You are on page 1of 22

Pendidikan Moral Anak

MEMBENTUK moral anak bisa dilakukan lewat story telling (dongeng). Kegiatan membaca
dongeng dan berdiskusi antara orangtua dan anak ini dapat dilakukan di rumah.

Anak tentu saja menjadi anugerah terindah bagi setiap orangtua. Namun, ketika sang buah hati
beranjak remaja atau dewasa, bisa jadi anak yang telah dibesarkan dan dididik sebaik mungkin,
menjadi anak yang tidak mengerti nilai-nilai moral dalam kehidupan.

Kondisi tersebut tentu saja mengecewakan karena apa yang sejak dini ditanamkan, hilang
begitu saja. Padahal, membentuk moral anak bisa dilakukan sejak dini, bahkan ketika anak
memasuki tahun pertama usianya.

Hal tersebut terungkap dalam seminar pendidikan dan parenting bertajuk Education in the
Changing World, di Kemang Village, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Hadir sebagai
pembicara, Kepala Sekolah Pelita Harapan (SPH) Brian Cox M Ed dan Koordinator Sekolah
SPH James T Riady.

Selain dua pembicara tersebut, seminar juga dihadiri oleh Pendiri Layanan Konseling Keluarga
dan Karier Roswitha Ndraha, Sport and Arts Director Universitas Pelita Harapan Karawaci
Stephen Metcalfe BA, dan Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan Parapak. Berbagai topik
seminar diangkat dengan tujuan memberikan yang terbaik bagi anak-anak Indonesia.

Seperti diungkapkan James T Riady, yang membawakan makalah bertajuk Youth with a Vision.
Dalam makalahnya, dia banyak menyinggung tentang perkembangan moral anak yang tidak
saja didapatkan di sekolah.

"Pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. Namun,
ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan
yang baik dan buruk," papar James. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang
memiliki visi dan masa depan, menurut James, sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak
belajar segala sesuatu.
"Pendidikan formal berfungsi melatih anak-anak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya.
Sedangkan dengan pengetahuan moral, anak-anak diajak berpikir dan membangun etika dan
karakter dirinya yang baik," tambah James dalam seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah
Harapan Kita itu.

Sedikit berbeda dengan James, peserta seminar yang juga pengajar di Jakarta, William
Pakpahan mengatakan, pendidikan moral untuk anak-anak bisa dilakukan di rumah, bisa
dengan membahas buku-buku cerita bersama orangtua, membaca kitab suci ataupun
mendongeng.

"Saya memang seorang pengajar, namun saya tidak yakin di sekolah-sekolah formal anak bisa
mendapatkan pendidikan moral yang benar-benar bisa menjamin anak kita menjadi anak yang
baik," kata pengajar yang juga ayah tiga putra ini. Karena itu, lanjutnya, ketika berkumpul
dengan anak-anak saya di rumah, saya menanamkan nilai-nilai moral dengan menceritakan
kisah-kisah dalam kitab suci.

Menanamkan pendidikan moral untuk anak-anaknya juga dilakukan William dengan sesering
mungkin mengajak anak-anaknya yang masih belia mengunjungi panti-panti asuhan, panti
jompo, hingga memberikan sumbangan untuk anak-anak jalanan.

''Pernah suatu waktu anak saya bertanya, mengapa banyak anak kecil menyanyi di lampu
merah. Setelah itu, untuk mengetuk hatinya dan menggugah rasa simpatinya, saya mengajak
anak saya untuk melihat lebih dekat bagaimana anak-anak kecil itu mencari sesuap nasi,"
terangnya.

Mengajak anak langsung menyaksikan kejadian sehari-hari yang membuatnya trenyuh, ternyata
sangat mengena di benak anak-anak William. "Sejak itu, mereka tidak pernah lagi membuang-
buang nasi ketika makan," tutur William. Dari pengalaman tersebut, William berkesimpulan
bahwa pendidikan moral harus bisa dipraktikkan pada anak-anak, dari rumah hingga di
lingkungan sekitar, termasuk di jalanan.

Tahap Perkembangan Moral Anak

1. Perkembangan kuantitas menuju kualitas


Ketika anak mulai mengenal larangan orangtua, anak cenderung menilai dosa atau kesalahan
berdasarkan besar-kecilnya akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Misalnya, anak menganggap
bahwa menjatuhkan beberapa gelas secara tidak sengaja lebih besar dosanya daripada
menjatuhkan satu gelas secara sengaja. Pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak
memperhitungkan unsur motivasi. Baru pada usia yang lebih besar, ia mulai memahami bahwa
kualitas suatu perbuatan harus diperhitungkan dalam menilai benar-salah.

2. Ketaatan mutlak menuju inisiatif pribadi


Pada mulanya seorang anak akan menaati apa yang dikatakan orangtuanya. Inilah kesempatan
terbaik orangtua untuk mengajarkan apa yang harus diajarkannya karena masa ini akan cepat
berlalu. Setelah itu, anak akan lebih terikat dengan perjanjian-perjanjian. Pada tahap ini, anak
akan bermain dengan peraturan yang dapat diubah sesuai perjanjian sebelumnya. Karena itu,
teriakan ?'curang'' sewaktu anak bermain akan terdengar keras ketika peraturan bersama ini
dilanggar. Anak juga sangat peka terhadap ketidakkonsistenan orangtua bila orangtua
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkannya. Bagi mereka, orangtua pun
seharusnya terikat dengan peraturan yang mereka tetapkan bagi anak-anaknya. Bila
perkembangan moral anak berjalan baik, pada usia remaja akhir anak telah memiliki prinsip
moral yang menjadi miliknya pribadi dan yang mengarahkan tingkah lakunya. Anak tidak
mudah lagi dipengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, anak akan melakukan perbuatan
berdasarkan prinsip moral yang dimilikinya.

3. Kepentingan diri menuju kepentingan orang lain


Tahap awal perkembangan moral anak adalah egosentris karena anak masih memusatkan
perhatian pada dirinya. Tujuan suatu perbuatan adalah kesenangan pribadi dan kenikmatan. Bila
perkembangan moral anak berjalan baik, barulah pada usia yang lebih dewasa, individu dapat
melihat kepentingan orang lain dalam melakukan tindakan moralnya. Bukan itu saja,
pengorbanan kepentingan diri dapat dilakukan demi kesejahteraan teman-teman sebayanya.
Misalnya dengan membagi permen yang dimilikinya, ataupun mengajak teman-temannya untuk
berbagi boneka kesayangan.

http://longlifeducation.blogspot.com/2010/02/pendidikan-moral-anak.html
MENANAMKAN MORAL KEPADA ANAK USIA DINI

