You are on page 1of 104

PANCASILA MENURUT SOEKARNO

(ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PADA PIDATO


“LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945)

SKRIPSI

Nama : Leo Budiman


NIM : 0541500450

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Peminatan : Public Relations

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA
2010
PANCASILA MENURUT SOEKARNO
(ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PADA PIDATO
“LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar


Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I.Kom)

Nama : Leo Budiman


NIM : 0541500450

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Peminatan : Public Relations

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS BUDI LUHUR
JAKARTA
2010
LEMBAR PERSETUJUAN

Setelah dilakukan bimbingan, maka skripsi dengan judul ” PANCASILA


MENURUT SOEKARNO (ANALISIS HERMENEUTIKA DILTHEY PADA
PIDATO “LAHIRNYA PANCASILA” I JUNI 1945) yang diajukan oleh Leo
Budiman-0541500450 disetujui dan siap untuk dipertanggungjawabkan di
hadapan penguji pada saat sidang skripsi strata satu (S-1), program studi
komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur.

Dosen Pembimbing

(Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si)

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Program Studi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Budi Luhur Jakarta, guna
melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) program studi ilmu komunikasi.

Jakarta, Desember 2010

Tim Penguji :

1. Rusmulyadi, M.Si
(.................................)

2. Murdiani, M.Si
(.................................)

3. Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si


(.................................)

Ketua Program Studi

Ilmu Komunikasi

(Bambang Pujiyono, S.Sos, MM., M.Si.)

iii
iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip,
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Leo budiman

NIM : 0541500450

Tanda Tangan : ......................

Tanggal : 17 Desember 2010

v
ABSTRAK

Nama : Leo Budiman


NIM : 0541500450
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Bidang Konsentrasi : Public Relations
Jumlah Halaman : xi + 70 halaman
Jumlah Literatur : 27 Buku, 2 Jurnal dan sumber dari situs internet
Judul : Pancasila Menurut Soekarno
(Analisis Hermeneutika Dilthey pada Pidato
“Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945)

Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia telah mengalir di dalam


darah Bangsa Indonesia sejak dulu kala karena memang berasal dari kebudayaan
bangsa ini. Namun sayangnya, Pancasila yang pertama kali diutarakan oleh Ir.
Soekarno pada rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang merupakan hasil
penggalian kembali dari budaya dan nilai-nilai bangsa, mengalami pergeseran
makna pada masa Orde Baru. Proses pendoktrinan Pancasila pada masa Orde
Baru menjadikan keseragaman pemahaman yang sesungguhnya justru berbeda
dengan apa yang dimaksudkan Ir. Soekarno saat menawarkan konsep Pancasila
kepada peserta rapat BPUPKI.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru, banyak tokoh masyarakat yang
menafsirkan Pancasila berbeda-beda dan menawarkannya kembali kepada
masyarakat untuk mendapatkan dukungan dalam panggung politik. Lalu
Bagaimana interpretasi Ir. Soekarno Mengenai Sistem Demokrasi Pancasila
di dalam Pidatonya pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945? Hal inilah yang
ingin dicari tahu oleh peneliti. Penelitian ini bermaksud untuk memahami konsep
Pancasila yang sesungguhnya seperti yang diinginkan oleh Ir. Soekarno.
Penelitian ini menggunakan metode Hermeneutika Dilthey dengan
tujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Metode Hermeneutika Dilthey memahami teks dengan menggunakan autobiografi
dari komunikator agar mendapatkan pandangan yang sesubjektif mungkin dari
komunikator.
Kesimpulan yang peneliti dapatkan dalam penelitian ini adalah bahwa
konsep Pancasila yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno merupakan hasil
penggaliannya terhadap kebudayaan Bangsa Indonesia sejak masa kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit. Konsep Pancasila yang ditawarkan Ir. Soekarno dapat
kita pahami dengan menyelami autobiografi Ir. Soekarno dan menganalisisnya
dengan menggunakan metode Hermeneutika Dilthey.

v Universitas Budi Luhur


KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya, lalu kepada

orang tua dan seluruh keluarga saya, yang telah memberikan segalanya dalam

kehidupan ini, sehingga saya bisa menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

”Pancasila Menurut Soekarno (Analisis Hermeneutika Dilthey Pada Pidato

“Lahirnya Pancasila” 1 Juni 1945)”. Penulisan skripsi ini adalah untuk

memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kesarjanaan Strata (S-1) pada program

studi ilmu komunikasi.

Dalam penulisan skripsi ini, saya telah banyak mendapatkan

bimbingan, bantuan serta dorongan baik berupa moril maupun materil dari

berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Liza Dwi Ratna Dewi, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Budi Luhur Jakarta dan Dosen Pembimbing dalam penelitian

ini. Terima kasih ibu atas kesabarannya selama membimbing saya dalam

penelitian ini.

2. Bambang Pujiyono, S.Sos, MM., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu

Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta. Terima kasih atas

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyusun skripsi ini

walaupun telah memakan waktu yang terlalu lama.

vi Universitas Budi Luhur


3. Ibu Nawiroh Vera dan ibu Riyodina G. Pratikto dan seluruh dosen serta

staf sekretariat FIKOM Univesitas Budi Luhur yang berbaik hati

menyemangati, membuka wacana, dan bimbingan kepada saya selama ini.

4. Keluarga besar KM Universitas Budi Luhur yang selalu bersedia menjadi

teman diskusi dan mengingatkan serta menyemangati saya selama

penyusunan skripsi ini.

5. Ketiga kakak penulis yang dengan senantiasa bersabar mengingatkan

penulis untuk menyelesaikan kuliah secepatnya.

6. Khusus kepada Irwansyah Nuzar, Parlin Siagian, Helsusandra Syam, Tina

Dornauli dan seluruh keluarga KM Jakarta yang telah membuka wacana

saya tentang Pancasila.

7. Rekan-rekan organisasi Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia

(IMIKI) dan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) yang telah

memberikan pengalaman dan pemahaman kepada saya selama ini.

8. Kepada Lisa Andriyani yang telah menjadi pasangan yang setia

menyemangati dan mengerti dengan sabar sifat dan karakter saya.

9. Terakhir kepada semua teman-teman dan pihak yang telah disebutkan

maupun yang tidak disebutk an, terima kasih banyak atas pengertian dan

dukungan kalian selama ini.

Penulis merasa bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

masih banyak kekurangan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya pengetahuan

penulis. Namun, hal ini bukanlah penghalang bagi penulis untuk berusaha

menyempurnakan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan penuh

vii Universitas Budi Luhur


kerendahan hati penulis akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun

agar segala langkah yang akan datang dapat lebih baik.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak, bagi pihak Universitas Budi Luhur maupun Fakultas Ilmu Komunikasi

(FIKOM). Penulis juga berharap agar penulisan skripsi ini berguna sebagai acuan

dan masukan bagi pembacanya.

viii Universitas Budi Luhur


DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan ............................................................................................... ii

Lembar Pengesahan............................................................................................... iii

Lembar Pernyataan Orisinalitas.……...…………………………………………. iv

Abstraksi ................................................................................................................ v

Kata Pengantar ...................................................................................................... vi

Daftar Isi ............................................................................................................... ix

Daftar Gambar ....................................................................................................... xi

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

1.2. Permasalahan ……........................................................................................... 5

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6

1.4. Manfaat Penelitian …...................................................................................... 6

1.5. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 7

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1. Kajian Teori ………….................................................................................... 9

2.1.1. Komunikasi ……………….......................................................................... 9

2.1.2. Retorika ……….......................................................................................... 12

2.1.3. Demokrasi ….............................................................................................. 15

2.1.4. Hermeneutik................................................................................................ 17

2.2. Tinjauan Penelitian......................................................................................... 22

2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 27

Bab III Metodologi Penelitian

ix Universitas Budi Luhur


3.1. Paradigma Penelitian ..................................................................................... 29

3.2. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 31

3.3. Metode Penelitian .......................................................................................... 32

3.4. Objek Penelitian ............................................................................................ 33

3.5. Sumber Data ……………………………………………..………………... 33

3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 34

3.7. Teknik Analisis Data ..................................................................................... 35

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Hasil Penelitian …......................................................................................... 38

4.1.1 Sejarah Indonesia ………............................................................................ 38

4.1.2 BPUPKI dan Rapat BPUPKI ….................................................................. 42

4.1.3 Ir. Soekarno …………………………………............................................. 45

4.2. Pembahasan ……………………................................................................... 49

4.2.1. Analisis Dasar Pertama ......……………………………………………… 51

4.2.2. Analisis Dasar Kedua …………………………………………………… 57

4.2.3. Analisis Dasar Ketiga …………………………………………………… 60

4.2.4. Analisis Dasar Keempat ………………………………………………… 63

4.2.5. Analisis Dasar Kelima ……………….………………………………….. 67

Bab V Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 70

5.2. Saran ............................................................................................................ 71

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

x Universitas Budi Luhur


DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................. 28

2. Gambar 4.1 Hasil Keputusan Kongres Pemuda ............................................ 40

xi Universitas Budi Luhur


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia, sebagai mahluk sosial dan mahluk individu, memiliki kebutuhan

untuk hidup bersama dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu,

manusia cenderung hidup berkelompok. Salah satu bentuk pengelompokkan

manusia di dunia adalah bangsa. Manusia di dunia terbagi ke dalam bangsa-

bangsa dimana dia lahir dan membawa nilai-nilai yang dipercaya atau dianut oleh

bangsa tersebut. Bangsa menurut Ernest Renan (1968)1 adalah sekelompok

manusia yang telah mengalami pengalaman historis bersama dalam waktu yang

cukup lama. Setiap bangsa memiliki nilai-nilai yang dipegang dalam menjalani

kehidupan sehari-hari selama berabad-abad. Hal ini termasuk bagaimana seorang

individu memandang individu lain baik di dalam bangsanya ataupun di dalam

bangsa lain, juga termasuk didalamnya bagaimana bangsa tersebut memandang

alam disekitarnya. Nilai-nilai inilah yang disebut juga Philosofisch grondslag2.

Philosofisch grondslag lahir dari proses pemikiran yang mendalam sebagai upaya

manusia memahami kodratnya berada di dunia ini, yang tentu saja setiap bangsa

memiliki Philosofisch grondslag yang berbeda tergantung pada keadaan yang

dialami oleh bangsa tersebut dalam lahir dan berkembang di dunia ini.

1
Ernest Renan adalah seorang pujangga besar berkebangsaan Perancis. Penjelasan mengenai
bangsa disampaikan oleh Ernest Renan dengan judul : “Qu’est ce qu’une nation ?” di Universitas
Sorbonne (Paris) pada 11 Maret 1882 yang disalin kembali kedalam Bahasa Indonesia oleh Prof.
Sunario S.H
2
Philosaofiche Grondslag (Bahasa Belanda) atau disebut juga Weltanschauung (Jerman) yang
berarti dasar pemikiran, fondasi, dasar falsafah, jiwa, pikiran dan hasrat yang sedalam-dalamnya.

1 Universitas Budi Luhur


2

Bangsa Indonesia, yang dalam sejaranya, pernah mengalami masa

keemasan lama sebelum para penjajah datang bersama VOC. Tercatat dalam

sejarah Bangsa Indonesia, yang menempati wilayah nusantara, pernah ada paling

tidak dua kerajaan besar disamping ratusan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Terdapat ribuan raja besar yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Kerajaan

Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit termasuk kerajaan yang memiliki wilayah yang

terluas, luas wilayah Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Pulau Sumatera dan

sekitarnya sampai dengan wilayah Malaysia dan Filiphina. Sedangkan Wilayah

Kerajaan Majapahit berpusat di Pulau Jawa sampai dengan pantai barat Afrika.

Nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit memiliki wilayah

kekuasaan yang sangat luas hingga meliputi dari kepulauan Nusantara sampai ke

Madagaskar pantai Afrika Timur. Seperti Romawi dan Yunani, bangsa Indonesia

saat itu telah memiliki Philosofisch grondslag sendiri yang merupakan hasil

pemikiran mendalam dari para Empu (filsuf) yang ada. Philosofisch grondslag ini

pertama kali dikemukakan Empu Prapanca dengan sebutan Pancasila yang

disebutkan dalam karya sastra Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara

Krtagama3. Kemudian seiring dengan berjalannya sejarah bangsa Indonesia yang

jatuh dan bangkit serta terjajah oleh bangsa lain selama berabad-abad,

Philosofisch grondslag ini (Pancasila) digali dan diperkenalkan lagi oleh Ir.

3
Di dalam kitab diceritakan tentang masa kejayaan majapahit yang dipimpin oleh raja Hayam
Wuruk dan dapat memiliki wilayah yang luas berkat patih Gajah mada. Selain itu, diceritakan pula
sejarah raja-raja majapahit dan penyebab kejayaan majapahit di bawah pimpinan hayam wuruk
yang bijaksana.nilai-nilai yang dirumuskan oleh empu prapanca diteruskan secara turun temurun
melalui cerita-cerita rakyat yang sering ditampilkan sebagai hiburan rakyat melalui cerita wayang

Universitas Budi Luhur


3

Soekarno pada Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik

Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

Pancasila dari kelahirannya kembali dalam Rapat BPUPKI tersebut

mampu merasuk ke dalam jiwa Bangsa Indonesia karena bukan merupakan hal

yang baru bagi Bangsa Indonesia. Pancasila juga mampu bersaing dan bertahan

dari besarnya pengaruh dari dua Philosofisch grondslag yang ada di dunia saat itu

dan Indonesia pada saat Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno

mampu bertahan dari derasnya tekanan bangsa-bangsa lain yang menganut

Kapitalisme dan Sosialisme yang pada saat itu sedang bersaing menanamkan

pengaruh pada negara-negara yang ada di dunia dengan porosnya negara-negara

Eropa Barat dan Amerika untuk Kapitalisme serta Uni Soviet dan China untuk

Sosialisme.

Pancasila, sebagai sebuah pesan yang disampaikan dengan tehnik retorika

yang disampaikan oleh Ir. Soekarno pada rapat BPUPKI tersebut, menjadi sebuah

jawaban bagi upaya untuk mempersatukan Bangsa Indonesia yang terpecah belah

karena politik devide et impera (adu domba) yang dijalankan oleh para penjajah

untuk memecah belah bangsa Indonesia. Negara dan Bangsa Indonesia yang pada

saat itu sudah sangat merindukan kemerdekaan setelah lebih dari 350 tahun

dijajah bangsa lain masih memiliki pertanyaan besar yang harus dijawab para

pemimpin bangsa, yaitu mengenai Dasar Negara Indonesia setelah merdeka, dasar

negara dan bangsa yang bersatu dan merdeka. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno

menyampaikan penjelasan yang sangat mendalam mengenai kebutuhan dan

Universitas Budi Luhur


4

tantangan yang akan dihadapi oleh Bangsa Indonesia setelah merdeka, dan Ir.

