You are on page 1of 12

c 

    c     c 

—  
  
 
RR

@   
  
    R

Sudah hampir tiga bulan Ambon²Lease kembali dilanda kerusuhan berdarah dan
keji. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak
Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut
ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Hingga 2 September 19991) setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312
orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta
puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah
meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi
di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya.
Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan
pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan
terhenti. Sementara itu belum ada tanda-tanda pertikaian akan berakhir.R

Upaya penyelesaian yang telah dilakukan negara dan aparatnya bukannya


meredakan konflik dan aksi kekerasan, tapi justru makin memperkeruh keadaan.
Aksi kekerasan terus-menerus terjadi tanpa ada penyelesaian. Masyarakat telah
kehilangan rasa aman. Rasa saling percaya di antara manusia sesamanya yang
dibangun bertahun-tahun sebagai modal kehidupan demokrasi sejati telah
dihancurkan. Sementara itu, media massa dan berbagai kelompok masyarakat
telah membaca dan menjelaskan aksi kekerasan di tanah Ambon-Lease semata-
mata sebagai konflik dan pertikaian agama. R

Kami, para relawan, yang datang dari berbagai latar belakang agama dan etnis,
mengajak masyarakat, khususnya masyarakat Ambon²Lease, untuk membaca
dengan jernih konflik di bumi Ambon²Lease, yang telah berkembang menjadi
kerusuhan dan tindakan kekerasan brutal. Kerusuhan yang terjadi di tanah
Ambon²Lease ini tidaklah berdiri sendiri. Kerusuhan ini tidak terlepas dari
berbagai peristiwa konflik dan kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di bumi
Indonesia ini: Tragedi 27 Juli, peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei,
tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, dan kerusuhan di tempat-tempat
lainnya, yang sengaja diciptakan demi kepentingan politis para elite. Berikut ini
adalah hasil usaha untuk menutup kesenjangan informasi dan untuk melihat
berbagai kejanggalan di balik aksi kerusuhan yang terjadi pada tanggal 19
Januari ² 10 Maret 1999.R

á  R

Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara seorang


sopir angkutan umum dan seroang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh
masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang
beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi
pertikaian antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.R

Seorang saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di
kampung Batu Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari
1999 dia tak memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena
pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa.
Tapi pada pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang.
Mereka menyeberang jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar.
Amir mengatakan dia tinggal di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia
hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak
mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa penyerang itu.
Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah. Sekitar lima orang di muka
rombongan itu mengenakan kain putih pada lengan mereka. Amir lalu menelpon
ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa mereka sudah menyerahkan
persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-
apa, karena hari itu hari libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja. Amir
mengatakan, di antara rombongan massa itu dia melihat sekitar 10 orang intel
berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan tembakan ke udara, tetapi
tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.R

Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian


bawah dari rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap kotor
berlumuran minyak. Mereka menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan
parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel
sehingga api masuk ke dalam rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai rata
dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu
juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya
masjid itu belum tersentuh sama sekali.2)R


   R

Ada beberapa hal yang patut dilihat pada saat-saat awal kejadian kerusuhan
meledak dan melebar dalam skala besar. Beberapa issue, peristiwa dan
kejanggalan kiranya dapat menjadi petunjuk perlunya masyarakat bersikap kritis
terhadap seluruh rentetan berkembangnya issue dan kejadian kekerasan.R

Pertama, konflik sudah biasa terjadi dalam masyarakat Ambon tapi kenapa
meledak jadi kerusuhan? Kejanggalan terjadi ketika konflik yang sudah dianggap
normal terjadi antara orang Muslim dan Kristen merembet menjadi kerusuhan
skala besar yang tidak terkendali. Picu kejadian bermula di sebuah kawasan
terminal angkutan kota dan pasar, yang keadaan psikologisnya penuh dengan
perjuangan dan persaingan hidup dalam usaha mencari makan, seperti di
kalangan sopir, kernet dan pedagang pasar. Tawar-menawar dan bahkan
pemerasan adalah hal biasa, seperti di kawasan sejenis di manapun di
Indonesia. Pada umumnya orang toh masih toleran, artinya tidak akan
membiarkan pertengkaran kecil menjadi alasan untuk meledaknya kerusuhan
yang demikian tak terbayangkan skala akibatnya. Masyarakat mana pun tentu
memiliki batas toleransi untuk tidak merugikan diri mereka sendiri, sekalipun
terdapat perbedaan agama yang dalam, apalagi untuk masyarakat Ambon yang
sudah lama berada dalam keadaan tenang. Dengan kata lain, berkembangnya
pertengkaran kecil menjadi kerusuhan yang demikian luas akibatnya, sangat
sulit diterima akal sehat.R