BABI
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kisah seorang raja yang hendak mendidik warganya agar dapat mendidik anaknya dengan baik,
yaitu dengan cara menjanjikan akan mengadopsi dua orang anak (putera dan putri) yang akan
dijadikan pangeran dan puteri raja kelak dari kalangan suatu desa terpencil, dengan memberi
tenggang waktu satu tahun untuk mempersiapkan anak-anak tersebut. Dengan harapan akan
bahwa anak mereka akan terpilih menjadi pangeran/puteri yang di janjikan sang raja, semua
warga desa sibuk mempersiapkan anaknya dan serentak berlomba, lebih memperhatikan
pendidikan, kesehatan dan penampilan anak-anak mereka. Yang jelas, sejak saat itu anak-anak
di desa itu mendapatkan yang terbaik untuk kebutuhan mereka.
Satu tahun berlalu ketika sang raja kembali ke desa tersebut, Ketika semua rakyat berharap
akan mendapatkan anaknya terpilih sebagai puteri/pangeran, Sang Raja berkata “Apa yang
kalian lakukan selama setahun ini adalah memang selayaknya kalian lakukan sebagai orang
tua….., Kalian memberikan yang terbaik bagi anak-anak kalian …Karena memang sebenarnya
setiap anak adalah pangeran dan puteri yang berhak mendapat semua yang terbaik bagi
kebutuhan mereka…! Selamat dan terima kasih aku ucapkan atas yang telah kalian lakukan
bagi anak-anak kalian.Sehingga mereka akan tumbuh menjadi anak-anak terbaik dan harapan
terbaik bagi Negara ini.
Melihat kisah di atas, sebagai orang tua memang harus bersedia untuk selalu berbuat yang
terbaik, dengan terus memperkaya diri kita demi anak-anak. Salah satu yang dapat dilakukan
adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral dan mendorong perkembangan moral anak-anak
kita agar bergerak kearah yang lebih baik.
Hubungan orang tua dengan anak, semestinya adalah sebuah hubungan yang manis, indah dan
menyenangkan, sesuatu yang mampu membuat dada terasa lega dan senyum cerah tersungging
dibibir saat megingatnya. Hubungan yang seharusnya mampu menyenangkan kedua belah
pihak, baik orang tua maupun anak. Karena hubungan orang tua dan anak adalah hubungan
kasih sayang, hubungan yang tidak terbatas.
Akan tetapi seringkali terjadi adalah kebalikan dari hal itu. Hubungan, kemudian seringkali
diartikan sebagai ‘permasalahan’ orang tua dan anak. Adalah hubungan yang kenyataannya
lebih sering memusingkan kepala, menambah beban yang ada, dan membuat orang tua seolah
tidak berdaya karena ketidak mampuan orangtua untuk menyiasatinya.
Satu hal terberat saat menghadapi anak-anak adalah, seolah orang tua dihadapkan pada dirinya
sendiri, karena anak-anak secara sederhana adalah merupakan cermin dari orang tua. Dengan
segala pertanyaan besar di benak setiap orang tua, akan berhasilkah mereka mendidik anak-
anaknya? Apakah hasil dari didikan mereka nantinya? Apalagi jika berpikir tentang pendidikan
moral bagi anak-anak, seperti apakah yang terbaik?
Benar memang, tidak pernah ada sekolah khusus bagi untuk mendidik orang menjadi orang tua.
Semuanya mesti dipelajari dengan berada ditengah- tengahnya( mengalami menjadi orang tua),
dengan ditambah sedikit bekal dari pengalaman yang diberikan orang tua dulu. Oleh karena itu
sudah selayaknya jika setiap orang tua selalu berupaya untuk belajar, belajar, dan belajar untuk
menjadi orang tua yang lebih baik.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Melihat latar belakang permasalahan, bahwa setiap orang tua diharapkan banyak belajar demi
keberhasilannya dalam mendidik putera-puterinya terutama dalam hal pendidikan moral bagi
anak, maka, setiap orang tua hendaklah memahami hal hal seperti;
• Bagaimana anak belajar membedakan yang benar dan yang salah?
• Bagaimana cara mengajar anak menjadi manusia yang lebih enhance (meningkatkan kualitas
kehidupan) daripada disminish (menurunkan) kualitas kehidupan dalam masyarakat?
• Bagaimanakah cara orang tua menyampaikan kepada mereka sebuah kepekaan moralitas,
nilai, tanggung jawab social?
Untuk mejawab semua pertanyaan diatas, maka makalah ini akan mengawalinya dengan
memahami makna moral terlebih dulu, yang akan di bahas dalam kajian teori, serta lebih
lengkapnya akan dibahas dalam bab pembahasan masalah.

BABII
KAJIANTEORI
2.1. DEFINISI MORAL
Jika istilah moral didefinisikan akan berbunyi,” moral berkenaan dengan norma-norma umum,
mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang.”
Ketika orang berbicara tentang nilai-nilai moral, pada umumnya akan terdengar sebagai sikap
dan perbuatan seseorang terhadap orang lain. Pada anak-anak, nilai-nilai moral akan terlihat
dari mampu tidaknya seorang anak membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Jujur, baik hati, dapat dipercaya, ramah, setia kawan, dermawan, berempati, bersahabat, lembut,
penuh kasih, ceria, menghargai orang lain, hanyalah beberapa ciri-ciri yang dapat ditemui pada
orang-orang yang dianggap memiliki nilai-nilai moral yang baik.
2.3. TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL MANUSIA
Dan anak-anak mengembangkan nilai-nilai moral ini secara perlahan dan melalui beberapa
tahapan tertentu. Dibutuhkan kesabaran orangtua untuk memahami perkembangan moral
sebagai proses panjang dan tidak pernah berhenti dalam kehidupan seorang manusia. Salah satu
tokoh yang menekuni masalah perkembangan moral adalah Kohlberg. Menurut teorinya, ada
(3) tingkatan perkembangan moral anak, dan masing-masing tingkatan memiliki (2) tahapan,
yaitu;
• Tingkat pertama dikenal dengan Preconventional Morality
Tahap 1: Obedience and Punishment orientation
Dalam tingkat ini anak cenderung menghindari hukuman, maka anak akan terlihat sangat patuh
dan berbuat baik untuk menghindari hukuman. Misalnya tidak akan bermain jauh karena akan
dimarahi orang tua.
Tahap 2: Naïve Hedonistic and Instrumental Orientation
Dalam tahap ini, anak akan mulai dapat membedakan akibat fisik (Jika hukuman fisik terpaksa
dilakukan orang tua, misal memukul pantatnya). Disini pemikiran anak mengenai benar atau
salah belum jelas, tergantung apakah itu memuaskan keinginannya atau tidak. Misalnya, anak
berkata,” Saya akan mengerjakan PR kalau nanti malam boleh nonton TV”. Biasanya tingkat
dan tahapan ini ditemui pada usia anak dibawah 10 tahun.
• Tingkat kedua dikenal dengan Conventional
Tahap 3: Good Boy Nice Girl Morality
Dalam tingkat ini anak lebih memfokuskan diri pada apa yang diharapkan oleh orang lain
(keluarga atau kelompok lain seperti sekolah). Dan dalam tahap ke 3 ini, anak akan menaruh
perhatiannya pada harapan-harapan social yang ada di sekitarnya. Anak akan bertindak tertentu
karena menganggap prilaku itu baik untuk keluaga atau kelompoknya. Pada tahap ini anak
sudah mulai tidak egosentris lagi.
Tahap 4: Authority and Morality
Dalam tahap ini, anak menganggap nilai moral baik atau buruk merupakan suatu kewajiban
dengan tujuan menjaga keseimbangan dan ketertiban masyarakat.
Tingkat dan tahapan ini terjadi pada anak usia 10-21 tahun.
• Tingkat ketiga disebut dengan Post Conventional
Dalam Tingkat ini anak sudah mengerti aturan social yang ada.
Tahap 5: Social Legality
Dalam tahapan ini, anak akan menentukan apakah aturan tersebut sesuai dengan moral atau
tidak, jika sesuai ia akan mengikuti aturan tersebut dan sebaliknya.
Tahap 6: Morality of individual principles and Conscience
Dalam tahap terakhir ini, penalaran moral sudah merupakan kata hati/ rilekunya sehari hari.
Tindakan dalam tahapan ini sebagai keputusan kata hatinya .
Namun teori Kohlberg diatas tentu bersifat dinamis, tidak statis dan tergantung pada banyak
faktor. Dan peranan orang tua dalam setiap perkembangan moral anak tentu sangat penting
karena anak akan selalu butuh bimbingan dalam setiap pertumbuhan dan perkembangannya.
Namun yang menjadi masalah adalah tidak setiap orang tua mampu atau
mengetahui/memahami bagaimana cara mengkomunikasikan moral kepada anak. Maka
berdasarkan teori perkembangan moral anak, dalam pembahasan akan dibahas mengenai
bagaimana orang tua dapat mendidik anak dan dapat mengembangkan moral anak dengan baik.

