You are on page 1of 4

Upacara Adat Sekaten

Asal kata Sekaten,berasal dari :

1) Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan
menyeleweng.

2) Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena
watak tersebut sumber kerusakan.

3) Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.

4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik
dan buruk.

5) Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu
batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari
tahun jawa. Di Yogyakarta,biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan upacara Grebeg
Maulud.Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi
Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang
sama.

Pada masa-masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali
Songo, yaitu Sunan Kalijogo,mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai
sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran
karawitannya.Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras
swara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Disela- sela pergelaran,
kemudian dilakukan kotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab Alquran. Bagi
mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat
Syahadat,sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah Syahadat ; yang
diucapkan sebagai Syahadatain; ini kemudian berangsur- angsur berubah dalam
pengucapannya, sehingga menjadi ; Syakatain; dan pada akhirnya menjadi istilah ;
Sekaten ;hingga sekarang. Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai
Nogowilogo dan Kyai Guntur madu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal
Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan
pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00
ke dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta,
dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam
lengkap.

Pada umumnya , masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan


turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.AW.ini yang
bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi
awet muda. Sebagai " Srono " (Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman
Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh
karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih
dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-
alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam
kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk
memperkuat tekatnya ini, mereka memberi cambuk (bhs. Jawa ;pecut) yang dibawanya
pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah
Daerah Kotamadya, memerintahkan perayaan ini dengan pasar malam, yang
diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Acara Sekaten yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
diakhiri dengan acara Grebeg Maulud.

Grebeg adalah upacara adat berupa sedekah yang dilakukan pihak kraton kepada
masyarakat berupa gunungan.

Kraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahun mengadakan upacara grebeg sebanyak 3
kali, yaitu Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada saat hari raya
Idul Adha, dan Grebeg Maulud atau sering disebut dengan Grebeg Sekaten pada
peringatan Maulid Nabi Muhammad.

Menilik sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan
ramai. Tentu saja ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh.

Gunungan pun memiliki makna filosofi tertentu. Gunungan yang berisi hasil bumi (sayur
dan buah) dan jajanan (rengginang) ini merupakan simbol dari kemakmuran yang
kemudian dibagikan kepada rakyat.
Pada upacara grebeg ini, gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria),
Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan.

Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci
berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan
gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas
kaki alias nyeker.

Gunungan diberangkatkan dari Kori Kamandungan dengan diiringi tembakan salvo dan
dikawal sepuluh bregada prajurit kraton sekitar pukul 10 siang.

Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di


alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.

Saat berangkat dari kraton, barisan terdepan adalah prajurit Wirabraja yang sering disebut
dengan prajurit lombok abang karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan
bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok.

Sebagai catatan, prajurit Wirabraja memang mempunyai tugas sebagai “cucuking laku”,
alias pasukan garda terdepan di setiap upacara kraton.

Kemudian ketika acara serah terima gunungan di halaman Masjid Gedhe, prajurit yang
mengawal adalah prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topinya yang khas
serta prajurit Surakarsa yang berpakaian putih-putih.

Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk kemudian didoakan
oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan.

Namun belum selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang
datang dari seluruh penjuru Jogja. Yang memprihatinkan, banyak sekali nenek-nenek
yang ikut berebut gunungan.

Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa
pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah.

http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1754/upacara-adat-sekaten.html
www.jogjajib.com/Lain-Lain/Upacara-Adat-Sekaten.html
Upacara Adat Larung Saji

Merupakan suatu upacara ritual tradisional masyarakat nelayan Ujung Genteng dengan
menjatuhkan (melabuh) sesajen ke laut dengan harapan agar hasil tangkapan berlimpah
setiap tahun dan memelihara hubungan baik dengan Nyi Dewi Roro Kidul sang penguasa
Pantai selatan. Upacara Pesta laut biasanya diselenggarakan di daerah pesisir jawa barat
seperti Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini dimaksudkan
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang diperoleh para
nelayan, juga sebagai ungkapan permohonan agar para nelayan selalu selamat dan sehat
serta memperoleh hasil laut yang melimpah. Di dalam upacara tersebut perahu-perahu
nelayan dihiasi dengan berbagai ornamen berwarna-warni yang dinaiki oleh para nelayan
dan dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini adalah para nelayan menghadiahkan
kepala kerbau yang sudah dibungkus kain putih kepada penguasa laut sebagai penolak
bala. Perahu yang membawa sesajen dan kepala kerbau berada di posisi paling depan dan
diikuti perahu-perahu lainnya yang ditumpangi para nelayan dan keluarganya serta
masyarakat setempat. Perahu melaju ke tengah laut mereka bersorak- ria sambil
memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan pencipta alam
semesta, mereka menikmati upacara tersebut. Sebelum kepala kerbau dihanyutkan di
tengah laut, mereka berdo’a bersama untuk keselamatan. Pesta laut diadakan setahun
sekali.

www.eastjava.com/.../larung_sesaji_01.jpg
http://www.westjava-indonesia.com/agenda/mei.htm
nanpunya.wordpress.com/2009/02/25/upacara-adat-bertani/

You might also like