Soekarno juga menjelaskan bagaimana Pancasila menjadi jawaban atas segala

kebutuhan dan tantangan tersebut.

Dalam pidato tersebut juga dijelaskan bentuk demokrasi yang sesuai

dengan Bangsa Indonesia. Bukan Demokrasi Liberal, juga bukan Demokrasi

Sosialis-Komunis tapi melainkan Demokrasi Pancasila yang berasal dari nilai-

nilai Bangsa Indonesia. Pada saat itu, para tokoh perjuangan yang mewakili

kelompok-kelompoknya4 bangsa percaya dan yakin bahwa Pancasila merupakan

jalan yang paling tepat untuk Bangsa Indonesia sehingga kemudian Pancasila

ditetapkan sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Penjelasan lebih rinci

mengenai Pancasila diperjelas lagi oleh Ir. Soekarno pada buku Pancasila Sebagai

Dasar Negara yang ditulis dari kumpulan kuliah umum yang diberikan oleh Ir.

Soekarno pada tahun 1958 sampai tahun 1959.

Namun pada pelaksanaannya selama perjalanan Bangsa Indonesia

Merdeka, Pancasila yang dipercaya sebagai dasar pendirian Bangsa tidak

dijalankan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh terjadinya beberapa kali proses

penyeragaman pemahaman tentang Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah

sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada masa Orde Lama, proses indoktrinasi

(penyeragaman pemahaman) terhadap Pancasila dilakukan oleh Ir. Soekarno

melalui kuliah umum-kuliah umum yang diadakan di beberapa universitas besar

4
Rapat BPUPKI tanggal 1 juni 1945 dihadiri oleh tokoh-tokoh besar dari kelompok-kelompok
social yang ada di Indonesia saat itu, setidaknya terdapat Soetardjo, Dr. Soekiman, Ki Bagoes
Hadikoesomo, M. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Sanoesi, Abi Koesno, Lim Koen Hian, dan
perwakilan dari kerajaan-kerajaan yang ada.

Universitas Budi Luhur


5

di tanah air. Selanjutnya pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto

sebagai presiden, proses indoktrinasi dilakukan melalui suatu sistem pendidikan

yang kita kenal dengan sebutan P4 (Pendidikan Pelatihan Pengamalan Pancasila)

yang diadakan dengan satu tujuan politis yaitu desoekarnoisasi (penghancuran

citra Soekarno di masyarakat). Pancasila sebagai sebuah dasar negara dan sebagai

sebuah pesan, memberikan ruang interpretasi yang sangat luas bagi siapa saja

untuk menafsirkannya, terutama bagi pemerintah yang memegang kekuasaan. Hal

ini menyebabkan interpretasi dan pemahaman tengtang Pancasila yang sesuai

dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikatornya semakin bias.

Pancasila yang disampaikan sebagai sebuah pesan dalam retorika yang

dikomunikasikan oleh Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI tersebut telah sejak lama

dipikirkan olehnya. Pesan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh perjalanan

hidup dan nilai-nilai yang dipercaya oleh Ir. Soekarno sebagai komunikatornya,

oleh karena itu untuk dapat memahami dengan benar Pancasila dan untuk dapat

menjalankannya dengan tepat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka

sebaiknya kita memahami arti Pancasila dari sudut pandang Ir. Soekarno sebagai

komunikator dalam proses komunikasi tersebut.

1.2. Permasalahan

Melihat latar belakang yang peneliti buat, maka peneliti mengangkat

rumusan permasalahan di penelitian ini adalah: Bagaimana Interpretasi Ir.

Soekarno mengenai Pancasila di komunikasikan melalui Pidatonya dalam rapat

BPUPKI 1 Juni 1945?

Universitas Budi Luhur


6

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan permasalahan yang peneliti kemukakan di atas, maka tujuan

dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari interpretasi Pancasila yang

dimaksudkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada Rapat BPUPKI 1 Juni

1945.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan

Ilmu Komunikasi khususnya dalam bidang Fenomenologi Komunikasi. Dalam hal

ini memberikan pemahaman tentang Pancasila yang dipresentasikan oleh Ir.

Soekarno melalui retorikanya tanggal 1 Juni 1945 pada Rapat BPUPKI.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap wawasan ilmu dan

pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi pada umumnya dan pengetahuan dalam

bidang Hermeneutika Komunikasi pada khususnya. Terutama dalam aplikasinya

terhadap proses interpretasi dan pemahaman terhadap teks sebagai pesan yang

disampaikan pada komunikasi publik, maupun aplikasinya secara pribadi. Serta

untuk menggali dan mengenalkan kembali nilai-nilai luhur bangsa yang terdapat

di dalam Pancasila kepada masyarakat luas khususnya kaum muda intelektual

yang menjadi penentu perubahan dan kemajuan bangsa ini.

Universitas Budi Luhur


7

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini mempunyai tujuan memberikan gambaran

kepada pembaca mengenai uraian yang akan dibahas, sehingga pembaca akan

mudah memahami isi dari karya tulis ini. Penulisan karya tulis ini terdiri dari lima

bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini peneliti menjelaskan secara singkat mengenai

latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

penelitian.

BAB II : KERANGKA TEORI

Dalam bab ini peneliti menjabarkan teori-teori yang digunakan

sebagai landasan berfikir untuk memahami permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini peneliti menjelaskan tentang Paradigma

Penelitian, Pendekatan Penelitian, Metode Penelitian, Objek

Penelitian, Sumber Data, Teknik Pemilihan Informan, Teknik

Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.

Universitas Budi Luhur


8

BAB IV : PEMBAHASAN

Dalam bab ini peneliti menjelaskan hasil penelitian

berdasarkan data yang diperoleh serta pembahasan hasil

analisis penelitian.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran–saran

yang diberikan peneliti untuk dijadikan sebagai bahan

masukan.

Universitas Budi Luhur


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

Mengacu pada pokok permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya,

peneliti menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai landasan pemikiran

dalam melakukan penelitian sebagai berikut:

2.1.1 Komunikasi

Komunikasi dapat diartikan oleh J. B Wahyudi (1986:19) sebagai:

Proses komunikasi yaitu bila seseorang atau kelompok melempar


lambang atau ide yang ditunjukkan kepada orang lain atau kelompok
lain, dengan tujuan agar terjadi persamaan pendapat diantara yang
terlibat komunikasi, di dalam mengartikan lambang atau ide itu.
Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung dengan atau tanpa
media, dan dapat pula berlangsung secara rutin tetapi dapat pula
secara tidak rutin.

Bernard Berelson dan Gary Steiner menyatakan bahwa komunikasi

adalah “Transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya

dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik dan

sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut

dengan komunikasi.”(dalam Mulyana, 2000:54)

Menurut Everret M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid, komunikasi

adalah “Suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau

melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya

terjadi pengertian yang mendalam.”(Cangara, 2005:19)

9 Universitas Budi Luhur


10

Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi. Dia

berkata “Komunikasi merupakan: (1) transmisi informasi; (2) transmisi

pengertian; yang (3) menggunakan simbol-simbol yang sama. Jadi, kalau satu

komponen kurang maka komunikasi tidak akan terjadi.”(Liliweri, 2007:7)

Komunikasi memiliki beberapa tipe atau bentuk yang telah di

kelompok-kelompokan oleh para pakar. Pengelompokan tersebut berdasarkan

pada sudut pandang masing-masing pakar menurut pengalaman dan bidang

studi para pakar, dan masing-masing pihak memiliki sumber yang cukup

beralasan.

Dengan memperhatikan pandangan para pakar, Hafid Cangara,

(2005:34) dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi membagi komunikasi

ke dalam empat tipe, yakni komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi

antarpribadi, komunikasi publik dan komunikasi massa.

Peneliti di sini hanya akan menjelaskan mengenai komunikasi publik

yang berhubungan dengan penelitian ini.

Komunikasi publik biasa disebut komunikasi pidato, komunikasi


kolektif, komunikasi retorika, public speaking, dan komunikasi
khalayak (audience communication). Apa pun namanya, komunikasi
publik menunjukan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan
disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan
khalayak yang lebih besar. (Cangara, 2005:34)

Universitas Budi Luhur


11

Berdasarkan penjelasan mengenai komunikasi publik yang diutarakan

oleh Hafid Cangara, dapat disimpulkan bahwa komunikasi publik, pada

umumnya, ditemui dalam berbagai aktifitas seperti kuliah umum, khotbah,

rapat akbar, pengarahan, ceramah, dan sebagainya.

Lebih lanjut Hafid Cangara mengatakan,

Ada kalangan tertentu menilai bahwa komunikasi publik bisa


digolongkan komunikasi massa bila melihat pesannya yang terbuka
Tetapi terdapat beberapa kasus tertentu di mana pesan yang
disampaikan itu terbatas pada segmen khalayak tertentu, misalnya
pada rapat anggota, diskusi panel, seminar, dan pengarahan. Karena
itu komunikasi publik dapat juga dikatakan sebagai komunikasi
kelompok jika dilihat dari segi tempat dan situasi (Cangara, 2005:34)

Melihat dari keterbukaan pesan yang disampaikan dalam komunikasi

publik, maka hal ini dapat juga digolongkan ke dalam komunikasi massa,

namun pada beberapa keadaan, komunikasi publik tidak dapat dikategorikan

ke dalam komunikasi massa bila khalayaknya terbatas pada segmen tertentu.

Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai komunikasi publik

yang telah disampaikan, peneliti menyimpulkan, bahwa komunikasi adalah

proses antara dua orang atau lebih dalam melakukan transmisi informasi, ide,

atau gagasan melalui simbol-simbol yang dapat berupa bahasa, gambar,

grafik, figur, dan sebagainya, guna mencapai pengertian yang mendalam di

antara mereka, baik secara langsung atau pun menggunakan media perantara.

Universitas Budi Luhur


12

2.1.2 Retorika

“Craig membagi dunia komunikasi ke dalam tujuh tradisi pemikiran:

(1) Semiotik; (2) Fenomenologis; (3) Sibernetika; (4) Sosiopsikologis; (5)

Sosiokultural; (6) Kritis; (7) Retoris.”(Litlejohn, 2009:53)

Craig meletakkan retorika sebagai tradisi pemikiran dalam ilmu

komunikasi, namun Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai:

Someone who is always able to see what is persuasive.


Correspondingly, rhetoric is defined as the ability to see what is
possibly persuasive in every given case. This is not to say that the
rhetorician will be able to convince under all circumstances. Rather
he is in a situation similar to that of the physician: the latter has a
complete grasp of his art only if he neglects nothing that might heal
his patient, though he is not able to heal every patient. Similarly, the
rhetorician has a complete grasp of his method, if he discovers the
available means of persuasion, though he is not able to convince
everybody.(www.plato.stanford.edu, 2002)

Jadi dapat dikatakan bahwa retorika adalah kemampuan untuk

berkomunikasi secara persuasif. Seorang retoris harus mampu memahami dan

menempatkan dirinya baik sebagai komunikator atau pun sebagai komunikan

untuk dapat menjadi persuasif sehingga dapat mempengaruhi lawan

bicaranya.

Retorika dalam perkembangannya, mengalami banyak perubahan

penggunaan yang mengakibatkan berubahnya definisi retorika mengikuti

penggunaannya dalam setiap periode sejarah peradaban manusia. Hal ini

disebabkan karena perbedaan penggunaan retorika pada setiap periodenya.

Oleh karena itu muncul keragaman dalam tradisi retorika antara lain : Periode

Universitas Budi Luhur


13

Klasik, Periode Pertengahan, Periode Renaissance, Periode Pencerahan,

Periode Kontemporer, dan Periode Post-Modern.

Saat ini, retorika sering mengalami penyempitan makna--kosong atau


kata-kata ornamen yang berlawanan dengan tindakan. Kajian retorika
secara umum didefinisikan sebagai simbol yang digunakan manusia.
Pada awalnya ilmu ini berhubungan dengan persuasi, sehingga
retorika adalah seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah
pidato. Kemudian, berkembang sampai meliputi proses “adjusting
ideas to people and people to ideas” dalam segala jenis
pesan.(Littlejohn, 2009:73)

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Theories of

Human Communication (2009:74-76), menjelaskan Retorika dari sejarah

penggunaannya dari masa ke masa. Penulis merangkum penuturan sejarah

retorika sebagai berikut:

1. Retorika di zaman klasik (abad ke-5 sampai abad ke-1 sebelum masehi),
didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun
peraturan dari seni retorika. Instruksi retorika paling awal diajarkan oleh
para guru-guru pengembara, Sophist, dengan mengajarkan seni berdebat di
kedua sisi pada sebuah kasus.
2. Pada Zaman pertengahan (400-1400 Masehi) retorika berfokus pada
permasalahan penyusunan dan gaya. Secara pragmatis, kegunaan retorika
pada zaman pertengahan adalah untuk penulisan surat karena pada abad ini
banyak keputusan yang dibuat secara pribadi dalam dekrit dan surat.
Sedangkan permasalahan tentang gaya ditekankan dalam pengajaran
mengadaptasi pelapisan, bahasa, dan format untuk audiensi khusus.
3. Pada Zaman Renaissance (1300-1600 Masehi) disokong oleh Zaman
Pertengahan, memandang kembali retorika sebagai filosofi seni. Yang
menjadi tren pada zaman ini adalah Rasionalisme, sehingga para pemikir
seperti Rene Descartes mencoba untuk menentukan apa yang dapat
diketahui secara absolut dan objektif oleh pikiran manusia. zada zaman ini
pun, logika atau pengetahuan juga terpisah dari bahasa dan retorika hanya
menjadi cara untuk menyampaikan kebenaran ketika kebenaran tersebut
diketahui.
4. Zaman Pencerahan (1600-1800 Masehi), retorika dibatasi karena gayanya,
sehingga memunculkan pergerakan belles lettres-yang arti harfiahnya
surat-surat indah atau menarik. Dengan adanya ketertarikan dalam gaya,
selera, dan estetika tidak mengherankan jika sebuah gerakan seni

Universitas Budi Luhur


14

deklamasi mengajarkan pelafalan serta sistem gerak tubuh dan gerakan


pembicara juga muncul ke permukaan.
5. Retorika Kontemporer (beriringan pada abad ke-20), dimana abad ini
pengaruh simbol-simbol meningkat sehingga retorika bergeser fokusnya
dari pidato ke semua jenis penggunaan simbol. Dengan kata lain secara
harfiah, tidak ada bentuk penggunaan simbol yang tidak dapat diteliti oleh
para akademisi retorika. Selain itu, hal yang paling penting pada periode
ini adalah adanya sebuah pemahaman mengenai retorika sebagai
epistemika – sebagai sebuah cara untuk mengetahui dunia, bukan hanya
sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia.
6. Retorika post-modern (akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21). Retorika
zaman ini mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan
seksualitas ketika mereka masuk ke dalam pengalaman kehidupan khusus
seseorang daripada mencari teori-teori yang luas dan penjelasan-
penjelasan mengenai retorika.