Kedua, munculnya teriakan-teriakan provokatif. Teriakan itu berisikan issue yang


sebenarnya tidak ada kebenarannya dalam peristiwa nyata. Artinya issue-issue
yang berkembang di awal meledaknya kerusuhan rupanya dimaksudkan untuk
menimbulkan kemarahan, sehingga orang demikian cepat menanggapinya
dengan aksi kekerasan. Setelah kejadian awalnya (19 Januari) sama sekali tidak
tampak adanya hal-hal yang dapat langsung dihubungkan dengan perkara
agama. Tapi, tiba-tiba terdengar di sana-sini issue yang menyebar bahwa "masjid
dibakar", "gereja dibakar". Padahal tidak ada satu gereja atau masjid yang
dibakar sampai detik-detik itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Amir,
seorang saksi korban, seperempat jam setelah peristiwa pertengkaran personal
itu sudah terbentuk segerombolan massa yang siap menyerang. Maka dalam
waktu 30 menit issue dan teriakan "gereja dibakar" dan "masjid dibakar" sudah
beredar di mana-mana dan memancing warga dari tempat lain untuk
berdatangan dan mengundang konsentrasi kelompok-kelompok massa
berdasarkan perbedaan agama di daerah-daerah dan lokasi-lokasi yang rawan
konflik. R

Ketiga, jarak waktu terlalu singkat untuk mengerahkan massa. Antara awal
pertengkaran dan pembakaran rumah-rumah hanya berkisar 2 jam. Namun
anehnya, dalam waktu sesingkat itu pihak-pihak yang bertikai sudah siap
dengan bom molotov, sejumlah kelewang dan alat-alat kekerasan lainnya.
Jumlah konsentrasi massa yang sedemikian besar sama sekali sulit dan tak
dapat dibayangkan dapat dikumpulkan dalam waktu yang sesingkat itu. Di
samping itu, kerusuhan terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan. Massa
datang dari berbagai lokasi desa yang jarak antarlokasinya cukup berjauhan.
Sehingga aneh bahwa mereka dapat dikumpulkan dalam waktu yang cukup
singkat, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya.R

Keempat, munculnya orang-orang tak dikenal. Orang-orang yang sudah lama


tinggal di kawasan tempat kejadian kerusuhan bahkan sama sekali tak mengenal
mereka. Saksi Amir, misalnya, yang seumur hidup tinggal di Batu Merah Bawah,
menyaksikan bahwa pemimpin rombongan massa perusuh itu sama sekali tak
dikenalnya. Amir memastikan bahwa orang tersebut pasti berasal dari luar
kawasannya. Pertanyaannya: bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu
orang sudah dapat memimpin serombongan massa yang begitu banyak? Saksi-
saksi lain menyatakan bahwa orang-orang tak dikenal itu mengendarai sepeda-
sepeda motor dan mobil dan menyebarkan berita bahwa masjid dan gereja
dibakar.R

Kelima, alat komunikasi dan senjata api di tangan para perusuh. Ada orang-
orang tak dikenal oleh masyarakat setempat mempengaruhi percepatan
konsentrasi massa dengan menggunakan bantuan alat-alat komunikasi, seperti
handytalky, handphones, dan juga senjata api. Aparat terlihat memberi pasokan
senjata tajam kepada massa.R

Keenam, selebaran dengan kata-kata tak lazim. Adanya provokasi lewat


selebaran-selebaran yang mencantumkan kata-kata yang tidak biasa digunakan
di lingkungan Ambon²Lease, seperti penggunaan kata "Nasrani", sementara
warga Ambon lebih akrab dengan kata "Serani". Juga ditemukan selebaran
berbahasa Arab yang ditulis dengan ngawur.R

