You are on page 1of 9

TRADISI ISLAM DI NUSANTARA

Sultan Jawa, Al-Malik al-Zahir adalah penguasa yang paling hebat dan terbuka, juga pencinta
ulama. Meskipun Baginda tak henti-hentinya berperang dan merayah demi agama, ia adalah
seorang yang rendah hati, yang selalu berjalan kaki pergi ke mesjid untuk salat Jum'at.
Kecuali untuk salat Jum'at, di masjid, Sultan juga menikmati diskusi yang hidup mengenai
pokok-pokok hukum Islam dengan sejumlah kecil kader hukum. Inilah antara lain catatan Ibn
Batttuta, penjelajah muslim terbesar yang telah melakukan perjalanan selama 30 tahun dan
menempuh jarak sejauh 75.000 mil, tentang kunjungannya ke Samudera pada tahun 1345
dan akhir 1346. Dan Jawa yang dimaksud Ibn Batutta tak syak adalah Kerajaan Samudera di
ujung utara Pulau Sumatera. Ia memang menyebut Pulau Sumetara "Jawa" yang umum
digunakan pada zaman pertengahan, seperti halnya Marco Polo menyebut Sumatera sebagai
"Jawa yang kecil." Dalam sebuah pengertian politis, Samudera adalah pos luar yang paling
akhir dari Dar al-Islam. Sekalipun kota-kota lainnya di sebelah selatan sepanjang pantai
Sumatera telah mengembangkan dengan suburnya pemukiman-pemukiman komersial, tidak
ada negara muslim merdeka yang diketahui eksistensinya di mana pun di sebelah timur
Samudera sebelum pertengaan abad ke-14. Sultan Malik al-Zahir sendiri adalah putra Sultan
Malik al-Shalih (wafat 726 H.), pendiri dinasti Samudera Pasai, yang sebelum di-islamkan
oleh Syekh Isma'il bernama Merah Silu.
Menurut Taufik Abdullah, berbagai kesaksian sejarah yang lebih kemudian
memperlihatkan bahwa berita Ibn Batutta tentang raja yang dikelilingi ulama itu merupakan
awal dari terbentuknya sebuah tradisi kerajaan maritim Islam di Nusantara. Sejarah Melayu,
yang ditulis pada abad ke-16, juga memberitakan tentang Sultan Malaka yang senang
berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Namun, satu hal yang menarik untuk di catat,
kata Taufik Abdullah, bahwa awal masa berdirinya kerajaan Islam ditandai tidak saja oleh
usaha konsolidasi kekuasaan, tetapi juga, dan bahkan ini yang lebih penting, keterlibatan sang
raja dalam pengembangan ilmu keagamaan serta penyebaran kesadaran kosmopolitanisme
kultural Islam. Tetapi, konversi secara massif penduduk Asia tenggara kepada Islam (juga
Kristen), seperti diungkapkan Anthony Reid, baru bermula pada sekitar tahun 1400, dan
mencapai puncaknya pada 1570-1630, yang disebutnya sebagai "masa perdagangan", the age
of commerce. Reid menyebut "konversi massal" (lebih dari seperdua penduduk Asia Tenggara
menjadi Islam dan Kristen) ini sebagai "revolusi keagamaan", relegious revolution.
Setelah berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13
itu, seiring dengan terjadinya boom ekonomi sebagai berkah dari
perdagangan bebas atau kapitalisme merkantilis, muncul berbagai entitas
atau masyarakat politik Islam di berbagai wilayah Nusantara yang
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17.
Makalah ini akan memfokuskan pada pembahasan bagaimana pola-pola entitas politik
itu terbentuk, bahasa politik (Islam) yang umum digunakan pada masa itu, dan konsepsi
kekuasaan Islam, khususnya dalam tradisi Melayu dan Islam-Jawa, yakni Mataram, yang
tampaknya mempunyai corak yang berbeda dari kerajaan-keraajan Islam Jawa "pesisir" dan
kerajaan-kerajaan Islam-Melayu.
Pola-pola Pembentukan