Berdasarkan kutipan penggunaan retorika dalam beberapa periode

sejarah, dapat disimpulkan bahwa secara umum retorika ialah seni

manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan

menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar

melalui pidato.

“Selanjutnya, retorika jauh berbeda dengan tanpa arti, kosong, atau

pembicaraan ornamental. Hal ini merupakan seni dasar dan praktik

komunikasi manusia.” (Littlejohn, 2009:76)

Dari kutipan di atas, maka dalam keberagaman konteks komunikasi

yang ada, tradisi retorika tidak memiliki bagian tersendiri karena teori-teori

retorika banyak yang tercakup dalam tradisi lain yang sesuai. Dengan ini, ada

perbedaan antara retorika klasik dan praktek kontemporer dari retorika yang

termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.

Universitas Budi Luhur


15

Berdasarkan pada penjelasan yang telah disampaikan, peneliti menarik

kesimpulan bahwa retorika adalah seni berbicara secara manipulatif atau

teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan

lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato,

dengan tujuan membuat orang lain memiliki pandangan dan pemikiran yang

sama dengan kita sehingga bertindak sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Untuk itu, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam

merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka. Retorika dapat

dilakukan pada komunikasi kelompok dan juga komunikasi antarpribadi

melalui komunikasi langsung ataupun menggunakan media.

2.1.3 Demokrasi

Demokrasi, sebuah kosakata politik yang begitu sering digunakan dan

diperdengarkan dalam wacana sosial politik kenegaraan. Demokrasi yang

dijalankan oleh negara-negara di dunia sangatlah beragam jenisnya, ada

demokrasi liberal, demokrasi sosialis, demokrasi komunis, demokrasi rakyat,

demokrasi terpimpin, dan lain sebagainya.

“Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari

bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat

dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan

rakyat.”(www.hminews.com) Dengan bahasa lain demokrasi adalah

pemerintahan rakyat: pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela

dan bukan karena takut atau paksa.

Universitas Budi Luhur


16

Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber


kekuasaan (source of legislation and authority). Dalam demokrasi
kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyats. Ada 4 jenis
kebebasan yang dianut: (1) kebebasan beragama (freedom of religion),
(2) kebebasan berpendapat (freedom of speech), (3) kebebasan
kepemilikan (freedom of ownership), dan (4) kebebasan berperilaku
(personal freedom).(www.hminews.com)

Demokrasi dalam konteks kontemporer, Harris Soche, “Demokrasi

adalah pemerintahan rakyat karena itu kekuasaan melekat

pada rakyat.” (Elvani, 2007)

Dapat disimpulkan demokrasi mengakui kehendak rakyat sebagai

landasan bagi legitimasi dan kewenangan pemerintahan (kedaulatan rakyat)

dan kehendak itu akan dinyatakan dalam sebuah iklim politik yang terbuka

melalui pemilihan umum yang bebas dan berkala.

Sedangkan menurut C.F. Strong (seperti yang di kutip oleh Malkian

Elvani, 2007) , “Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana

mayoritas anggota dewan dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem

perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya

mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.”

Menurut Henry B. Mayo, system politik demokratis adalah

menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-

wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas kesamaan

politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. (Elvani, 2007)

Universitas Budi Luhur


17

International Commision for Jurist, merumuskan “Demokrasi adalah

suatu bentuk pemerintahan untuk membuat keputusan politik diseleng-

garakan oleh wakil wakil yang dipilih dan bertanggung jawab kepada mereka

melalui pemilihan yang bebas.” (Elvani, 2007)

Sedangkan, Samuel Huntington, “system politik sebagai demokratis

sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu

dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan semua orang dewasa

mempunyai hak yang sama memberikan suara.” (Elvani, 2007)

Maka dapat disimpulkan, Sistem Demokrasi adalah sistem

pemerintahan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang

sepenuhnya dan seutuhnya baik melalui sistem perwakilan ataupun secara

langsung. Sebuah sistem demokrasi bertujuan untuk mensejahterakan

rakyatnya.

2.1.4 Hermeneutik

Engkus Kuswarno (2008:25) dalam bukunya Etnografi Komunikasi

mengatakan “Hermeneutik adalah cabang filsafat yang menguji teori tentang

pemahaman dan penafsiran.” Selanjutnya, beliau juga mengatakan “Sebuah

proses dipandang sebagai sesuatu yang sirkuler, jadi orang hanya dapat

memahami sesuatu dalam kaitannya dengan bagian-bagiannya. Namun

bagian-bagian tersebut juga hanya dapat dipahami dari keseluruhannya.”

Universitas Budi Luhur


18

“Secara etimologis, Hermeneutik berasal dari kata Yunani

Hermeneuein yang berarti menafsirkan, kata bendanya Hermenia dapat

diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.”(Steve JM, 2008:3)

Dalam mitologi Yunani, kata hermeneutik sering dikaitkan dengan


tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan
pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam
bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan
sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian
pengertian kata Hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah
penafsiran atau interpretasi.(Saidi, 2008)

Ada banyak tokoh dalam Hermeneutika. Sebut saja, misalnya,

Friedrich Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans

George Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Peneliti tidak akan

menjelaskan pemikiran Hermeneutik semua tokoh tersebut. Dalam penulisan

penelitian ini, penjelasan Hermeneutika yang akan disarikan adalah yang

dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey.

2.1.4.1 Hermeneutik Wilhelm Dilthey

Wilhelm Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset

historisnya dalam bidang hermeneutik. “Ia berambisi menyusun dasar

epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang

memandang dunia sebagai wajah interior dan eksterior.” (Steve JM, 2008:8)

Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan


intelektualnya, tertanam pada kemampuan intelektualnya dalam
menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya
kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya
atas dialog Plato. (Steve JM, 2008:8)

Universitas Budi Luhur


19

Pemikiran Dithey banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan

Schleiermacher. Dia memandang hidup dan kehidupan adalah “sebuah proses

yang sedang berlangsung, suatu entitas yang secara kodrat mengalir

(Bergson). Sejarah tidak dapat dipahami kecuali melalui teori-teori dan

sebaliknya teori juga tidak dapat dipahami kecuali melalui sejarah.” (Steve

JM, 2008:11)

Menurut Dilthey, “Hermenuetik sendiri pada dasarnya bersifat

menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah ‘berhenti pada

satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.” (Steve

JM, 2008:11)

Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam

tiga proses:

• Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.

• Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal


yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah.

• Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang


berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.

Menurut Dilthey, “memahami berarti menggabungkan semua daya

pikiran kita dalam pengertian.” (Steve JM, 2008:11). Dapat dikatakan bahwa

dalam memahami kita mengikuti proses mulai dari sistem keseluruhan yang

kita terima dalam pengalamana hidup sehingga kita dapat mengerti, sampai

ke pemahaman tentang diri sendiri.

Universitas Budi Luhur


20

Proses pemahaman terdiri dari dua bagian; pertama, pengalaman yang


hidup menimbulkan ungkapannya dan kedua, rekosntruksi berbagai
peristiwa. Tentang sistem penyebaban, Dilthey membagi menjadi dua
jenis Kausalzusammenhang (nexus sebab dan akibat yang bersifat
mekanis) dan Wirkungszusanmmenhang (sistem dinamis).

Pemikiran filsafat Dilthey dikenal dengan ’filsafat hidup’ karena ia

berupaya untuk menganalisis proses pemahaman yang membuat kita dapat

mengetahui kehidupan pikiran (kejiwaan) kita sendiri dan kejiwaan orang

lain. Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori

pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari

oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses yang melingkar,

yaitu setiap bagian dari suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat

keseluruhannya, adapun sebaliknya keseluruhannya hanya dapat ditangkap

lewat bagian-bagiannya. Dengan demikian kita dihadapkan pada suatu

lingkaran logis. Lingkaran yang sama juga dijumpai manakala kita mencoba

memahami pengaruh-pengaruhnya yang dialami oleh pengarang atas suatu

karyanya. Kita dapat memahami situasi apa yang terdapat di benaknya hanya

jikalau kita telah mengetahui apa yang sudah dipikirkan. Lingkaran tersebut

secara logis berpautan, tidak terpecahkan, akan tetapi dalam praktek dapat

kita pecahkan setiap saat kita memahaminya.

Proses hermeneutika selanjutnya bahwa arti suatu karya dapat

terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si pengarang, dan arti

karya-karya lain tersebut dapat dibaca lewat hidup dan watak si pengarang.

Dari pengertian inilah dapat diperoleh suatu pemahaman keadaan-keadaannya

Universitas Budi Luhur


21

sewaktu dia masih hidup, kemudian dipahami tulisan-tulisannya sebagai

suatu kejadian dalam suatu proses sejarah budaya atau sejarah sosial yang

jauh melampaui dirinya dan merupakan suatu bagian besar kisah umat

manusia. (Kaelan, 1998: 190-193)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dilthey memperlakukan

teks tertulis dalam sebuah karya sastra di hadapannya sebagai sebuah objek

interpretasi. Ia melihat teks sebagai ekspresi dari si pengarang dan interpretasi

adalah sebuah upaya untuk memahami maksud dari pengarang tersebut. Ia

percaya bahwa dengan menyelami teks kita dapat menemukan intensi dari

pengarang tersebut, dan dapat ditemukan metode untuk menyelami teks

tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi makna

adalah hal yang mungkin dalam kehidupan kita. Bagi Dilthey, pemahaman

akan ungkapan orang lain mengikuti logika yang sama sebagaimana

seseorang memahami kegiatan dalam autobiografinya sendiri. Autobiografi

merupakan alat yang paling baik dalam memahami hidup dan kejadian dalam

hidup kita

Penjelasan Autobiografi menurut Dilthey:

Autobiography is the roots of all historical comprehension.


Autobiography is all about understanding one’s self and the meaning
of events in one’s own life. We understand how events and meanings
are related in our own lives through reflection on our
autobiographies. We understand why we did this or said that because
we know the history that led up to those events and the consequences
that arose as a result of them.

Universitas Budi Luhur


22

Autobiografi mencerminkan akar dari semua pemahaman sejarah.


Autobiografi berkaitan dengan pemahaman diri seseorang dan makna
berkaitan dengan hidup kita sendiri melalui refleksi atas autobiografi
kita. Kita dapat mengerti mengapa kita melakukan sesuatu karena kita
tahu dari sejarah yang menuntun kita pada kejadian-kejadian tersebut.
(Radford, 2005:163)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi objek interpretasi

dalam penelitian ini adalah teks tertulis yang merupakan transkrip dari sebuah

pidato yang disampaikan dalam sebuah rapat. Untuk menerjemahkan dan

menginterpretasikan aspek-aspek tersebut, peneliti harus menginduksi

autobiografi si retoris. Jadi, kegunaan hermeneutik atau interpretasi dalam

penelitian ini adalah untuk memahami obyek dalam konteks ruang dan waktu

dimana obyek tersebut berada, terkait di dalamnya keseluruhan aspek kondisi

sosial, ekonomi, budaya, pandangan hidup maupun sejarahnya.

2.2 Tinjauan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti turut memberikan beberapa penelitian

pendahulu yang memiliki kesamaan baik metodologi, metode, teori, ataupun

objek penelitian. Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini antara

lain:

2.2.1 Konstruksi Argumentasi dalam Retorika Soekarno (Kasus: Pidato


Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan BPUPKI)

Oleh Liza Dwi Ratna Dewi dalam Tesis S2 Universitas Indonesia tahun 2007

Di dalam penelitian ini, peneliti (Liza Dwi Ratna) meneliti dan

menjelaskan mengenai proses penyusunan bahasa dan kata-kata yang

digunakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di Rapat BPUPKI tanggal 1

Universitas Budi Luhur


23

Juni 1945. Peneliti beranggapan bahwa penyusunan bahasa dan kata-kata

yang disampaikan sebagai pesan oleh Ir. Soekarno saat itu dilakukan

dengan penuh pertimbangan dan maksud. Berdasarkan pada teori bahasa

Bakhtin, terdapat dua objek yang dituju oleh seorang komunikator dalam

mengeluarkan pesannya, objek yang nyata disebut addressee dan objek

yang abstrak adalah supperaddressee. Lebih jauh, peneliti menjelaskan

bahwa yang dimaksud addressee adalah orang yang dituju dari proses

komunikasi yang dilakukan (komunikan) sedangkan supperaddressee

adalah latar belakang komunikan seperti ideologi, pendidikan, paradigm,

nilai-nilai budaya, dll. yang mempengaruhi respon komunikan dalam

menerima dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam proses

komunikasi.

Peneliti mengambil pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945

sebagai penelitiannya karena Ir. Soekarno sangat terkenal dengan

kemampuannya dalam berpidato. Selain itu, peneliti juga berpendapat

bahwa pidato tanggal 1 Juni 1945 mempunyai isu yang dimainkan dengan

piawai oleh Ir. Soekarno karena pada saat itu sedang dilakukan

pembahasan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka dan dihadiri oleh

tokoh-tokoh pemimpin pergerakkan kemerdekaan yang berasal dari latar

belakang yang berbeda-beda.

Untuk memahami dan mencapai tujuan penelitian, peneliti

menggunakan paradigma konstruktivis yang memandang bahwa realitas

Universitas Budi Luhur


24

kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi hasil dari konstruksi.

Peneliti juga menggunakan pendekatan kualitatif yang memahami realitas

yang diteliti secara menyeluruh dan berfokus pada hubungan-hubungan

antara bagian-bagian yang terpisah. Selain itu peneliti juga menggunakan

metode Hermeneutika Wilhelm Dilthey yang mengatakan bahwa individu

membentuk ddan dibentuk oleh konteks budaya di mana dia hidup.

2.2.2 Kedai Tiga Nyonya Sebagai Representasi Budaya Peranakan Cina-

Jawa

Oleh Lisa Andriani dalam Skripsi S1 FIKOM Universitas Budi Luhur tahun 2009

Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu

dan saling mempengaruhi disebut akulturasi (acculturation). Salah satu

akibat dari proses akulturasi adalah hibriditas. Hibriditas budaya (budaya

peranakan) adalah budaya baru yang dihasilkan melalui proses perkawinan

silang dari dua jenis budaya yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk

melihat dan menggambarkan salah satu jenis hibriditas budaya di Indonesia,

yaitu budaya peranakan Cina-Jawa yang terwujud dalam Kedai Tiga

Nyonya.