B A B III
PEMBAHASAN
3.1. PRINSIP-PRINSIP DASAR TENTANG MORAL
Sebelum sampai pada cara-cara bagaimana mengajarkan moral kepada anak, terlebih dahulu
yang harus dipahami adalah beberapa prinsip dasar tentang moral,yaitu;
3.1.1. Moralitas Adalah Penghargaan
Orang tua perlu menghargai anak dan mengharapkkan penghargaan yang serupa dari anak.
Disiplin harus benar benar mendapat penghargaan dan merupakan contoh bentuk pengendalian,
kelembutan, dan keadilan yang orang tua harapkan dari anak. Anak mengembangkan moralitas
secara gradual dan bertahap. Tahap-tahap ini adalah perasaan yang baik dan buruk yang terus
ada sejak masa anak-anak hingga dewasa. Masing-masing tahap membawa anak menjadi lebih
dekat dengan kematangan perkembangan moralnya.
3.1.2. Menghargai Anak Dan Mengharapkan Penghargaan yang Serupa Dari Mereka.
Memperlakukan anak dengan penghargaan, berarti memperlakukan mereka sebagai seorang
manusia, berlaku adil dengan anak. Dan menciptakan sejumlah penghargaan bagi tercapainya
kematangan tahap perkembangan anak, ini berarti memberikan anak sebuah perasaan bahwa
orang tua mempertimbangkan sudut pandang anak. Karena moralitas adalah jalan dua arah, jika
orang tua mengharapkan penghargaan dari anak, maka orang tua harus sangat berhati-hati
dalam menjalani kegiatan mereka sehari hari, karena anak selalu dapat belajar dari apapun yang
orang tua lakukan.
3.1.3. Mengajarkan Dengan Contoh
Sebuah cara paling pasti untuk membantu anak mengubah pemikiran moral mereka ke arah
prilaku moral yang positif adalah mengajari mereka dengan contoh. Orang tua mengajarkan
penghargaan bagi semua orang dengan contoh-contoh langsung (dalam menghargai orang) yang
orang tua berikan. Tidak ada hal lain yang lebih terpatri dan menggores lebih dalam di dalam
benak anak-anak selain contoh perilaku orang tua atau orang dewasa lain disekelilingnya.
Mendengarkan pun adalah sebuah contohsalah satu cara menyampaikan nilai-nilai kepada anak-
anak adalah dengan mendengarkan mereka. Maka anak-anak akan belajar mendengarkan pula.
3.1.4. Mengajarkan Dengan mengatakan
Meski penting mengajar anak dengan contoh, namun hal itu tidak cukup. Karena anak di
kelilingi dengan contoh yang buruk juga, maka anak-anak membutuhkan kata-kata orang tua
seperti halnya anak membutuhkan contoh dari orangtua.
Sempatkan waktu membacakan cerita-cerita rakyat yang dapat dijadikan ilustrasi suatu nilai
moral. Bagi anak yang terpenting bukan ceritanya, namun kedekatan dengan orang tua. Hal ini
akan sangat membantu anak untuk memahami prinsip-prinsip yang diajarkan melalui sikap-
sikap dalam tokoh cerita. Jangan biarkan anak menonton film sendirian tanpa ada interaksi
bertukar nilai-nilai, karena anak hanya akan menganggap hal itu sebagai hiburan tanpa nilai.
3.1.5. Membantu Anak Belajar Berpikir.
Yaitu berpikir untuk mereka sendiri. Orang tua dapat membantu perkembangan moral anak
dengan member mereka dorongan yang konstan untuk berhenti sejenak dan berpikir, dan untuk
mengambil keadaan/kondisi orang lain sebagai bahan pertimbangan. Anak-anak yang lebih
banyak berpikir akan lebih banyak mendiskusikan isu-isu moral, menciptakan jalan yang lebih
baik melalui tahap-tahap pemikiran moral daripada anak-anak yang tidak banyak berpikir.
Caranya, mintalah pada anak untuk berpikir dan merefleksikan diri. Tanyakan padanya
bagaimana kalau hal ini terjadi padanya? Berikan anak wakt untuk merefleksikan diri atas
perilakunya.
3.1.6. Membantu Anak Memikul Tanggung Jawab Nyata
Upayakan agar anak ikut memikul tanggung jawab tugas di rumah dan dorong mereka agar
dapat menyelesaikanya. Biarkan mereka kerjakan sendiri tugas-tugas sekolahnya, atau menjaga
adik, atau memelihara hewan peliharaan.
3.1.7. Seimbangkan Antara Kemandirian Dan Kontrol Yang di Berikan
Anak-anak membutuhkan batasan dalam kemandirian, antara tetap berpegang dengan sayap
yang mereka miliki. Hal ini cukup rumit. Terlalu banyak kontrol dari orang tua menyebabkan
anak berontak dan akan melakukan apa saja untuk mendapat sedikit kebebasan. Namun dengan
kebabasan yang melimpah , membuat anak menjadi tidak disiplin.Jika orang tua bersikap lebih
demokratis maka perkembangan moral anak akan terkontrol dengan lebih baik.
3.1.7. Cintailah Anak Dan Bantu Mereka Mengembangkan Konsep Diri Positif
Cinta dan kasih sayang orang tua membantu anak menangkap nilai-nilai dan peraturan orang
tua. Orang tua yang melewatkan waktu bersama anak secara kuantitatif dan kualitatif sebaik
mereka mencintai anak-anak mereka, akan memiliki anak-anak yang mempunyai level
perkembangan moral yang tinggi. Membuat variasi kebersamaan dengan anak, atau
menciptakan sesuatu yang membahagiakan keluarga, akan membuat anak-anak selalu teringat
bahwa kebersamaan adalah bentuk cinta kasih. Mencintai anak-anak bukan berarti memanjakan
mereka dan merusak konsep diri yang positif dari anak.
3.1.8. Memupuk Perkembangan Moral dan Menciptakan Keluarga Yang Bahagia
Membantu anak tumbuh dengan moral yang baik dan menciptakan keluarga yang baik adalah
benar-benar hal yang sama. JIka orang tua melakukan salah satunya, berarti orang tua
melakukan hal yang lainnya. Salah satunya adalah dengan meluangkan waktu untuk anak,
membuka mata hati dan telinga untuk anak, akan membuat anak mempercayai orang tua serta
menjadikan orang tua sebagai satu-satunya tempat anak mencurahkan segalanya. Jika anak-
anak merasa ‘terhubung’ dengan keluarga, mereka akan mendapatkan kemudi yang membantu
mereka bertahan pada sebuah jalur yang bertanggung jawab dalam menghadapi tekanan dalam
kehidupannya, misalnya dari teman sebaya.
3.2. KOMUNIKASI MORAL SEBAGAI PROSES MENGEMBANGKAN MORAL ANAK
Berbicara mengenai moral, pasti akan berpikir bagaiman cara menerangkannya pada anak-anak.
Nilai-nilai moral untuk tingkatan anak-anak adalah membedakan baik dan buruk. Dan hal
tersebut merupakan sesuatu yang abstrak utnuk dikatakan dengan cara apapun, dan anak
biasanya belum mampu menterjemahkan kata-kata verbal.
Anak-anak melihat dan kemudian membuat imajinasi dalam pikirannya. Imajinasi dalam
pikiran anak, bahwa suatu tindakan itu benar atau salah memerlukan suatu pengalaman
langsung yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung, sehingga membantu proses
kemampuan anak untuk mampu merenungkan dan mengolah sesuai dengan kemampuan