Menurut Taufik Abdullah, ada tiga pola dalam proses pembentukan kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara, ketika Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-17 ketika
kerajaan Gowa-Tallo resmi masuk Islam. Pertama, pola Samudera Pasai. Lahirnya Kerajaan
Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter, atau mereuah
menurut istilah Bustanus Salatin, ke negara yang terpusat. Di sini proses Islamisasi sejalan
dengan proses pembentukan kerajaan terpusat, yang menggantikan kerajaan segmenter.
Sebagaimana halnya sebuah kerajaan baru, Samudera Pasai tidak saja berhadapan dengan
golongan-golongan yang yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman ,
tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga. Dalam
proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat
pengajaran agama. Pola dari negara segmenter menjadi negara terpusat, juga diambil oleh
Aceh Darussalam, yang setelah membebaskan diri dari Piddie, kemudian mengalahkan
Samudera Pasai pada tahun 1524. Kecenderungan historis yang sama juga diperlihatkan oleh
Sulu dan Manguindanao.
Kedua, pola Melaka. Baik Sejarah Melayu maupun laporan Portugis
memperlihatkan bahwa Islamisasi Malaka dimulai setelah para pedagang Islam dan para
"mullah" berhasil mengislamkan keluarga kerajaan atau, bisa juga raja mengambil inisiatif
untuk menjadikan dirinya penganut Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berlangsung
dalam satu struktur negara yang, seperti dikatakan dalam Sejarah Melayu, telah memiliki
basis legitimasi geneologis. Pola Islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan
juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan
oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peran politiknya terus
berkembang.
Tidak seperti di Samudra Pasai, Islamisasi di Malaka, Gowa-Tallo
dan sebagainya, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam
tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi
kekuasaan, seperti umpamanya yang terjadi di Samudra Pasai. Konversi
agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dulu. Dari
perbandingan beberapa tipe Islamisasi dan pembentuknya negara ini,
menurut Taufik Abdullah, muncul dua pola yang menonjol. Yang pertama
adalah situasi di mana Islam memainkan peranan dalam pembentukan
negara. Yang kedua adalah keadaan di mana Islam harus menghadapi
masalah akomodasi struktural. Tetapi dalam kedua pola perpindahan
agama tersebut, negara, baik yang berupa kadipaten-kadipaten yang
terletak di pinggir-pinggir sungai maupun kerajaan maritim yang relatif
terpusat, berperan sebagai "jembatan penyebrangan" Islamisasi bagi
wilayah sekitarnya.
Ketiga, pola Jawa. Di sini Islam tampaknya tidak punya kebebasan untuk
memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, sebagaimana di Pasai. Soalnya jelas: Islam
sudah harus berhadapan dengan sistem politik dan kekuasaan yang sudah lama mapan, dengan
pusatnya keraton Majapahit. Benar, komunitas pedagang muslim sudah mendapat tempat di
pusat-pusat politik pada abad ke-11 dan kemudian membesar pada abad ke-14. Tapi baru abad
ke-14 komunitas itu menjadi ancaman yang serius bagi keraton pusat. Ini pun setelah
Majapahit melemah, menyusul konflik internal keluarga kerajaan dan berbagai
pemberontakan lokal.
Syahdan, situasi yang runyam di pusat keraton itulah, yang membuka peluang kepada
pada para saudagar kaya di berbagai kadipaten di wilayah pesisir untuk menjauh dari
kekuasaan raja. Berbekal keuntungan besar dari perdagangan internasional, para pedagang
besar itu tidak saja masuk Islam, tapi juga membangun komunitas-komunitas politik yang
independen. Maka begitulah, kita kemudian mengenal Demak, Jepara, Rembang, Tuban,
Gresik dan Surabaya, tampil sebagai pusat-pusat perdagangan, aktivitas agama dan politik.
Sesudah keraton pusat menjadi goyah, maka keraton-keraton kecil mulai bersaing untuk
menggantikan keraton pusat -- dan Demaklah akhirnya yang menggantikan. Kerajaan ini,
dengan posisinya barunya itu, tidak saja memegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi
"jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di Jawa. Walaupun mencapai
keberhasilan politik dengan cepat dan mainkan peran sebagai "jembatan penyebrangan"
keagamaan paling penting, Demak tidak mempunyai kebebasan struktural. Sebagai pengganti
keraton pusat, Majapahit, Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik,
tetapi juga panggilan kultural untuk kotinuitas. Dilema kultural dari dominasi politik Islam di
dalam suasana tradisi Ciwa-Budhistik, dengan konsep kesusastraan yang konsentrik, telah
jauh menukik ke dalam kesadaran, menjadi lebih jelas setelah keraton dipindahkan oleh anak
angkat Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, ke Pajang di pedalaman.
Menurut Taufik Abdullah, dilema ini menjadi lebih penting dengan
muncul dan tampilnya Mataram sebagai pemegang hegemoni (1588).
Kata dia, tidak seperti pola Samudra Pasai, di mana Islam mendorong
pembentukan negara yang supra-desa, juga tidak seperti pola Malaka, di
mana keraton di-islamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk
kemudian menggantikan kekuasaan yang ada. Ini adalah dilema kultural
dari orang baru dalam sebuah bangunan politik lama.
Salah satu studi yang mencoba melawan dominasi pengetahuan
"Islam versus Jawaisme" adalah Mark R. Woodward. Menurut dia, ritual-ritual
keraton dan sistem mistik kejawen diderivasi dari Islam. Meski tidak murni berasal
dari ajaran Muhammad, tetap saja Islam. Woodward memang ingin menunjukkan
bahwa Islam dan Jawa adalah compatible. Kalaupun ada pertentangan antara
keduanya, itu hanya bersifat permukaan, dan itu wajar dalam bentangan
sejarah.

