Professional Documents
Culture Documents
Sultan Jawa, Al-Malik al-Zahir adalah penguasa yang paling hebat dan terbuka, juga pencinta
ulama. Meskipun Baginda tak henti-hentinya berperang dan merayah demi agama, ia adalah
seorang yang rendah hati, yang selalu berjalan kaki pergi ke mesjid untuk salat Jum'at.
Kecuali untuk salat Jum'at, di masjid, Sultan juga menikmati diskusi yang hidup mengenai
pokok-pokok hukum Islam dengan sejumlah kecil kader hukum. Inilah antara lain catatan Ibn
Batttuta, penjelajah muslim terbesar yang telah melakukan perjalanan selama 30 tahun dan
menempuh jarak sejauh 75.000 mil, tentang kunjungannya ke Samudera pada tahun 1345
dan akhir 1346. Dan Jawa yang dimaksud Ibn Batutta tak syak adalah Kerajaan Samudera di
ujung utara Pulau Sumatera. Ia memang menyebut Pulau Sumetara "Jawa" yang umum
digunakan pada zaman pertengahan, seperti halnya Marco Polo menyebut Sumatera sebagai
"Jawa yang kecil." Dalam sebuah pengertian politis, Samudera adalah pos luar yang paling
akhir dari Dar al-Islam. Sekalipun kota-kota lainnya di sebelah selatan sepanjang pantai
Sumatera telah mengembangkan dengan suburnya pemukiman-pemukiman komersial, tidak
ada negara muslim merdeka yang diketahui eksistensinya di mana pun di sebelah timur
Samudera sebelum pertengaan abad ke-14. Sultan Malik al-Zahir sendiri adalah putra Sultan
Malik al-Shalih (wafat 726 H.), pendiri dinasti Samudera Pasai, yang sebelum di-islamkan
oleh Syekh Isma'il bernama Merah Silu.
Menurut Taufik Abdullah, berbagai kesaksian sejarah yang lebih kemudian
memperlihatkan bahwa berita Ibn Batutta tentang raja yang dikelilingi ulama itu merupakan
awal dari terbentuknya sebuah tradisi kerajaan maritim Islam di Nusantara. Sejarah Melayu,
yang ditulis pada abad ke-16, juga memberitakan tentang Sultan Malaka yang senang
berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Namun, satu hal yang menarik untuk di catat,
kata Taufik Abdullah, bahwa awal masa berdirinya kerajaan Islam ditandai tidak saja oleh
usaha konsolidasi kekuasaan, tetapi juga, dan bahkan ini yang lebih penting, keterlibatan sang
raja dalam pengembangan ilmu keagamaan serta penyebaran kesadaran kosmopolitanisme
kultural Islam. Tetapi, konversi secara massif penduduk Asia tenggara kepada Islam (juga
Kristen), seperti diungkapkan Anthony Reid, baru bermula pada sekitar tahun 1400, dan
mencapai puncaknya pada 1570-1630, yang disebutnya sebagai "masa perdagangan", the age
of commerce. Reid menyebut "konversi massal" (lebih dari seperdua penduduk Asia Tenggara
menjadi Islam dan Kristen) ini sebagai "revolusi keagamaan", relegious revolution.
Setelah berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13
itu, seiring dengan terjadinya boom ekonomi sebagai berkah dari
perdagangan bebas atau kapitalisme merkantilis, muncul berbagai entitas
atau masyarakat politik Islam di berbagai wilayah Nusantara yang
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17.
Makalah ini akan memfokuskan pada pembahasan bagaimana pola-pola entitas politik
itu terbentuk, bahasa politik (Islam) yang umum digunakan pada masa itu, dan konsepsi
kekuasaan Islam, khususnya dalam tradisi Melayu dan Islam-Jawa, yakni Mataram, yang
tampaknya mempunyai corak yang berbeda dari kerajaan-keraajan Islam Jawa "pesisir" dan
kerajaan-kerajaan Islam-Melayu.
Pola-pola Pembentukan
Menurut Taufik Abdullah, ada tiga pola dalam proses pembentukan kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara, ketika Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-17 ketika
kerajaan Gowa-Tallo resmi masuk Islam. Pertama, pola Samudera Pasai. Lahirnya Kerajaan
Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter, atau mereuah
menurut istilah Bustanus Salatin, ke negara yang terpusat. Di sini proses Islamisasi sejalan
dengan proses pembentukan kerajaan terpusat, yang menggantikan kerajaan segmenter.
Sebagaimana halnya sebuah kerajaan baru, Samudera Pasai tidak saja berhadapan dengan
golongan-golongan yang yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman ,
tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga. Dalam
proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat
pengajaran agama. Pola dari negara segmenter menjadi negara terpusat, juga diambil oleh
Aceh Darussalam, yang setelah membebaskan diri dari Piddie, kemudian mengalahkan
Samudera Pasai pada tahun 1524. Kecenderungan historis yang sama juga diperlihatkan oleh
Sulu dan Manguindanao.
Kedua, pola Melaka. Baik Sejarah Melayu maupun laporan Portugis
memperlihatkan bahwa Islamisasi Malaka dimulai setelah para pedagang Islam dan para
"mullah" berhasil mengislamkan keluarga kerajaan atau, bisa juga raja mengambil inisiatif
untuk menjadikan dirinya penganut Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berlangsung
dalam satu struktur negara yang, seperti dikatakan dalam Sejarah Melayu, telah memiliki
basis legitimasi geneologis. Pola Islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan
juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan
oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peran politiknya terus
berkembang.