Kedai Tiga Nyonya bisa dikatakan sebagai pemain kuliner pertama

di Jakarta yang merangkul makanan Cina peranakan. Dengan demikian,

yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Kedai Tiga Nyonya Sebagai

Representasi Budaya Peranakan Cina-Jawa”.

Universitas Budi Luhur


25

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme yang

memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially

meaningful action melalui pengamatan langsung. Teori representasi yang

digunakan untuk menginterpretasikan data penelitian ini adalah

Hermeneutika Wilhelm Dilthey. Pendekatan dari penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif, karena secara umum digunakan untuk memperoleh

hasil penelitian yang bersifat deskriptif berupa kata-kata dari suatu objek

penelitian. Metodologi penelitian ini adalah metode etnografi, karena

metode ini dapat menggambarkan, menjelaskan dan membangun hubungan

dari kategori-kategori dan data yang ditemukan. Selain itu, ciri khas

penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistik, integratif, thick

description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of

view.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kedai Tiga Nyonya

merepresentasikan budaya peranakan Cina-Jawa. Budaya peranakan Cina-

Jawa yang terwujud dalam Kedai Tiga Nyonya, ditampilkan dan diartikan

sesuai latar belakang atau riwayat hidup dari pemilik Kedai. Kedai Tiga

Nyonya selain menjadi bangunan secara utuh, juga berperan pada

pembentukan ruang-ruang sosial dan simbolik, sebuah “ruang” menjadi

cerminan dari perancang dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pendek

kata, Kedai Tiga Nyonya menjadi cerminan budaya dari pemilik Kedai -

Paul B. Nio yaitu budaya Peranakan Cina-Jawa (Semarang).

Universitas Budi Luhur


26

2.2.3 Wacana feminism dalam Novel Ayu Manda (Studi Analisis

Hermeneutika)

Oleh Fitria Lestari dalam Skripsi S1 FIKOM Universitas Budi Luhur tahun 2010

Novel merupakan salah satu media massa cetak yang dapat member

banyak inspirasi bagi para pembacanya. Alur cerita dalam sebuah novel dapat

membentuk sebuah imajinasi dan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda

dari masing-masing pembaca. Oleh karena itu, teks bersifat polisemis, yaitu dapat

mengandung dan menimbulkan banyak makna. Dalam novel ini, diangkatnya

tema feminism membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.

Permasalahan yang terdapat dalam novel ini berkaitan dengan feminism adalah

masalah poligami, posisi perempuan dalam budaya Bali, seperti dalam hal hokum

waris dan dalam struktur kasta, serta budaya patriarki dalam kaitannya dengan

ketidaksetaraan gender.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana wacana

feminism ditampilkan dalam novel Ayu Manda.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah hermeneutika dari Paul

Ricouer. Metode hermeneutika dilakukan melalui sebuah proses interpretasi untuk

mengetahui makna dari sebuah makna. Ada berbagai segi yang diperhatikan

dalam meneliti suatu teks yaitu dari segi bahasa, segi latar belakang penulis, segi

lingkungan teks, segi kaitan dengan teks lain, serta “dialog” dengan pembaca.

Dalam hermeneutika, pembaca secara sengaja dan hati-hati melakukan interpretasi

serta penafsiran tentang apa yang dibacanya, dalam hal ini teks novel Ayu Manda.

Universitas Budi Luhur


27

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu mengenai bagaimana masalah

poligami dalam perspektif dua orang tokoh perempuan dalam novel ini, yaitu

sebagai istri pertama dan istri kedua. Selain itu novel ini juga menggambarkan

bagaimana budaya patriarki telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap

perempuan serta posisi perempuan dalam kebudayaan Bali yang direpresentasikan

lewat seorang tokoh utama dalam novel ini yaitu Ayu Manda.

Kesimpulan yang penulis buat berdasarkan hasil penelitian di atas adalah

tentang budaya patriarki yang sangat erat kaitannya dengan lahirnya sebuah

gerakan feminism. Patriarki dianggap sebagai sumber dimana perempuan

ditempatkan tidak sejajar dalam tatanan masyarakat. Kemudian saran yang dapat

penulis sampaikan adalah ditujukan kepada seluruh perempuan Indonesia agar

terus berjuang menunjukan eksistensi dirinya dengan semangat feminism.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pada penjelasan landasan teori yang telah peneliti

jelaskan di atas, maka kerangka pemikiran peneliti dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Universitas Budi Luhur


28

Konsep ide Pancasila Ir. Soekarno


Pada Rapat BPUPKI
(Tanggal 1 Juni 1945)

Hermeneutika
Wilhelm Dilthey

Interpretasi
Sistem Demokrasi Pancasila

GAMBAR 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar 2.1 menunjukan bahwa penelitian ini akan menjelaskan

interpretasi dari Sistem Demokrasi Pancasila yang berdasarkan pada teks

retorika Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Sistem Demokrasi

Pancasila yang sebenarnya menurut Ir. Soekarno dengan mendeskripsikan

dan menganalisis tanda-tanda verbal maupun non verbal dari naskah retorika

Ir. Soekarno pada rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Perspektif teori yang

digunakan untuk menginterpretasikan data yang diperoleh dalam penelitian

ini adalah teori interpretasi Hermeneutika Wilhelm Dilthey yakni dengan cara

menginduksi autobiografi Ir. Soekarno dan menganalisa teks retorika Ir.

Soekarno pada Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Universitas Budi Luhur


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Sejarah Indonesia

Pra Kolonial

Bangsa Indonesia yang telah menetap di wilayah kepulauan

nusantara selama beribu-ribu tahun, hal ini ditandai dengan ditemukannya

fosil manusia tertua di dunia yang di kenal dengan sebutan paleo javanicus5,

mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi.

Bangsa Indonesia sejak dahulu telah memiliki sistem pemerintahan

dengan bukti adanya kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah

nusantara. Kerajaan yang tertua adalah Kerajaan Kutai yang berada di Pulau

Kalimantan. Selain itu juga dikenal banyak kerajaan-kerajaan lainnya seperti

Singosari, Samudra Pasai, Sriwijaya, Mataram, Demak, Majapahit dan lain

sebagainya. Dua kerajaan yang memiliki wilayah kekuasaan terbesar adalah

kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang juga dikenal dengan sebutan Kerajaan

Nusantara.

5
Berasal dari bahasa latin yang artinya Manusia Jawa

38 Universitas Budi Luhur


39

Kerajaan-kerajaan nusantara sangat membuka diri dengan bangsa

lain dalam semangat perdagangan. Banyak pedagang bangsa lain yang dating

dan kemudian menetap di wilayah nusantara seperti China, India, Arab, dan

Eropa.

Jaman Kolonial

Bangsa Asing yang pertama kali menjajah nusantara adalah

Belanda. Belanda atau lebih tepatnya VOC6 pertama kali datang ke Indonesia

pada abad ke 16 di Semenanjung Malaka. Setelah itu VOC langsung

memonopoli perdagangan dan menjajah Bangsa Indonesia selama kurang

lebih tiga setengah abad lamanya. VOC bangkrut pada abad ke 18, dan

setelah pemerintahan kolonial Inggris yang pendek, Belanda mengambil alih

kembali penjajahan atas Indonesia. Penjajahan Belanda atas Indoensia

berangsung dengan banyak pasang surut, dengan banyaknya perlawanan di

setiap daerah dan beberapa kali terjadi pergantian gubernur jendral.7

Kebangkitan Nasional

Bangsa Indonesia di bawah kolonialisme Belanda sangatlah

menderita. Terdapat banyak pembatasan yang diberlakukan oleh

pemerintahan kolonialisme. Salah satunya adalah pembatasan pendidikan

dimana hanya keturunan para raja dan priyai saja yang dapat memperoleh

6
VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) merupakan sebuah kamar dagang atau perusahaan
pemerintah Belanda. Diberikan hak untuk memonopoli perdagangan dan aktivitas kolonial oleh
parlemen Belanda pada tahun 1602. Bermarkas di Batavia yang sekarang bernama Jakarta
7
Gubernur Jendral adalah sebutan untuk pimpinan tertinggi pemerintah kolonial di daerah
jajahannya yang merupakan perwakilan langsung dari Ratu Belanda.

Universitas Budi Luhur


40

pendidikan formal. Selain itu Bangsa Indonesia juga dilarang untuk berserikat

dan berkumpul. Namun pada tanggal 2 Mei 19088, berdiri serikat pertama

yang bernama Boedi Oetomo yang dideklarasikan oleh tiga orang yang

dikenal sebagai Tiga Serangkai. Organisasi Boedi Oetomo bergerak dalam

dunia pendidikan terutama untuk rakyat kecil yang tidak dapat masuk ke

dalam sekolah-sekolah buatan belanda.

Setelah itu, kejadian besar yang perlu disoroti dalam garis sejarah

Bangsa Indonesia adalah Kongres Pemuda9 yang menjadi tanda dari

persatuan perjuangan kemerdekaan di seluruh wilayah nusantara. Kongres

Pemuda ini lalu mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Sumpah

Pemuda.

Gambar 4.1 Hasil Keputusan Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober


1928 di Jakarta.

8
Kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
9Sumpah Pemuda, (28 Oktober 1928) deklarasi yang di gagas oleh para pemuda Indonesia untuk
bersatu dalam perjuangan memerdekakan Bangsa Indoensia dari penjajahan. Di tandai dengan
pembacaan sumpah untuk mengakui Tanah air, kebangsaan, dan Bahasa yang digunakan.

Universitas Budi Luhur


41

Selanjutnya perjuangan kemerdekaan berlangsung terus menerus

disetiap daerah dengan semangat yang baru, bukan lagi semangat kedaerah

melainkan semangat persatuan se Indonesia.

Pada tahun 1942, bangsa Jepang yang ingin menaklukan negara-

negara sekutu berhasil menghancurkan pangkalan militer Amerika di Pearl

Harbour. Kejayaan Bangsa Jepang saat itu sampai ke Indonesia dengan

memukul mundur Belanda dari Nusantara. Namun hal ini tidak menjadikan

Bangsa Indonesia merdeka melainkan mendapat penjajah baru yaitu Bangsa

Jepang. Pada awal penjajahannya, Bangsa Jepang begitu baik sehingga para

pejuang kemerdekaan menjadi kooperatif. Bangsa Jepang menjanjikan

kemerdekaan Bangsa Indonesia jika membantu peperangan melawan sekutu

pada perang dunia kedua. Pada tahun 1945 pemerintahan kolonial Jepang

membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. BPUPKI yang

hanya berumur beberapa bulan saja lalu digantikan oleh Panitia persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada pertengahan tahun 1945 Amerika membom atom kota

Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang menyerah tanpa syarat

ke[ada sekutu dan mengakhiri perang. Dengan kekalahan Jepang dari sekutu,

maka terjadi kekosongan pemerintahan kolonial di Indonesia, hal inilah yang

dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia untuk mendesak Ir. Soekarno dan

Mohammad Hatta yang pada saat itu merupakan tokoh sentral perjuangan

Universitas Budi Luhur


42

kemerdekaan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para

pemuda menculik ke dua tokoh tersebut dan membawanya ke daerah Rengas

Dengklok dengan tujuan agar tidak mendapat pengaruh dari pihak-pihak yang

dapat menghalangi usaha kemerdekaan.

4.1.2 BPUPKI dan Rapat BPUPKI

Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan

tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia

membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji

kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana

Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus

terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji

kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan

tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar

Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) No. 23.

Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk

selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat

dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.

Universitas Budi Luhur


43

Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan

mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945. Dalam

sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara

untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota

yang berbicara dan menyampaikan pandangannya mengenai pendirian Negara

Indonesia Merdeka namun kemudian pada tahun 1984, Lembaga Soekarno –

Hatta menerbitkan buku Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan

Pancasila, yang mengatakan bahwa hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 tidak

bisa dilepaskan dari Soekarno. Sebab Soekarno adalah satu-satunya orang

yang mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang

BPUPKI 29 Mei - 1 Juni 1945.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai

calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu: (1) Nasionalisme

(Kebangsaan Indonesia), (2) Internasionalisme (Perikemanusiaan), (3)

Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan yang

Berkebudayaan.

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih

lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas

menjadi Trisila, yaitu: 1. Sosio-nasionalisme, 2. Sosio-demokrasi, 3.

Ketuhanan. Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi

Ekasila yaitu Gotong Royong.

Universitas Budi Luhur


44

Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota

BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya

adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta

melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi

kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan

tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan

orang, yaitu Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Mr.

Muh. Yamin, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. A.A. Maramis, R. Otto

Iskandar Dinata, dan Drs. Muh. Hatta.

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia

Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang

dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik

Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: Ir.

Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul

Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad

Subardjo, dan Mr. Muh. Yamin.

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal

itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah

Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam

Jakarta”. Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 Juli 1945, hasil yang

dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus.

Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Universitas Budi Luhur


45

(PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada

Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia,

yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17

Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan

sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar

dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil

Presiden.

4.1.3 Ir. Soekarno

Penjelasan tentang Ir. Soekarno pada sub bab ini merupakan

ringkasan peneliti dari berbagai sumber yang didapat seperti buku Soekarno

Penjambung Lidah Rakjat Indonesia tulisan Cindi Adams yang ditulis dari

hasil wawancaranya dengan Ir. Soekarno. Wawancara yang dilakukan

merupakan permintaan langsung dari Ir. Soekarno untuk menuliskan riwayat

hidupnya pada masa akhir hidup Soekarno. Selain buku tersebut ada pula

beberapa sumber lain yang digunakan oleh peneliti dengan upaya untuk

benar-benar dapat memahami alam pikiran Ir. Soekarno semasa ia hidup.

Ir. Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 6 Juni 1901

dan wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Beliau adalah

Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia

memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari

penjajahan Belanda. Ia adalah menggali kembali Pancasila dari sari pati

Universitas Budi Luhur


46

Bangsa Indonesia. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama

dengan Mohammad Hatta yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Soekarno semenjak kecil sudah sangat cerdas dan mempunyai

kemampuan memimpin yang terbawa sejak lahir. Kedua orang tuanya sangat

percaya bahwa dia akan menjadi seorang pemimpin besar karena dilahirkan

pada saat fajar tiba. Sejak keccil ayahnya sudah merencanakan pendidikan

yang akan diberikan kepada Soekarno agar ia dapat menjadi orang besar.

Ayahnya menggunnakan haknya sebagai keturunan dari keluarga raja untuk

memasukan Soekarno ke sekolah untuk anak-anak Belanda, karena hanya

dari sekolah itulah Soekarno dapat melajutkan pendidikan formalnya sampai

ke perguruan tinggi seperti yang direncanakan oleh ayahnya.

Pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru menjadikan Soekarno

sangat dekat dengan ruang pendidikan dan menganggap bahwa pendidikan

sangatlah penting untuk menjadi sukses dalam hidup. Hal ini mempengaruhi

Soekarno sehingga ia sangat gemar membaca dan mendengarkan orang

berdiskusi, ia juga sangat gemar belajar dan lebih meluangkan waktunya

semasa remaja untuk belajar.

Latar belakang dan pendidikan

Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya

bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa.

Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali. Ketika

kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada

Universitas Budi Luhur


47

usia 14 tahun, seorang kawan dari ayahnya yang bernama Oemar Said

Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke

Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat

Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para

pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu.

Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School

(sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung,

Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes

Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische

Partij10.

Semasa kecilnya, Soekarno sangat gemar dengan pertunjukan

wayang. Dengan tinggal bersama dengan kakeknya, Soekarno kecil sering

diajak untuk ikut menonton pertunjukan wayang. Soekarno kecil dengan

kecerdasannya dapat memahami inti dari cerita wayang yang ia tonton.

Di usia muda, Soekarno dititipkan kepada Tjokroaminoto yang saat

itu sangat aktif dalam Serikat Islam (SI). Soekarno mendapatkan pemahaman

tentang Islam yang lebih mendalam dari Tjokroaminoto dan teman-temannya

di SI. Selain mendapatkan pengetahuan tentang Islam, Soekarno juga

mendapatkan kemudahan dalam membaca buku-buku pengetahuan yang

dimiliki oleh Tjokroaminoto, terutama yang menjadi kesukaannya adalah

buku-buku tentang filsafat.


10
Partai Nasional Indonesia (Bahasa Belanda)

Universitas Budi Luhur


48

Selanjutnya Soekarno meneruskan sekolahnya di TBS di Bandung.

Di sana dia tinggal di rumah temannya Tjokroaminoto. Ketika bersekolah di

TBS, Soekarno memulai aktifitas pergerakan politiknya untuk menentang

penjajah. Ia mulai menulis artikel-artikel perlawanan, selain aktif dalam

kelompok-kelompok diskusi. Salah satu tulisannya yang terkenal berjudul

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang di muat dalam Suluh

Indonesia. Sedangkan kelompok diskusi yang ia buat berkembang menjadi

Partai Nasional Indonesia (PNI).

Karena aktifitas politiknya, Soekarno ditangkap dan diadili oleh

Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah Soekarno menyampaikan

pledoinya yang terkenal dengan judul Indonesia Menggugat di hadapan

hakim dari Belanda. Berdasarkan keputusan pengadilan, Soekarno pun di

penjara di rumah tahanan di Bandung. selain di penjara, Soekarno juga

beberapa kali diasingkan, namun semua hal itu tidak menurunkan semangat

Soekarno untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan.

Soekarno juga memimpin organisasi Putera pada masa penjajahan

Jepang. Hal ini karena janji Perdana Mentri Jepang yang akan memberikan

kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia di kemudian hari jika bersedia

membantu Jepang dalam perang. Namun pada saat Jepang mengalami

kekalahan perang, para pemuda Indonesia segera menemui dan

mengamankan Soekarno dan Hatta dengan membawa mereka ke Rengas

Dengklok. Di sana, para pemuda Indonesia mendesak Soekarno untuk segera

Universitas Budi Luhur


49

memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya pada tanggal

17 Agustus 1945, Soekarno bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia dan tidak lama setelah itu mereka berdua di tetapkan sebagai

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang pertama.

4.2 Pembahasan

Dalam penelitian ini, hasil penelitian dan pembahasan merupakan

hasil dari interpretasi yang penulis lakukan terhadap teks-teks dalam pidato Ir.

Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Ada beberapa alasan mengapa penulis memilih

teks-teks yang akan diteliti kemudian adalah yaitu pertama adalah karena teks

ini merupakan sebuah momen sejarah yang sangat penting karena dikenal

juga sebagai Kelahiran Pancasila. Kedua, pidato ini disampaikan dan menjadi

jawaban dalam rapat BPUPKI yang pada saat itu sedang membahas persoalan

bangsa mengenai Dasar Indonesia Merdeka.

Proses pemaknaan tersebut menggunakan metode hermeneutika

Wilhelm Dilthey. Berikut ini adalah hasil penelitian dan pembahasan untuk

mengetahui seperti apa pemahaman Pancasila yang dimaksud oleh Ir.

Soekarno.

Ir. Soekarno memberikan lima dasar yang disebut Pancasila untuk

menjadi Dasar Negara Indonesia Merdeka, kelima dasar itu adalah:

1. Kebangsaan,

2. Internasionalisme,

Universitas Budi Luhur


50

3. Musyawarah mufakat, perwakilan,

4. Keadilan sosial, dan

5. Ketuhanan Yang Maha Esa

Penjelasan makna kelima dasar di atas adalah sebagai berikut:

1. Nasionalisme, yang memiliki pemahaman bahwa perlu adanya

kecintaan Bangsa Indonesia terhadap tanah airnya yang meliputi

seluruh wilayah nusantara dari utara Pulau Sumatera sampai

selatan Pulau Irian dan rasa persatuan dengan memahami bahwa

semua suku di dalamnya merupakan satu bangsa yang sama yaitu

Bangsa Indonesia. Dasar ini di kemudian hari kita kenal sebagai

sila Persatuan Indonesia.

2. Peri Kemanusiaan atau Internasionalisme, dasar ini memiliki

pemahaman bahwa perlu adanya perilaku menghargai bangsa lain

dan menghindari pemahaman yang meninggikan bangsa sendiri di

atas bangsa lain, memahami bahwasannya setiap bangsa setara

dan sejajar kedudukannya. Dasar ini kita kenal sebagai sila

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

3. Permusyawaratan perwakilan, dasar ini dapat dipahami sebagai

demokrasi yang dalam mengambil keputusan lebih

mengedepankan musyawarah untuk mufakat dan dengan

persamaan hak untuk setiap golongan untuk memberikan

perwakilan-perwakilannya di lembaga parlemen yang ada. Dasar

Universitas Budi Luhur


51

ini kita kenal sebagai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

4. Keadilan Sosial, dasar ini melengkapi dan menyempurnakan sistem

demokrasi Indonesia yang dapat dipahami bahwa demokrasi

Indonesia bukan hanya memberikan keadilan dalam politik tetapi

juga menjamin keadilan dalam ekonomi. Demokrasi yang

menjamin akan terciptanya kesejahteraan seluruh rakyat

Indonesia. Dasar ini kemudian kita kenal sebagai sila Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar ini dapat kita pahami bahwa

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, tetapi Tuhan

yang berkebudayaan. Ketuhanan yang saling menghargai

perbedaan pendapat dan keyakinan dalam semangat persatuan

Kebangsaan Indonesia. Ketuhanan yang saling menghormati dan

saling menghargai antar umat beragama.

4.2.1 Analisis Dasar Pertama

Di bawah ini merupakan teks yang memberikan gambaran

mengenai dasar pertama Pancasila yaitu dasar Kebangsaan yang di

maksudkan oleh Ir. Soekarno pada pidato di dalam rapat BPUPKI tanggal 1

Juni 1945:

Universitas Budi Luhur


52

… itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang


sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat11, seperti
yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa
hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat
yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan
kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan
pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia,
datuk datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di
atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan
oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan
Negara Indonesia…(Lahirnya Pancasila)

Dalam kutipan di atas, Ir. Soekarno menghendaki adanya rasa

Kebangsaan di antara seluruh rakyat Indonesia. Kebangsaan dalam arti yang

luas yaitu yang telah terjalin sejak masa leluhur kita. Lebih lanjut, Ir.

Soekarno mengatakan:

Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu
kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia.
Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana
“kesatuan kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia
melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat
ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau pulau di antara 2
lautan yang besar, Lautan Pacific dan Lautan Hindia, dan di
antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang
anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau pulau Jawa,
Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku, dan lain lain pulau kecil di antaranya, adalah satu
kesatuan.(Lahirnya Pancasila)

Di sini disampaikan dan ditekankan bahwa kesatuan Bangsa

Indonesia dan merupakan tanah air Bangsa Indonesia sejak jaman leluhur

yang mencakup seluruh Kepulauan Nusantara, dari ujung utara Sumatera

sampai ujung selatan Irian, merupakan sebuah kesatuan yang telah

11
Nationale staat, berasal dari Bahasa Belanda yang artinya Negara Nasional

Universitas Budi Luhur


53

ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya perkataan di atas

diperkuat lagi dengan logika ilmiah dari ilmu Geopolitik melaui perkataan:

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita,


tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia lah tanah air
kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera
saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau
Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah
s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera
– itulah tanah air kita!(Lahirnya Pancasila)

Penekanan selanjutnya untuk menegaskan maksud maksud di atas

disampaikan melaui kalimat:

Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia –


bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le
desir d’etre ensemble”12 di atas daerah yang kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis,
tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia manusia yang,
menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal
di kesatuannya semua pulau pulau Indonesia dari ujung Utara
Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!(Lahirnya Pancasila)

Perkataan selanjutnya yang menerangkan mengenai maksud dari

dasar kebangsaan yang diinginkan oleh Ir. Soekarno adalah:

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah


berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita
harus dirikan bersama sama. Karena itu, jikalau Tuan tuan
terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang
bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera,
bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain lain, tetapi
kebangsaan Indonesia, yang bersama sama menjadi dasar satu
nationale staat.(Lahirnya Pancasila)

12
le desir d’etre ensemble atau l’ame et le desir, bahasa Perancis yang berarti persatuan jiwa dan
kehendak

Universitas Budi Luhur


54

Kalimat di atas menegaskan bahwa Negara Indonesia harus

dibangun bersama-sama oleh seluruh Bangsa Indonesia, bukan hanya

penduduk Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali atau pun suku bangsa lainnya

tetapi keseluruhan penduduk kepulauan nusantara seperti yang pernah

dibangun oleh leluhur bangsa pada masa Sriwijaya dan Majapahit.

Selanjutnya, untuk merangkul pula rakyat Indonesia yang merupakan

keturunan Tionghoa, pada rapat itu diwakili oleh Liem Koen Hian, Ir.

Soekarno menyampaikan:

Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk


di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh
seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi
berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa
kebangsaan sedikitpun”. Itu terjadi pada tahun ’17. Tetapi pada
tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan
saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I
atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang
membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu.
Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh
pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu,
jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen
sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang
Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat hormatnya
merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk
ke lobang kubur.(Lahirnya Pancasila)

Kutipan di atas dimaksudkan untuk merangkul rakyat Indonesia

keturunan Tionghoa yang sejak lama menjadi bagian dari Bangsa Indonesia.

Pada teks di atas juga menerangkan bahwa paham kebangsaan yang dimaksud

oleh Ir. Soekarno sama seperti yang dimaksudkan oleh Sun Yat Sen di dalam

Universitas Budi Luhur


55

prinsipnya yang terkenal sebagai San Min Chu I atau The Three People’s

Principles13.

Keseluruhan kutipan pidato di atas yang peneliti sajikan

menjelaskan dasar pertama dari Pancasila yaitu dasar Kebangsaan atau

Nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud adalah rasa cinta, rasa memiliki,

serta rasa persatuan terhadap tanah air yang ada di hati seluruh rakyat

Indonesia dari utara Sumatera sampai selatan Irian. Bukan lagi terpisah-pisah

berdasarkan kerajaan-kerajaan atau suku-suku bangsa. Melainkan

keseluruhan kepulauan Nusantara seperti yang terjadi pada masa Sriwijaya

dan majapahit. Selain itu Ir. Soekarno juga menekankan perlunya dan

pentingnya rasa persatuan dan persamaan tanah air di antara setiap suku

bangsa dan golongan yang ada di Indonesia untuk membangun Negara

Indonesia Merdeka.

Metode analisa Hermeneutika Dilthey menggunakan autobiografi

komunikator sebagai dasar analisis, dalam penelitian ini peneliti

menggunakan autobiografi Ir. Soekarno. Berikut ini adalah kutipan dari buku

autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams.

… Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari


kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, asalnja dari keturunan bangsawan.
Radja Singaradja jang terachir adalah paman ibu. Bapakku
berasal dari Djawa. Nama lengkapnja Raden Sukemi
Sosrodihardjo. Dan bapak berasal~dari kieturunan Sultan Kediri
….

13
San Min Chu I atau The Three People’s Principles adalah tiga prinsip yang dibuat oleh Dr. Sun
Yat Sen untuk membentuk Negara China yang demokratis (Taiwan). Berisi tiga pedoman yaitu
Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme.

Universitas Budi Luhur


56

Kutipan berikutnya dari buku yang sama yang menguatkan

pandangannya mengenai dasar pertama ini adalah:

… Mengapa nasib kita tidak berobah djika rakjat kita


telah berdjoang melawan sistim ini sedjak berabad-abad ?”
“Karena pahlawan-pahlawan kita selalu berdjoang sendiri-
sendiri. Masing-masing berperang dengan pengikut jang ketjil
didaerah jang terbatas," Alimin mendjawab. “0., mereka kalah
karena tidak bersatu," kataku …

Maka pendapat Ir. Soekarno mengenai dasar pertama ini dapat

dimengerti dengan mengingat bahwa dia merupakan anak dari perkawinan

campuran antara dua suku yang berbeda yaitu Suku Jawa dan Suku Bali.

Selain itu, jika kita ingat bahwa dia seringkali diasingkan ke pulau

terpencil oleh Pemerintah Kolonial, Ir. Soekarno selalu diterima dengan baik

oleh penduduk setempat tanpa memandang dari suku apa dia berasal. Lalu

dapat kita lihat juga melalui tulisannya yang berjudul Nasionalisme,

Islamisme, dan Marxisme yang dia buat di atas keprihatinannya terhadap

keadaan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu terpecah belah

di dalam tiga golongan yaitu golongan nasionalis, islamis dan komunis. Ir.

Soekarno menginginkan persatuan di ketiga golongan karena ia berpendapat

bahwa hanya dengan bersatulah Indonesia merdeka dapat tercapai karena

dengan tidak adanya persatuan maka setiap perlawanan menjadi lemah dan

situasi itulah yang diinginkan oleh Penjajah agar Bangsa Indonesia tetap

terpecah belah.