Bahasa Politik Islam

Proses Islamisasi di Asia Tenggara, seperti sering disebutkan, umumnya berlangsung


damai. Ini berbeda dengan Islamisasi, misalnya di Persia dan Turki, yang sering melibatkan
kekuatan militer. Agen Islamisasi di kawasan ini pada umumnya pedagang, guru-guru sufi,
(ulama) pengembara, wandering scholar -- dan bukan tentara yang didatangkan dari Jazirah.
Menurut Azra, pola penyebaran seperti itu, tak syak lagi membuat kawasan muslim Asia
Tenggara jauh dari usaha sentuhan Arabisasi. Meski kawasan ini secara kultural tidak
mengalami Arabisasi, bahasa Arab telah memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial
keagamaan kaum muslimin. Banyak perbendaharaan kata Arab yang digunakan, tidak saja
yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan, tapi juga menyangkut politik. Misalnya, daulat,
sultan, malik, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, wathan, majlis, umat, siasat, musyawarah,
dan sebagainya. Selain itu, ada juga bahasa Persia yang masuk dalam kosa-kata Melayu yang
berkaitan dengan politik. Misalnya, “diwan” (dewan), “johan” (pahlawan), “syah”, “tahta”,
“lasykar”, “nakhoda”, dan “syahbandar”.
Tapi, sebelum membicarakan lebih jauh mengenai bahasa politik
Islam, kita berputar dulu ke belakang untuk melihat posisi bahasa Melayu
sebelum dan setelah masa kedatangan Islam. Hal ini kiranya penting
diketahui, mengingat bahasa Melayu-lah yang dipilih oleh para juru
dakwah atau agen Islamisasi lainnya untuk mengembangkan Islam di Asia
Tenggara. Selain itu, kitab-kitab klasik di Nusantara boleh dikatakan ditulis
dalam bahasa Melayu, dan yang tidak kalah pentingnya menggunakan
apa yang disebut dengan huruf "Jawi", atau "Arab pegon".
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, orang-orang Arab yang
mula-mula menyebarkan agama Islam di kepulauan Nusantara, sengaja
memilih bahasa Melayu sebagai pengantarnya. Ada persamaan nasib,
antara bahasa Arab dan Melayu, kata guru besar bahasa dan kesusteraan
Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia yang asal Bogor itu. "Orang-
orang Arab telah memperkenalkan diri mereka pada daerah ini
sejak sebelum Islam, yaitu sejak zaman Jahiliyah. Seperti bahasa
Arab zaman Jahiliyah, bahasa Melayu pun tidak merupakan
bahasa estetik dalam bidang agama."
Kalaupun bahasa Arab bernilai tinggi, itu terutama dalam sastra rakyat.
Sedangkan bahasa Melayu, kata Al-Attas, pengetahuan kita mengenai bahasa
yang satu ini "boleh dibilang hampa belaka, dan mungkin, sebagai sastera rakyat,
penggunaan bahasa kuno itu hanya dalam bentuk tradisi lisan." Al-Attas
tampaknya menolak pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan
lingua franca. Soalnya pada zaman pra-Islam, perdagangan di kawasan ini tidak
meluas pasarannya. Lagi pula, kata dia, kalau bahasa Melayu merupakan lingua
franca waktu itu, mengapa ia tidak mencapai peringkat sebagai bahasa sastra?
Bahasa Melayu menjadi bahasa sastra memang setelah kedatangan Islam, dengan
Hamzah Fanshuri sebagai tokoh utamanya. Selain itu, masyarakat Melayu adalah
masyarakat pedagang, sebagaimana halnya masyarakat Arab Jahiliyah. "Keadaan
bahasa Arab yang demikian dapat kita bandingkan dengan bahasa Melayu Kuno;
sebagaimana halnya bahasa Arab tidak dipergunakan atau mengambil peranan
sebagai bahasa agama yang bersifat estetik seperti bahasa-bahasa Yunani-Romawi
Kuno dan Iran-Parsi Kuno, begitu juga bahasa Melayu Kuno tidak dipergunakan
untuk mengambil peranan sebagai bahasa agama-agama Hindu-Budha." Di
Nusantara peran itu memang diambil oleh bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskrit.