— 
     
 R

Kejanggalan-kejanggalan di atas mengindikasikan bahwa berkembangnya


konflik personal menjadi kerusuhan bukanlah tindakan spontan masyarakat
Ambon. Sulit diterima akal bahwa masyarakat plural yang cukup lama bertahan
dalam damai hendak menghancurkan dirinya sendiri, tanpa ada unsur eksternal
yang mutlak mendorongnya. Ada usaha-usaha dari pihak luar untuk menjadikan
Ambon sebagai wilayah konflik untuk kepentingan politis para elite. Indikasi-
indikasi berikut menggambarkan bagaimana kerusuhan tersebut telah
direkayasa.R

Tabel

Pola Kerusuhan dan Modus OperandiR

R R
 R  R

  R  R


R ›R O  R R  R  R  R
  R    R R   RR  R R R R
 RRRR   R R R  R  R" R#R
 RR  R R R$ RR
›R =RR R   R R!RR
R —    R R   R R$R R R  R
 R R  R R RR
 RR
  R R ›R   
R! R  
R 
R 
 R
        R   R R%!R R 
  R
  R R  R R  R R RR R
R RR R  R  R   R RR
 
 R ›R   R R  R
 R  R
R  
 R  R R&  R R R  R
  RR
!R  R   R R  R R
 !R     ! RR RO  R  R
!
    R R
!R R   RR
  R

  R 'R  R


R ›R  R! ! RR RR R
 R R    R  RR R
R  R
R
  R  R
 R   R  R R  RR
 R
R R  R  R  R R R
  R  R
 R R
  RR
(R  R
R ›R O R  R R R  R


 R
  R
R RRR
RR   
R  RRRR R
R R ! R    RR
R
R R
RR
 R  R   RR
 R RRRR
 R   
R  R  RR
R R
›R —    RR RR  R    RRR

  R R 
 R R
R R R
RR

  R   R")R  
R
›R —    R R   R R  R  R" RR
  R 
 R RRR RR 
RO  R
  R   RR
R R R 
RR
 
R R   RR
R
RR
R R R
   R  R!R  RR
 
R R ›R O R  RR R*+,,++-R R
R  R
R  R   RR
 ,
  R
 R  R RR—R R R R R
! RR R RRR
   R ›R  R  
RR  R
  R
  RR RR  RR    R R
R  R
R R R! R R R  R R
 R 
R   RR  R RRR
 R

R ›R  R  
R    R R 
 R
R R R R  
 R R RRR R R
 R  
 RR R  R RR
   ›R  ! R&O R  R R).#R R
 R  R  R R R  R R 
 R
 R   R  RR 
R R   R

RR

  R +R =   R ›R  R R R   RR R
  R R  R R  R   R R 
R RR
  R ›R —R R0R$   R+++R  R    R

   R R  
R R R    R R

, 
R  R   R R 
 
R
 R R   R
R 
R R    RR R
        R   R  R  RR
 
 R R ›R )RR 
R  ,  R
  R R
   RR
R RR ›R 
 R   R 
R! R R
/R  R
R #R*#
RR  -R RR

 R R  R R  R R#RR
  R R   R RR

  R R ›R  R R  R
R RR R
R  
 R   R   R R
 R
R  R
R  R
  R R#
R1/////R
 
 RR
  R R
 R R

 R   R
R R
  R !  
!  R R
 R R
   R

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.R

Indikasi-indikasi yang ditemukan sebelum hingga pasca kerusuhan,


menunjukkan bahwa kerusuhan Ambon sudah direncanakan secara sistematis.
Bisa dipahami bahwa kerusuhan berkembang sangat cepat, eksesif dan tak
terkendali, tanpa disadari oleh masyarakat yang terlibat dalam konflik. Pihak
perekayasa tampaknya telah belajar banyak dari kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi sebelumnya (27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei, "Dukun Santet",
Ketapang, Kupang, Sambas, dll). Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sebelum
peristiwa Ambon telah dipahami dan dibaca masyarakat sebagai hasil "rekayasa
elite politis". Sementara pada kasus Ambon lebih banyak masyarakat membaca
kerusuhan sebagai konflik agama semata. Ini terjadi, selain karena rekayasa
kerusuhan Ambon itu rapi dan sistematis, juga karena kondisi masyarakat sipil
masih rentan terhadap aksi adu domba. R