Universitas Budi Luhur


57

4.2.2 Analisis Dasar Kedua

Dasar Kebangsaan yang dijadikan dasar pertama oleh Ir. Soekarno

memiliki kelemahan yang disadari olehnya, oleh karena itu Ir. Soekarno

menjadikan Internasionalisme atau Kemanusiaan sebagai dasar kedua untuk

mengimbangi dan menyempurnakan dasar yang pertama. Hal ini dijelaskan

dalam pidato yang sama, seperti yang dikutip oleh peneiti di bawah ini:

Saudara saudara. Tetapi........ tetapi........... memang


prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin
orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme14,
sehingga berfaham “Indonesia uber Alles15". Inilah bahayanya!
Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia
hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal
ini!(Lahirnya Pancasila)

Selanjutnya Ir. Soekarno juga menambahkan penjelasan:

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang


menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar kobarkan orang
di Eropah, yang mengatakan “Deutschland uber Alles", tidak ada
yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo,
berambut jagung dan bermata biru bangsa Aria yang
dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain lain
tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian,
Tuan tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang
terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus
menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.(Lahirnya
Pancasila)

Dalam kutipan pidato di atas, Ir. Soekarno menjelaskan bahwa

sebagai sebuah bangsa kita tidak boleh memandang bangsa kita yang tertinggi

karena pada dasarnya semua bangsa terlahir sejajar dan setara, tidak ada yang

14
Chauvinisme berarti rasa cinta tanah air yang berlebihan
15
Berarti Indonesia berada di atas semua bangsa

Universitas Budi Luhur


58

lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Lalu ia memberikan penegasan

kembali dengan mengatakan:

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia


Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan
bangsa bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch


princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan tuan,
yang boleh saya namakan “internasionalisme". Tetapi jikalau saya
katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada
Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak


berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat
hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara saudara, prinsip 1
dan prinsip 2, yang pertama tama saya usulkan kepada
tuan tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama
lain.(Lahirnya Pancasila)

Kalimat-kalimat di atas sangat menegaskan bentuk kebangsaan

yang dimaksud pada dasar pertama dan bentuk paham kemanusiaan sebagai

dasar kedua yang diinginkan Ir. Soekarno sebagai dasar Negara Indonesia

Merdeka. Dia menginginkan Bangsa Indonesia yang nasionalis tapi tidak

berlebihan, dengan pengertian, tetap menganggap semua bangsa sejajar

martabatnya. Ir. Soekarno menginginkan Bangsa Indonesia tergabung dalam

kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia untuk menjaga perdamaian dunia.

Universitas Budi Luhur


59

Jika kita memahami perjalanan hidupnya, dengan menganalisis

autobiografinya, maka dasar kedua ini dapat dimengerti dengan mudah.

Terutama jika kita melihat kecerdasan yang ditampilkan olehnya yang

mendapatkan pengakuan dari guru-gurunya seperti dalam kutipan yang

diambil dari autobiografinya berikut ini.

… Ditahun kedua kami disuruh menggambar kandang-


andjing. Sementara jang lain masih mengukur-ukur dan menaksir-
naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang jang
lengkap, didalamnja seekor andjing jang dirantai dan sepotong
tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada
seluruh kelas. Ia mengatakan, ,,Gambar ini begitu hidup dan penuh
perasaan, karena itu patut mendapat nilai jang setinggi mungkin."
Tapi apakah aku memperoleh angka jang paling tinggi itu ? Tidak.
Selalu orang kulitputih lebih pandai. Lebih tjerdas. Orang
kulitputih lebih banjak tahu. Alat kolonial tidak akan berhasil,
ketjuali djika ia memupuk keunggulan kulitputih terhadap
sawomatang ….

… Salah-seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf


Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warnakulit.
Baginja tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginja tidak ada
pengikatan atau kebebasan. Dia hanja menundukkan kepala
kepada kemampuan seseorang. ,,Saja menghargai ketjakapanmu,"
katanja. ,,Dan saja tidak ingin ketjakapan ini tersia-sia. Engkau
mempunjai pikiran jang kreatif. Djadi saja minta supaja engkau
bekerdja dengan pemerintah ….

Ketika ia dititipkan untuk tinggal bersama dengan Tjokroaminoto

dan mendapatkan banyak pelajaran tentang kemanusiaan dalam sudut

pandang Islam yang memandang semua manusia adalah saudara, sesama

keturunan dari Nabi Adam AS, walaupun berbeda bangsa, bahasa, dan

agama. Seperti kutipan percakapan dengan Tjokroaminoto ketika makan

malam bersama, “… Tapi apakah baik untuk membentji seseorang sekalipun

Universitas Budi Luhur


60

ia orang Belanda ?" ,,Kita tidak membentji rakjatnja," dia memperbaiki,

,,Kita membentji sistim pemerintahan Kolonial ..."

Selain dari pandangan Islam, mengenai dasar kedua ini, Ir.

Soekarno juga terpengaruh oleh Mahatma Gandhi yang pernah mengatakan

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah

perikemanusiaan. My nationalism is humanity" yang berarti seorang yang

nasionalis haruslah juga berperikemanusiaan.

Tetapi paham kemanusiaan yang dimaksudkan bukan berarti

menghapuskan kebangsaan, melainkan kekeluargaan bangsa-bangsa yang

berarti semua bangsa yang ada saling menghormati dan menghargai.

Menurutnya paham kebangsaan dan paham kemanusiaan haruslah berjalan

seiring karena keduanya saling melengkapi dan menguatkan.

4.2.3 Analisis Dasar Ketiga

Paham yang dijadikan sebagai dasar ketiga adalah paham tentang

mufakat, paham tentang perwakilan, paham tentang permusyawaratan.

Kalimat-kalimat penjelasan dalam pidato Ir. Soekarno mengenai dasar ini

seperti:

Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga


keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau
permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa apa
yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan.

Universitas Budi Luhur


61

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan


tuntutan tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada
pemimpin pemimpin rakyat, apa apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan…(Lahirnya Pancasila)

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana proses penyelesaian

masalah-masalah yang muncul saat Indonesia telah merdeka. Kutipan di atas

menjelaskan kepada kita bagaimana Bangsa Indonesia seharusnya

menyelesaikan masalah di masayarakat yaitu dengan cara musyawarah untuk

mufakat. Musyawarah untuk mufakat menekankan proses persetujuan

bersama dengan cara saling memahami, menghormati, dan menghargai antar

sesama. Selain itu, kutipan di atas juga menjelaskan bahwa dalam tingkatan

yang lebih tinggi, negara, maka yang terlibat dalam musyawarah adalah

perwakilan-perwakilan dari golongan-golongan. Hal ini dimaksudkan untuk

efektifitas proses pengambilan keputusan dalam permasalahan yang lebih

luas seperti permasalahan bangsa dan negara yang tidak mungkin melakukan

musyawarah secara menyeluruh untuk semua individu yang ada.Pendapat dan

kepentingan disampaikan melalui perwakilan yang dipercaya seperti yang

terjadi pada rapat BPUPKI.

Lebih lanjut, Ir. Soekarno menekankan:

Dalam perwakilan nanti ada perjoangan


sehebat hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul betul
hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan akan
bergolak mendidih kawah Candra dimuka, kalau tidak ada
perjuangan faham di dalamnya. (Lahinya Pancasila)

Universitas Budi Luhur


62

Ir. Soekarno mengharapkan adanya pertarungan faham dan ide

dalam permusyawaratan yang ada. Karena, menurutnya itulah tanda adanya

semangat membangun bersama dari setiap golongan yang berbeda-beda. Ir.

Soekarno juga menegaskan bahwa setiap golongan mempunyai hak yang

sama dalam berpolitik di dalam permusyawaratan perwakilan ini. Setiap

golongan dan individu mempunyai hak dan kewajiban yang setara. Yaitu hak

berkumpul dan menyatakan pendapat serta kewajiban untuk membangun

Indonesia melalui proses yang benar yaitu musyawarah.

Selanjutnya, untuk menguatkan maksudnya, Ir. Soekarno

menegaskan dengan:

Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau


tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada
perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada
pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran
kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari hari, kita
selalu bergosok, seakan akan menumbuk membersihkan gabah,
supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi
Indonesia yang sebaik baiknya.(Lahirnya Pancasila)

Menurutnya sebuah negara yang hidup haruslah terjadi persaingan

dan pergeseran paham di dalamnya. Harus adanya pergeseran pemikiran di

dalam permusyawaratan merupakan keadaan yang perlu dibentuk dan dijaga

agar tidak sampai menjadi perpecahan. Oleh karena itu pergeseran paham

yang terjadi haruslah dalam semangat membangun Indonesia bersama dengan

semangat persatuan dan kebangsaan.

Universitas Budi Luhur


63

Jika kita mengamati autobiografi Ir. Soekarno, mudahlah kita lihat

bagaimana pemikiran ini didapat olehnya. Semenjak remaja Ir. Soekarno

telah berdekatan dengan lingkungan organisasi yang sangat mengedepankan

proses musyawarah dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah

yang ada. Seperti Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Partai Nasional

Indonesia, dan lainnya. Selain itu, di dalam masa pengasingan yang dia jalani,

Ir. Soekarno mengamati bahwa musyawarah dalam mengambil keputusan

merupakan kebiasaan dan menjadi adat di seluruh wilayah nusantara.

4.2.4 Analisis Dasar Keempat

Selanjutnya untuk menerangkan maksud demokrasi yang

diinginkannya, Ir. Soekarno menjelaskannya di dalam dasar yang keempat,

dasar Keadilan dan Kesejahteraan Sosial. Dasar ini dijelaskan oleh Ir.

Seokarno dengan kalimat-kalimat:

Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya


merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan,
merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi
sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih,
saudara saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan
Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah
mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara negara
Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire
democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis
merajalela?(Lahirnya Pancasila)

Di dalam dasar ini Ir. Soekarno menjelaskan cita-citanya dalam

kemerdekaan yaitu tidak adanya lagi Rakyat Indonesia yang miskin dan

melarat. Hal ini berarti ia menginginkan pembangunan yang merata dan dapat

Universitas Budi Luhur


64

mensejahterakan seluruh rakyat. lebih menegaskan lagi dalam kalimat-

kalimat:

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan


tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di
seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada
badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh
karena badan badan perwakilan rakyat yang diadakan disana
itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie16. Tak lain tak
bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah
politieke democratie saja; semata mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid, tak ada keadilan sosial, tidak ada
ekonomische democratie sama sekali. Saudara saudara, saya
ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Parlementaire
Democratie”, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik
yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap tiap orang boleh
masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale
rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan
rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil
kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlement
dapat menjatuhkan minister17. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia
punya tempat bekerja di dalam pabrik sekarang ia
menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan
raya, dibikin werkloos18, tidak dapat makan suatu apa".

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari


demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
politiek economische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial!(Lahirnya Pancasila)

Dalam teks di atas, dapat dimengerti dengan mudah bahwa

demokrasi yang diinginkan oleh Ir. Soekarno bukanlah demokrasi ala Eropa

yang tidak dapat menjamin adanya kesejahteraan sosial. Ir. Soekarno

16
Revolusi Perancis (Bahasa Balanda)
17
Menteri (Bahasa Inggris atau Belanda)
18
Kehilangan pekerjaan, Menganggur (Bahasa Belanda)

Universitas Budi Luhur


65

menjelaskan secara singkat mengapa demokrasi di Eropa tidak dapat

menjamin adanya kesejahteraan sosial dan oleh karena itu tidak tepat untuk

diterapkan di Indonesia yang mencita-citakan kesejahteraan sosial. Menurut

Ir. Soekarno, demokrasi yang ada di Indonesia haruslah bukan sekedar

demokrasi politik melainkan juga demokrasi ekonomi. Hal ini karena politik

dan ekonomi merupakan dua bidang yang saling berkaitan dan

mempengaruhi. Seperti dijelaskan di bawah ini:

Saudara saudara, badan permusyawaratan yang kita akan


buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke
democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat
dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid19 dan
sociale rechtvaardigheid20.

Kita akan bicarakan hal hal ini bersama sama,


Saudara saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi
lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt
erfelijkheid"21, turun temurun. Saya seorang Islam, saya
demokrat karena saya orang Islam, saya meng hendaki mufakat,
maka saya minta supaya tiap tiap kepala negara pun
dipilih.(Lahirnya Pancasila)

Ir. Soekarno menginginkan demokrasi di seluruh kehidupan

masyarakat. Demokrasi yang dapat menjamin adanya keadilan politik dan

keadilan ekonomi di semua lappisan dan kehidupan masyarakat Indonesia.

Termasuk di dalamnya urusan pemilihan presiden Indonesia haruslah melalui

proses yang demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penguasaan

19 Keadilan Politik
20 Keadilan Ekonomi
21
Arti harafiahnya: pewarisan yang diketahui terlebih dahulu (bhs. Belanda)

Universitas Budi Luhur


66

dari satu golongan saja sehingga dapat mengancam persatuan Indonesia yang

berkeadilan sosial.

Latar belakang pengajuan dasar keadilan sosial yang diinginkan Ir.

Soekarno dapat kita mengerti jika kita menganalisis autobiografinya.

Perjalanan hidupnya sejak kecil yang hidup dengan di kelilingi penderitaan

rakyat. Semasa kecil Ir. Soekarno mempunyai teman bermain yang berasal

dari keluarga yang sangat miskin, oleh karena itu sudah menjadi cita-citanya

sejak dulu untuk dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Seperti

dalam kutipan berikut.

… Aku menghadapi kenjataan bahwa negeriku miskin,


malang dan dihinakan. Aku berdjalan-djalan seorang diri dan
merenungkan tentang apa jang sedang berputar dalam otakku.
Satu djam lamanja aku berdiri tak bergerak diatas diambatan ketjil
jang melintasi sungai ketjil dan memandangi iring-iringan manusia
jang tak henti-hentinja. Aku melihat rakjat tani dengan kaki-ajam
berdjalan lesu menudju pondoknja jang buruk. Aku melihat
Kolonialis Belanda duduk mentjekam diatas kereta terbuka jang
ditarik oleh dua ekor kuda jang mengkilat. Aku melihat keluarga
orang kulitputih kelihatan bersih-bersih, sedang saudara-
saudaranja jang belkulit sawomatang begitu kotor, badannja
berbau, badjunja tjompang-tjamping, anak-anak mereka djorok-
djorok. …

Pemahaman mengenai kesejahteraan sosial Ir. Soekarno juga

banyak dipengaruhi oleh pandangan Marxisme yang merupakan anti-tesis

dari kapitalisme. Namun pemahaman marxisme Ir. Soekarno tidak serupa

seperti pemahaman negara sosialis atau pun negara komunis yang telah ada.

Pemahaman sosialisme Ir. Soekarno tidak sama dengan pemahaman Lenin,

dan oleh karena itu dasar keempat ini dikenal juga sebagai paham sosialisme

Indonesia yang berarti berasal dan mengakar pada kebudayaan Indonesia.