Selain itu, kedatangan Islam yang diikuti dengan konversi penduduk
kawasan Asia Tenggara menjadi Islam, maka abjad Arab pun diadopsi. Maka, jika
semula bahasa Melayu hanya merupakan bahasa pasaran yang terbatas, setelah
kedatangan Islam mengalami revolusi. Selain diperkaya oleh kosa kata bahasa
Arab dan Parsi, bahasa Melayu juga dijadikan sebagai bahasa pengantar utama
Islam di seluruh Nusantara, dan pada abad ke-16 berhasil mencapai peringkat
sebagai bahasa sastra dan agama yang tinggi dan menggulingkan kedaulatan
bahasa Jawa dalam bidang-bidang ini. Dengan ini pula bahasa Melayu-Indonesia
itu harus dianggap sebagai bahasa Islam, dan mungkin merupakan yang kedua
terbesar dalam dunia Islam.
Kembali ke bahasa politik. Hampir bisa dipastikan, ketika entitas politik
Islam terbentuk pada akhir abad ke-13, dengan tegaknya kerajaan Samudera
Pasai, maka pemakaian kosa kata politik Islam pun semakin meluas pula. Seperti
telah dikemukakan, terbentuknya institusi-institusi politik di Nusantara selalui
diawali oleh masuk Islam-nya raja-raja lokal, lalu diikuti para elite dan rakyat.
Maka begitulah, "kerajaan" pun segera berubah menjadi "kesultanan", sedangkan
sang "raja" mendapat julukan "sultan" atau "malik", di samping sebutan "raja" itu
sendiri. Perubahan ini, menurut Azra, boleh dibilang lancar-lancar saja, seperti
tampak pada kasus penguasa Pasai, Merah Silu, yang kemudian menjadi Sultan
Malik al-Shalih itu.
Gelar sultan yang disandang raja-raja Islam di Nusantara,
bukan melulu pemberian para guru sufi, seperti yang dilakukan
oleh Syekh Isma'il kepada raja Pasai tadi. Bahkan di antaranya
ada yang mengusahakan sendiri kepada penguasa politik dan
keagamaan di Timur Tengah. Termasuk Pangeran Rangsang,
pendiri kerajaan Mataram yang lebih bercorak "Jawaisme"
ketimbang Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Sultan Agung itu.
Kegigihan para penguasa muslim di Nusantara untuk
memperoleh gelar sultan dari dari otoritas politik dan keagamaan
di Timur Tengah, tidak hanya menunjukkan hasrat kuat mereka
untuk memperoleh legitimasi tambahan, tetapi juga
mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan
pusat-pusat politik keagamaan Islam. Dengan kata lain, mereka
ingin diakui sebagai bagian integral dari Dar al-Islam. Contoh
yang paling konkret adalah acah yang secara resmi menyatakan
kepada penguasa Turki Usmani sebagai vasal state Kesultanan
Usmani.
Satu hal yang agaknya perlu digaris-bawahi, sehubungan dengan
penggunaan bahasa politik Islam itu. Yakni, penempatan raja pada kedudukan
yang sangat tinggi di hadapan warga masyarakat. Seperti halnya di pelbagai
entitas politik muslim di Timur Tengah, warga masyarakat politik di tanah
Melayu pun disebut ra'yat. Mereka yang digembala atau dituntun (ra’iyah). ini,
di hadapan penguasa menyebut diri mereka "patik", "hamba", atau "abdi". Tak
syak lagi, penguasa adalah "penggembala" atau "tuan" yang bertanggung jawab
langsung kepada Tuhan atas gembala atau sahaya-sahaya mereka. Kekuasaan
mereka kemudian diperkukuh lagi melalui konsep "daulat". Berbeda dengan
makna aslinya yaitu "berputar, beralih, berganti, memilih, atau menunjuk
seseorang menggantikan yang lain, dalam bahasa politik Islam di Nusantara, kata
ini mengandung arti sebagai kekuatan dan kekuasaan yang tinggi dan besar,
meliputi lahir dan batin.
Bahasa politik Islam di Nusantara memang mengenal
pula kosa kata seperti "amanah", "adil", "amar ma'ruf nahy
mungkar", yang diperuntukkan bagi para penguasa dalam
hubungan mereka dengan rakyat. Tapi harus kita akui, bahasa
politik Islam di Nusantara, seperti juga di negeri-negeri muslim
lainnya, lebih banyak yang pro-penguasa.

