You are on page 1of 16

KARL R.

POPPER
DAN PROBLEM FILSAFAT ILMU BARAT

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas untuk
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Bersama
Mohammad Muslih, MA

Oleh :
Anwar Ma’rufi

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSALAM (ISID)
PONDOK MODERN GONTOR
2010
KARL R. POPPER DAN PROBLEM FILSAFAT ILMU BARAT

A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan Barat saat ini tidaklah terjadi
secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari ramuan berbagai macam interest
yang saling bertentangan sesuai dengan basis filosofisnya masing-
masing. Sebagai contohnya, Plato, filsuf Yunani,1 mengatakan bahwa
segala yang berasal dari penangkapan indra tidak ada yang layak
disebut “pengetahuan”, dan bahwa satu-satunya pengetahuan yang
sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-konsep.2 Plato
mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif.
Konsepsinya Plato dibantah oleh Aristoteles, menurutnya konsep atau
idea itu terbentuk setelah melakukan observasi dengan indra.
Aristoteles mengandalkan pengamatan indrawi sebagai basis untuk
mencapai pengetahuan yang sempurna.3 Ajaran Aristoteles
mengilhami aliran Empirisme yang dikenalkan oleh David Hume,
yang kemudian dipersempit lagi oleh aliran positivisme.
Dari positivisme, yang kemudian dikukuhkan oleh kelompok
kajian filsafat Lingkaran Wina (Vienna Circle),4 neo-postivisme, ilmu
pengetahuan berkembang pesat, baik ilmu fenomena alam maupun
sosial. Mereka menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat
diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika,5

1
Pada umumnya sarjana Barat mengklaim bahwa cikal bakal peradaban Barat adalah berasal
dari hazanah Yunani. Yunani adalah akar kebangkitan filsafat dan sains Barat. Lihat Hamid Fahmi
Zarkasy, Akar Kebudayaan barat, dalam Jurnal Pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA, vol. III No. 2,
hal. 20
2
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman
Kuno hingga Sekarang, alih bahasa: Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 202
3
http://www.scribd.com/doc/6121554/Antara-Plato-Dan-Aristoteles
4
Lingkarana Wina (Vienna Circle) adalah sekolompok filsuf yang ketuai oleh Moritz Schlick
di Universitas Wina. Kelompok ini pada awalnya menamakan dirinya dengan Ernst Mach Society sebagai
penghormatan kepada Ernst Mach. Keterangan selengkapnya lihat Kumara Ari Yuana, The Greatest
Philosopher, 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang menginspirasi Duna Bisnis,
(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hal. 324
5
Menurut Aristoteles, Metafisika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang ‘keadalahan’
sesuatu (being qua being) dan ciri-ciri sejati (properties inherent) atas segala sesuatu, lihat Aristoteles, Ta
meta ta phyisika, Γ, 1003a

1
sebagai nonsense atau meaningless (ungkapan yang tidak bermakna).6
Mereka mereduksi ilmu pengetahuan sebatas apa yang diketahui
secara empiris-positive dengan metode induktif-verifikatif.7 Kelompok
ini membuat garis pemisah antara pernyataan yang bermakna
(meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless), yang bermakna
itulah yang dikatakan ilmiah.
Paradigma positivisme maupun neo-positivisme nampaknya
mulai terusik dengan hadirnya Karl Popper. Ia secara khusus
mengkritik pandangan neo-positivisme (Vienna Circle), yang
menerapkan pemberlakuan hukum umum sebagai teori ilmiah.
Menurutnya, peralihan dari partikular ke yang universal (generalisasi)
itu secara logis tidak sah.8 Popper menolak penyamaan meaningful
dengan ilmiah. Menurut Popper, ungkapan yang tidak ilmiah mungkin
sekali sangat bermakna (meaningful), begitu juga sebaliknya.9
Pemikiran Karl Popper menarik untuk dibahas karena tawaran teori
falsifikasinya yang kontroversial, melawan mainstream kala itu.
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, penulis berupaya
menelusuri asumsi dasar Popper mengenai ilmu pengetahuan dan
bagaimana suatu ilmu dikatakan berkembang.