Universitas Budi Luhur


67

4.2.5 Analisis Dasar Kelima

Dasar kelima dan yang terakhir yang diajukan oleh Ir. Soekarno

adalah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun Ketuhanan yang

dimaksudkan bukanlah dalam arti yang sempit seperti dalam penjelasannya di

bawah ini:

Bukan saja bangsa Indonesia Bertuhan, tetapi


masing masing orang Indonesia hendaknya Bertuhan Tuhannya
sendiri.(Lahirnya Pancasila)

Lebih menegaskan akan maksud dasar Ketuhanan ini dalam:

Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap tiap


orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni
dengan tiada “egoisme agama". Dan hendaknya Negara
Indonesia satu Negara yang ber Tuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,


maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara
yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain.

(Tepuk tangan sebagian hadirin).

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup


tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama agama
lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid22.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada
Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan
yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang
hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa! (Lahirnya
Pancasila)

22
Memahami perbedaan pendapat (Bahasa Belanda)

Universitas Budi Luhur


68

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Ir. Soekarno ingin Bangsa

Indonesia Bertuhan yang saling menghargai dan menghormati. Ia

menginginkan setiap umat beragama saling menghormati dan tidak

memaksakan kepercayaannya kepada orang lain.

Berdasarkan analisis terhadap autobiografinya, dapat kita lihat

bagaimana latar belakang untuk dasar kelima ini didapat oleh Ir. Soekarno

seperti dalam kutipan berikut.

… Nenekku memberiku kebudajaan Djawa dan Mistik.


Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu
Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari
Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan-kawannja datang
Nasionalisme.Aku menambah renungan-renungan dari Karl
Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku beladjar ekonomi dari
Sun Yat Sen. Aku beladjar kebaikan dari Gandhi….

Maka dapat disimpulkan bahwa dasar kelima ini di dapat karena Ir.

Soekarno telah banyak berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda suku

ataupun agamanya. Dia menginginkan adanya persatuan di atas semua

perbedaan karena kedua orang tuanya sendiri berasal dari dua suku yang

berbeda. Persatuan di atas segala perbedaan hanya dapat terjadi jika setiap

individu saling menghargai dan menghormati.

Kelima dasar negara yang disebut Pancasila ini diberikan dan

dijelaskan secara singkat oleh Ir. Soekano sebagai prinsip dasar berbangsa

dan bernegara dalam Indonesia merdeka.

Universitas Budi Luhur


69

Selanjutnya kelima dasar negara ini dapat diringkas menjadi tiga

dasar dengan dasar pertama, Nasionalisme, dan Kedua, Peri Kemanusiaan

dijadikan satu menjadi Sosio-Nasionalisme yang memiliki pemahaman rasa

Nasionalisme yang tidak berlebihan dan tetap menghargai bangsa lain.

Dasar ketiga, Permusyawaratan, dan dasar keempat, keadilan

sosial, dijadikan satu menjadi sosio-demokrasi yang memiliki pemahaman

demokrasi yang tidak hanya memberikan keadilan politik tapi juga keadilan

ekonomi melalui proses permusyawaratan perwakilan. Ketiga tetaplah

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kelima dasar, Pancasila yang kemudian diringkas menjadi Trisila

dapat dijadikan Ekasila yaitu satu dasar saja. Satu dasar yang menurut Ir.

Soekarno harus kita jalankan dalam membangun Indonesia merdeka adalah

Gotong Royong. Gotong royong yang dimaksudkan adalah mengerjakan

segalanya bersama-sama untuk kepentingan bersama. Hal ini dikarenakan Ir.

Soekarno sangat mengedepankan Indonesia yang untuk semua, Indonesia

yang milik semua rakyat. Maka membangun Indonesia merdeka merupakan

tanggung jawab semua rakyat dan golongan.

Universitas Budi Luhur


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan prosedur yang dipergunakan dalam

upaya untuk mendapatkan data atau informasi guna memperoleh jawaban atas

penelitian. Metodologi penelitian bukan sekadar kumpulan metode atau teknik

penelitian.

Metodologi terkait dengan suatu kesatuan landasan nilai-nilai (khususnya

yang menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika, dan norma-norma

yang menjadi aturan-aturan standar yang digunakan untuk menafsirkan serta

menyimpulkan data penelitian. Dalam bab ini, peneliti menjabarkan paradigma

penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, objek penelitian, sumber

data, teknik pemilihan informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisis

data.

3.1 Paradigma Penelitian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan

kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar

kebenaran dilakukan oleh para peneliti melalui model-model tertentu. Model

tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma, menurut Bogdan dan

Biklen (1982), adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang

bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.”

(Moleong, 2006;49)

29 Universitas Budi Luhur


30

Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat

paradigma: positivism, postpositivism, critical theories, dan constructivism.

Keempat paradigma tersebut menuntun dan menuntut kita mengenai (1) cara atau

teknik pengumpulan data, (2) jenis data yang diperoleh, dan (3) cara melaporkan

data agar memenuhi goodness or quality criteria paradigma masing-masing. (Ibnu

Hamad, 2004;1-2)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma constructivism

(konstruktivisme) yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis

terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan rinci

terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu

memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan

menciptakan dan mengelola dunia sosial mereka. (Hidayat, 2004;xi)

Dengan berparadigma konstruktivisme, maka penelitian ini dalam teknik

pengumpulan data menggunakan studi literatur. Data yang diperoleh “bersifat

subyektif” dalam arti didasarkan atas pandangan pihak yang diteliti. Dengan

demikian, data haruslah mencerminkan “apa yang dirasakan dan yang ingin

disampaikan oleh subyek penelitian”, bukan apa yang ingin diceritakan peneliti.

Di sini peneliti menyelami alam pikiran subyek penelitian agar memperoleh

perspektif yang subyektif itu. Dalam melaporkan data yang dikumpulkan,

menggunakan teknik yang menceritakan ulang pandangan (konstruksi) subyek.

Universitas Budi Luhur


31

3.2 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang peneliti tetapkan, yaitu untuk

menginterpretasikan Pancasila dari naskah Retorika Ir. Soekarno pada Rapat

BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan

pendekatan kualitatif karena secara umum pendekatan ini digunakan untuk

memperoleh hasil penelitian yang bersifat deskriptif berupa kata-kata dari suatu

objek penelitian.

Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai:

Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata


tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. (Moleong, 2006;4)

Rachmat Kriyantono (2007;58) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif:

Bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Riset


ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi
atau sampling nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah
mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu
mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan
kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data.

Selain itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam

penelitian ini, peneliti sebagai insider yang berempati (atau berkemampuan

memproyeksikan diri ke dalam peran dan persepsi obyek) agar bisa sebaik-

baiknya merefleksikan penghayatan subyektif obyek.

Universitas Budi Luhur


32

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang

bersifat deskriptif karena mencoba memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian

ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau

membuat prediksi. Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1) mengumpulkan

informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)

mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang

berlaku, (3) membuat perbandingan atau evaluasi, (4) menentukan apa yang

dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari

pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang

akan datang.(Rakhmat, 2005;24-25)

3.3 Metode Penelitian

Untuk melihat dan menggambarkan pemahaman akan Sistem Demokrasi

Pancasila sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Ir. Soekarno dalam

pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, peneliti menggunakan metode Studi

Hermeneutika Wilhelm Dilthey.

Metode Hermeneutika Dilthey adalah metode penelitian yang bekerja

dengan cara menginterpretasi teks atah naskah dengan menyelami alam

pemikiran sang komunikator pada saat pesan itu dibuat. Keistimewaan dari

metode ini adalah peranan autobiografi komunikator dari pesan yang diteliti

sangat penting untuk mengetahui makna pesan yang dimaksud. Dilthey

mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses yaitu (1)

Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, (2) Memahami arti atau

Universitas Budi Luhur


33

makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan

dengan peristiwa sejarah, dan (3) Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan

gagasan yang berlaku pada saat sejarahwan itu hidup.

Selain menggunakan autobiografi, untuk memahami alam pikiran sang

komunikator, kita juga dapat menggunakan karya-karya lain dari sang

komunikator. Dalam penelitian ini peneliti juga akan menginduksi tulisan-tulisan

dari Ir. Soekarno yang lainnya guna memahami alam pikirannya seperti yang

termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II yang memuat

artikel-artikel karya Ir. Soekarno selama masa perjuangan kemerdekaan.

3.4 Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah tanda-tanda verbal yang

terdapat dalam naskah pidato Ir. Soekarno dalam Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni

1945 dan hal-hal abstrak yang tertulis dalam autobiografi dan tulisan-tulisan lain,

seperti pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai yang dipegang oleh Ir.

Soekarno.

3.5 Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data yang utama dalam

penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen dan lain-lain. (Moleong, 2006;157) Sehingga berbeda

sekali dengan penelitian kuantitatif yang datanya berupa angka-angka untuk

kemudian diolah dengan proses statistik.

Universitas Budi Luhur


34

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan tiga jenis

sumber data yaitu :

a. Tanda-tanda verbal yang terdapat dalam naskah pidato Ir. Soekarno

dalam Rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

b. Dokumen dan arsip cetak, serta artikel-artikel dan karya tulis digital

yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Untuk keperluan analisis data, peneliti memerlukan sejumlah data

pendukung yang nantinya akan dapat memperkuat hasil penelitian. Penulis

menggunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek

penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer berupa

teks pidato yang sekaligus merupakan objek penelitian dan autobiografi

dari Ir. Soekarno.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan metode

Studi Kepustakaan (Library Research) dan analisis dokumen. Studi

kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara mempelajari berbagai

literatur, sumber bacaan, internet, teks-teks, dan buku-buku yang berkaitan

Universitas Budi Luhur


35

dengan permasalahan penelitian. Analisis dokumen artinya mencoba

menemukan gambaran mengenai pengalaman hidup atau peristiwa yang

terjadi, beserta penafsiran subjek penelitian terhadapnya. Dokumen ini

dapat berbentuk buku harian, kliping surat kabar, surat-surat pribadi, dan

sebagainya. Tidak semua dokumen dapat menjadi bahan analisis, dokumen

yang dimaksud haruslah dokumen yang dapat mengungkapkan bagaimana

subjek penelitian mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan dan situasi

yang dihadapinya pada suatu saat, dan bagaimana kaitan antara definisi

diri tersebut dalam hubungannya dengan orang-orang disekelilingnya

dengan tindakan-tindakannya itu (Kuswarno, 2008;59). Dalam penelitian

ini, dokumen yang menjadi bahan analisis adalah tulisan-tulisan karya Ir.

Soekano dan catatan sejarah yang melatarbelakangi terjadinya Rapat

BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

3.7 Teknik Analisis Data

Setiap penelitian pasti bertujuan untuk mencari kebenaran. Upaya

mencapai kebenaran dalam penelitian dilakukan melalui kegiatan mengumpulkan

fakta-fakta, menganalisisnya, menginterpretasikannya dan menarik kesimpulan.

Peneliti akan menjawab pokok permasalahan ini secara kualitatif dengan

menggunakan analisis data dari hasil wawancara dan studi pustaka yang telah

dideskriptifkan.

Universitas Budi Luhur


36

Lexy J. Moleong (2006;11), menyatakan “analisis deskriptif adalah data

yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambaran dan bukan angka-angka. Selain itu

dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti”.

Tahap analisis data sebenarnya terdiri dari upaya-upaya meringkaskan

data, memilih data, menerjemahkan, dan mengorganisasikan data. Dengan kata

lain, upaya mengubah kumpulan data yang tidak terorganisir menjadi kumpulan

kalimat singkat yang dapat dimengerti oleh orang lain.

Berikut ini adalah tahapan analisis data yang peneliti gunakan,

1. Deskripsi

Deskripsi menjadi tahap pertama bagi peneliti dalam menuliskan

laporan penelitiannya. Pada tahap ini, peneliti mempresentasikan hasil

penelitiannya dengan menggambarkan secara detil objek penelitiannya.

Dengan membuat deskripsi, peneliti mengemukakan latar belakang dari

masalah yang diteliti, dan tanpa disadari merupakan persiapan awal

menjawab pertanyaan penelitian.

2. Analisis

Pada bagian ini, peneliti mengemukakan beberapa data akurat

mengenai objek penelitian yang dapat menggambarkan objek penelitian.

Analisis yang dipakai ialah analisis data kualitatif dengan menggunakan

Universitas Budi Luhur


37

pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada

hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada hal-hal umum.

Prinsip pokok teknik analisis kualitatif adalah mengolah dan menganalisis

data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur, terstruktur

dan mempunyai makna. Kemudian, peneliti juga menganalisis sejarah

hidup (autobiografi) Ir. Soekarno selaku komunikator. Analisis

autobiografi menggunakan analisis deskripsi untuk mengungkapkan

domain-domain sejarah penting dan jati diri seseorang yang menjadi objek

analisis. Objek kajian dalam menganalisis autobiografi seseorang adalah

orang tersebut dan seluruh pengalaman hidupnya, mulai dari kelahirannya,

menjadi dewasa, sampai dengan masa tuanya, bahkan sampai orang

tersebut meninggal dunia.(Bungin, 2007;233)

3. Interpretasi

Interpretasi menjadi tahap akhir analisis data dalam penelitian ini.

Pada tahap ini, peneliti mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah

dilakukan. Pada tahap ini, peneliti menggunakan kata orang pertama

dalam penjelasannya, untuk menegaskan bahwa apa yang peneliti

kemukakan adalah murni hasil interpretasinya.

Universitas Budi Luhur


BAB V

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk memahami Pancasila sesuai dengan apa

yang dimaksudkan dalam pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Proses

analisis data menggunakan metode hermeneutika Wilhelm Dilthey yang berarti

peneliti harus masuk ke dalam kehidupan Ir. Soekarno yaitu melaui

autobiografinya untuk memahami latar belakang pemikirannya. Berdasarkan hasil

penelitian dan analisis yang peneliti lakukan, maka peneliti akan memberikan

kesimpulan dan saran pada bab ini.

5.1 Kesimpulan

Pancasila yang diajukan oleh Ir. Soekarno pada Rapat BPUPKI pada

tanggal 1 Juni 1945 untuk menjadi Dasar Negara Indonesia merupakan hasil

pemikiran yang telah berlangsung sejak lama dengan memperhatikan budaya

dan karakter Bangsa Indonesia yang telah berlangsung sejak lama. Maka

dapat dikatakan bahwa Pancasila yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno

merupakan sari pati dari pemikiran Bangsa Indonesia. Ir. Soekarno

menawarkan lima dasar untuk menjadi dasar Indonesia merdeka, kelima dasar

itu adalah Kebangsaan, Internasionalisme, Permusyawaratan, Keadilan

Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelima dasar ini merupakan

merupakan suatu turunan dari Gotong Royong yang merupakan suatu budaya

yang menjadi ciri khas dari Bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lamanya.