penangkapannya.
Mengutip Robert Coles tentang kecerdasan moral “Kecerdasan moral tidaklah dicapai hanya
dengan mengingat kaidah dan aturan, hanya dengan diskusi abstrak di sekolah atau di dapur.
Moral akan tumbuh dengan mempelajari bagaimana bersikap terhadap orang lain, bagaimana
berperilaku di dunia ini, pelajaran apa yang ditimbulkan oleh tindakan yang kita lihat dan kita
dengar, dan diolah dalam hati mengenai baik buruknya”
Orang tua sebaiknya tidak tergesa-gesa dalam member pemahaman kepada anak. Perlu diingat
pembentukan watak memrlukan waktu bertahun-tahun. Dalam waktu tak terbatas orang akan
selalu mengkomunikasikan moral, tidak melalui kata-kata namun dengan seluruh pengalaman
hidupnya.
3.2.I. Memahami Makna Komunikasi
Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses saling berbagi informasi antar semua mahluk di
dunia. Proses terjadi sejak pada linkungan terkecil, yaitu keluarga maupun lingkungan luas di
sekitar. Interaksi atau hubungan timbale balik satu sama lain adalah kebutuhan hakiki manusia,
karena pada dasarnya manusia adalah mahluk social. Manusia tidak dapat hidup tanpa manusia
lainnya untuk mengisi dan melanjutkan hidupnya. Diperlukan tata cara hidup yang diperlukan
agar tidak saling merugikan satu sama lain, tatacara ini diwujudakan dalam bentuk nilai-nilai
yang disepakati bersama, yaitu nilai-nilai moral.
3.2.2. komunikasi Yang efektif
Komunikasi adalah kunci semua aspek dalam keluarga, termasuk dalam membangun moral.
Ada beberapa hal mengenai cara berkomunikasi secara efektif dengan anak:
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang jelas
Orang tua terlebih dulu perlu untuk mendefinisikan harapan-harapan orang tua bagi anak anak.
Dengan menetapkan hal-hal rutin atau prosedur spesifik bagi perilaku tertentu seperti
mengerjakan tugas-tugas di rumah atau bersiap-siap untuk pergi tidur, akan membantu anak
untuk mengingat perilaku yang orang tua harapkan. Selain itu menyusun sebuah aturan tentang
perilaku yang diharapkan dan yang dilarang juga akan membantu anak. Hal-hal diatas
merupakan komunikasi yang jelas dan mudah dipahami oleh anak. Dan orang tua harus selalu
ingat tingkat perkembangan anak agar tidak mengharapkan lebih dari kemampuan yang dimiliki
anak atau membanjiri anak dengan daftar aturan yang panjang.
Komunikasi yang efektif adalah kooperatif
Lebih dari sekedar mendiktekan harapan yang ada kepada anak, aau menuntut hal-hal tertentu.
Komunikasi efektif berarti Berbicara kepada anak, komunikasi yang bersifat dua arah adalah
dengan membiarkan anak mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Misalnya
menyusun tugas- tugas di rumah atau membuat aturan di rumah.
Komunikasi yang efektif harus konkret
Sampai menginjak masa remaja, anak sangat konkre dalam pemikiran. Mereka kesulitan dalam
memahami konsep abstrak. Oleh karena itu Orang tua harus menggunakan contoh konkret
untuk memperjelas harapan orang tua kepada anak.
Komunikasi efektif harus lengkap
Lengkap dalam arti anak tidak hanya tahu apa yang harus dilakukannya, akan tetapi juga alasan
mengapa mereka melakukannya. Hal terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah
pengkomunikasian alasan tentang perilaku yang diharapkan. Hal ini berarti orang tua tidak
hanya mengatakan kepada anak tentang perilaku yang diharapkan akan tetapi juga mengapa
perilaku tersebut penting.
3.2.3. Komunikasi Moral Yang Manusiawi
Setelah memahami makna komunikasi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah sudah
menggunakan pendekatan komunikasi yang manusiawi? Karena pada dasarnya orang tua dan
anak mempunyai kedekatan yang sangat manusiawi.
Komunikasi yang dimaksud disini bukan hanya saling memberi informasi atau sekedar
menceramahi nilai-nilai moral denga kata-kata. Sebenarnya proses komunikasi adalah proses
berbagi nilai-nilai, sehingga makna yang dimiliki dapat dimaknai bersama. Ada umpan balik
didalamnya yang saling berinteraksi antara orang tua dan anak.
Salah satu kegagalan dalam membagikan nilai-nilai moral adalah orang tua tidak
memperhatikan unsur-unsur komunikasi, Yaitu orang tua mampu merendahkan hatinya untuk
memahami pikiran anak? Pikiran anak kadang berbeda dengan apa yang orang tua bayangkan
karena rentang usia dan pengalaman hidup. Orang tua harus meluangkan waktu untuk
memaknai nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari bersama anak.
Mengemas pesan moral dalam kalimat sederhana dan menarik perhatian anak, menggunakan
media yang tepat, diantaranya adalah bahasa tubuh dan tatapan mata orang tua adalah media
yang menarik perhatian anak, serta mencari media lain yang bervariasi, orang tua akan dapat
menjadi komunikator yang baik, bersahabat tidak berjarak, seakan-akan orangtua adalah bagian
dari pesan itu.
“Anak anak merupakan saksi; anak-anak adalah saksi yang selalu memperhatikan moralitas
orang dewasa atau tiadanya moralitas orang dewasa; anak-anak melihat dan mencari isyarat
bagaimana orang orang berperilaku” (Robert Coles)
3.2.4. Anak Bukan Obyek Tetapi Subyek
Anak bukan obyek sasaran yang dapat dicekoki dengan berbagai nasihat moral, dia adalah
subyek yang sedang mencoba menghayati nilai-nilai, malaksanakannya dan meyakini hal itu
sebagai hal yang baik dalam hidupnya. Dan dalam ini kebaikan hati orang dewasa cukup
menentukan nasib mereka selanjutnya.
Komunikasi dua arah tidak cukup untuk menjamin keberhasilan proses transformasi nilai
apabila tidak terjadi proses dialog yang setara antara anak dengan orang tua. Moral tidak cukup
hanya diinformasikan, tetapi bagaimana nilai-nilai tersebut didialogkan secara horizhontal
seperti halnya dua teman yang saling berbagi. Bukan seperti hubungan yang atas dengan bawah
atau vertical, tapi horizhontal dalam bentuk berbagi tentang suatu pengalaman hidup.
3.2.5. Mempertimbangkan Proses Menangkap Pesan Moral
Pada dasarnya suatu proses komunikasi moral bertujuan mengembangkan perilaku anak
menjadi manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku dalam
kehidupan social masyarakatnya. Tujuan utama membentuk perilaku inilah yang paling sulit,
karena pada dasarnya anak harus mengetahui terlebih dahulu atau berwawasan mengenai nilai-
nilai moral. Wawasan ini akan masuk dalam pikirannya dan akhirnya menggerakan kesadaran