B. Riwayat Hidup Karl Raimund Popper


Memahami pandangan seorang tokoh, tidak bisa lepas dari
dinamika perjalanan hidup sang tokoh itu sendiri, karena pemikiran
manusia tidak muncul dari ruang hampa. Ia terkait dengan situasi dan
kondisi tertentu yang melingkupinya. Begitu juga Karl Raimund
Popper yang hidup di abad ke-20. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal
21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C.
6
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu dan Posisinya dalam Kegiatan Ilmiah, dalam Jurnal
TSAQAFAH Vol. 2 No. 1, Syawwal 1427-R. Awwal 1427, hal. 46. Rudolf Carnap berkata; “In the
domain of metaphysics, including all philosophy of value and normative theory, logical analysis yields the
negative result that the alleged statements in this domain are entirely meaningless”. Lihat, Rudolf
Carnap, The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language, dalam A. J. Ayer,
Logical positivism, (New York: Mcmillan Publishing, 1956), hal. 60-61
7
Lihat Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal.
109
8
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 121
9
Ibid., hal. 123

2
Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah
sosial.10
Zaman dimana Poper hidup banyak diwarnai oleh konflik
sosial secara terbuka yang sifatnya multi nasional. Yaitu Perang Dunia
I dan II, pertikaian antara kapitalisme dan komunisme. Ketika umur 17
tahun, Popper sempat menganut komunisme, tetapi tidak lama
kemudian ia meninggalkan aliran politik ini, dengan alasan karena
penganutnya tidak kritis, hanya menerima dogma begitu saja. 11 Di
antaranya adalah pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam
melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu
terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan
banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Sejak saat itu Popper
menjadi anti Marxis.12
Masa-masa di kota Wina merupakan masa yang cukup
menentukan arah perkembangan pribadi dan intelektualnya. Popper
memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai murid privat. Bidang-
bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih memfokuskan
perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun
1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang
dari Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon
istrinya.
Meski ia banyak mengenal anggota Lingkaran Wina dan sering
melakukan kontak, seperti dengan Viktor Kraft dan Herbert Feigl,
namun ia tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina, bahkan tidak
pernah menghadiri pertemuan-pertemuan mereka. Popper sendiri
menyebut dirinya sebagai kritikus yang paling tajam terhadap
kelompok Lingkaran Wina.13
Popper termasuk filsuf yang beruntung karena hidup di masa
postmodern, ia telah mewarisi problem-problem filosofis para
pendahulunya dan sudah terakumulasi sedemikian rupa dalam
10
Lihat http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-
sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/
11
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 119
12
Lihat http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-karl-raimund-
popper/
13
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2001), hal. 168

3
pemikiran Popper. Pada saat yang sama ia juga mengalami langsung
kemajuan technoscience (iptek) yang pesat dengan segala implikasinya
yang bersifat, ambivalen. Dengan bekal yang memadai, Popper
mampu mengkritik aliran neo-positivisme yang sedang menuai
puncaknya di dunia Barat.
Lebih-lebih setelah perkenalannya dengan Albert Einstein dan
menyaksikan tergantikannya teori Newton dengan Relativismenya
Einsten. Peristiwa ini mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya
untuk membangun teori kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan
diskusi diantaranya masalah positivisme dengan induksi dan
verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan
teori-teori kritisnya yang bersifat deduktif-falsifikatif.

C. Asumsi Dasar Karl R. Popper


Popper mengakui bahwa manusia mampu menangkap dan
menyimpan kebenaran objek dengan rasio dan pengalamannya. Di sini
Popper tidak menafikan model rasionalis dan empiris. Namun bagi
Popper, kebenaran yang ditangkap oleh manusia selalu bersifat
sementara (tentativ). Menurutnya, semua teori, ilmu, atau hipotesa
harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian yang ketat
dan gawat (crucial-test). Caranya dengan pengujian "trial and error"
(proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga
kebenaran se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur (dugaan) dan
refutasi (bantahan) dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan
pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisisme-kritis dengan
metodologi deduktif-falsifikatif.14
Karena sifat kesementaraan inilah, menurut Popper ilmu tidak
pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha
mendekati kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama
yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku
sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, dan ilmuwan tidak pernah
mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori
sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya.
14
Ichwan Supandi Aziz, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik
Problem Epistemologi dan Metodologi, dalam Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hal. 256