Beredarnya issue-issue akan adanya kerusuhan mengindikasikan bahwa


sebenarnya masyarakat sudah mengetahui, hanya tak mempedulikan.
Masyarakat umum tidak mengetahui siapa yang paling berkepentingan dengan
issue semacam itu. Dapat dimengerti mengapa masyarakat tak mengantisipasi
apa pun. Apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil menghadapi issue
yang tak jelas berasal darimana dan siapa yang bertanggung jawab atas issue
tersebut? Pengalaman hidup damai berpuluh-puluh tahun lebih kuat meyakinkan
masyarakat. Beberapa orang dari desa Kariu memberikan kesaksian, mereka
menerima telepon menyesatkan, Sabtu 18 Januari 1999, sehari sebelum rusuh,
bahwa "akan ada penyerangan". Si penelepon menyatakan dirinya dari gereja
Maranatha, tapi setelah diperiksa ke sana, ada konfirmasi bahwa tak seorang
pun melakukannya.R

Berbagai segmen dalam masyarakat Ambon terbagi-bagi berdasarkan kelompok


agama. Ini terekploitasi menjadi sarana mempermudah meletusnya pertikaian.
Demikian juga dengan perbedaan antara orang asli dan pendatang. Rupanya
banyak orang Ambon sendiri tidak menyadari kelemahan ini, malah sebaliknya
ikut mendukung dan membenarkan persepsi perbedaan agama dan suku disertai
kepahitan masalah ekonomi. Pada saat kerusuhan terjadi, situasi serba tak
menentu. Masing-masing pihak yang bertikai diisolir dengan issue-issue yang
meningkatkan kebencian dan menutup ruang bagi kedua pihak untuk saling
berkomunikasi. Dengan adanya perbedaan yang begitu jelas antara mana yang
Kristen dan mana yang Muslim, keadaan menjadi semakin meruncing sehingga
baku hantam dan baku pukul dengan senjata tak terelakkan lagi. Langsung
terpateri gambaran kerusuhan itu adalah kerusuhan "agama".R

Kesulitan wartawan mendapatkan informasi sangat mempengaruhi kekeruhan


situasi di Ambon. Informasi yang seharusnya menjadi sarana mutlak untuk
menjamin keutuhan masyarakat, telah terhambat arus alirannya pada saat
kerusuhan. Dan dengan demikian komunikasi dalam masyarakat pun menjadi
buntu. Kebuntuan akhirnya menimbulkan ketegangan. Apalagi jika yang tersebar
kemudian adalah issue-issue yang semakin meningkatkan rasa benci satu sama
lain, antara Kristen dan Muslim. Ketegangan berubah menjadi kebencian. Pada
gilirannya kebencian mendesak orang-orang yang kurang sabar untuk segera
angkat senjata, entah apa pun wujudnya, asalkan tersalur rasa benci itu.
Pengkotakan masyarakat ke dalam pembagian Islam dan Kristen menjadi
semakin mempermudah dan memperlancar pelepasan tindak kebencian yang
sasarannya sudah jelas itu. Inilah yang diinginkan para perekayasa kerusuhan
itu. Banyak fakta lain di balik kerusuhan yang tidak diberitakan media.
Misalnya, banyak orang Kristen di berbagai tempat disembunyikan atau
diselamatkan orang-orang Muslim. Sebaliknya tidak sedikit orang Muslim
diselamatkan orang-orang Kristen. Artinya, tidak semua orang termakan
provokasi.R

° 
  
 — R

Begitu banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kerusuhan yang sebenarnya


bisa diantisipasi dan dicegah keluasannya. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya. Banyak indikasi menunjukkan bahwa aparat keamanan tidak hanya
gagal dalam mencegah kerusuhan tapi bahkan terlibat dalam pertikaian. Ketika
kerusuhan baru meletus, para tokoh agama yang dikumpulkan oleh pihak
keamanan telah menyarankan agar pengamanan dan pembendungan massa
tetap menghadirkan para tokoh agama langsung di tengah umatnya, disertai back
up dari aparat keamanan tanpa senjata. Namun anjuran ini tidak diterima oleh
aparat keamanan. Alasannya, pasukan dalam jumlah besar telah dioperasikan
ke lokasi-lokasi rawan. Sebaliknya dan nyatanya, kerusuhan makin meluas. Pola
penanganan kerusuhan oleh aparat keamanan malah meningkatkan jumlah
korban. Kejanggalan-kejanggalan berikut ²yang terlihat sebelum, selama dan
setelah kerusuhan² memberikan banyak petunjuk tentang keterlibatan militer
dalam kerusuhan.R