dalam dirinya dan meyakini sebagai sikap yang benar. Setelah menyadari anak akan melakukan
perbuatan tersebut. Lambat laun perilaku tersebut akan berubah menjadi adat kebiasaan. Proses
ini berlangsung dalam kesatuan waktu dan saling melengkapi satu sama lain.
Perilaku yang terbentuk pada diri manusia mempunyai tahapan yang seharusnya
mempertimbangkan aspek intelektual dan emosional anak secara utuh. Orang tua perlu
mempertimbangkan tahapan dimana proses komunikasi moral sedang berlangsung. Komunikasi
yang terjadi akan sekaligus mengarah pada proses penyadaran dalam diri anak. Pada tahapan
dimana anak memahami nilai-nilai moral, apakah baru sampai tingkat pengetahuan semata atau
sudah sampai pada tingkat kesadaran dan akhirnya menjadi perilaku yang diharapkan.
• Pengetahuan
Pemahaman seseorang biasanya dimulai dengan mengetahui terlebih dahulu mengenai sesuatu
hal. Misal dalam nilai-nilai moral, anak biasanya mengetahui dari apa yang dia lihat dan dia
dengar.
Sejak usia dini harus ditanamkan wawasan ini melalui kata-kata ataupun bahasa tubuh. Dan
anak akan tertarik untuk mengembangkannya sejak mereka belajar bicara. Dengan tetap
mempertimbangkan tingkatan usia anak. Mengembangkan wawasan kepada anak bukan hal
yang mudah, perlu kehati-hatian dan kesabaran orang tua untuk mengembangkan wawasan
mengenai anak dan pengembangan moralnya.
• Sikap
Setelah anak mempunyai wawasan yang cukup, maka akan berproses untuk mengolahnya
sampai pada tahap menyadari dan meyakini sehingga membentuk suatu sikap. Pada awalnya
anak baru sampai tahap meniru atau imitasi. Apabila orang tua menunjukkan sikap yang
konsisten, anak-anak akan meyakininya bahwa tindakan itu baik dan pantas ditiru.
Pembentukan sikap ke arah nilai-nilai moral perlu melihat kecenderungan pada umur umur
tertentu. Ada saat anak sangat bersifat egois, ada masa anak sangat ingin berinteraksi dan mulai
bersikap social.
• Perilaku
Beranjak dari proses kesadaran, anak akan tergerak untuk melakukannya. Pada saat yang tepat
hendaknya anak diajak melaksanakan nilai moral. Anak cenderung cepat frustasi bila merasa
tidak bisa, maka orang tua harus sabar dalam mendampingi agar anak dapat melakukannya.
Contoh-contoh konkret dari orang tua cara melakukannya untuk ditiru pada awalnya , akan
sangat mempermudah. Lambat laun anak akan mampu membuat keputusan dan melakukan
dengan caranya sendiri.
3.3. ACTION DO SPEAK LOUDER THAN WORDS
Memilih bagaimana harus berperilaku, sebagai orang tua, benar-benar jauh lebih bermanfaat
daripada sekedar jika kita mengucapkannya dalam kata-kata. Dalam hal ini ada beberapa hal
yang harus disadari oleh orang tua:
Orang tua Adalah Guru Moral Pertama Bagi Anak
Keluarga adalah kunci pendidikan dasar bagi anak, terutama dalam mengembangkan nilai-nila
moral yang menjadi penopang dalam keutuhan pribadinya. Pada awal kehidupannya anak telah
dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa. Anak telah belajar banyak sejak awal, bahkan sebelum
dilahirkan, tanpa disadari orang tua sudah mengungkapkan nilai mereka dengan cara
mempengaruhi orang lain. Roberts Cole mengatakan bahwa “kehidupan moral anak
mendahului kemampuan berbahasanya” Saat anak belum mempunyai kosakata untuk berbicara,
ia telah belajar mengungkapkan lewat tindak-tanduknya.semua itu menunjukan ia belajar untuk
beradaptasi dengan lingkungan terdekatnya.
Kekasaran dan pertengkaran yang terjadi di depan anak yang sedang belajar mengenai moral
akan menjadi trauma negative yang akan merusak perkembangan jiwanya. Oleh karena itu
orang tua harus dapat memastikan perilaku moral yang akan diambil oleh anak adalah perilaku
moral terbaik yang diharapakan oleh orang tua dan orang tua inginkan sebagai contoh untuk
anak.
Orang Tua Mencoba Menemukan Isu-isu Moral Untuk Dibicarakan (pada saat isu-isu itu
timbul), Sehingga Anak Dapat Mendengar Keyakinan Moral Yang Orang tua Miliki
Bahan pembicaran yang menarik bagi banyak orang biasanya menarik perhatian anak. Lewat
perbincangan dalam keluarga , Orang tua dapat menyimak pemikiran moral anak dan
“menarik” anak ke tingkatan moral yang lebih tinggi.
Satu hal yang penting dari metode ini adalah anak belajar mengangkat pelajaran tentang nilai
empati terhadap suatu peristiwa, (misalnya, kasus pemboman Bali) bagaimana ia berdoa agar
orang yang jahat terhadap orang lain ditangkap. Orang tua harus menunjukan bahwa orang tua
sependapat dengannya bahwa mencelakakan orang lain itu SALAH.
Ambilah Sikap Aktif Melawan “racun” Perkembangan Moral Anak
Banyak racun yang sering bertentangan dengan nilai moral seperti acara televisi tertentu,
film,music,video game, dan situs internet. Orang tua harus mencoba menjelaskan tentang
kekhawatiran tersebut kepada anak, dan menetapkan standar, serta bertahan pada apa yang telah
ditetapkan.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa hampir semua orang tertarik pada televisi dan
multi media. Terutama anak-anak, tayangan visual ini sangat berpengaruh pada jiwa anak, jika
anak sudah menyukainya akan sulit orang tua memberitahu salah dan benar melalui kata-kata
verbal, karena yang dapat merangsang pengaruh pada perasaan dan pikiran adalah image
visual . Dan orang yang telah terbiasa hidup didalam image visual (kebudayaan citra dan
virtual)akan sangat sulit tergerak oleh kata-kata.
Oleh karena itu orang tua haruslah bersikap tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan moral
yang terlihat oleh anak di televisi atau dimanapun.Dengan kata-kata yang sederhana dan sikap
konsisten yang meyakinkan bahwa semua penyimpangan itu bukanlah prinsip orang tuanya.
Mengunakan Pertanyaan Untuk Memperluas Kemampuan Anak dengan Menggambarkan
perspektif Orang Lain
Menggunakan pertanyaan jauh lebih baik daripada sekedar pernyataan. Misalkan anak
menyakiti adiknya, Sebaik tidak hanya sekedar mnenghardiknya dan mengatakanitu tidak baik,
tetapi dengan mengembangkan pertanyaan yang harus dijawab oleh anak. Contoh,”Apa yang
kamu rasakan jika orang lain memperlakukanmu seperti itu?.
Memperhatikan Anak dan “tangkap” Mereka ketika bertindak secara Moral yang Baik
Dengan memberitahukan kepada anak perilakunya yang baik, dengan menggambarkan apa
yang telah dilakukannya dengan baik dan bagaimana orang tua menghargai hal itu.

