Professional Documents
Culture Documents
RR
@
R
Sudah hampir tiga bulan Ambon²Lease kembali dilanda kerusuhan berdarah dan
keji. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak
Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut
ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Hingga 2 September 19991) setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312
orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta
puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah
meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi
di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya.
Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan
pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan
terhenti. Sementara itu belum ada tanda-tanda pertikaian akan berakhir.R
Kami, para relawan, yang datang dari berbagai latar belakang agama dan etnis,
mengajak masyarakat, khususnya masyarakat Ambon²Lease, untuk membaca
dengan jernih konflik di bumi Ambon²Lease, yang telah berkembang menjadi
kerusuhan dan tindakan kekerasan brutal. Kerusuhan yang terjadi di tanah
Ambon²Lease ini tidaklah berdiri sendiri. Kerusuhan ini tidak terlepas dari
berbagai peristiwa konflik dan kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di bumi
Indonesia ini: Tragedi 27 Juli, peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei,
tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, dan kerusuhan di tempat-tempat
lainnya, yang sengaja diciptakan demi kepentingan politis para elite. Berikut ini
adalah hasil usaha untuk menutup kesenjangan informasi dan untuk melihat
berbagai kejanggalan di balik aksi kerusuhan yang terjadi pada tanggal 19
Januari ² 10 Maret 1999.R
á R
Seorang saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di
kampung Batu Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari
1999 dia tak memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena
pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa.
Tapi pada pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang.
Mereka menyeberang jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar.
Amir mengatakan dia tinggal di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia
hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak
mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa penyerang itu.
Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah. Sekitar lima orang di muka
rombongan itu mengenakan kain putih pada lengan mereka. Amir lalu menelpon
ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa mereka sudah menyerahkan
persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-
apa, karena hari itu hari libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja. Amir
mengatakan, di antara rombongan massa itu dia melihat sekitar 10 orang intel
berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan tembakan ke udara, tetapi
tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.R
R
Ada beberapa hal yang patut dilihat pada saat-saat awal kejadian kerusuhan
meledak dan melebar dalam skala besar. Beberapa issue, peristiwa dan
kejanggalan kiranya dapat menjadi petunjuk perlunya masyarakat bersikap kritis
terhadap seluruh rentetan berkembangnya issue dan kejadian kekerasan.R
Pertama, konflik sudah biasa terjadi dalam masyarakat Ambon tapi kenapa
meledak jadi kerusuhan? Kejanggalan terjadi ketika konflik yang sudah dianggap
normal terjadi antara orang Muslim dan Kristen merembet menjadi kerusuhan
skala besar yang tidak terkendali. Picu kejadian bermula di sebuah kawasan
terminal angkutan kota dan pasar, yang keadaan psikologisnya penuh dengan
perjuangan dan persaingan hidup dalam usaha mencari makan, seperti di
kalangan sopir, kernet dan pedagang pasar. Tawar-menawar dan bahkan
pemerasan adalah hal biasa, seperti di kawasan sejenis di manapun di
Indonesia. Pada umumnya orang toh masih toleran, artinya tidak akan
membiarkan pertengkaran kecil menjadi alasan untuk meledaknya kerusuhan
yang demikian tak terbayangkan skala akibatnya. Masyarakat mana pun tentu
memiliki batas toleransi untuk tidak merugikan diri mereka sendiri, sekalipun
terdapat perbedaan agama yang dalam, apalagi untuk masyarakat Ambon yang
sudah lama berada dalam keadaan tenang. Dengan kata lain, berkembangnya
pertengkaran kecil menjadi kerusuhan yang demikian luas akibatnya, sangat
sulit diterima akal sehat.R
Ketiga, jarak waktu terlalu singkat untuk mengerahkan massa. Antara awal
pertengkaran dan pembakaran rumah-rumah hanya berkisar 2 jam. Namun
anehnya, dalam waktu sesingkat itu pihak-pihak yang bertikai sudah siap
dengan bom molotov, sejumlah kelewang dan alat-alat kekerasan lainnya.
Jumlah konsentrasi massa yang sedemikian besar sama sekali sulit dan tak
dapat dibayangkan dapat dikumpulkan dalam waktu yang sesingkat itu. Di
samping itu, kerusuhan terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan. Massa
datang dari berbagai lokasi desa yang jarak antarlokasinya cukup berjauhan.