Pertama,  
      
  
mendengar laporan dari warga masyarakat. Inilah sikap aparat keamanan yang
paling banyak dilaporkan menjelang terjadinya kerusuhan Ambon pada rentetan
ledakan kerusuhan yang pertama kali sebelum 20-21 Januari 1999. Banyak
contoh yang menggambarkan sikap "menganggap enteng" dari pihak tentara dan
polisi atas laporan yang berasal dari warga masyarakat. Ketika beredar issue
akan adanya penyerangan, warga dari kedua belah pihak yang bertikai (Kristen
dan Muslim) telah melaporkan pada pihak aparat keamanan. Tapi aparat
keamanan memberikan jaminan tidak akan ada apa-apa. Misalnya, yang terjadi
di Kampung Hila Kristen, Benteng Karang dan Telaga Kodok, warga telah
melaporkan adanya desas-desus akan adanya penyerangan. Namun apa yang
dijawab oleh pihak Komando Distrik Militer? "Belum ada konfirmasi dengan
pimpinan", jawab seorang tentara dengan dingin. Akhirnya setelah rusuh
meletus, tak satu pun alat keamanan datang dan berada di lokasi kejadian.
Ketika warga mempertanyakan mengapa aparat keamanan tidak mencegah
penyerangan, aparat menjawab dengan enteng pula: "Kita telah melapor atau
minta petunjuk, namun oleh komandan Batalyon 733 dijawab 'Biarkan mereka,
karena mereka dipanggil ke Ambon'".R
Kedua, 
    

 
   
  
     ". Sudah sangat sering
dilaporkan atau diberitakan bahwa pemicu rusuh yang begitu besar dan
berkepanjangan di Ambon "tak lain hanyalah berupa peristiwa sepele yang
dipandang remeh". Anggapan sepele dan remeh inilah yang berbuntut
kerusuhan, sebab sejak semula orang sepertinya bertahan untuk bersikap "tidak
mengira sama sekali bahwa belakangan akan menjadi begitu besar menelan
ratusan nyawa manusia". Kutipan "pemicu rusuh itu sifatnya sepele dan remeh"
akan diulang lagi dan lagi selama beberapa minggu kemudian. Pengulangan isi
berita akan membentuk kenyataan yang direkonstruksikan, apalagi bila ternyata
berulang-ulang diacu dan dituliskan lalu disebarluaskan. Banyak saksi pelapor
menyatakan: meskipun polisi dan tentara sudah diberitahu dan dilapori, aparat
negara yang seharusnya menjaga keamanan malah "menganggap biasa-biasa
saja". Setelah rusuh mulai meledak pun, ketika pertikaian antara warga Kampung
Batu Merah dan Kampung Mardika sudah meluas, banyak tubuh sudah rubuh
bergelimpangan dan rumah-rumah menyala dibakar, tetap tidak tampak aparat
keamanan baik polisi maupun tentara datang ke lokasi. Saksi pelapor
menyatakan seharusnya mereka muncul untuk setidaknya mencegah meluasnya
peristiwa yang sampai 24 Januari 1999 telah memakan korban ratusan nyawa.R

Ketiga,   


   
. Tugas alat keamanan
dalam menangani kerusuhan adalah menjaga, mencegah meletusnya pertikaian
terbuka yang menelan banyak korban. Apalagi mengingat bahwa pada dasarnya
kerusuhan bukanlah musibah 'bencana alam' yang tidak dapat dideteksi gejala-
gejala sebelumnya. Justru sebaliknya, kerusuhan diakibatkan oleh adanya
faktor-faktor penentu yang umumnya sudah banyak diketahui orang, terutama
mereka yang terlibat dalam tindak pertikaian secara langsung. Hal ini terbukti
dengan adanya begitu banyak laporan yang sudah disampaikan oleh warga
setempat kepada alat keamanan. Dan tentu saja tidak hanya mereka yang
terlibat dalam kerusuhan yang sadar dan tahu tanda-tanda ketidakberesan
sebelum rusuh. Alat keamananlah yang sebenarnya pasti dan harus sudah
mengetahui gejala-gejala yang muncul sebelum rusuh meledak. Karena memang
itulah tugas dan kewajiban profesi alat keamanan.R