4
Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena
probabilitas merupakan konsep tentang mendekati kepastian lewat
suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude
merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif.
Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara
probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.15
Atas dasar kesementaraannya ini juga, Popper lebih suka
menggunakan istilah hipotesa. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of
refutability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara
prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability).
Atau dengan kata lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan
kritik. Sebab hanya melalui kritik ilmu pengetahuan terus mengalami
kemajuan.16
Popper menegaskan syarat perumbuhan pengetahuan dimulai
dengan merumuskan hipotesis melalui pemikiran deduktif dan
imajinasi kreatif. Kemudian hipotesis itu diuji dengan keras dan
disanggah. Penyanggahan itu digunakan untuk untuk merumuskan
hipotesis baru dan teori baru. Jadi pengamatan empiris ditujukan untuk
membuktikan kesalahan teori dan gagasan, bukannya untuk
membenarkan teori dan gagasan tersebut.17
Pandangan Popper ini, sekaligus menunjukan bahwa proses
pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, yakni
pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung
suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Popper
merasakan ada suatu kejanggalan dengan model kerja neo-positivisme.
Pasalnya proses akumulasi itu hanya akan menambah kebohongan jika
hasil inferensi induksinya salah. Model kerja ini tidak pernah
mengembangkan apa-apa, dan dan hanya ketidaktahuanlah yang
dikembangkan oleh kalangan neo-positivisme.
Bagi popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan
eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Suatu teori
15
Imam Wahyudi, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu, dalam Jurnal Filsafat, Desember 2004,
Jilid 38, Nomor 3, hal. 259
16
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 121
17
Bhisma Murti, Inferensi Induktif, Deduktif, dan Epistemologi Popper dalam Riset
Epidemiologi, dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volum : 52. Nomor: 6, JUNI 2002, hal. 228

5
ilmiah tidak pernah benar secara definitive atau mendekati kebenaran.
Seorang ilmuwan harus rela meniggalkan suatu teori, jika muncul teori
yang ternyata lebih memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. Bukti-
bukti sejarah ilmu telah banyak memperlihatkan bagaimana proses
pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dan contoh yang paling jelas adalah
ketika Einsten berhasil menggulingkan teori Isaac Newton. Bagi
Popper, kemajuan ilmiah itu dicapai lewat dugaan dan penyanggahan,
dan semangat kritik diri adalah esensi ilmu.18
Sikap kritis Popper muncul setelah menyaksikan kejeniusan
Einsten yang telah berhasil menggulingkan teori Isaac Newton,
seorang fisikawan legendaries yang telah membuat garis besar system
of the world, langkah awal untuk memasuki dunia industri. Contoh
peristiwa sejarah ilmu ini mampu membangkitkan ambisi Popper
untuk mengembangkan sikap kritisnya terhadap aliran neo-positivisme
yang dipelopori oleh ilmuwan Lingkaran Wina (Vienna Circle).
Selain faktor di atas, Popper juga melihat bahwa model logika
induksi yang diperagakan oleh aliran neo-positivisme memiliki banyak
kelemahan. Logika induksi biasanya digunakan oleh kaum empiris
yang percaya bahwa justifikasi pengetahuan dibangun melalui
pengalaman dan pengamatan. Hanya pengalaman dan pengamatan
yang boleh memutuskan diterima atau ditolaknya pernyataan ilmiah.
Proses inferensi induksi ini sebenarnya dapat menjerumuskan seorang
peneliti yang telah meyakini kebenaran prinsip umum sambil
mengabaikan kemungkinan-kemungkinan premis lainnya.19 Misalnya
dengan beberapa penelitian (kasus) ditemukan bahwa angsa berwarna
putih, kemudian disimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih.
Atau berdasarkan penelitian, bahwa matahari terbit setiap hari
alasannya karena gerakan rotasi bumi. Maka kesimpulannya adalah
matahari akan terbit esok hari. Ketika kebenaran prinsip umum ini
diyakini maka seorang ilmuwan akan terkeju ketika menemukan ada