http://paudfip.wordpress.com/2009/08/10/menanamkan-moral-kepada-anak-usia-dini/
Pendidikan Moral Anak Tanpa Kekerasan
Murid perlu dididik untuk memahami bahwa setiap tindakan dan prilakunya ada konsekwensi
yang haru ia terima. Konsekwensi yang diajarkan pada murid-murid guna untuk merubah
perilaku buruk anak didik dan sebagai alternatif pengajaran yang benar untuk menghindari
tindak kekerasan pada anak. Pemahaman akan konsekwensi bagi anak hanya didapat dengan
cara menegakkan kedisiplinan, pemberian konsekwensi, bukan hukuman, dan pemberian
penghargaan bagi yang berprilaku baik. Konsekwensi berbeda dengan hukuman, menurut Ray
Levi Ph.D (2002) ada dua perbedaan antara hukuman dan Konsekwensi

Pertama Konsekwensi memberikan anak pelajaran sedangkan hukuman jarang sekali


memberikan pelajaran. Hukuman dapat mengakibatkan dendam dan bersikap kasar, sehingga
menimbulkan hukuman lain. Sebaliknya konsekwensi mengajarkan perilaku yang baik pada
anak karena menunjukkan perilaku yang benar sebagaimana yang anda inginkan, dengan cara
kongkrit yang dipahami anak. ....
Kedua Hukuman disampaikan dengan cara marah-marah karena anak telah membuat sesuatu
yang membuat anda marah. Tetapi konsekwensi disampaikan dengan rasa sedih dan empati
Anda menunjukkan tanggung jawab ada dipundak anak.)1
Berbagai konsekwensi yang perlu dan patut di terapkan sebagaimana menurut Levy2
Konsekwensi Alam
Konsekwensi alami terjadi akibat langsung dari peristiwa yang terjadi secara alamiah. Contoh
jika tidak makan kita akan lapar, jika tidak tidur keesokan harinya akan mengantuk dan
sebagainya. Konsekwensi alami ini perlu dipahami murid-murid karena berkaitan langsung
dengan kehidupan.
Konsekwensi Logis
Konsekwensi logis sering terjadi di masyarakat, jika tidak membayar listrik, listriknya diputus,
jika merampok mendekam di penjara dan sebagainya.
Konsekwensi Relevan
Konsekwensi Relevan adalah konsekwensi yang secara langsung berkaitan dengan perilaku
buruk anak dan membuat anak memperbaiki sikapnya. Konsekwensi dari perilaku buruk
digantikan dengan perilaku baik yang diharapkan. Contoh seorang anak meninggalkan meja
makan dengan piring kotor berserakan maka perilaku apa yang diharapkan jika anak berbuat
demikian, “cuci piring.” Maka jika anak melakukan meninggalkan meja makan dengan piring
kotor berserakan maka ia harus mencuci piring.
Tapi jika anak kedapatan merokok konsekwensi relevannya adalah menghirup udara bersih,
tidak efektif!! Maka ada konsekwensi berkaitan yang cocok.
Konsekwensi berkaitan
Konsekwensi jika anak kedapat merokok misalnya maka suruh anak ke perpustakaan untuk
membaca akan bahaya merokok ditambah misalnya membuat kliping atas bahaya-bahaya
merokok.
Konsekweensi Signifikan
Konsekwensi Signifikan yaitu konsekwensi yang efektif terhadap anak, anak yang malas
bergerak konsekwensi signifikan adalah menyuruh dia berolah raga.

Djauzak Ahmad dalam Riau Pos menekankan: “Tetapi kalau tetap melakukan, diberi hukuman
sesuai dengan perbuatannya (Konsekwensi relevan – Penulis). Kalau misalnya anak mengotori
lantai, maka disuruh ia untuk membersihkan lantai yang kotor tersebut. Kalau memecahkan
kaca disuruh ia mengganti (Tidak Efektif: karena bagi siswa yang orang tuanya kaya akan
mudah baginya untuk mengganti berulang-ulang sampai puluhan kali – penulis). Asal jangan
hukuman yang memalukan seperti menggunduli kepala anak padahal ia cewek, seperti yang
terjadi disebuah pesantren di Pekanbaru )3
Kalau menurut saya tidak mempermalukan karena anak tersebut memakai Jilbab, sedangkan
laki-laki sudah biasa pemandangan kepala gundul, dipesantren, karena ada yang berpendapat
potong rambut itu gundul, begitu menurut sunah nabi, mulai kiyai sampai ustad-ustadnya semua
berbuat demikian.
Kalau anak memainkan senjata tajam hukumannya tidak dibiarkan sampai anak terluka, Jika
memanjat tinggi jangan tunggu sampai anak jatuh. Ini penerapan konsekwensi yang salah
karena berakibat fatal. Konsekwensi dengan berakibat fatal memang harus dihindari, seperti
perkelahian harus dilerai, kebut-kebutan harus dilarang, jangan dibiarkan saja, tetapi jika terjadi
kecelakaan akibat kebut-kebutan anak mendapat pelajaran, tapi anak tidak boleh dikasih tahu
akan pelajaran dari konsekwensi dari yang telah ia perbuat biarkan anak yang menyipulkan
sendiri.

Kalau mengajarkan dan mendidik anak dengan menerapkan konsekwensi maka kita dapat
menghindari penggunaan kekerasan dalam pembelajaran anak didik di sekolah.
Konsekwensi dapat berupa strap didepan kelas atau konsekwensi seperti yang telah diterangkan
diatas. Sekedar Strap, berdiri diluar kelas, menyuruh anak membersihkan lantai, membersihkan
WC, dan sebagainya tidaklah disebut sebagai kekerasan dalam rangka atau maksud mendidik.
Kalau yang disebut kekerasan terhadap anak-anak itu tidak bermaksud mendidik, kejam dan
keji terhadap anak-anak, tanpa belas kasihan sedikitpun. Adapun yang dimaksud kekeran
menurut UU Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 terdapat dalam pasal 13 ayat 1:

Pasal 13 ayat: 1.Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

Pejelasan dari butir d ayat 1 tersebut adalah:


Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak
menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng¬aniayaan, misalnya
perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental
dan sosial

http://www.dinaspendidikan-parepare.info/index.php?
option=com_content&view=article&id=269:pendidikan-moral-anak-tanpa-
kekerasan&catid=47:pendidikan-dasar
METODE CERITA DALAM PENDIDIKAN ISLAM (DI TAMAN KANAK-KANAK
AISYIYAH BUSTANUL ATHFAL SAPEN).

1. Metode

Metode berasal dari bahasa latin “meta” yang berarti melalui dan “hodes” yang berarti jalan
atau cara ke. Dalam bahasa arab disebut dengan “thariqah” artinya jalan, cara atau, sistem atau
ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah suatu sistem atau cara
yang mengatur cita-cita.[1] Metode yaitu cara kerja yang bersistem yang memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.[2]

Jadi yang dimaksud dengan metode disini adalah sistem atau cara yang digunakan dalam
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam dalam diri anak dan untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam melalaui cerita.

1. Cerita

Cerita adalah hiburan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal (peristiwa,
kejadian dan sebagainya)[3] selain itu cerita juga bisa diartikan sebagai suatu ungkapan, tulisan
yang berisikan runtutan peristiwa, kejadian yang bisa disebut juga dengan dongeng atau kisah,
dengan demikian cerita adalah suatu ungkapan, tulisan yang dituturkan oleh seseorang kepada
orang lain, kelompok, umum, baik itu mengenai pengalamannya pribadi maupun pengalaman
orang lain yang benar-benar terjadi ataupun hanya merupakan khayalan atau imajinasi saja.

1. TK

Taman-Kanak-kanak (TK) adalah sekolah untuk anak-anak yang berumur 5-6 tahun.[8] Taman
Kanak-kanak juga sebuah lembaga pendidikan yang mengelolah, membimbing, mengajar anak-
anak untuk menjadi anak yang cerdas, kreatif dan berakhlak mulia.

1. TK Aisyiyah Bustanul Athfal Sapen

Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Bustanul Athfal Sapen merupakan lembaga pendidikan yang
dirintis dan didirikan oleh Muhamaddiyah Ranting Sapen Yogyakarta pada tanggal 27 Februari
1967, pendaftaran pertama tercatat sebanyak 40 anak, terdiri dari anak yang berumur 3 s/d 7
tahun.