Konsepsi Kekuasaan dalam Tradisi Melayu dan Jawa

Di Nusantara umumnya entitas atau masyarakat politik (political entity)


disebut kerajaan. A.C. Milner menyebutnya sebagai "kondisi memiliki seorang
raja". Entitas politik Islam ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari entitas
politik pada masa pra-Islam, di mana raja mempunyai kedudukan yang sangat
penting dan sering dipandang sebagai bodhisattva alias pribadi yang tercerahkan.
Dan kedatangan Islam tampaknya tidak mengubah esensi entitas politik tersebut,
khususnya mengenai raja dan kerajaan, karena konsepsi konsepsi di sekitar soal
ini tidak dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan telah mendapatkan
legitimasi dari para ulama sendiri.
Seperti sudah disinggung bahwa para sultan Melayu
punya kedudukan yang sangat tinggi, sementara rakyat hanya
diletakkan dalam posisi sebagai sahaya. Raja hanya bertanggung
jawab kepada Tuhan, dan rakyat diminta patuh kepada raja,
tidak peduli apakah raja itu alim atau zalim. Meskipun rakyat
boleh memperlakukan raja yang lalim itu sebagai musuh Allah,
mereka tidak diperbolehkan memberontak. Menurut kitab Taj al-
Salatin, ditulis Bukhari al-Jauhari pada 1603, kewajiban untuk
patuh kepada raja yang tidak adil dan lalim itu untuk
menghindari fitnah, kekacauan. Ini boleh disebut sebagai alasan
praktis. Sebab masih ada alasan teologis yang mewajibkan
rakyat patuh kepada penguasa tanpa reserve. Yakni, seperti
yang dimuat kitab Sulalat al-Salatin, Hikayat Raja-raka Pasai,
Bustan al-Salatin, Hikayat Patani, karena raja tidak lain adalah
zillullah fil'alam, bayang-bayang Allah di muka bumi. Banyak di
antara penguasa Melaka kemudian menggunakan gelar ini.
Bahkan Syaikhul Islam Kesultanan Aceh Nuruddin Ar-Raniri
menyebut sebagian besar para penguasa Aceh sebagai zillullah
fil'alam.
Di pusat kekuasaan Jawa-Islam, Mataram, juga dikenal konsep raja
sebagai warana atau wakil Allah, yang boleh dikatakan punya pengertian yang
sama dengan konsep zillulah fil'alam. “…Bila orang berani menentang rajanya,
nasib malang akan menimpanya, karena raja adalah warana (wakil) Allah,” kata
Pangeran Puger (kemudian menjadi Paku Buwono I) ketika Pangeran
Cakraningrat mendesaknya agar menentang kemenakannya yang angkuh, Raja
Amangkurat III (1703-1708). Karena itu, keputusan raja adalah kehendak Tuhan.
Dia berada di tampuk masyarakat, tetapi jauh di atas jangkauan orang biasa. Ia
tidak bisa dijangkau, tidak bisa dilawan. Pandangan inilah yang kemudian
melahirkan gagasan tentang raja sebagai kekuasaan politik yang tidak aktif alias
ratu pinandito (raja pendeta), tetapi pengaruhnya terus memancar dan meresapi
seluruh kerajaan. Peran serta yang aktif dalam urusan negara diserahkan kepada
pejabat-pejabat utamanaya, yang asal-usulnya biasanya bukan bangsawan, namun
dianggap sesuai dengan teknis khususnya. Ini pula kiranya yang pernah menjadi
niatan Presiden Soeharto dengan ujarannya yang terkenal, lengser keprabon
madeg pandito, sebelum akhirnya dimakzulkan Revolusi Mei di tahun 1998.