Keempat,  
        . Mereka
memperlakukan warga masyarakat secara kasar disertai penggunaan kata-kata
vulgar bernada sentimen anti-suku, ditambah tindakan memukul dengan popor
senjata, lalu menandang. Contoh paling jelas terjadi di depan Rumah Sakit
Tentara, di kota Ambon, 23 Januari 1999. Di situ beberapa warga kampung
Karang Panjang, yang berjumlah 15 orang, ingin membeli bahan makanan di
supermarket Citra. Namun ketika melintas jalan di depan rumah sakit itu,
segerombolan tentara menghentikan mobil mereka. Tanpa bertanya maksud dan
tujuan mereka, inilah anehnya, tentara itu langsung menendang-nendang badan
mobil dan menghantamkan popor senjata ke muka beberapa warga yang ada di
dalam mobil, sambil mengumpat keras dan membangkit-bangkitkan sentimen
suku secara tak pantas: "Kamu Ambon ya? Kamu kira orang Jawa takut pada
kalian?!" Kesaksian warga menyatakan, selama lima hari sejak kerusuhan besar
pertama kali meletus, 19 Januari 1999, tentara dan polisi hanya diam saja.
Bahkan banyak aparat keamanan selama masa tegang itu dengan seenaknya
mengendarai mobil berkelok-kelok memutari kota Ambon hanya untuk menuju
markasnya. Wajar bila setelah peristiwa kerusuhan, jalan-jalan berusaha
dibersihkan tapi batu-batu yang bertumpuk menghalangi jalan tidak disingkirkan. R

Kelima,   


 
  . Pada peristiwa rusuh di
sekitar kampung Benteng Pantai, Ambon, 23 Januari 1999, sekitar pukul 15.00
WIT, sejumlah anggota alat keamanan berada di lokasi kejadian. Namun
anehnya, mereka bukannya melakukan tugas yang semestinya mereka jalankan,
tapi mereka malah terlibat dalam kerusuhan itu. Suatu hal yang sungguh tak bisa
dibenarkan dari segi apa pun. Di satu pihak, segerombolan prajurit Kostrad yang
didatangkan dari Ujung Pandang itu justru tidak menghalau para petikai, malah
sebaliknya membiarkan orang-orang kalap itu maju dan menyerang sejumlah
warga yang tinggal di sekitar desa Benteng Pantai. Saat yang sama, karena
warga masyarakat itu sadar mau diserang, sekumpulan warga desa Benteng
pantai berkumpul untuk membela diri dengan cara menghadang mereka yang
mau menyerang. Para prajurit memang sudah ada di situ dan menahan warga
Benteng Pantai untuk tetap di tempat, tidak maju. Tetapi kemudian para tentara
itu membiarkan para penyerang maju merangsek warga desa Benteng. Karena
terdesak, warga kemudian melawan para tentara yang menghalang-halangi
mereka yang sudah panas hatinya. Malah ada warga desa yang menyabet
prajurit dengan parang. Ini penyebab mengapa kemudian prajurit lalu
melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga desa Benteng secara
serampangan dan membabi buta. Yang terjadi bukan lagi kerusuhan antarwarga
kampung seperti dipersepsikan secara umum, tetapi kekerasan brutal yang
dilakukan para serdadu TNI terhadap warga desa Benteng pantai. Kemudian
prajurit-prajurit itu membabi buta memasuki rumah-rumah penduduk dan
merusak banyak rumah dan membakar ludes satu rumah. Delapan orang luka
terkena tembakan, satu di antaranya tewas.R

Dalam insiden penyerangan asrama tentara kelurahan OSM, beberapa anggota


militer dan polisi setempat turut bersama warga menyerbu asrama tentara OSM.
Dan dalam kerusuhan di Ambon, 20 Januari 1999, warga melihat aparat
keamanan berinisial MT, IL, YS, MP, ZL turut bergabung dengan massa dan
melakukan penyerangan serta penembakan. Kesaksian lain menyatakan adanya
keterlibatan "oknum" polisi Ambon, yang ikut menembaki dan menyerang jemaah
subuh di kampung Ahuru. Sembilan orang tewas terkena tembakan. Beberapa
warga berani bersaksi soal keterlibatan Serma BT, yang berbaju preman dari
satuan polisi air dan udara. Juga disebut keterlibatan seorang oknum TNI AD,
namun tak cukup orang yang bersaksi dan bukti sehingga ia bisa lolos. R