Sehingga aneh bahwa mereka dapat dikumpulkan dalam waktu yang cukup
singkat, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya.R
Kelima, alat komunikasi dan senjata api di tangan para perusuh. Ada orang-
orang tak dikenal oleh masyarakat setempat mempengaruhi percepatan
konsentrasi massa dengan menggunakan bantuan alat-alat komunikasi, seperti
handytalky, handphones, dan juga senjata api. Aparat terlihat memberi pasokan
senjata tajam kepada massa.R
R
Tabel
R R
R
R
RR
R +R =
R R RR
R
RR
R
R RR
R
R
RR
R
RR
R R R
R0R$R+++RR
R
RR
R
R
R
R
R
,
R
R
RR
R
RR
R
R
R
R
RR R
R
RR
RR
R
R R )RR
R,
R
RR
RR
RRR R
R
R
R!RR
/R
R
R #R*#
RR
-RRR
RR
R R
RR#RR
R
R
R
RR
R
R R R
R
R
RRR
R
R
R
R
RR
R
R
R
R
R
R
R#
R1/////R
RR
R
R
RR
R
R
R
R
R!
!
RR
R R
R
°
R
Pertama,
mendengar laporan dari warga masyarakat. Inilah sikap aparat keamanan yang
paling banyak dilaporkan menjelang terjadinya kerusuhan Ambon pada rentetan
ledakan kerusuhan yang pertama kali sebelum 20-21 Januari 1999. Banyak
contoh yang menggambarkan sikap "menganggap enteng" dari pihak tentara dan
polisi atas laporan yang berasal dari warga masyarakat. Ketika beredar issue
akan adanya penyerangan, warga dari kedua belah pihak yang bertikai (Kristen
dan Muslim) telah melaporkan pada pihak aparat keamanan. Tapi aparat
keamanan memberikan jaminan tidak akan ada apa-apa. Misalnya, yang terjadi
di Kampung Hila Kristen, Benteng Karang dan Telaga Kodok, warga telah
melaporkan adanya desas-desus akan adanya penyerangan. Namun apa yang
dijawab oleh pihak Komando Distrik Militer? "Belum ada konfirmasi dengan
pimpinan", jawab seorang tentara dengan dingin. Akhirnya setelah rusuh
meletus, tak satu pun alat keamanan datang dan berada di lokasi kejadian.
Ketika warga mempertanyakan mengapa aparat keamanan tidak mencegah
penyerangan, aparat menjawab dengan enteng pula: "Kita telah melapor atau
minta petunjuk, namun oleh komandan Batalyon 733 dijawab 'Biarkan mereka,
karena mereka dipanggil ke Ambon'".R
Kedua,
". Sudah sangat sering
dilaporkan atau diberitakan bahwa pemicu rusuh yang begitu besar dan
berkepanjangan di Ambon "tak lain hanyalah berupa peristiwa sepele yang
dipandang remeh". Anggapan sepele dan remeh inilah yang berbuntut
kerusuhan, sebab sejak semula orang sepertinya bertahan untuk bersikap "tidak
mengira sama sekali bahwa belakangan akan menjadi begitu besar menelan
ratusan nyawa manusia". Kutipan "pemicu rusuh itu sifatnya sepele dan remeh"
akan diulang lagi dan lagi selama beberapa minggu kemudian. Pengulangan isi
berita akan membentuk kenyataan yang direkonstruksikan, apalagi bila ternyata
berulang-ulang diacu dan dituliskan lalu disebarluaskan. Banyak saksi pelapor
menyatakan: meskipun polisi dan tentara sudah diberitahu dan dilapori, aparat
negara yang seharusnya menjaga keamanan malah "menganggap biasa-biasa
saja". Setelah rusuh mulai meledak pun, ketika pertikaian antara warga Kampung
Batu Merah dan Kampung Mardika sudah meluas, banyak tubuh sudah rubuh
bergelimpangan dan rumah-rumah menyala dibakar, tetap tidak tampak aparat
keamanan baik polisi maupun tentara datang ke lokasi. Saksi pelapor
menyatakan seharusnya mereka muncul untuk setidaknya mencegah meluasnya
peristiwa yang sampai 24 Januari 1999 telah memakan korban ratusan nyawa.R
Keempat,
. Mereka
memperlakukan warga masyarakat secara kasar disertai penggunaan kata-kata
vulgar bernada sentimen anti-suku, ditambah tindakan memukul dengan popor
senjata, lalu menandang. Contoh paling jelas terjadi di depan Rumah Sakit
Tentara, di kota Ambon, 23 Januari 1999. Di situ beberapa warga kampung
Karang Panjang, yang berjumlah 15 orang, ingin membeli bahan makanan di
supermarket Citra. Namun ketika melintas jalan di depan rumah sakit itu,
segerombolan tentara menghentikan mobil mereka. Tanpa bertanya maksud dan
tujuan mereka, inilah anehnya, tentara itu langsung menendang-nendang badan
mobil dan menghantamkan popor senjata ke muka beberapa warga yang ada di
dalam mobil, sambil mengumpat keras dan membangkit-bangkitkan sentimen
suku secara tak pantas: "Kamu Ambon ya? Kamu kira orang Jawa takut pada
kalian?!" Kesaksian warga menyatakan, selama lima hari sejak kerusuhan besar
pertama kali meletus, 19 Januari 1999, tentara dan polisi hanya diam saja.