70 Universitas Budi Luhur


71

1.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memiliki beberapa saran yang

diharapkan dapat berguna dan bermanfaat:

1. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia kita haruslah mencintai

bangsa dan negara kita dengan sepenuh hati, namun rasa

nasionalisme kita tidak boleh berlebihan dan menjadi chauvinis

(menganggap bangsa sendiri yang paling tinggi dan bangsa lain

lebih rendah kedudukannya). Semua bangsa pada dasarnya setara

dan sejajar kedudukannya maka tidaklah dibernarkan untuk

memandang rendah bangsa lain apalagi sampai menjajah bangsa

lain.

2. Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali terjadi pertentangan

dan perbedaan pendapat, sedapat mungkin kita saling menghargai

dan menghormati perbedaan pendapat di dalam kerangka

persatuan. Dalam menyelesaikan konflik yang ada, lebih baik

dengan menggunakan musyawarah untuk mufakat agar tercapai

kemajuan yang diinginkan bersama dan agar tercapainya keadilan

bagi semua.

3. Sebagai bagian dari umat beragama marilah kita saling menghargai

dan menghormati dalam kerangka Ketuhanan kita seperti yang

telah di contohkan para leluhur kita.

Universitas Budi Luhur


xii

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya), Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2007.

Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2005.

Dewi, Liza Dwi Ratna, Teori Komunikasi-Pemahaman Dan Penerapan,


Renata Pratama Media, Jakarta, 2008.

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta,


2008.

Kaelan, Filsafat Bahasa-Masalah Dan Perkembangannya, “PARADIGMA”,


Yogyakarta, 1998.

Kasenda, Peter, Soekarno Muda-Biografi Pemikiran 1926-1933, Komunitas


Bambu, Jakarta, 2010

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta,


2007.

Kuswarno, Engkus, Metode Penelitian Komunikasi - Etnografi Komunikasi,


Widya Padjadjaran, Bandung, 2008.

Littlejohn, Stephen dan Karen A. Foss, Theories of Human


communication, Salemba Humanika, Jakarta , 2009

Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Belajar,


Yogyakarta, 2007. 136

Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif – Edisi Revisi, PT. Remaja


RosdaKarya, Bandung, 2006.

Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosda


Karya, Bandung, 2000.

xii
xiii

.............................., Metodologi Penelitian Kualitatif – Paradigma Baru Ilmu


Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2001.

Radford, Gary P., On The Philosophy Of Communication, Thomson


Wadsworth, Singapore, 2005.

Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, PT. Remaja RosdaKarya,


Bandung, 2005.

Renan, Ernest, Apakah Bangsa Itu? (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1968

Riana, I Ketut, Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama-Masa


Keemasan Majapahit, Kompas, Jakarta, 2009

Rousyidiy, T.A. Lathief, Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi,


Firma Rimbow, Medan, 1989

Salim, Abdul Bar dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1966.

Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press, Jakarta, 1986

……………., Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Antara, Jakarta, 1963

……………., Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Antara, Jakarta, 1964

……………., LAHIRNYA PANCASILA Cetakan kedua, Penerbit Guntur,


Jogjakarta, 1949
Vardiansyah, Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi-Suatu Pengantar, PT. INDEKS,
Jakarta, 2005.

Wahyudi, J.B, Media Komunikasi Massa Televisi, Alumni, Bandung, 1986.

Yin, Robert K., Studi Kasus (Desain dan Metode), RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002.

B. Artikel Online

Hayadin, Artikel-Pengambilan Keputusan untuk Profesi pada Siswa Jenjang


Pendidikan Menengah (Survei pada SMA, MA, dan SMK di DKI Jakarta),
http://petamasadepanku.net/about/artikel/ oleh (diakses pada tanggal 14/05/09,
pukul 20.05)

Kasenda, Peter, Sketsa Sosok Soekarno, www.peterkasenda.worldpress.com

xiii
xiv

Saidi, Acep Iwan, Hermeneutika Sebuah Cara Untuk Memahami Teks, Jurnal
Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, FSRD ITB, Bandung, April 2008,
http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-
content/uploads/5%20HERMENEUTIKA%20nya%20P.%20Acep.pdf (diakses
pada tanggal 01/05/09, pukul 22.30)

Steve JM, Hermeneutik - Last Updated Thursday, 04 December 2008 14:53


http://jiwangga.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10%3Ahe
rmenutik&catid=14%3Acatatan&Itemid=4&limitstart=1 (diakses tanggal 14 Juli
2010 pukul 14.20)

C. Jurnal

Hamad, Ibnu, Membumikan Kriteria Kualitas Penelitian, Jurnal Thesis


Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume IV No.1 (Januari-April 2005), Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Hidayat, Dedy Nur, Menghindari Quality Criteria yang Monolitik dan


Totaliter, Jurnal Thesis Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume III No.3
(September-Desember 2004), Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Indonesia, Jakarta, 2004.

D. Situs Internet

http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-rhetoric/ (diakses tanggal 11 Juni 2010


pukul 13.18 wib)

http://hminews.com/news/diskursus-islam-dan-demokrasi/ (diakses tanggal 14


Juni 2010 pukul 16.35)

http://yanel.wetpaint.com/page/Demokrasi (diakses tanggal 23 november 2010


pukul 09.47)

bab5-pancasila_dalam_konteks_sejarah_perjuangan_bangsa_indonesia.pdf (Objek
application/pdf) (diakses tanggal 22 November 2010 pukul 09.52)

xiv
PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA
Paduka tuan Ketua yang mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-
anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka
sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk
mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan
Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan
Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk
mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di
dalam pidato saya ini. Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan
dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan
Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka.
Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah,
dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia
merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-
dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung
Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka
tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi
tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan
„merdeka". Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i
e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke
onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu
Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir,
kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma’afkan
perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai
-kata orang Jawa- „njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil
sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan yang
terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan
negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara
yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka,
Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia
merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka,
maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka
saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80%
dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata,
bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia
sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu
hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi
Arabia itu!! Toch Saudi
Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang
lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah
rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat
Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari
buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui
betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak
macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya
punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya
dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet,
maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami
Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, -
sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara! Apakah yang
dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah, Risalah
yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu,
telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan
di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, -
in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi
Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d
a h „jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya
k e m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi
arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya
bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud
jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh
Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan. Adakah Lenin ketika
dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*),
dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang
menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk
meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia
merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di
seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan
radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru
mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan
sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini
danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita
dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-
tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya.
Dua milyun pemuda
ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat
Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui
sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia
merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah
menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-
nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan
3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g
! (Tepuk tangan riuh). Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun
Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara,
saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke
onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan
gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh
Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang
yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang
bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-
orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political
independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia
merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang
menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan
menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu,
baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka? (Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai
Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan
menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai
dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi
Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat
Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia
sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan
negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang
lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a
n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu
bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun
dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan
tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak
untuk merdeka. (Tepuk tangan riuh) *) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu
kawasan industri di mana terdapat bendungan
raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga
listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia.
Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan
dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut
kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500.
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu
listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai
sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah
mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin. Ada orang lain yang berkata:
saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu
„meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur. Ada orang yang lebih berani
lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja
dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug:
kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu
mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul,
atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-
saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a
a t a u t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia,
ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang
mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo
beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau
mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah
kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun
ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political
independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia
merdeka! (Tepuk tangan riuh). D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d
e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k
a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d
e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e
m e r d e k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu. Saudara-saudara! Sebagai
juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan,
banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak
ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka". Saya berkata,
kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l
a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak
dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan
penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a
l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud
saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s,
inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah,
kuat, sehat, kekal dan abadi. Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat
yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan,
mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang
menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah
cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada
rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain,
yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca
atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh
atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara
merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia
merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu
1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak?
Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya
bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua
kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d
s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan
Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan
negara Indonesia itu. Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang
merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas
suatu„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische
Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania
yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu
„Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung.
Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu
yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah
negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di
atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian
itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah „Weltanschauung"
kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di
dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-
idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam
„Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung"
mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang
terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara
merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab
misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam
10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that shook the
world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan
Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu
hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas
„Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung" itu telah disusun.
Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-
repetitie-kan". Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang
dikatakan oleh beliau sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917.
Sudah lama sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-
ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya
dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan
itu di atas „Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah
pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan
negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah
Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun
1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian
mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung" ini, dapat
menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933
barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan
oleh beliau di atas dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-
puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita,
untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme?
Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor
Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,
tetapi „Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles" San Min
Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah
digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun
1912 beliau mendirikan negara baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu,
yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun. Kita hendak mendirikan
negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah,
Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’ apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak
pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr
Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari
persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p
h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e
m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki
Bagoes setujui, yang Ki
Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang
sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin,
ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m
a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya:
Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk
sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia
Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi
kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu
golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-
saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang
dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah
kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan
buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang
nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa,
bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik
dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar k e b a n g s a a n.
K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi
saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau
saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu
bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n
a s i on a l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh
beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan
adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek
tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa
Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh
saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. S a t u N a t
i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat
besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya
uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan
bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-
orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa:
„le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest
Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu,
yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto
Bauer, di dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine
Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine
Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu
persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala,
kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang
terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian,
definisi Ernest Renan sudah „verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah
tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul
satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin, kalau
tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang
„Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan
sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya.
Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya
memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka
hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang
didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air itu
adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau
kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu.
Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa
kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu
kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan
lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang
anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes,
Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya,
adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta
bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia
sebagai„golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan,
dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula
dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau
Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t.
demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi
Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap
kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah
tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air
kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja,
atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang
ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera,
itulah tanah air kita! Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat,
antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest
Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup
definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft"
itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di
Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau,
yang banyaknya kira-kira 2,5
milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan
satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan!
Penduduk Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan
sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian
kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu
golongan orang yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil
seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung
Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000
ini sudah ada „le desir d’etre enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie
Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000,
tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan
hebat). Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas
kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada
satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan
yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu
nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan
Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut
Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan
Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah
nanti harus menjadi nationale staat. Demikian pula bukan semua negeri-negeri di
tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali
mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar
dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat
kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada
Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya
berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada
Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun
merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan
Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa
tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat. Nationale staat hanya Indonesia
s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini
pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o
n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan
kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,tetapi
k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale
staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato
Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab:
„Saya tidak mau akan kebangsaan". T U A N L I M K O E N H I A N : Bukan
begitu. Ada sambungannya lagi. T U A N S O E K A R N O : Kalau begitu, maaf, dan
saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar
kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau
akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak
yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada
bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa
Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen
bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan
Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku
sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A.
Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan,
tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan
sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada
orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya
„San Min Chu I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang
membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak
itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a n, oleh pengaruh „The Three People"s
Principles" itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap
Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang
Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih
kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta
Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini
ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme
menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya!
Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang
satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia!
Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan
saya adalah perikemanusiaan „My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita
anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-
kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland uber Alles", tidak ada yang
setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata
biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain
tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan
bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang
kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang
saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e r n a s i o n
a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k
o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak
ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada
Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara,
prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian,
adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar
itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia
bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan,
walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu
buat semua, semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k
uatnyanegaraIn-donesiaialahpermusyawaratanperwakil
a n . Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita,
sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum
sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat
saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan
agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat,
apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada
kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan
Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam,
dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan
rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar
supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan
perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah
kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk
dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya
hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh
dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga
60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-
ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u
p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata,
90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya
hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam
kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik
yang bukan
Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu
prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan
sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam
badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka,
kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di
dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip
mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara
islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya
orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara
Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar
dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen,
itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak
ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira
dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala
memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya
beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah
saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a
k a n a d a k e m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan
tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism,
democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka,
yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita
pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat
sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat,
di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy.
Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika
kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis
merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah
oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar
menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan
democratie disana itu hanyalah p o l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada
sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c
h e democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang
pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. „Di
dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama, tiap
orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah
Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka
oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o
l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.
Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, -
sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya,
dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o m i s c h e
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah
lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang
dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu
Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat
mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid
ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas
lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita
akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi
badan yang b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip:
politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam
badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal!
Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-
temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-
hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih.
Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun
Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala
negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi
kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki
Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki
Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie
itu. Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1.
Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat, -
atau demukrasi. 4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa
Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih,
yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
„egoisme-agama". Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang
bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan
cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t -
m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin). Nabi
Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e
t u h a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang
luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta
raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka
berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap
agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-
baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan,
perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing
dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini.
Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan.
Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang
hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip;
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya
azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia,
kekal dan abadi. (Tepuktangan riuh). Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak
suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-
saudara tanya kepada saya, apakah „perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun
sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung
kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan s o c i o
-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische
demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi
d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya
namakan s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya
lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan.
Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali
tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja?
Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u
a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan
Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a
t s e m u a ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „ g o t o ng -
r o y o n g „. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n
g! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g ! (Tepuk tangan riuh
rendah).
„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis
dari„kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis,
tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang
dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita
menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-
royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,
perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g
a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah). Prinsip Gotong Royong diatara
yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang
bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Pancasila menjadi
Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-
tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada
saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-
saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun
dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup
didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita
mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya
mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita
mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah
palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka,
Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api
peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang
kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya
mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-
pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat
sementara. Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah
Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung
kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun
1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk
nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia
yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale
rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di
dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau
tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya,
bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit
dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi
r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n ! Janganpun Weltanschauung yang
diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin,
oleh Sun Yat Sen! „D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder
perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi
realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi
kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya
berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak
ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia,
sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis
di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia
yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam
kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder
perjoangan ummat Kristen. Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota
dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar
permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup
dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah
lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan
sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia
Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a
m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya
dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai
bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-
citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak
dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun
menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa
Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka,
tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat
selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, --
merdeka atau mati"! (Tepuk tangan riuh) Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya
jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini
menjadi panjang lebar, dan sudah meminta
tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah
mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya
anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta,
Cetakan kedua, 1949 Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL
POLITIK INDONESIA
Sumber: http://www.munindo.brd.de
Koleksi: Perpustakaan Nasional RI, 2006.

You might also like