Terdapat keanehan dalam peristiwa penyerangan warga di Ahuru. Pertama, jarak


antara tempat penyerbuan dan Mapolda Maluku hanya 5 km. Tak terlalu jauh
untuk dapat ditangani atau malah ditunggangi, apa pun alasannya, seperti
diajukan oleh polisi bahwa mereka kesulitan alat komunikasi. Kedua, kurang dari
satu kilometer dari tempat kejadian, terdapat dua regu pasukan TNI AD yang
sedang berjaga, tapi mereka tidak melakukan apa-apa. Dua alasan ini membuat
masyarakat menjadi bertanya-tanya, apa tugas dan yang sebenarnya dilakukan
oleh tentara dan polisi dalam perkara keamanan seperti ini. Tentara dan polisi,
meski sudah dipisahkan secara administratif, bagaimana pun tak lepas dari
model pendekatan represif yang sudah dikembangkan selama Orde Baru.R
Pada peristiwa kerusuhan di Pulau Haruku, aparat keamanan berinisial SF
mengganti pakaian seragam militer yang dikenakannya dengan pakaian dari
salah satu kelompok yang bertikai, kemudian ikut bergabung dengan kelompok
tersebut dan melakukan penembakan. Pada peristiwa yang sama aparat
keamanan berinisial MK dan IL tampak memberikan aba-aba menyerang dan
kemudian bergabung dengan salah satu pihak yang bertikai dan melakukan
penembakan.R

Keenam, 
  
      

  . Meskipun pihak polisi secara tak langsung mengakui adanya
"provokator", pada dasarnya informasi yang diberikan pada masyarakat sangat
sedikit, terlalu minim untuk ukuran kerusuhan yang demikian luas dan begitu
banyak korbannya. Sikap aparat ini justru menimbulkan kecurigaan lebih lanjut,
karena kerusuhan yang berakibat tewasnya ratusan orang menjadikan situasi
batin masyarakat menjadi peka. Kepada wartawan Antara, Kapolda Maluku Kol
(Pol) Drs Karyono S hanya mengatakan: "Tersangka kerusuhan di Ambon yang
kini tengah diperiksa secara intensif mengakui adanya keterlibatan orang-orang
dari Jakarta".3)R

Tak ada yang bisa disimpulkan dari pertanyaan dan ungkapan "keterlibatan
orang-orang dari Jakarta" yang terujar seolah-olah tak bersalah dari mulut
seorang penanggung jawab keamanan seperti itu. Terlalu sedikit. Justru situasi
mengambang yang tercipta. Situasi ini menimbulkan rasa tak pasti dan saling
curiga di antara warga masyarakat. Apalagi banyak orang yang kehilangan
anggota keluarganya dan berita buruk tentang banyaknya orang yang
kehilangan anggota keluarga sudah menimbulkan rasa tak tenang dan luka
batin. Perasaan seperti ini mudah sekali menyebar ke mana-mana di antara
seluruh lapisan masyarakat. Dapat disimpulkan di sini bahwa terbatasnya
informasi, situasi mengambang, kemarahan dan dendam telah membuat orang
semakin sulit menggunakan akal sehatnya. Tidak mustahil bila mereka
berangkat untuk saling menyerang lagi. Polisi tidak melakukan tugasnya untuk
memberi penerangan yang layak sehingga bukan keamanan yang tercipta, tetapi
malah sebaliknya.R

Kejanggalan-kejanggalan yang digambarkan para saksi mata di lokasi-lokasi


kerusuhan itu menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana posisi dan peran
aparat keamanan dalam kerusuhan yang berlebih-lebihan itu. Sangat
mencurigakan, kenapa tentara dan polisi diam saja. Alat keamanan tinggal diam,
tidak tanggap, sehingga muncul pikiran, apakah mungkin mereka tidak terlibat?
Ini mencurigakan. Setidaknya walaupun pikiran semacam itu dipandang terlalu
menyeleweng, bagaimana menjelaskan retorika para elite militer bahwa
seharusnya mereka, para penjaga keamanan, bersikap "waspada", seperti yang
sering dinyatakan oleh para pimpinan tentara negeri ini? Tak ada penjelasan lain
yang masuk akal mengenai diamnya dan tidak mampunya aparat keamanan
dalam mengatasi kerusuhan selain penjelasan bahwa militer dan polisi adalah
bagian dari kerusuhan.R