Bahkan banyak aparat keamanan selama masa tegang itu dengan seenaknya
mengendarai mobil berkelok-kelok memutari kota Ambon hanya untuk menuju
markasnya. Wajar bila setelah peristiwa kerusuhan, jalan-jalan berusaha
dibersihkan tapi batu-batu yang bertumpuk menghalangi jalan tidak disingkirkan. R
Keenam,
. Meskipun pihak polisi secara tak langsung mengakui adanya
"provokator", pada dasarnya informasi yang diberikan pada masyarakat sangat
sedikit, terlalu minim untuk ukuran kerusuhan yang demikian luas dan begitu
banyak korbannya. Sikap aparat ini justru menimbulkan kecurigaan lebih lanjut,
karena kerusuhan yang berakibat tewasnya ratusan orang menjadikan situasi
batin masyarakat menjadi peka. Kepada wartawan Antara, Kapolda Maluku Kol
(Pol) Drs Karyono S hanya mengatakan: "Tersangka kerusuhan di Ambon yang
kini tengah diperiksa secara intensif mengakui adanya keterlibatan orang-orang
dari Jakarta".3)R
Tak ada yang bisa disimpulkan dari pertanyaan dan ungkapan "keterlibatan
orang-orang dari Jakarta" yang terujar seolah-olah tak bersalah dari mulut
seorang penanggung jawab keamanan seperti itu. Terlalu sedikit. Justru situasi
mengambang yang tercipta. Situasi ini menimbulkan rasa tak pasti dan saling
curiga di antara warga masyarakat. Apalagi banyak orang yang kehilangan
anggota keluarganya dan berita buruk tentang banyaknya orang yang
kehilangan anggota keluarga sudah menimbulkan rasa tak tenang dan luka
batin. Perasaan seperti ini mudah sekali menyebar ke mana-mana di antara
seluruh lapisan masyarakat. Dapat disimpulkan di sini bahwa terbatasnya
informasi, situasi mengambang, kemarahan dan dendam telah membuat orang
semakin sulit menggunakan akal sehatnya. Tidak mustahil bila mereka
berangkat untuk saling menyerang lagi. Polisi tidak melakukan tugasnya untuk
memberi penerangan yang layak sehingga bukan keamanan yang tercipta, tetapi
malah sebaliknya.R
R
'ambaran tentang pola dan fakta kerusuhan Ambon pada kenyataannya tidak
jauh berbeda dengan kerusuhan-kerusuhan massal yang terjadi sebelumnya di
daerah-daerah lain di Indonesia: tragedi 27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi
Mei 1998, tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, Sambas, dll., yang
semuanya memberikan petunjuk jelas tentang keterlibatan militer. Kerusuhan-
kerusuhan itu menunjukkan kesamaan pola, yaitu:R
Fakta di seputar kerusuhan itu dapat menjadi dasar bagi kita semua, masyarakat
sipil, untuk bersikap terhadap konteks beda agama dalam memahami kerusuhan.
Jika kita bersandar pada sumber-sumber yang berasal dari kedua belah pihak
yang berbeda agama dalam kerusuhan Ambon, kita akan sampai pada suatu
relativitas dalam bersikap terhadap semua kekejian itu. R
Untuk itu, kami, para relawan dari berbagai latar belakang agama dan etnis,
mengajak masyarakat sipil, khususnya masyarakat Ambon Lease, untuk
memahami apa yang sebenarnya bisa dan harus dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri. Tidak ada satu pihak pun, baik Muslim maupun Kristen, yang dapat
memonopoli sepenuhnya atas "kebenaran peristiwa rusuh yang terjadi", baik dari
segi kekerasan yang berlangsung maupun korban-korbannya. Kedua belah pihak
akhirnya sama-sama menderita dan menanggung kerugian-kerugian yang
mendalam dan menyedihkan. Sementara para dalang dan pelaku kerusuhan tak
pernah tersentuh hukum dan dengan mudah melepas tanggung jawab atas
semua peristiwa rusuh yang terjadi. R
WassalamR
TRK AmbonR
RR
R+++R