Tidak seperti di Samudra Pasai, Islamisasi di Malaka, Gowa-Tallo
dan sebagainya, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam
tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi
kekuasaan, seperti umpamanya yang terjadi di Samudra Pasai. Konversi
agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dulu. Dari
perbandingan beberapa tipe Islamisasi dan pembentuknya negara ini,
menurut Taufik Abdullah, muncul dua pola yang menonjol. Yang pertama
adalah situasi di mana Islam memainkan peranan dalam pembentukan
negara. Yang kedua adalah keadaan di mana Islam harus menghadapi
masalah akomodasi struktural. Tetapi dalam kedua pola perpindahan
agama tersebut, negara, baik yang berupa kadipaten-kadipaten yang
terletak di pinggir-pinggir sungai maupun kerajaan maritim yang relatif
terpusat, berperan sebagai "jembatan penyebrangan" Islamisasi bagi
wilayah sekitarnya.
Ketiga, pola Jawa. Di sini Islam tampaknya tidak punya kebebasan untuk
memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, sebagaimana di Pasai. Soalnya jelas: Islam
sudah harus berhadapan dengan sistem politik dan kekuasaan yang sudah lama mapan, dengan
pusatnya keraton Majapahit. Benar, komunitas pedagang muslim sudah mendapat tempat di
pusat-pusat politik pada abad ke-11 dan kemudian membesar pada abad ke-14. Tapi baru abad
ke-14 komunitas itu menjadi ancaman yang serius bagi keraton pusat. Ini pun setelah
Majapahit melemah, menyusul konflik internal keluarga kerajaan dan berbagai
pemberontakan lokal.
Syahdan, situasi yang runyam di pusat keraton itulah, yang membuka peluang kepada
pada para saudagar kaya di berbagai kadipaten di wilayah pesisir untuk menjauh dari
kekuasaan raja. Berbekal keuntungan besar dari perdagangan internasional, para pedagang
besar itu tidak saja masuk Islam, tapi juga membangun komunitas-komunitas politik yang
independen. Maka begitulah, kita kemudian mengenal Demak, Jepara, Rembang, Tuban,
Gresik dan Surabaya, tampil sebagai pusat-pusat perdagangan, aktivitas agama dan politik.
Sesudah keraton pusat menjadi goyah, maka keraton-keraton kecil mulai bersaing untuk
menggantikan keraton pusat -- dan Demaklah akhirnya yang menggantikan. Kerajaan ini,
dengan posisinya barunya itu, tidak saja memegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi
"jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di Jawa. Walaupun mencapai
keberhasilan politik dengan cepat dan mainkan peran sebagai "jembatan penyebrangan"
keagamaan paling penting, Demak tidak mempunyai kebebasan struktural. Sebagai pengganti
keraton pusat, Majapahit, Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik,
tetapi juga panggilan kultural untuk kotinuitas. Dilema kultural dari dominasi politik Islam di
dalam suasana tradisi Ciwa-Budhistik, dengan konsep kesusastraan yang konsentrik, telah
jauh menukik ke dalam kesadaran, menjadi lebih jelas setelah keraton dipindahkan oleh anak
angkat Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, ke Pajang di pedalaman.
Menurut Taufik Abdullah, dilema ini menjadi lebih penting dengan
muncul dan tampilnya Mataram sebagai pemegang hegemoni (1588).
Kata dia, tidak seperti pola Samudra Pasai, di mana Islam mendorong
pembentukan negara yang supra-desa, juga tidak seperti pola Malaka, di
mana keraton di-islamkan, di Jawa, Islam tampil sebagai penantang, untuk
kemudian menggantikan kekuasaan yang ada. Ini adalah dilema kultural
dari orang baru dalam sebuah bangunan politik lama.
Salah satu studi yang mencoba melawan dominasi pengetahuan
"Islam versus Jawaisme" adalah Mark R. Woodward. Menurut dia, ritual-ritual
keraton dan sistem mistik kejawen diderivasi dari Islam. Meski tidak murni berasal
dari ajaran Muhammad, tetap saja Islam. Woodward memang ingin menunjukkan
bahwa Islam dan Jawa adalah compatible. Kalaupun ada pertentangan antara
keduanya, itu hanya bersifat permukaan, dan itu wajar dalam bentangan
sejarah.
...disiksa dengan tiga ratus enam puluh baginya siksa sebilang urat, maka
hartanya dirampasi, anak istrinya jadi hamba raja. Maka orang itu diberi
azab selama-lamanya dengan seratus empat puluh delapan bilang tulang
manusia. Jika ia sudah mati, dibelah empat-empat, maka dibuangkan
empat daksina. Demikian lagi, barangsiapa yang serikat dengan dia.
Adapun barangsiapa yang mendengar khabarnya, maka tidak
dipersembahkannya pada raja, hukumnya dikerat lidahnya dan dipasak
kedua telinganya dan dicungkil kedua matanya, dan dibuangkan pada
tempat khali. Maka hendaklah kamu sekalian, jikalau mendengar khabar
yang akan memberi mudarat akan raja kamu, segera kamu persembahkan
kepada raja atau kepada segala orang yang karib kepada raja; jikalau
khabar itu tiada bertentu sekalipun kepada raja, tiada akan memberi
mudarat akan kamu.
Penutup