—  R
'ambaran tentang pola dan fakta kerusuhan Ambon pada kenyataannya tidak
jauh berbeda dengan kerusuhan-kerusuhan massal yang terjadi sebelumnya di
daerah-daerah lain di Indonesia: tragedi 27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi
Mei 1998, tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, Sambas, dll., yang
semuanya memberikan petunjuk jelas tentang keterlibatan militer. Kerusuhan-
kerusuhan itu menunjukkan kesamaan pola, yaitu:R

›R Digunakannya simbol-simbol agama untuk membangkitkan sentimen


agama dan etnis R
›R Upaya mobilisasi massa penyerang R
›R Upaya provokasi untuk menjebak massa dalam aksi kekerasan R
›R Upaya memecah belah dan menghancurkan basis pertahanan masyarakat
sipil R
›R Penyamaran R
›R Penyerangan sporadis R
›R Teror R
›R Operasi intelejen/manajemen issue R
›R Pemutarbalikan fakta dan penciptaan kambing hitamR

Fakta di seputar kerusuhan itu dapat menjadi dasar bagi kita semua, masyarakat
sipil, untuk bersikap terhadap konteks beda agama dalam memahami kerusuhan.
Jika kita bersandar pada sumber-sumber yang berasal dari kedua belah pihak
yang berbeda agama dalam kerusuhan Ambon, kita akan sampai pada suatu
relativitas dalam bersikap terhadap semua kekejian itu. R

Untuk itu, kami, para relawan dari berbagai latar belakang agama dan etnis,
mengajak masyarakat sipil, khususnya masyarakat Ambon Lease, untuk
memahami apa yang sebenarnya bisa dan harus dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri. Tidak ada satu pihak pun, baik Muslim maupun Kristen, yang dapat
memonopoli sepenuhnya atas "kebenaran peristiwa rusuh yang terjadi", baik dari
segi kekerasan yang berlangsung maupun korban-korbannya. Kedua belah pihak
akhirnya sama-sama menderita dan menanggung kerugian-kerugian yang
mendalam dan menyedihkan. Sementara para dalang dan pelaku kerusuhan tak
pernah tersentuh hukum dan dengan mudah melepas tanggung jawab atas
semua peristiwa rusuh yang terjadi. R

Kami, para relawan pekerja kemanusiaan, mengajak segenap warga masyarakat


sipil ² khususnya yang menjadi bagian dari masyarakat Ambon-Lease² untuk
menegakkan kemandirian masyarakat sipil. Mengatur tata sosial dan keamanan
sendiri adalah jauh lebih penting ketimbang bergantung pada kekuatan militer
dan polisi, yang jelas-jelas lebih mengutamakan kepentingan elite politik dan
kepentingan korps-nya ketimbang kepentingan keamanan masyarakat. Militer
dan polisi pada kenyataannya telah gagal dalam menjalankan tugasnya menjaga
keamanan masyarakat.R

Anggota masyarakat tentu boleh berbeda pendapat, berbeda keyakinan agama,


berbeda dalam menafsirkan sejarah masing-masing, tapi menyangkut kekerasan
dan keutuhan tubuh manusia, hanya penegakan hukumlah yang diperkenankan
berperan. Kepastian hukum haruslah melatarbelakangi semua penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan kekerasan, perusakan, pembunuhan,
pembantaian. Perbedaan kiranya tidak dapat menjadi alasan yang mendasar
untuk mengarahkan kehancuran pada masyarakat itu sendiri. Justru sebaliknya,
perbedaan memperkaya rasa saling percaya dalam masyarakat. Kami percaya
bahwa masyarakat memiliki ketahanan diri dan mampu membangun kembali
masyarakat sipil yang merdeka.R

Jakarta, 21 September 1999R

WassalamR

TRK AmbonR

RR
  R+++R

R" R#R R

2R  R3R%  R+++R

4R) R R R   RR 5 R R 


R R RR
)R—  R$R R— RO  R R R)R—  R$R6 R
 RR% R R" R#R RR !R6 RO )#R)R
# ! R*) -RR R6 RR R7R RR  R
 R898R  R88R8—  8R8)8R8) 
8R8) 8R8= 8R R
 R   R   R*—-R  R     R*$—-R

You might also like