sih masalahnya siapa yang
ngelakuin ke elo, cewek atau laki-laki tua, elo tutup mata aja, mulut dimana-mana sama,
nggak masalah – dia bilang begitu. Gue coba menolak, tapi dia nggak denger apa yang
gue bilang. Jadi, hari berikutnya dia telpon gue dan cerita. Okey, okey, dia bilang, adegan
seru, dia bilang; mereka main poker, pakai duit, dan dia menang banyak. Frankie bahagia
banget. Gitu caranya hidup bahagia, dia bilang. Jadi dia begitu terus, dan dia waktu itu
punya cewek cantik banget. Tapi sesudah berapa lama dia jadi kucing dia putusin
pacarnya si Linda, padahal mereka saling cinta. Frankie jadi ketagihan. Dia bener-bener
nikmatin sampai nggak tau lagi gimana caranya ngelepasin diri – ngerti nggak apa yang
gue bilang? Frankie nggak pernah berpikir dia bakal ketagihan. Dia sebenernya nggak
pernah di kasih tau, menurut gue begitu, seharusnya ada yang bilangin ke dia. Suatu hari,
Frankie datang ke gue nangis-nangis, pedih deh pokoknya, bilang kalau dia udah jadi
bencong. Dia suka ngisep kontol dan gue nggak bohong. Gue sumpah, nggak bohong.