18
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 122
19
Keteranngan lebih lanjut baca, Bhisma Murti, Inferensi Induktif, Deduktif, dan Epistemologi
Popper dalam Riset Epidemiologi, dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volum : 52. Nomor: 6, JUNI
2002, hal. 227

6
angsa berwarna coklat atau matahari tidak terbit esok hari karena bumi
bertabrakan dengan benda angkasa lainnya.
David Hume20 (1711-1716) juga melontarkan kritik tentang
empirisisme yang rnenggunakan logika induktif. la mengingatkan,
bahwa proses logika induktif tak akan pernah mampu memapankan
hubungan antara sebab dan akibat untuk membuat kesimpulan
fundamental. Bagi Hume untuk pengambilan kesimpulan, logika
induktif tidaklah sekuat logika deduktif. 21 Menurut Bertrand Russell,
pengumpulan data-data partikular dengan harapan mengetahui masa
depan dari keseragaman masa lalu dapat dianggap sebagai sebuah
penyesatan.22
Popper sendiri berpendapat bahwa logika induktif tidak lain
hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan
ilmiah melalui induksi.23 Alasannya karena kelemahan yang bisa terjadi
adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis
yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau
generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. 24 Oleh sebab
itulah, ia sangat kritis terhadap proses berpikirnya aliran neo-
positivisme.
Di lain pihak, logika deduktif25 yang diklaim lebih solid oleh
kalangan rasionalis, ternyata juga memiliki kelemahan. Alasanya,
karena logika deduktif masih memiliki ketergantungan terhadap logika
induktif yang tidak solid. Artinya deduktif merupakan perluasan
kebenaran yang dikumpulkan melalui induksi. Selain itu, aturan
20
Ia termasuk “The British Empiricists” termashur disamping Francis Bacon, John Lock dan
John Stuart Mill. Ia dilahirkan di Skotlandia, pada awalnya ia terkenal melalui artikel-artikelnya tentang
etika, tema-tema politik, ekonomi, dan sejarah. Ia juga dikenal sebagai seorang filsuf. Ia berhasil
menyempurnakan karya pertamanya A Treatis of Human Nature ketika usianya baru mencapai 26 tahun.
Selengkapnya lihat, Ismail Asy-Syurafa, Ensiklopedi Filsafat, alih bahasa: Shofiyullah Mukhlas, (Jakarta:
Khalifa, 2002), hal.235-236
21
Bhisma Murti, Inferensi Induktif…, hal 227
22
Selengkapnya lihat, Bertrand Russell, Persoalan-persoalan Seputar Filsafat, The Problem of
Philosophy, alih bahasa: Ahmad Asnawi, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hal. 70-71
23
Lihat Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The growth of Scientific Knowledge,
(New York: Harper Torchbooks, tt), hal. 53
24
Lihat, http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/karl-raimund-popper/
25
Benih logika deduktif ini telah lahir di tangan sebagian filosof Yunani, seperti Pythagoras,
Aristoteles dengan ilmu logikanya, serta Euclides dari Alexandria. Kemudian direformasi oleh Descartes
dan para pengikutnya untuk menanggulangi kemandulan silogismenya Aristoteles. Lihat Ismail Asy-
Syurafa, Ensiklopedi..., hal. 50-51