Salah satu yang menjadi tanggung jawab sekolah yaitu mempersiapkan siswa agar mampu
mengembangkan kepribadian yang selaras, seimbang antara kedewasaan jasmani dan
rohaninya. Sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya atau yang
diharapkan supaya dapat menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat cerdas dan
terampil.

Dalam Proses pendidikan, TK Aisyiyah Bustanul Athfal sebagai institusi pendidikan,


didalamnya tentu memuat berbagai macam kegiatan dan pelajaran baik yang dilaksanakan
didalam kelas maupun diluar kelas, dan dengan berbagai macam metode, seperti metode
bermain, bercerita, bernyanyi dan lain-lain. Mengingat banyaknya metode yang digunakan
dalam proses pendidikan tersebut, maka pada penelitian ini, penulis akan membatasi
permasalahan atau memfokuskan diri pada metode cerita dalam pendidikan Islam Dari
penjelasan dan penegasan beberapa istilah yang dimaksud dalam judul penelitian disini, yang
ingin kami maksudkan adalah: ingin melihat bagaimana penerapan dan pengaruh metode cerita
dalam pendidikan Islam yang dilaksanakan dan dikembangkan di TK Aisyiyah Bustanul Athfal
dalam rangka membentuk anak-anak yang berkualitas, sehat dan terampil.
Jadi yang dimaksud dari judul metode cerita dalam pendidikan Islam disini ialah menanamkan
nilai-nilai ajaran Islam kepada diri anak dengan menggunakan metode cerita yang
dilaksanakan/diterapkan di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal sapen Yogyakarta.

Metode dalam pendidikan merupakan masalah penting dalam pencapaian tujuan,

sebab metode merupakan salah satu faktor yang urgen dalam menentukan keberhasilan

dan juga sarana dalam mencapai tujuan tersebut.

Cerita atau kisah merupakan salah satu cara mendidik anak pada masa lampau da

modern, setiap took pendidikan tidak memungkiri pengaruh cerita pada jiwa

pendengarnya. Cerita/kisah berkembang seiring dengan lahirnya manusia dan mengikuti

perkembangannya, meskipun berbeda masa.

Cerita atau kisah termasuk salah satu metode yang sukses, ia berhasil dimana

metode-metode yang lain gagal.1 Dalam Islam metode cerita atau kisah ini telah

dipergunakan sejak munculnya Islam itu sendiri. Hal ini terbukti, al-Qur’an dalam

usahanya mendidik ummat manusia banyak menggunakan jalan mengungkapkan kisah-

kisah yang mengandung suri tauladan yang baik. Dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang

berjumlah kurang lebih 6.342 ayat ada lebih dari 1600 ayat mengenai kisah-kisah.2

Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi ceita, dan menyadari

pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita

itu untuk dijadikan salah satu metode atau teknik dalam pendidikan.3

Cerita sangat erat kaitannya dengan dunia terbiyah, konsekwensinya, setiap pendidik

terlebih orang tua untuk senantiasa membiasakan mendidik anak dengan banyak bercerita,

sebagaimana Allah memerintahkan kepada Rasulullah. Hal penting yang dapat dilakukan

oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah upaya untuk membantu

mengembangkan pola pikir realistis, yaitu bersikap jujur dan terbuka. Melalui cerita

1
Abdurrahman Umdirah, Metode Al-Qur’an Dalam Pendidikan, Pent. Abdul Hadi Basulthanah,
(Surabaya : Mutiara Ilm.t.t.), Hal. 246
2
A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan pada Kisah-kisah Al-qur’an, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1984), Hal.
22
3
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Pent. Salman Harun, (Bandung : PT. Alma’arif, 1993),
Hal. 382
disamping mengembangkan hal tersebut juga emosi anak perlu dilatih menghayati,

merenungkan dan merasakan berbagai lakon kehidupan manusia.4

Sebelum seseorang bercerita, maka harus memahami terlebih dahulu jenis cerita apa

yang hendak disampaikan, Karena cerita banyak sekali macamnya. Masing-masing cerita

mempunyai karakteristik yang berbeda, oleh karena itu agar dapat bercerita dengan tepat,

terlebih dahulu harus menentukan jenis ceritanya. Pemilihan jenis cerita ditentukan oleh

tingkat usia pendengar, jumlah pendengar tingkat heterogenitas (keragaman pendengar),

tujuan penyampaiaan materi, suasana acara, suasana (situasai dan kondisi) pendengar dan

sebagainya.5

a. Pemilihan Cerita

Sebagian orang, secara piawai, mampu menceritakan suatu bentuk cerita tertentu

dengan baik di bandingkan jenis cerita yang lain. Seperti penguasaan terhadap cerita-

cerita humor, binatang, misteri, dan sebagainya. Memang sebaiknya pendongeng

hendaknya memilih jenis yang sangat ia kuasai. Tetapi lain halnya untuk seorang guru,

tampaknya ia agak sulit jika membatasi diri pada satu bentuk cerita. Sebab cerita yang

akan di sampaikannya, khususnya apabila di ambil dari buku ini, memuat berbagai cerita

dengan aneka bentuk. Sedangkan jika mengambil bahan dari selain buku ini maka

sebaiknya guru memakai satu bentuk cerita saja. Namun, seorang guru tetap di tuntut

untuk menguasai penceritaan dari berbagai jenis dongeng, tentunya dengan melakukan

latihan yang terus-menerus.

Ada cerita yang bernada sedih dan gembira. Dalam hal ini, guru sebaiknya dapat

memilih cerita yang sesuai dengan kondisi jiwanya saat akan bercerita. Antara yang

menyedihkan dan yang menyenangkan. Karena keadaan jiwa pendongeng akan

berpengaruh pula pada setiap ceritanya.

Ada faktor lain yang dapat membantu dalam pemilihan cerita, yaitu situasi dan

kondisi siswa. Misalnya, di awal tahun sangat baik memilih cerita “Sakinah Dan

Anaknya”. Karena tokoh-tokoh dalam cerita tersebut sangat dekat dan di kenal anak-anak
4
T. Handayu, Op. Cit, Hal. 74
5
Jaudah Muhammad Anwad, Mendiddik Anak Secara Lisan, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), Hal. 3
sebelum masuk sekolah. Kemudian di akhir tahun cukup baik bila memilih kisah “Cerita

Tak Berujung”. Sebab cerita ini akan memberi kesan di hati para siswa menjelang

kelulusannya diakahir tahun. Dalam cerita ini di gambarkan sesuatu yang berulang-ulang

dan terus-menerus berlangsung, yaitu gambaran semut memasuki gudang gandum,

mengambil sebuah gandum lalu keluar. Kemudian semut yang lainnya memasuki gudang

untuk melakuakan hal yang sama, dan seterusnya.

Adapun di pertengahan tahun, apa yang terjadi di luar dan di dalam kelas bisa

membantu dalam pemilihan cerita. Misalnya, ada seorang murid yang datang terlambat

tanpa alasan, maka guru dapat memilih cerita “Mahjubah Yang Malas”. Atau ketika

seorang murid menemukan seekor tikus memasuki kelas, untuk menanamkan dasar budi

pekerti yang baik maka dapat memilih cerita Singa Dan Tikus, dan seterusnya. Oleh

karena itu, guru harus menyiapkan dan membaca seluruh cerita yang hendak di sajikan.

