You are on page 1of 2

SEJARAH SINGKAT PRAGMATIK

Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris
(1938). Ia sebenarnya mengolah kembali pemikiran para filsuf pendahulunya seperti Locke dan Peirce
mengenai semiotik (ilmu tanda dan lambang). Oleh Morris semiotik dibagi menjadi tiga cabang :
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda,
semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan obyek, dan pragmatik mengkaji hubungan antara
tanda dengan penafsir. Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa bukan tanda yang lain.
Perubahan linguistik di Amerika pada tahun 1970-an diilhami oleh karya filsuf-filsuf seperti : Austi (1962)
dan Searle (1969), yang melimpahkan banyak perhatian pada bahasa. Teori mereka mengenai tindak
ujaran mempengaruhi perubahan linguistik dari pengkajian bentuk-bentuk bahasa (yang sudah mapan
dan merata pada tahun 1950-1960-an) ke arah fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam
komunikasi.
Di Indonesia konsep pragmatik baru diperkenalkan pertama kali dalam kurikulum bidang studi Bahasa
Indonesia (Kurikulum 1984) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila
dibandingkan dengan munculnya istilah pragmatik (1938) kita tampaknya jauh ketinggalan dari mereka.
Yang penting adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pragmatik dalam hubungannya dengan
kajian bahasa.

Seorang filosof yang bernama Charles Morris, memperkenalkan sebuah cabang ilmu yaitu
pragmatik. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang
menginterpretasikan tanda itu (Moris, 1938: 6 dalam Levinson, 1997: 1). Batasan pengertian
ilmu pragmatik juga dikemukakan oleh para ahli yang lain. Pragmatik menurut Geoffrey Leech
(1993: 8) adalah ilmu tentang maksud dalam hubungannya dengan situasi-situasi tuturan (speech
situation). Proses tindak tutur ditentukan oleh konteks yang menyertai sebuah tuturan tersebut.
Dalam hal ini Leech menyebutnya dengan aspek-aspek situasi tutur, antara lain : pertama, yang
menyapa (penyapa) dan yang disapa (pesapa); kedua, konteks sebuah tuturan; ketiga, tujuan
sebuah tuturan; keempat, tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak tutur (speech act);
dan kelima, tuturan sebagai hasil tindak verbal (Leech, 1993: 19-20).

George Yule dalam bukunya Pragmatics (1996) mengemukakan bahwa “Pragmatics is the study
of speaker meaning as distinct from word or sentence meaning (1996: 133), yang berarti
pragmatik mempelajari tentang makna yang dimaksudkan penutur yang berbeda dengan makna
kata atau makna kalimat. Batasan ini mengemukakan bahwa makna yang dimaksudkan oleh
penutur merupakan tuturan yang telah dipengaruhi oleh berbagai situasi tuturan, hal ini berbeda
dengan makna kata atau kalimat, karena makna kata atau kalimat merupakan makna yang sesuai
dengan makna yang berdasarkan arti yang tertulis saja. Pengertian pragmatik dapat diintisarikan
sebagai ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yang ditentukan oleh konteks
dan situasi yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam komunikasi yang merupakan dasar
penentuan pemahaman maksud penggunaan tuturan oleh penutur dan mitra tutur.
Menurut pendapat Parker (1986) pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal, hal ini mempunyai maksud bagaimana satuan lingual tertentu digunakan
dalam komunikasi yang sebenarnya. Antara studi tata bahasa dan pragmatik dibedakan menurut
Parker. Hal tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.

“Pragmatics is study of how language is used to communicate. Pragmatics is distinct


from grammar, which is the study of the internal struture of language (Parker,
1986:11).”

‘Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Pragmatik


berbeda dengan tata bahasa, yang mempelajari struktur internal bahasa.’

Jadi menurut Parker bahwa studi tata bahasa dianggapnya sebagai studi bahasa secara internal,
dan pragmatik studi bahasa secara eksternal. Batasan yang dikemukakan parker tersebut dapat
dikatakan pula bahwa studi kajian tata bahasa dianggap sebagai studi yang bebas konteks
(context independent).

You might also like