7
formal logika deduktif juga sulit dibuktikan, yang kadang tidak sesuai
dengan fakta.26 Misalnya: (1) Burung gagak berwarna hitam; (2)
Jeremy adalah burung gagak; oleh karena itu (3) Jeremy berwarna
hitam. Proposisi nomor 3 akan benar jika premis 1 dan 2 juga benar.
Untuk meyakinkan bahwa premis nomor 1 itu benar, diperlukan bukti
empiris yang lagi-lagi akan kembali ke nalar induktif yang diklaim
sebagai upaya penyesatan.
Karenanya Popper berusaha mendamaikan kedua problem di
atas. Ia berusaha mengawinkan elemen penting rasionalisme dan
empirisme. Ia berdiri di antara rasionalisme-kritis dan empirisisme-
kritis. Namun ia berbeda dengan Immanuel Kant yang juga berdiri di
antara Rasionalisme eropa dan Empirisme inggris, yang masih
mendudukan induksi pada tataran sintesis antara unsur-unsur apriori
dan aposteriori untuk memperoleh kebenaran yang meyakinkan.27 Dan
tidak seperti Hume yang membuang induksi sama sekali dan lebih
memilih logika deduktif.28 Di sini, Popper meletakkan hasil penalaran
induktif pada tataran awal, pra-ilmiah dalam rangka pengujian
deduktif. Popper menegaskan bahwa hipotesis tidak harus memiliki
substansi empiris untuk dikatakan sah.29 Penegasan Popper ini dalam
rangka menyelamatkan metafisika yang nir-empiris. Misalnya
pernyataan “Tuhan adalah Esa” harus dipandang sebagai suatu
pernyataan yang terletak di luar dunia ilmu pengetahuan empiris, dan
oleh karena itu tidak bias dianggap tidak sah, dan tidak harus diuji
secara empiris.
D. Falsifikasi Sebagai Syarat Berkembangnya Ilmu Pengetahuan
Bagi Popper, problem utama yang ada adalah apa yang
disebutnya problem demarkasi (the problem of demarcation). Bagi

26
Bhisma Murti, Inferensi Induktif…, hal. 228
27
Menurut Kant, ilmu pengetahuan adalah pengalaman yang dihasilkan berdasarkan
pengamatan indrawi yang kemudian disistematisir berdasarkan kategori-kategori yang dimiliki oleh akal.
Oleh karena itu, kerja akal adalah mengatur data-data indrawi dengan mengemukakan putusan-putusan
sintesis apriori yang merupakan wilayah kebenaran ilmu pengetahuan. Lihat, Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh
Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, (Yogyakarta: Pustakan Pesantren, 2004),
hal. 139-140
28
Lihat http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-
sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/
29
Bhisma Murti, Inferensi Induktif…, hal. 229

8
ilmuwan Lingkaran Wina, ia adalah apa yang disebutnya untuk
menunjuk pada garis batas antara ungkapan yang disebut bermakna
(meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria
dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi).
Pembedaan itu digantinya dengan demarkasi atau garis batas antara
ungkapan ilmiah (science) atau tidak ilmiah (pseudo-ilmiah).30 Karena
menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali
sangat bermakna (meaningful) dan begitu sebaliknya.31
Popper melihat beberapa kelemahan prinsip verifikasi
Lingkaran Wina, antara lain: pertama prinsip verifikasi tidak pernah
mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah
dapat diverifikasi. Kedua berdasarkan prinsip verifikasi metafisika
dianggap sebagai ungkapan yang tidak bermakna (meaninngless).
Menurut mereka, metafisika termasuk dalam ‘pseudo-statements’,
yaitu pernyataan yang tidak ilmiah.32 Dan perdebatan mengenai
metafisika sebenarnya tidak perlu, karena tidak menghasilkan apa-apa
(unfruitful).33 Biarpun dikatakan bahwa ia tidak bermakna oleh aliran
neo-positivisme, akan tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa
acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan
metafisika atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis
bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru
menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.34Akibat pencampakan
metafisika inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi barat bersifat
ambivalen. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu
ungkapan atau teori, lebih dulu harus dimengerti. Sehingga yang jadi
persoalan, bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa
yang disebut teori.35

30
Lihat Karl R. Popper, Conjectures…, hal. 39
31
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 123
32
Lihat Karl R. Popper, Conjectures…, hal. 38. Lihat juga Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 13
33
Penjelasan selengkapnya lihat, Alered Jules Ayer, Language, Truth and Logic, (New York:
Dover Publication, 1952), hal. 33
34
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…,hal. 123
35
Ibid., hal. 123