Jika gelar "sultan", sudah sejak masa awal diusahakan
para raja Jawa dengan cara mengirim utusan ke Mekkah, maka
penggunaan gelar kalipatullah (khalifatullah, wakil Tuhan di
dunia) boleh dibilang lambat. Amangkurat IV (1719-1724) adalah
orang pertama yang menggunakan gelar ini dalam bentuk
"Prabu Mangku-Rat Senapati Ingalaga Ngabdu'-Rahman Sayidin
Panatagama Kalipatullah". Tak pelak, ini merupakan sumbangan
besar Islam untuk meningkatkan kebesaran raja-raja Jawa-Islam.
Menurut Moertono, demikian lambatnya penggunaan gelar ini,
mungkin karena penerimaan gelar ini menghendaki pengakuan
dan dukungan seluruh Dunia Muslim. Sebab, bukankah para
utusan yang dulu mereka kirim ke Tanah Suci hanya mampu
mendapat gelar "sultan"? Tapi hanya sultan Yogyakarta yang,
sejak tahun 1755 dan seterusnya, menggunakan gelar
kalipatullah.
Lalu usaha apa lagikah yang ditempuh para penguasa
untuk meningkatkan wibawa dan kekuasaan mereka? Hampir
seluruh raja muslim Melayu mendakwakan dirinya sebagai
keturunan tokoh-tokoh besar tertentu dari masa lampau. Banyak
di antaranya yang membuat garis nasab dengan Iskandar Dzul
Qarnain. Kitab Sulalat al-Salatin yang ditulis oleh Tun Lanang di
Istana Melaka sekitar tahun 1662, menjelaskan secara agak
panjang bahwa Iskandar Yang Agung dan cucu-cucunya
merupakan moyang raja-raja Melayu muslim. Selain Alexander
the Great, para penguasa Melayu itu juga memasukan Nabi
Khidir, tokoh arif bijaksana itu, dalam geneologi mereka.
Hal yang sama juga ditempuh oleh raja-raja Jawa-Islam.
Bagi mereka, semakin banyak tokoh besar, baik yang nyata
maupun yang legenda, dalam satu silsilah, makin besar martabat
sang raja. Karena orang Jawa berpikir sinkretis, memadukan
kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam yang sebenarnya
berbeda, silsilah sang raja pun dibuat ganda: sejarah kiri
(pangiwa) dan sejarah kanan (panengen). Sejarah kanan dimulai
dari Nabi Muhammad, terus diturunkan ke Putri Campa dan
putranya, Sunan Ngampel, kemudian Pangeran Pekik dari
Surabaya yang kawin dengan kakak Sultan Agung, dan putrinya
melahirkan anak yang kemudian menjadi Amangkurat III, dan
seterusnya. Sedangkan sejarah kiri lebih panjang lagi: dimulai
dari Nabi Adam dan Nabi Sis (Adam dan Seth), lalu melalui para
dewa Hindu, kemudian melalui raja legendaris Watugunung,
sampai ke para leluhur Pandawa, tokoh-tokoh epos Mahabarata.
Itu diteruskan hingga raja pertama Jawa, Sewala Cala dari
Purwacarita (kata ini berarti “awal cerita”).
Syahdan, menyertai konsep "daulat", yang sudah kita singgung di atas,
tradisi politik Islam Nusantara di masa lampu, juga mengenal konsep "durhaka".
Durhaka kepada raja merupakan dosa besar yang akan membawa kepada
kerusakan. "Seagala yang berbuat khianat akan segala raja-raja," kata Ar-Raniri
dalam magnum opus-nya Bustan al-Salatin, "tak dapat tiada datang juga atas
mereka itu murka Allah." Adapun sanksi bagi si pendurhaka, menurut
Undang-undang Pahang, bisa bikin bulu kuduk orang sekarang berdiri:

...disiksa dengan tiga ratus enam puluh baginya siksa sebilang urat, maka
hartanya dirampasi, anak istrinya jadi hamba raja. Maka orang itu diberi
azab selama-lamanya dengan seratus empat puluh delapan bilang tulang
manusia. Jika ia sudah mati, dibelah empat-empat, maka dibuangkan
empat daksina. Demikian lagi, barangsiapa yang serikat dengan dia.
Adapun barangsiapa yang mendengar khabarnya, maka tidak
dipersembahkannya pada raja, hukumnya dikerat lidahnya dan dipasak
kedua telinganya dan dicungkil kedua matanya, dan dibuangkan pada
tempat khali. Maka hendaklah kamu sekalian, jikalau mendengar khabar
yang akan memberi mudarat akan raja kamu, segera kamu persembahkan
kepada raja atau kepada segala orang yang karib kepada raja; jikalau
khabar itu tiada bertentu sekalipun kepada raja, tiada akan memberi
mudarat akan kamu.

Meski para raja mempunyai kekuasaan yang absolut,


mereka, seperti diisyaratkan kitab-kitab klasik Melayu-Jawi,
diwajibkan menjalankan syari'at. Selain itu, para juga juga harus
berpegang pada moral, bersikap adil, tabah dalam menghadapi
kesulitan, senang meminta dan mendengarkan pendapat ulama,
tidak ria, dan mawas diri. Begitu pula dengan raja-raja yang
"harus ajeg adil ukumipun, kukuh ing agamanipun (teguh dan adil
dalam hukumnya, kokoh dalam agamanya)". Sedangkan kebajikan
yang harus diembannya, digambarkan sebagai berikut:

...murah hati dalam memberikan sedekah,


diberikannya pakaian kepada mereka yang
telanjang, tongkat kepada mereka yang tergelincir,
perlindungan kepada mereka yang terbakar
terik matahari, makanan kepada yang lapar, hiburan
kepada yang sedih hatinya, suluh kepada mereka
yang kegelapan; ditebasnya belukar bila tumbuh
rapat.

Penutup

Tradisi Islam di Nusantara, juga tadisi pemikiran dan


konsepsi sosio-politiknya, harus dilihat sebagai bagian integral
dari tradisi-tradisi Islam di kawasan-kawasan lainnya, meskipun
mempunya corak dan karakteristik yang berbeda sebagai akibat
persentuhannya dengan budaya lokal. Dalam pada itu, kita juga
melihat adanya kecenderungan tradisi Islam di kawasan ini untuk
menyesuaikan dengan "tradisi besar", yang disebut Azra
sebagai tradisi normatif dan idealistik sebagaimana terdapat
dalam kedua sumber pokok ajaran Islam, Al-Qur'an dan Sunnah.
Setidaknya dengan praktek-praktek historis di Timur Tengah
yang dipandang lebih dekat dengan tradisi besar tadi. Hal ini
antara lain terlihat dalam penggunaan bahasa politik,konsepsi
tentang kekuasaan di Nusantara, dan gigihnya upaya para
penguasa di Nusantara untuk mencari legitimasi dari otoritas
keagamaan dan politik di Timur Tengah. Oleh karena Islam
berwatak global, di mana kaum muslimin yang tinggal di satu
negeri atau kawasan tidak bisa diisolir dari kaum muslimin yang
tinggal di kawasan-kawasan lainnya, maka jika kita ingin
memahami sejarah Islam di Nusantara, misalnya, maka kita tidak
boleh mengabaikan perkembangan kaum muslimin yang berada
di kawasan-kawasan lainnya.****

You might also like