Sebagai catatan bagi guru, harus di ingat bahwa dalam menyampaikan cerita yang

lucu dan sedih, ia harus bercerita dengan menggunakan cara yang tepat agar murid tidak

salah mengekspresikannya. Misalnya, dalam cerita yang menyedihkan mereka mereka

malah tertawa atau sebaliknya.6

b. Kriteria Cerita yang Baik dan Islami

1) Ciri-ciri cerita yang baik

Sebagai metode dalam pendidikan, kita juga harus mengetahui cerita yang

berkualitas sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan jiwa dan watak anak-anak

karena itu seorang guru harus memperhatikan beberapa hal dibawah ini :7

a) Cerita itu memikat (absorsing) dan menghibur

b) Cerita itu mengembangkan imajinasi anak

c) Cerita itu yang memberikan pengalaman emosional yang mendalam

d) Cerita itu menimbulkan rasa humor yang menyeluruh

e) Cerita itu memperluas cakrawala pandangan anak

f)Cerita itu memberikan kepuasan terhadap kebutuhan ekspresi diri

6
Abdul Aziz Abdul Majid, Op. Cit, Hal. 30
7
Sukanto SA. Seni Bercerita Islami, (Cimanggis Depok : Bina Mitra Press, Cet. II, 2001), Hal. 20
Dan tentu lebih dari itu semua, kita harus mempertanyakan cerita tersebut

bersifat edukatif Islami atau tidak. Dalam hubungan ini penting untuk mengoreksi atau

memilih cerita yang mempunyai kwalitas dalam mendukung dunia pendidikan.

Sebuah cerita yang baik disamping kriteria tersebut diatas, meskipun isinya baik

harus diperhatikan pula misi yang dikandungnya atau makna yang ada didalamnya,

untuk itu perlu menilai cerita yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang negatif,

berdampak pada aqidah dan akhlak, pemerosotan moral maka harus dihindarkan sifat-

sifat cerita yang kurang mendidik :

a) Mengandung falsafah yang salah

b) Tidak Islami (kebohongan, mistis, takhayyul, syirik, bid’ah dan khurafat)

c) Menanamkan rasa dendam, permusuhan dan kekerasan

d) Membuat anak malas untuk beribadah.8

2) Ciri-ciri Cerita yang Islami

Cerita yang Islami dikenal dengan sebutan kisah, yaitu sejenis cerita yang

penyampaiannya berasal dari al-Qur’an dan kisah teladan lain yang dibaur.9

Dewasa ini buku-buku cerita Islami banyak diterbitkan dalam bentuk majalah

aku anak shaleh, maupun dalam bentuk lain seperti buku cerita dan komik.

Adapun ciri-ciri cerita yang Islami antara lain :

a) Menceritakan orang-orang terdahulu yang disebutkan dalam al-Qur’an

dan tak pernah basi untuk diceritakan.

b) Menceritakan kisah kepahlawanan para pahlawan Islami

c) Mengajarkan sifat mulia para Nabi dan Rasul serta para salafus shaleh

d) Menceritakan kehidupan sehari-hari dan cerita kehidupan yang

mengandung nilai-nilai moral ajaran Islam

e) Cerita yang dapat digunakan untuk berdakwah kepada anak-anak, yang

mengandung kebaikan dan keburukan, sehingga anak dapat membedakannya

f) Cerita yang didalamnya sarat dengan hikmah-hikmah

8
Sukanto SA, Op. Cit, Hal. 21
9
T. Handayu, Op. Cit, Hal. 116
g) Cerita yang diambil dari pengalaman rasulullah saw dan para sahabat-

sahabatnya.10

Cerita, baik cerita umum maupun Islami dari buku maupun cerita langsung

hendaklah menghindari sikap taklid, cerita bagi anak merupakan sarana untuk

memperoleh petunjuk-petunjuk termasuk didalamnya budaya, agama dan cara

pandang asing. Anak sebagai pribadi yang belum matang dapat mudah mengikuti

segala hal yang diceritakan.

c. Metode Penyampaian Cerita

Setelah guru selesai mempersiapkan cerita ia bersiap-siap utnuk menyampaikan saat

waktunya tiba. Pada saat itu ia harus mempersiapkan hal-hal berikut :

1) Tempat bercerita

Bercerita tidak selalu harus dilakukan didalam kelas, tetapi juga boleh juga diluar

kelas yang dianggap baik oleh guru agar para siswa bisa duduk dan mendengarkan

cerita. Bisa dihalaman sekolah, teras bawah pohon, dan sebagainya.

2) Posisi duduk

Sebelum guru memulai bercerita sebaiknya ia memposisikan para siswa dengan

posisi yang baik untuk mendengarkan cerita. Kemudian guru duduk ditempat yang

sesuai dan mulai bercerita. Sebaiknya, guru tidak langsung duduk pada awal

bercerita tetapi memulainya dengan berdiri kemudian duduk, bergerak mengubah

posisi gerakan dan diusahakan jangan duduk terus.

3) Bahasa cerita

Bahasa cerita adalah bahasa yang baik dan mudah dimengerti. Bahasa dalam

bercerita hendaknya menggunakan gaya bahasa yang lebih tingi dari gaya bahasa

siswa sehari-hari, tetapi lebih ringan dibandingkan dengan bahasa cerita dibuku.

4) Intonasi guru

Cerita itu mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang muncul dalam

cerita dan klimaks. Pada permulaan cerita guru hendaknya memulai dengan suara

10
Ibid, Hal. 124
tenang. Kemudian mengeraskannya sedikit demi sedikit. Perubahan naik turunnya

suara disesuaikan dengan peristiwa dalam cerita.

5) Pemunculan tokoh-tokoh

Telah disebutkan bahwa ketika mempersiapkan cerita, seorang guru harus

mempelajari terlebih dahulu tokoh-tokohnya agar dapat memunculkan secara

hidup didepan para siswa.

6) Penampakan emosi

Saat bercerita guru harus dapat menampakkan keadaan jiwa dan emosi para

tokohnya dengan memberi gambaran kepada para pendengar bahwa seolah-olah

hal itu adala emosi si guru sendiri. Jika situasinya menunjukkan rasa kasihan,

protes, marah dan mengejek maka intonasi dan kerut wajah harus menunjukkan

hal tersebut.

7) Peniruan suara

Sebagian orang ada yang mampu meniru suara-suara binatang dan benda-benda

tertentu, seperti suara singa, kucing, anjing, gemercik air, gelegar petir dan arus

sungai yang deras. Sebagai seorang guru jangan malu-malu untuk melakukan itu

supaya ceritanya akan lebih menarik untuk di perhatikan.

8) Penguasaan terhadap siswa yang tidak serius

Perhatian siswa ditengah cerita haruslah dibangkitkan sehingga mereka bisa

mendengarkan cerita dengan senang hati dan berkesan. Para siswa biasanya diam

mendengarkan cerita, jika penyampaiannya bagus. Apabila guru melihat para

siswa mulai bosan, jenuh dan banyak bercanda, maka ia harus mencari

penyebabnya, mungkin ia sendiri yang menjadi penyebabnya, karena bercerita

dengan gaya yang monoton.

9) Menghindari ucapan spontan

Guru acapkali mengucapkan ungkapan spontan setiap kali menceritakan sesuatu

peristiwa. Kebiasaan ini tidak baik karena bisa memutuskan rangkain peristiwa

dalam cerita.
Kesembilan hal tersebut sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan

oleh guru ketika bercerita. Memang kita menganggap bahwa bercerita dengan cara

yang baik, rata-rata adalah sesuatu yang bersifat alami dari pada dibuat-buat. Namun,

kita tidak melupakan menfaat dari latihan dan belajar dalam menguasahakan metode

yang tepat untuk itu.11

http://www.pustakaskripsi.com/metode-cerita-dalam-pendidikan-islam-di-taman-kanak-kanak-
aisyiyah-bustanul-athfal-sapen-405.html

11
Ibid, Hal. 47-54

You might also like