9
Untuk menghindari kesalahan kaum positivis seperti yang
sudah disebutkan di atas, Popper selanjutnya mengajukan prinsip
falsifikasi sebagai ciri utama teori ilmiah. Menurutnya suatu teori atau
ucapan dikatakan bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan secara
prinsipil untuk menyatakan salahnya. Sejarah menunjukkan, selama
suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi selama itu pula teori
tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tidak hilang. Itulah
yang dimaksud dengan “prinsip falsifiabilitas” (the principle of
falsifiability).36Dan sebaliknya suatu teori yang secara prinsipil
mengeksklusifkan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu
fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak
bersifat ilmiah.37 Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan teori
falsifikasionisme yang digunakan untuk mengkritik ilmuwan
Lingkungan Wina, yang sangat dekat dengan pemikirannya.
Selanjutnya, falsifikasi digunakan untuk merumuskan
hipotesis baru, menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian
hipotesis baru, dan demikian seterusnya. Menurut Popper, tujuan
pengulangan riset adalah untuk menambah bukti kesalahan hipotesis,
bukannya untuk memperkuat bukti kebenaran hipotesis.38 Maka
pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena
terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu,
falsifikasi menjadi alat untuk membedakan genuine science (ilmu
murni) dari pseudo science (ilmu tiruan).39
Dengan demikian, ketika suatu hipotesa dapat ditunjukan
kesalahannya dengan teori falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa
ilmu pengetahuan tengah menuai perkembangannya. Dan sebaliknya,
jika hipotesa tidak dapat ditunjukan kesalahannya, maka ilmu
pengetahuan belum dapat dikatakan berkembang. Jika demikian yang
terjadi, kerja ilmiah hanyalah menumpuk bukti-bukti hipotesa
sebelumnya. Dimana hipotesa-hipotesa tadi belum bisa diyakini

36
Donald M. Borchert, “Popper, Karl Raimund”, dalam Encyclopedia of Philosophy (New
York: Macmilan and Free Press, 2006), hal. 688-689
37
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 123-124
38
Bhisma Murti, Inferensi Induktif…, hal. 228
39
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 124

10
seratus persen kebenarannya ketika masih menggunakan inferensi
induktif dan deduktif klasik.
E. Konsekuensi dalam Kerja Ilmiah
Setelah menyimak pemaparan singkat mengenai filsafat Popper
di atas, penulis beranggapan bahwa teori kritis Popper memiliki
konsekuensi psikologis bagi seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan akan
senantiasa ragu dengan kebenaran pengetahuan yang didapatinya. Ia
tidak pernah seratus persen yakin akan kebenarannya. Hal ini akan
menjebak seorang ilmuwan ke dalam dunia relativisme. Pasalnya
semua observasi yang dilakukan oleh seorang ilmuwan dimaksudkan
tidak untuk menguatkan bukti kebenaran hipotesis. Artinya seorang
ilmuwan harus meninggalkan usahanya untuk mencari kepastian
mutlak dalam pengetahuan manusia. Karena pengetahuan yang
diperoleh selamanya akan bersifat sementara (tentative), selalu harus
diuji, dan ilmu pengetahuan tak akan pernah final pada satu titik
tertentu.
Namun demikian, setidaknya dalam satu sisi, pemikiran Popper
akan memberikan nuansa yang berbeda dengan para pendahulunya
yang serempak mencampakkan metafisika. Nampaknya Popper
memahami betul bahwa pencampakan metafisika telah menjadikan
ilmu pengetahuan bersifat ambivalen. Maksudnya kemajuan sains saat
itu dan sekarang ini harus dibayar mahal dengan hilangnya nilai-nilai
spiritualitas pada alam ini. Akibatnya, menurut al-Attas, manusia
memiliki kebebasan untuk berbuat terhadap alam yang ada di
hadapannya dengan seenaknya saja.40 Dan dampaknya, alam yang
dihuni oleh manusia sekarang ini sudah kehilangan keseimbangannya,
bisa dikatakan sudah tidak aman lagi bagi kelangsungan makhluk
hidup.

F. Kritik terhadap karl R. Popper


Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya
antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda,

40
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future,
(New York: 950 University Avenue, 1985), hal. 33

11
terutama criteria dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua
pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental.
Keduanya jelas memiliki nuansa positivistic, yang cenderung
memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan,
keduanya juga sama-sama memandang, proses perkembangan ilmu
adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.41
Menurut Kuhn, ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan
Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah berwatak
pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih
mirip seperti para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan
dunia yang sudah mapan.42 Kuhn menamai sistem keyakinan yang
sudah mapan dengan istilah “paradigm”. Dalam pandangan Kuhn,
seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu.43 Jadi
menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina,
yang masih berkutat dalam paradigma positivistik.

G. Penutup
Setelah penulis ungkap pandangan Popper dalam makalah
serba terbatas ini, kiranya dapat dimengerti bahwa ilmu pengetahuan
yang berkembang di Barat penuh dengan intrik dan ketegangan
akademik. Dan point penting yang menjadi pembeda antara Popper
dengan pemikir sebelumnya adalah mengenai hakikat ilmu dan cara
pengembangannya. Bagi Popper, manusia dapat menemukan ilmu
pengetahuan melalui rasio dan pengalamannya dengan jalan
falsifikasi. Namun pengetahuan yang didapat oleh manusia besifat
sementara (tentative). Oleh karenanya, ilmu pengetahuan tidak akan
pernah final dalam satu titik tertentu dan Ilmu pengetahuan akan selalu
berakhir dengan munculnya problem baru. Bagi Popper, ilmu
pengetahuan dikatakan berkembang jika terbukti atau ada
kemungkinan salahnya.

41
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 126-127
42
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu…, hal. 127
43
Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 779

12
DAFTAR PUSTAKA

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1985, Islam, Secularism and the


Philosophy of the Future, New York: 950 University Avenue
Aristoteles, Ta meta ta phyisika
Asy-Syurafa, Ismail, 2002, Ensiklopedi Filsafat, alih bahasa: Shofiyullah
Mukhlas, Jakarta: Khalifa
Ayer, Alered Jules, 1952, Language, Truth and Logic, New York: Dover
Publication
Aziz, Ichwan Supandi, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu
Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi,
dalam Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3
Bagus, Lorens, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Borchert, Donald M., 2006 Popper, Karl Raimund, dalam Encyclopedia of
Philosophy, New York: Macmilan and Free Press
Carnap, Rudolf, 1956, The Elimination of Metaphysics Through Logical
Analysis of Language, dalam A. J. Ayer, Logical positivism,
(New York: Mcmillan Publishing
Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Hadiwijoyo, Harun, 1980 Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius
Hamdi, Ahmad Zainul, 2004, Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu
Gerbang Filsafat Barat Modern, Yogyakarta: Pustakan
Pesantren
http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/11/pemikiran-epistemologis-
karl-raimund-popper/
http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-
pena-sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/

13
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/karl-raimund-popper/
http://www.scribd.com/doc/6121554/Antara-Plato-Dan-Aristoteles
Murti, Bhisma, Inferensi Induktif, Deduktif, dan Epistemologi Popper
dalam Riset Epidemiologi, dalam Majalah Kedokteran
Indonesia, Volum : 52. Nomor: 6, JUNI 2002
Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dann Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Belukar
--------------, Filsafat Ilmu dan Posisinya dalam Kegiatan Ilmiah, dalam
Jurnal TSAQAFAH Vol. 2 No. 1, Syawwal 1427-R. Awwal
1427
Popper, Karl R., Conjectures and Refutations: The growth of Scientific
Knowledge, New York: Harper Torchbooks
Russell, Bertrand, 2002, Persoalan-persoalan Seputar Filsafat, The
Problem of Philosophy, alih bahasa: Ahmad Asnawi,
Yogyakarta: Ikon Teralitera
--------------, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa: Sigit
Jatmiko dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suseno, Franz Magnis, 2005, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
Wahyudi, Imam, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu, dalam Jurnal Filsafat,
Desember 2004, Jilid 38, Nomor 3
Yuana, Kumara Ari, 2010, The Greatest Philosopher, 100 Tokoh Filsuf
Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang menginspirasi Duna
Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Andi
Zarkasy, Hamid Fahmi, Akar Kebudayaan barat, dalam Jurnal Pemikiran
dan peradaban Islam, ISLAMIA, vol. III No. 2

14
15

You might also like